ANUGERAH BIDADARI
Dipersembahkan untuk :http://dimhad.6te.net
Matahari bersinar terik. Sinarnya yang angkuh membuat udara sekitar menjadi panas tak tertahankan.
Altamyra telah terlindung dari panas yang menyengat itu, tapi sekujur tubuhnya tetap basah dan lengket
oleh keringat.
Dari jendela kereta, ia dapat melihat prajurit-prajurit yang mengawalnya. Altamyra heran. Dengan baju
besi yang tebal, mereka sama sekali tidak kepanasan. Di dalam ia merasa seperti berada di tungku
pemanas apalagi di luar.
Udara panas membuatnya jengkel. Semua orang di sekitarnya pasti mau mengipasi dirinya agar ia
merasa sejuk, tapi tetap saja percuma. Ia telah mengipasi dirinya dengan kipas bulunya, tapi yang
terkipas adalah udara panas.
Belum lagi bajunya yang tebal. Baju seindah ini selalu diimpikannya tapi tidak untuk saat ini.
Altamyra bersumpah bila ada yang memaksanya mengenakan baju bangsawan yang tebal di musim
panas, ia akan menolak mentah-mentah. Ia merasa heran mengapa gadis-gadis bangsawan mampu
mengenakan baju setebal ini di hari yang panas.
Beginilah kalau gadis miskin tiba-tiba mengenakan gaun indah yang berlapis-lapis. Ia terbiasa
mengenakan selapis gaun katun yang kasar. Di udara sepanas apa pun, ia merasa nyaman dengan
gaunnya. Sekarang ia benar-benar merasa tidak nyaman.
Kalau saat ini ia melihat danau atau sungai, ia pasti akan meloncat masuk tanpa berpikir panjang. Ia
benar-benar tersiksa dengan panas yang menyengat ini.
Altamyra merasa tertipu. Mereka berhasil membujuknya dan kini ia menderita karenanya.
Pinta mereka, “Kami mohon demi menyelamatkan…”
Altamyra mendengus kesal teringat kata ‘menyelamatkan’ itu. Siapa pun yang akan diselamatkannya, ia
tidak peduli lagi. Saat ini untuk menyelamatkan diri sendiri dari panas saja, ia tak mampu. Apalagi yang
lain!?
Demi kata itu pula ia rela meninggalkan tempatnya yang hijau permai dan subur ke daerah yang panas
seperti padang pasir ini. Di tempatnya, angin meniupkan daun-daun tetapi di sini debu saja yang terlihat.
Altamyra merasa sedikit beruntung mereka menggelung rambut pirangnya tinggi-tinggi. Kalau tidak, ia
yakin sekarang ia sudah menjadi manusia setengah matang di tungku matahari ini.
Kereta tiba-tiba berhenti.
Altamyra baru saja menduga para prajurit menemukan tempat yang sejuk untuk berteduh, ketika suara
gaduh itu terdengar di luar.
Suara pedang yang beradu itu membuat Altamyra cemas. Ia ingin meninggalkan kereta tapi pelayan di
sampingnya mencegah.
“Jangan lakukan itu! Di luar terlalu bahaya.”
Melalui jendela pintu kereta, Altamyra melihat pengawal-pengawalnya jatuh satu per satu. Mereka
semua bersimbah darah.
Tiba-tiba seseorang muncul di jendela dan mengejutkan mereka. Mulut orang itu berdarah dan ia
membelalak pada mereka. Perlahan-lahan orang itu jatuh ke bawah.
Pemandangan itu membuatnya tidak tahan lagi. Tanpa menghiraukan larangan, ia membuka pintu kereta
lebar-lebar dan melompat keluar.
Apa yang dilihatnya ternyata lebih mengerikan dari perkiraannya. Mayat-mayat bergelimpangan di
mana-mana. Darah merah yang segar membanjiri tanah.
“Masuklah kembali,” pelayan itu menariknya, “Di sini terlalu bahaya untuk…”
Mereka dikejutkan seseorang yang rubuh di dekat mereka.
Prajurit itu menarik ujung gaun Altamyra dan seperti hendak mengucapkan sesuatu. Belum sempat ia
mengatakannya, sebuah pedang telah menancap di punggungnya.
Ditatapnya dengan marah orang itu. “Beraninya engkau melakukan itu,” geram Altamyra, “Dasar tidak
punya belas kasihan!”
Pria itu tersenyum sinis.
Kemarahannya semakin memuncak. “Apakah menurutmu nyawa manusia itu sedemikian murahnya!?
Apakah bagimu nyawa itu tidak ada harganya!? Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkannya!?”
Pria itu terkejut melihat air mata gadis itu.
“Apakah engkau tidak dapat berpikir!? Bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkannya? Apakah kau
tidak dapat berpikir betapa sedihnya mereka kalau ia pulang hanya nama!?”
Dari atas kudanya, pria itu membungkuk. Tangannya terulur ke wajah Altamyra tapi ia menepisnya
dengan penuh kemarahan. Pria itu tertawa sinis.
Sang pelayan memegang lengan Altamyra dengan ketakutan. “Sebaiknya kita tidak membuatnya marah,”
bisiknya.
“Siapa yang mengatakan aku tidak punya belas kasihan?” pria itu berkata tajam, “Kalian beruntung, aku
tidak pernah membunuh anak-anak dan wanita.”
“Bagus kalau engkau menyadarinya!” balas Altamyra sinis.
Pria itu tersenyum simpul.
Altamyra terkejut tiba-tiba tubuhnya diangkat.
“Lepaskan aku!” serunya marah, “Aku tidak sudi kausentuh!”
Ia hanya tersenyum sinis menghadapi rontaan Altamyra. “Sekarang engkau tawananku.”
“Aku tak sudi menjadi tawanan pembunuh sepertimu!”
“Kembalilah pada keluarga majikanmu dan katakan putri mereka kini menjadi tawananku,” kata pria itu
sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Altamyra.
“Mundur!” perintah pria itu lalu ia membawa kudanya berlari ke dalam hutan.
Pelayan itu terpaku di tempatnya. Semua terjadi sangat cepat. Ia masih sukar mempercayai apa yang
baru saja dialaminya.
Gadis itu tiba-tiba diangkat ke kuda pria itu dan dibawa pergi sebagai tahanan. Dari kejauhan terlihat ia
terus meronta-ronta.
“Lepaskan aku!” bentaknya.
Pria itu tak bergeming. Ia terus memacu kudanya secepat mungkin menjauhi tempat perkelahian tadi.
“Lepaskan aku!”
“Sebaiknya engkau diam atau aku akan meninggalkanmu di sini.”
Altamyra tidak takut pada ancaman itu. Dengan lantang ia berkata, “Lebih baik ditinggal di sini daripada
duduk di dekat pembunuh sepertimu!”
Pria itu tersenyum sinis dan semakin mempererat pelukannya.
Altamyra marah besar. Ia membenci tubuhnya yang kurus kecil. Kalau ia gemuk, pria itu takkan dengan
mudah mengangkatnya ke kudanya. Kuda itu juga pasti kelelahan berlari sambil membawanya.
“Dasar pengecut!” gerutunya, “Beraninya hanya bersikap kasar pada wanita! Dasar tidak sopan!”
Melihat pria itu diam saja, ia semakin gencar melontarkan kejengkelannya. “Pembunuh! Sadis! Tidak
tahu aturan! Kasar! Pengecut! Tidak punya hati! Penakut! Licik! Kejam!”
Kediaman pria itu membuat Altamyra semakin bersuka ria dengan kejengkelannya. Ia semakin lantang
menyemburkan ejekan-ejekannya.
“Manusia berdarah dingin, amoral, asusila, penipu, penakut, lemah, lamban.”
Orang-orang yang mengikuti mereka terheran-heran mendengar serentetan kata yang terus meluncur dari
mulut mungil itu.
Perhatian mereka membuat Altamyra semakin senang dan bersemangat untuk meneruskan.
Segala macam kata yang terlintas di benaknya, disebutkannya begitu saja. Ia tidak peduli apakah ia
sudah mengatakannya. Ia juga tidak peduli pada orang-orang yang semakin tertarik mendengarnya.
Bahkan, ia tidak lagi mempedulikan pria di dekatnya yang diejeknya tanpa henti.
“Cukup!” akhirnya kesabaran pria itu habis.
Kata-kata yang penuh kemarahan itu tidak membuat si gadis diam. Ia terus mengoceh tanpa henti.
“Apakah ejekan-ejekanmu itu belum cukup?”
“Belum!” sahutnya lantang. “Engkau memang manusia kejam yang berdarah dingin dan pengecut!
Engkau pembunuh paling kejam dari yang terkejam! Engkau lebih kejam daripada si serigala itu!”
“Cukup!” bentaknya tak mau kalah. “Kalau engkau tidak mau diam, aku akan menunjukkan padamu
bagaimana kejamnya aku.”
“Lakukan saja dan aku akan menganggap engkau tidak pantas menjadi pahlawan rakyat!” tantang
Altamyra.
“Bungkam saja dia, Erland.”
“Jangan khawatir, Fred, aku bisa menanganinya.”
“Lakukan kalau engkau bisa! Engkau takkan bisa membungkamku.”
“Engkau menantangku?”
Mata biru Altamyra bersirat tajam. Sinar matanya menampakkan kemarahannya yang meluap-luap.
Wajah cantiknya menantang penuh keberanian.
Erland tersenyum kejam. Matanya seperti menyimpan rahasia yang sangat kejam.
“Kaupikir aku takut dengan tatapanmu itu?” ejek Altamyra, “Tatapan milik pengecut sepertimu tidak
patut ditakuti! Engkau hanya berani menculik wanita lemah dan membunuh orang yang tak berdaya!
Engkau tidak pantas menjadi pejuang rakyat!”
“Engkau yang membuatku melakukannya, jangan salahkan aku,” desis Erland kejam.
Altamyra terkejut. Ia sama sekali tidak menduga pria itu berani meninju perutnya. Altamyra menatap
Erland dengan penuh kemarahan dan mendesiskan kata “Pengecut!” dengan geram sebelum akhirnya ia
jatuh pingsan.
“Akhirnya dia diam juga,” kata Fred, “Kukira aku harus mendengar ocehannya sepanjang jalan. Tak
kukira ada yang lebih cerewet dari Cirra. Tapi aku lebih tak menduga engkau akan membungkamnya
dengan cara itu.”
“Gadis seperti dia sekali-kali harus diberi pelajaran agar tidak angkuh seperti itu.”
Fred menatap Altamyra yang kini tergolek lemas di pelukan Erland. “Kalau ia diam seperti ini, ia
kelihatan manis,” kata Fred sambil tersenyum.
“Mulutnya lebih tajam dari pisau manapun,” bantah Erland.
“Kalau orang melihatnya saat ia seperti ini, ia takkan menduga kalau gadis ini punya ratusan, ribuan
bahkan mungkin jutaan kata yang lebih tajam dari pisau.”
Erland tiba-tiba tertawa. “Ia setan cilik,” katanya.
-----0-----
Altamyra terbangun oleh rasa sakit di perutnya. Samar-samar ia ingat seorang pria bertubuh besar
memeluknya. Pria itu pula yang menawannya dan meninjunya.
Kemarahannya bangkit lagi ketika teringat kekasaran dan kekejaman pria yang bernama Erland itu.
Sekarang tidak hanya perutnya yang sakit. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit.
Dalam kegelapan yang pekat ini, Altamyra sulit mengenali posisinya. Tetapi, Altamyra dapat merasakan
dinding dan lantai batu yang menjadi sandaran tubuhnya.
Altamyra merasakan perih di pergelangan tangan dan kakinya. Tanpa perlu melihatnya, Altamyra yakin
ia diikat kuat-kuat.
Altamyra tersenyum sinis. “Rupanya ia takut aku kabur,” katanya pada dirinya sendiri dengan penuh
kepuasan.
Dengan tangan dan kaki terikat kuat-kuat, Altamyra mencoba duduk. Walau tangannya terasa perih
setiap ia menggerakkannya, Altamyra tak mau menyerah.
Setelah berhasil mendudukkan dirinya, Altamyra menempelkan telinga di dinding dan mencoba
mengenali suasana di luar.
Altamyra jengkel. Ia sama sekali tidak dapat mendengar apa-apa. Rupanya dinding batu itu sangat tebal.
Altamyra menarik kedua kakinya merapat ke badannya dan mendesah panjang.
Entah mengapa ia mau melakukan semua ini. Sekarang ia sendiri yang merasakan akibatnya. Walaupun
ini untuk menyelamatkan orang lain, ia takkan mendapat hadiah atas pengorbanannya ini.
Pintu tiba-tiba terbuka lebar.
pintu.
“Engkau sudah sadar rupanya,” pria itu mendekatinya, “Baguslah kalau begitu. Sekarang ikut aku,
Pangeran ingin berbicara denganmu.”
Altamyra menepis dengan kasar tangan pria itu. “Katakan padanya aku tidak sudi menemuinya.”
“Engkau memang sekasar yang mereka katakan,” gerutu pria itu, “Aku ingin tahu bagaimana engkau
menghadapi kemarahanku.”
“Silakan,” kata Altamyra sinis, “Aku juga ingin tahu pria selemah engkau bisa marah seperti apa.”
Hinaan Altamyra tepat mengenai sasaran. Pria itu naik pitam dan berkata lantang, “Aku ingin tahu
apakah engkau masih keras kepala kalau aku tidak memberimu makan malam.”
“Silakan,” balas Altamyra dengan senyum manis, “Seminggu tidak makan pun tidak masalah bagiku.
Sebaliknya, aku semakin senang karena ajal makin cepat mendatangiku. Itu artinya aku tidak perlu
berlama-lama berada di dekat orang-orang pengecut seperti kalian.”
Altamyra mendengar geraman pria itu sebelum ia membanting pintu keras-keras.
Gadis itu tersenyum puas akan hasil tindakannya. Di saat ia marah seperti ini, tidak ada lagi yang dapat
membuatnya gentar.
Pria itu salah kalau menduga ia akan memohon-mohon bila tidak diberi makan. Mereka semua salah
kalau menduga ia akan menderita karena lapar.
Ia bukan orang kaya yang selalu makan kenyang tiga kali sehari. Setiap hari dalam kehidupannya, ia
tidak pernah makan kenyang. Bahkan, tidak jarang ia tidak makan selama berhari-hari.
Makanan termurah pun bagi keluarganya adalah sangat mahal. Untuk dapat memperoleh semangkuk
makanan, mereka harus berusaha mati-matian. Bahkan, sering mereka terpaksa meminjam uang pada
tetangga.
Mereka salah kalau mengira ia tidak tahan dengan siksaan seperti ini. Baginya siksaan seperti ini tidak
ada sepersepuluh penderitaan yang telah dialaminya.
Kehidupannya jauh lebih menderita daripada duduk terikat seperti ini. Satu hari baginya bisa terasa
seperti satu musim kemarau panjang.
Walau ia tidak bebas setidaknya ia tidak perlu mengkhawatirkan atap rumah yang seperti akan terbang
bila tertiup angin, dinding kayu yang siap roboh sewaktu-waktu, ataupun atap rumah yang selalu bocor
dalam hujan deras.
Keadaan Altamyra saat ini jauh lebih baik daripada dulu. Dulu ia tidak punya bantal yang empuk untuk
tidur mau pun kasur yang nyaman. Kini pun ia tidak punya tetapi baju tebalnya masih dapat digunakannya
sebagai alas tidur sekaligus bantal.
Duduk di atas lantai batu dengan gaun tebal ini, Altamyra merasa seperti duduk di kursi yang agak
empuk.
Altamyra menutup matanya dan tersenyum puas. Ia ingin tahu sampai sejauh mana mereka
menelantarkannya.
Mereka tahu perannya sangat penting untuk menekan kekuasaan Raja Wolve yang kejam. Tetapi
mereka tidak tahu ia bukan sang putri bangsawan yang mereka incar itu. Ia hanya berperan sebagai dia.
Saat ini sang putri sedang bersenang-senang di pelukan keluarganya. Putri yang dikabarkan menjadi
pengganti Raja Wolve itu sangat penting bagi para pemberontak ini untuk menekan Raja Wolve, tirani
yang kejam.
Selama mereka tidak tahu siapa dia, mereka pasti tidak berani menelantarkannya. Mereka pasti tahu
menelantarkannya sama saja dengan menggagalkan rencana mereka yang bagus.
Altamyra benar-benar puas menyadari semua kunci penting dalam rencana mereka ada padanya. Ia
puas dapat dengan leluasa menumpahkan semua kemurkaannya atas kekejian mereka yang telah
membunuh pengawal-pengawalnya.
Mereka boleh saja membenci Raja Wolve, tetapi mereka tidak berhak membunuh bawahan Raja
Wolve. Para prajurit itu belum tentu menyanjung Raja sepenuhnya. Kalau bukan demi nyawa dan
keluarga, mereka pasti telah melawan Raja.
Raja Wolve memang kejam tetapi belum tentu bawahannya juga kejam. Mereka bertindak menurut
perintah Raja yang jauh lebih kejam dari serigala itu. Raja yang tega membunuh putra kandungnya
sendiri.
Altamyra tidak dapat memaafkan Erland dan teman-temannya yang ternyata sama kejamnya dengan
Raja Wolve.
Kemarahannya akan mempersulit mereka mencapai tujuannya. Altamyra tidak akan membuat segalanya
menjadi mudah bagi mereka. Tidak peduli apa pun ancaman mereka.
Suara ramai di luar membangunkan Altamyra dari tidurnya.
Udara pagi yang sejuk membuat Altamyra merasa lebih segar. Tetapi udara dingin itu tidak dapat
menyurutkan api kemarahan di dada Altamyra.
Cahaya matahari pagi menerobos jendela kecil menembus kegelapan ruang kecil yang lembab itu.
Dengan susah payah, Altamyra berusaha berdiri dan mengintip suasana di luar melalui jendela kecil yang
hanya cukup bagi sepasang mata untuk mengintip ke luar itu.
Altamyra tersenyum sinis melihat terali jendela yang rapat dan kokoh itu. “Mereka benar-benar khawatir
aku kabur,” katanya sinis.
Pemandangan di luar yang dilihatnya berbeda dengan bayangannya. Orang-orang tua muda, laki-laki
wanita berlalu lalang di luar.
Yang wanita sibuk membuat sarapan dengan tungku api unggun. Sementara itu para pria menyerahkan
hewan-hewan hasil buruan mereka untuk dimasak. Anak-anak berlari-lari dengan senang.
Tenda-tenda tempat mereka tidur tampak rapuh. Peralatan masak mereka yang sederhana menunjukkan
sulitnya hidup mereka. Baju mereka kusam, compang-camping bahkan kekecilan. Semua itu
menampakkan kemiskinan mereka.
Altamyra mendesah panjang.
“Kau puas melihat mereka?”
Altamyra memalingkan kepala mendengar kata-kata sinis itu tetapi ia segera membuang pandangannya
ketika mengetahui Erland yang mengajaknya bicara. Daripada berbicara dengannya, Altamyra lebih
senang mengawasi kehidupan mereka yang jauh lebih menderita dari dirinya sendiri.
“Engkau memang keras kepala. Tidak salah kalau Jemmy tidak memberimu makan malam,” kata Erland
sinis, “Aku ingin tahu sekeras apa kepalamu.”
Altamyra tidak takut menghadapi ancaman itu. Ia menghadap Erland dan tersenyum manis.
“Baik,” geram Erland, “Kita lihat seberapa keras dirimu.”
Altamyra tidak dapat menahan tawanya mendengar ancaman itu. Baginya yang saat ini sedang murka,
ancaman itu hanya angin sepoi-sepoi yang meniup wajahnya.
Ia yakin mereka juga tidak akan menelantarkannya. Mereka cukup pintar untuk mengetahui pentingnya
dirinya dalam rencana mereka. Ia adalah pion penting untuk menskak mat Raja Wolve.
Sayangnya, mereka tidak cukup pintar untuk menyadari mereka telah tertipu.
Erland menutup pintu dengan keras dan membuat Altamyra semakin senang.
Altamyra puas bisa membuat Erland marah besar. Ia puas dapat membalaskan dendamnya.
Samar-samar Altamyra mendengar suara ribut di luar. Ia tahu orang-orang itu mengira ada yang tidak
beres dengan dirinya tetapi ia tidak peduli.
Walau ia terikat, bukan berarti ia tidak bebas untuk mengatakan apa yang ada di hatinya.
Ia dibesarkan sebagai burung yang bebas terbang ke mana saja. Ia ditempa dalam suasana yang serba
sulit. Ia dibentuk menjadi gadis kuat yang tak kenal takut.
Tidak seorang pun yang dapat mengikatnya termasuk tali kasar yang terbuat dari sabut kelapa ini.
Simpul ikatan di kaki maupun tangannya sangat erat dan terlihat sukar dibuka. Tetapi, Altamyra tidak
mau putus asa sebelum mencoba.
Dengan gerak tangannya yang terbatas, Altamyra berusaha melepaskan ikatan kakinya yang menyiksa
kulit kakinya. Tangannya terasa perih tiap kali ia menggerakkannya tetapi Altamyra tidak mau berhenti
berusaha.
Pekerjaan yang mula-mula terasa membosankan lama kelamaan mejadi kesibukan yang menyenangkan
Altamyra. Ia merasa seperti bermain dengan teka-teki yang rumit.
Kekasaran mereka padanya membuat Altamyra semakin ingin mempersulit mereka.
Altamyra merasa kepanasan. Ia menyeka keringat di dahinya. Saat itulah jeritan kecil terlontar dari
mulutnya.
Altamyra terpana melihat darah di tangannya. Usahanya untuk membuka ikatan kakinya ternyata
membuat pergelangan tangannya terluka oleh tali kasar itu.
Dipandanginya darah yang masih mengalir itu. Dalam hati ia berkata, “Mereka terlalu khawatir hingga
bertindak sekejam ini.”
Saat ini yang bisa dilakukannya adalah menanti matahari yang menyinari ruangan itu mengeringkan
darahnya.
Altamyra bersandar di dinding sambil mengawasi darahnya yang perlahan-lahan mengering dan
meninggalkan noda di gaun sutranya.
Noda darah kering di kain sutra sangat sulit dihilangkan. Mereka pasti marah karenanya. Gaun yang
indah ini telah ternoda oleh darahnya.
Altamyra mengejek dirinya sendiri yang mau melakukan semua ini. Pengorbanannya yang besar ini tidak
akan mendapat hadiah apa-apa tetapi ia mau dan telah melakukannya.
Dalam keheningan itu, Altamyra menyadari keadaan di luar lebih sepi dari tadi. Ia mengintip keluar.
Matahari telah tinggi. Api-api unggun telah dimatikan. Para wanita duduk bergerombol sambil
mengerjakan sesuatu. Anak-anak bermain tiada henti. Tetapi, para pria tidak nampak seorang pun. Ia
bertanya-tanya ke mana mereka pergi.
“Inikah wanita yang berani menghina Erland?”
Altamyra membalikkan badan.
Seorang wanita cantik melotot pada Altamyra dengan penuh keangkuhan. Mata hijau kelamnya
menyiratkan rasa jijiknya. Wanita itu tampak sangat cantik dengan rambut pirang tuanya yang nyaris
coklat.
“Engkau beruntung Erland tidak membunuhmu.”
“Sebaliknya,” kata Altamyra tenang, “Aku merasa lebih beruntung mati daripada harus bertemu pria
sepengecut dia.”
“Kau!” geram wanita itu, “Baik, aku akan menuruti permintaanmu.” Kemudian pada wanita di
belakangnya ia berkata, “Bawa kembali makanannya!”
“Tapi, Cirra, kita diperintahkan…”
“Untuk apa kita khawatir,” potong wanita itu tajam, “Para pria saat ini sedang berburu. Mereka akan
kembali besok bahkan mungkin lusa.”
“Kita…”
Lagi-lagi wanita itu berkata tajam, “Aku bilang tidak! Aku ingin dia tahu bagaimana rasanya mati karena
kelaparan itu.”
Altamyra tertawa geli. Tawanya memenuhi ruang kecil itu dan membuat wanita yang dipanggil Cirra itu
melotot sedangkan wanita satunya terheran-heran.
“Engkau akan melihat dampaknya,” kata Altamyra lembut. “Pasti!”
Cirra melotot lalu pergi meninggalkan Altamyra.
Sinar menyilaukan yang tiba-tiba memasuki ruangan itu membuat Altamyra terjaga.
“Dasar putri bangsawan!” kata pria itu, “Kerjanya hanya tidur saja!”
Altamyra tidak menghiraukannya.
Hari ini adalah hari ketiga ia disekap dalam ruangan lembab ini dan artinya sudah dua hari ia tidak makan
dan harus menahan rasa sakit di pergelangan tangannya.
Melihat pria itu, Altamyra dapat menduga ia dan kaum pria lainnya baru tiba dari perburuan. Pria itu
masih menyandang kapak berburunya. Wajahnya tampak kotor dan lelah.
Pria itu mendekati Altamyra. “Pangeran ingin bertemu denganmu.”
Saat ini Altamyra mungkin saja kehabisan tenaga. Seluruh tenaganya digunakannya untuk menahan lapar
dan sakit. Tetapi, kemarahannya belum surut. Kemarahan itulah yang membuatnya mampu menempis
tangan pria itu kuat-kuat.
“Aku tidak sudi!” kata Altamyra tajam.
“Jangan memaksaku bertindak kasar padamu, Lady.”
Altamyra menatap tajam pria itu sebagai balasan atas ancamannya.
Pria itu geram dibuatnya.
“Minggir!” perintah seseorang, “Biar kutangani sendiri dia.”
Pria itu menepi. “Tidak perlu, Pangeran, saya dapat mengatasinya.”
Altamyra melotot mendengar pria itu memanggil Pangeran pada Erland. Dan, ia tertawa geli.
Pria itu heran tetapi Erland tidak.
“Sudah kuduga untuk mengatasinya, aku harus turun tangan sendiri,” kata Erland, “Tinggalkan kami
berdua.”
“Baik, Pangeran.”
Sepeninggal pria itu, Erland berkata, “Sudah cukup hinaanmu itu?”
Altamyra membuang muka.
“Aku ingin berbicara denganmu.”
Altamyra tidak bergeming sedikitpun.
“Sebaiknya engkau menurutiku, engkau sudah merasakan bagaimana akibatnya.”
Sayangnya, Altamyra adalah gadis yang tak kenal takut.
Erland mendekati Altamyra. Ia memalingkan wajah gadis itu menghadapnya, tapi Altamyra menepisnya
kuat-kuat.
“Engkau memang setan cilik,” geram Erland. Lalu Erland mengangkat Altamyra.
“Turunkan aku!” protes Altamyra, “Turunkan! Aku tidak sudi kau sentuh!”
Erland tidak mempedulikan teriakan Altamyra. Ia terus membawa Altamyra ke ruangan pribadinya di
tingkat dua.
“Turunkan aku!” seru Altamyra tanpa henti. Tangannya yang terikat erat terus memukul dada Erland dan
membuat darah segar kembali mengalir. Tetapi, Altamyra tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Erland
menurunkannya.
Akhirnya Erland menurunkan Altamyra. Ia mendudukkan Altamyra di tepi pembaringan.
“Sekarang kita sudah jauh dari orang-orang. Di sini tidak akan ada yang mendengar kita, engkau dapat
mengatakan apa yang membuatmu terus membangkang dan tidak mau bekerja sama.”
Altamyra tidak mau berbicara apa pun. Ia membuang muka.
“Kau tahu aku ingin berbicara denganmu.”
“Dan aku tidak sudi,” akhirnya Altamyra menyahut.
“Engkau harus,” kata Erland berbahaya, “Aku akan membuatmu mau bekerja sama denganku.”
“Aku tidak sudi bekerja sama dengan pengecut sepertimu!” seru Altamyra, “Daripada berbicara
denganmu, lebih baik engkau tidak memberiku makan sama sekali! Dua hari lagi tidak makan, tidak
masalah bagiku. Sebaliknya, aku senang. Aku lebih cepat mati.”
Erland tiba-tiba mencengkeram kedua lengan Altamyra.
Altamyra mendorong tubuh Erland kuat-kuat. “Daripada berbicara denganmu, lebih baik aku mati!”
Mata Erland menangkap noda darah di tangan Altamyra. Ia menangkap tangan gadis itu dan terkejut
melihat darah segar di pergelangannya.
“Terkejut?” ejek Altamyra, “Mengapa terkejut melihat hasil kekasaranmu?”
Erland diam saja. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan memotong simpul ikatan tangan
Altamyra. Sorot matanya terlihat penuh penyesalan melihat tangan Altamyra yang terluka.
“Puas?”
“Kalau ini dapat membuatmu jera, aku puas,” jawab Erland, “Tapi kau, setan cilik, engkau tidak jera,
bukan?”
Altamyra menjawabnya dengan senyum nakal.
“Tunggu di sini,” kata Erland, “Kuperingatkan engkau untuk tidak kabur.”
Altamyra tersenyum sinis ketika Erland meninggalkan kamar.
Bisa dipastikan pria itu sama sekali tidak tahu Cirra telah melanggar perintahya. Ia tampak terkejut
ketika ia mengatakan dua hari lagi tidak diberi makan, ia tidak apa-apa.
Altamyra melihat jendela terbuka lebar dan di bawah sana yang tampak hanya beberapa anak kecil. Ia
yakin mereka tidak akan tahu kalau saat ini ia kabur, tetapi ia tidak mau melakukannya. Pembalasan
amarahnya belum selesai.
Tak lama kemudian Altamyra mendengar langkah-langkah kaki mendekat.
“Mengapa engkau mengikatnya erat-erat, Jemmy?” terdengar Erland bertanya.
“Kata Anda, wanita ini berbahaya dan harus dijaga ketat. Saya pikir dengan diikat erat, ia tidak akan
kabur.”
“Ikatanmu membuat tangannya terluka,” Erland memberi tahu dengan sabar.
“Biar saja!” sahut seorang wanita.
Dari nadanya, Altamyra dapat mengenali suara itu.
“Aku senang tangannya terluka.”
“Lebih baik engkau diam, Cirra,” Erland memberi peringatan, “Engkau telah melanggar perintahku dan
aku belum memperhitungkannya denganmu.”
“Siapa yang mengatakannya padamu?” bentak Cirra, “Wanita itu. Ya, pasti dia. Bagaimana engkau
dapat mempercayainya?”
“Tanpa perlu bertanya, aku sudah tahu,” Erland berkata tajam, “Ia lebih kurus daripada sebelum aku
meninggalkannya.”
“Mengapa engkau memperhatikannya? Apakah ia sangat penting bagimu?”
“Ya,” sahut Erland, “Ia sangat penting bagiku dan bagi rencana kita!”
Altamyra tersenyum simpul dugaannya tepat. Semuanya, tidak ada yang salah.
Cirra telah merasakan dampak tindakannya, seperti yang telah diduganya. Erland dan kelompoknya
akan memanfaatkannya untuk menekan Raja Wolve.
Erland masuk dengan membawa kain pembalut dan obat serta baskom berisi air. Ia meletakkan semua
itu di sebelah kaki Altamyra dan mengambil tangan Altamyra.
Tiba-tiba Erland teringat sesuatu. Ia meletakkan tangan Altamyra dengan hati-hati dan menyingkap ujung
gaun gadis itu.
Memar di kaki Altamyra membuatnya mendesah panjang. “Maafkan aku. Aku sama sekali tidak
mengetahui hal ini.”
Altamyra terlalu jengkel untuk menanggapi. Ia membiarkan Erland merawat luka-lukanya. Altamyra
merasa tidak patut berterima kasih karena Erland harus menebus kekasaran-kekasarannya terhadap
dirinya.
“Kupikir lebih baik kita bicara dengan perut terisi,” kata Erland seusai membalut semua luka Altamyra.
Gadis itu diam saja. Bahkan, ia sama sekali tidak bergerak ketika Erland kembali dengan dua wanita
yang masing-masing membawa makan siang untuk mereka.
Erland menunjuk meja tempat mereka harus meletakkan makan siang itu.
Setelah melakukan tugasnya, kedua wanita itu pergi.
“Kuharap engkau tidak berkeberatan untuk makan siang bersamaku.”
Altamyra tidak bergeming.
Erland heran. “Sebenarnya, apa yang membuatmu keras kepala seperti ini? Apakah engkau sama sekali
tidak lapar? Atau engkau tidak mau makan siang bersamaku?”
Suasana hening hingga Erland berkata, “Baiklah, aku minta maaf atas semua tindakanku padamu selama
ini. Engkau puas?”
Altamyra tetap mematung.
“Baiklah, engkau tidak mau makan bersamaku.” Erland mendekat Altamyra. Ia mengambil sebuah kursi
dan duduk di depan Altamyra.
“Aku langsung saja berbicara mengapa aku menculikmu,” kata Erland. “Semua orang di kerajaan ini
tahu setelah Raja Wolve meninggal, engkau akan menjadi penggantinya. Putra Mahkota sudah lama
meninggal dan satu-satunya orang yang berkerabat dekat dengan Raja adalah engkau.”
“Sebagai calon pengganti Raja, kedudukanmu sangat penting dan Raja pasti memperhatikan
keselamatanmu. Itulah yang ingin kumanfaatkan darimu. Raja Wolve sangat kejam, engkau telah melihat
sendiri bagaimana sulitnya hidup rakyat karena ketamakan dan kekejamannya.”
“Hidup orang-orang di tempat ini masih lebih baik daripada orang-orang miskin lainnya. Di sini mereka
masih dapat makan dengan teratur tetapi tidak dengan yang lain. Kamu semua menderita karena pajak
yang banyak dan terlalu tinggi.”
“Bertahun-tahun aku telah menanti kesempatan seperti ini dan aku takkan melepaskannya begitu saja.
Aku ingin kerjasamamu untuk menekan Raja Wolve. Kalau aku berhasil, Raja Wolve akan digulingkan
dan aku akan membentuk pemerintahan yang lebih baik daripada yang sekarang.”
“Aku ingin kesejahteraan rakyat ditingkatkan, pajak-pajak diturunkan dan dihapus…”
Gagasan-gagasan Erland dipotong oleh tawa Altamyra. “Ide-idemu bagus. Sayangnya, aku bukan dia.”
“Apa yang kau katakan?” tanya Erland tidak percaya.
“Aku bukan Tuan Puteri Prischa,” ulang Altamyra tegas.
“Tidak mungkin!”
“Engkau memang pandai tetapi masih terlalu mudah untuk ditipu. Aku hanya pion pengganti. Aku
dimanfaatkan untuk memancing engkau agar menangkapku.”
“Kau pikir aku bisa kautipu?”
“Sayangnya,” Altamyra menyesal, “Engkau telah tertipu.”
Raut ramah Erland perlahan-lahan berubah menjadi geram.
“Kalau engkau pikir aku bisa kautipu dengan kata-kata itu, engkau salah.”
“Kalau engkau tidak mempercayaiku, engkau bisa memeriksanya sendiri di kediaman mereka. Dan,
engkau akan menemukan saat ini sang Putri bahagia dalam pelukan orang tuanya.”
“Baik, kita akan melihatnya,” kata Erland setelah terdiam cukup lama.
Erland menuju pintu dan berseru memanggil seseorang. “Bawa dia kembali ke selnya dan panggil
Giorgio kemari.”
“Tunggu dulu,” sahut Altamyra. Gadis itu merenggut pena dan kertas di meja kerja Erland lalu berjalan
ke pintu.
Menyadari Erland menatapnya, Altamyra berkata tenang, “Engkau dapat mengawasiku kalau engkau
curiga.”
“Pergi saja,” kata Erland acuh.
Altamyra merasa senang. Erland tampak marah sekali tetapi itu tidak lebih menyenangkan dibandingkan
pekerjaan yang akan dilakukannya. Sekarang ia tidak akan merasa bosan berada di dalam selnya yang
pengap dan lembab itu.
Dua hari berada di sel itu cukup membuat Altamyra tahu bagaimana kehidupan orang-orang di
sekitarnya.
Dari pengamatannya, Altamyra tahu di siang hari saat semua pekerjaan telah usai, para wanita biasanya
berkumpul sambil memintal benang. Mereka masih memintal dengan tangan sedangkan Altamyra tahu
alat untuk memintal.
Penduduk tempat ia berasal adalah pemintal benang. Mereka memintal dengan alat sederhana yang
terbuat dari kayu.
Altamyra ingin sekali membantu mereka yang hidupnya lebih sulit dan menderita daripada dia sendiri. Ia
ingin membagi kepandaiannya dengan orang-orang itu agar mereka dapat hidup lebih baik.
Dari pengamatannya pula Altamyra tahu anak-anak tidak memperoleh ilmu. Hanya sesekali saja mereka
memperoleh pengajaran.
Walau hidup mereka sulit, ibunya tetap berupaya agar ia memperoleh ilmu sebagai bekal kehidupannya
kelak. Pastor di desa mereka sangat baik. Ia menampung semua anak yang tidak mampu dan
memberinya pendidikan secara cuma-cuma. Sekarang Altamyra ingin meniru Pastor itu.
Anak-anak itulah yang kelak akan menggantikan mereka yang kini sudah tua. Apa jadinya kerajaan ini
kalau anak-anaknya bodoh dan tidak tumbuh dengan baik?
Semenjak Erland mengobati luka Altamyra, ia tidak pernah menemui gadis itu lagi. Altamyra senang
karenanya. Dengan demikian, ia bisa dengan tenang memusatkan perhatiannya pada kesibukannya.
Tidak ada orang yang menganggapnya sejak hari itu. Hanya beberapa wanita yang memasuki selnya. Itu
pun untuk mengantar makanan ataupun mengganti perban luka-lukanya.
Walaupun sekarang ia mendapat jatah makan secara tetap, Altamyra sering lalai makan karena
sibuknya.
Bila ia memusatkan perhatiannya pada satu hal, ia cenderung melupakan yang lain termasuk mengisi
perutnya sendiri.
Tidak ada yang mempedulikan Altamyra. Ia tahu semua orang di sini menganggapnya musuh.
Altamyra tidak pernah menghitung berapa lama ia berada di sana, ia hanya merasakan ia sudah lama
berada di tempat ini.
Suatu hari ketika Altamyra menghitung-hitung berapa lama ia berada dalam sel yang gelap dan lembab
ini sambil mengepang rambut panjangnya, seseorang membuka pintu.
Altamyra terkejut melihat yang datang kali ini pria, bukan wanita.
“Engkau punya kesibukan baru rupanya.”
Altamyra tidak mempedulikan suara sinis yang lama tak didengarnya itu. Ia terus mengepang rambutnya.
“Aku punya kabar baik untukmu.”
Sudah dapat ditebaknya Erland datang untuk memberitahu ia benar. Prischa saat ini bersama
keluarganya. Dan itu membuat Altamyra tersenyum sinis penuh kepuasan.
“Mulai hari ini engkau kubebaskan,” lanjut Erland. “Hanya dari sel ini, tidak dari tempat ini,” katanya
menekankan.
Erland meletakkan sesuatu di dekat Altamyra dan berkata, “Sebaiknya engkau menanggalkan gaunmu
dan memakai gaun ini. Di sini engkau tidak pantas mengenakan gaun mewah.”
“Memang tidak,” sahut Altamyra senang.
Erland mengamati beberapa lembar hasil kerja Altamyra.
“Nanti akan kujelaskan,” kata Altamyra, “Sekarang bisakah engkau meninggalkanku? Aku ingin
melepas gaun yang rasanya setahun menempel padaku ini.”
“Seminggu lebih,” Erland membenarkan.
“Terserah,” kata Altamyra, “Dan, bisakah aku meminjam gunting, jarum, dan benang?”
“Untuk apa!?” tanya Erland curiga.
“Penjelasan nanti,” sahut Altamyra.
“Baiklah.” Erland pergi mencarikan barang-barang yang diinginkan Altamyra.
Ketika ia kembali, Altamyra telah berganti baju. Gadis itu juga telah merapikan tumpukan kertasnya
yang tadi berserakan dan kini sedang menggeluti gaun mewahnya.
“Terima kasih,” kata Altamyra manis ketika Erland meletakkan barang-barang itu di sampingnya.
“Sekarang jelaskan padaku apa yang kau lakukan.”
“Aku tidak bisa memerintah sepertimu, tetapi aku bisa membantu rakyatmu. Aku akan membuatkan
mereka alat pintal sehingga produksi benang mereka lebih baik dan bermutu. Yang nantinya akan
meningkatkan harga jualnya.”
“Bagaimana caranya?” tanya Erland tak percaya.
Altamyra tersenyum misterius. “Desaku adalah desa pemintal benang. Aku tak mungkin tidak tahu
seperti apa alat pemintal yang digunakan orang-orang di desaku.”
Altamyra menyerahkan kertas paling atas pada Erland. “Aku telah menggambarnya di sini lengkap
dengan ukurannya.”
Erland mempelajari gambar itu. Sementara itu Altamyra mulai menggunting gaun sutranya yang mahal.
“Apa yang kaulakukan!?” Erland terkejut melihat tindakan Altamyra.
“Selain kayu, kita membutuhkan tali yang baik. Sutra ini bisa menjadi tali yang cukup baik. Ini bukan
sutra terhalus tetapi sutra terbaik.”
Erland mengamati gambar Altamyra lagi lalu berkata, “Aku akan membantumu. Aku membuat
kerangkanya dan engkau membuat talinya.”
Altamyra tersenyum.
“Sebaiknya kita membuatnya di luar. Udara lembab ini tidak baik untuk kesehatan.”
Erland membawakan gaun dan gambar Altamyra. Lalu Altamyra mengikuti Erland meninggalkan
bangunan itu.
Setelah berada di luar, Altamyra baru menyadari bangunan itu hanya rumah batu berukuran sedang
dengan dua tingkat. Tingkat bawah untuk umum dan tingkat atas khusus untuk Erland.
Altamyra memilih sebuah pohon yang cukup rindang lalu duduk di bawahnya.
Erland meletakkan gaun gadis itu di samping Altamya lalu meninggalkannya sendirian.
Altamyra memulai kesibukannya melepas satu per satu jahitan gaunnya yang halus. Kemudian ia
memotongnya kecil-kecil dan menjahitnya menjadi tali kecil rangkap dua yang panjang.
Sementara itu Erland membentuk kerangka alat itu sesuai dengan gambaran Altamyra.
“Tolong kaujelaskan maksudmu dengan tanda ini,” tanya Erland.
“Engkau harus membuat sesuatu seperti poros yang bisa berputar…”
“Erland!”
Percakapan mereka terhenti karenanya.
“Apa yang kalian lakukan? Apa kalian tidak sadar perbuatan aneh kalian itu menarik perhatian kami?”
“Dia punya cara untuk meningkatkan hasil dan mutu benang pintal kita.”
“Benarkah?”
“Lihat saja gambar alat pintal yang dibuatnya ini.”
“Alat pintal?” ulang Fred, “Aku pernah mendengarnya tetapi aku tidak pernah tahu seperti apa rupanya.
Dari mana engkau mengetahuinya?”
“Aku berasal dari desa para pemintal benang,” jawab Altamyra dengan tersenyum.
“Pantas saja engkau tahu,” sahut Fred, “Aku akan membantumu Erland.”
“Aku memang membutuhkan setiap bantuan,” timpal Erland.
“Ayo kita bantu mereka!” seru Fred.
Beberapa orang mulai mendekat membantu Erland. Sementara itu Altamyra masih sibuk sendiri. Semua
orang masih menganggapnya musuh.
Beberapa saat kemudian seorang wanita mendekati Altamyra. “Adakah yang dapat saya bantu?”
tanyanya ragu-ragu.
“Terima kasih, Nyonya. Anda dapat membantu saya membuat tali seperti ini dari kain ini.”
Setelah itu wanita yang lain mulai mendekat dan membantu Altamyra. Altamyra senang melihatnya.
Dengan sabar, ia menjelaskan apa yang sedang dibuatnya. Dan untuk apa alat pintal itu.
“Sayang sekali gaun seindah ini dipotong-potong,” celetuk seorang wanita.
Altamyra tersenyum lembut. “Lebih baik kehilangan satu gaun mahal daripada kehilangan satu-satunya
kesempatan untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Kalau hidup kita lebih makmur, segalanya dapat
kita beli.”
“Di negara ini semuanya mustahil. Raja sangat tamak. Ia takkan membiarkan rakyatnya kaya.”
“Benar,” timpal yang lain, “Ia akan segera merampas harta orang yang kaya untuk menambah hartanya.”
“Percayalah kepadaku segalanya pasti berubah cepat atau lambat.”
“Kalau Raja mati dan Pangeran naik tahta,” tebak Altamyra.
“Benar!” sahut semuanya.
Altamyra termenung. Tangannya terus bergerak menyelesaikan pekerjaannya.
Pekerjaan yang sulit itu akhirnya selesai menjelang petang. Sebagai sentuhan terakhir, Altamyra
memasang tali dengan sabar.
“Mari kita coba sehebat apa daya ingatku,” kata Altamyra sebelum mencoba alat itu.
“Tidak buruk,” gumam Altamyra melihat hasil alat yang dibuat berdasarkan gambarnya itu.
Sebelum meninggalkan tempat yang dikerumuni orang-orang itu, Altamyra memberi petunjuk bagaimana
menggunakannya.
Altamyra bahagia bisa membuat alat yang dapat menolong orang-orang itu. Dengan hati riang, ia kembali
ke selnya.
“Hei! Berhenti!”
Altamyra terus berjalan.
“Kubilang berhenti!”
Altamyra melihat sekelilingnya lalu bertanya, “Akukah yang kau panggil?”
“Benar,” jawab Erland, “Siapa lagi yang berada di sini selain kita, setan cilik?”
“Aku ingin berterima kasih atas…”
“Tidak perlu,” potong Altamyra, “Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan sebagai manusia
yang masih mempunyai hati.”
“Apakah engkau bermaksud menyinggungku?”
Altamyra berjalan lagi. Ia tidak sedang dalam suasana hati untuk bersitegang dengan pria itu. Ia tidak
ingin membiarkan pria ini merusak suasana hatinya yang sedang berbahagia itu.
Erland heran melihat Altamyra kembali ke selnya. “Mengapa engkau kembali ke sini? Bukankah aku
telah membebaskanmu?”
“Ini adalah ruanganku,” jawab Altamyra tenang, “Aku tidak tahu di mana engkau akan menempatkanku
malam ini. Sampai saat itu, aku hanya tahu di mana aku bisa melewatkan malam ini.”
Erland diam memperhatikan Altamyra duduk di lantai dan mulai menulis lagi.
“Sampai saat ini aku belum tahu namamu.”
Altamyra tidak menanggapi.
“Mengapa engkau tidak memberikan namamu agar aku tidak perlu menyebutmu dia atau gadis itu?”
Altamyra masih tidak menanggapi.
Erland mencekal tangan Altamyra. “Kau mendengarkanku?” tanyanya tajam.
“Lepaskan aku,” balas Altamyra, “Engkau menyakitiku.”
Erland tahu ia memegang luka di tangan Altamyra tetapi ia tak melepaskannya. “Jadi, siapa namamu?”
ulangnya.
Altamyra menatap tajam. “Aku tidak sudi engkau menyebut namaku.”
“Engkau mengajakku bermain kasar?”
“Apakah engkau bisa bersikap lembut?”
“Setan cilik,” geram Erland, “Apakah engkau selalu menyebalkan seperti ini?”
“Tidak,” jawab Altamyra lantang, “Aku membencimu dan aku tidak akan pernah memaafkanmu!”
“Apa kesalahanku padamu, setan cilik? Apakah belum cukup permintaan maafku!?”
Altamyra membuang muka dengan angkuh.
“Setan cilik, engkau membuatku marah. Aku peringatkah engkau untuk tidak membuatku marah.”
“Kaupikir aku takut padamu?” Altamyra mendekatkan wajahnya sambil menatap tajam.
Erland tersenyum. Senyumannya mengandung sejuta bahaya yang terpancar di matanya. “Tidak,”
katanya setuju, “Setan cilik sepertimu tidak pernah kenal takut.”
“Bagus,” kata Altamyra puas, “Engkau sudah mengerti benar hal itu.”
“Aku juga tahu engkau tidak sudi kupanggil dengan namamu. Lebih-lebih engkau tidak sudi kusentuh.”
Altamyra tersenyum puas.
“Jangan salahku aku kalau aku memanggilmu setan cilik.”
“Setan cilik,” gumam Altamyra. “Setan cilik pasti orang tuanya setan besar.” Altamyra tersenyum manis
dan berkata, “Aku suka itu.”
“Kau!” geram Erland.
Erland mendorong Altamyra dengan kasar hingga gadis itu terbaring di lantai. “Mulutmu yang tajam itu
sesekali perlu diberi pelajaran.”
Jantung Altamyra berdegup kencang. Erland berbicara sangat dekat dengan mulutnya hingga Altamyra
dapat merasakan setiap gerakan bibir Erland.
Altamyra mengkhawatirkan tindakan Erland selanjutnya tetapi ia tidak mau membuat Erland senang
dengan menampakkannya.
Erland tersenyum kejam melihat sorot mata Altamyra yang tajam. “Engkau membuatku kagum, setan
cilik.” Lalu ia mencium Altamyra dengan kasar.
Mula-mula yang dilakukan Altamyra adalah terkejut. Namun, ia segera sadar dan mulai meronta-ronta.
Walaupun tahu tubuhnya yang kecil tidak akan menang melawan tubuh tegap Erland yang menindihnya,
Altamyra tidak mau berhenti. Ia terus meronta-ronta sekuat tenaganya.
Altamyra tidak sudi dicium Erland. Ia marah pada pria itu dan ia lebih marah lagi karena pria yang paling
dibencinya itu menjadi pria pertama yang menciumnya.
Akhirnya Erland menghentikan ciumannya. Ia tersenyum puas melihat Altamyra.
“Aku membencimu,” desis Altamyra, “Sampai mati pun aku tidak akan memaafkanmu.”
Erland hanya tertawa mendengarnya.
Altamyra menjadi murka. “Engkau tidak pantas memimpin pemberontakan terhadap Raja. Engkau tidak
lebih baik darinya!”teriaknyalantang.
“Berteriaklah sampai engkau puas. Takkan ada yang mendengarmu.” Erland meninggalkan tawanya
yang kejam di ruang sempit itu.
Altamyra membenci kekejaman Erland itu.
“Medice, cura te ipsum!” seru Altamyra “Lupus est homo homini!”
“Sudah puas memandangiku?”
Altamyra membuang mukanya.
“Aku merasa tersanjung engkau terus memperhatikanku sepanjang hari ini,” kata Erland sinis.
“Engkau terlalu kejam untuk dipandang,” balas Altamyra.
Erland melihat kain di pangkuan Altamyra.
Sebelum Erland menyentuh pekerjaannya, Altamyra menyingkir. “Pergilah jauh-jauh. Jangan merusak
hari bahagiaku.”
Erland tersenyum sinis. “Aku ragu setan sepertimu bisa bahagia dengan duduk-duduk saja.”
Altamyra mengacuhkan kata-kata kejam itu.
“Banyak juga hal baik yang telah dilakukan setan sepertimu, Rara.”
Altamyra menatap tajam Erland.
Erland tertawa kejam. “Kaupikir aku tidak tahu? Banyak yang akan memberitahuku. Jangan lupa di sini
aku adalah penguasanya. Semua orang patuh padaku.”
“Manusia kejam,” desis Altamyra.
Bagi orang lain Erland adalah pahlawan mereka. Altamyra mengakui ia adalah pria yang tampan tapi
tidak mau mengakui kebaikan hati Erland. Ia telah melihat sendiri kekejaman Erland dan ia tidak akan
memaafkannya.
Pria itu memang berani. Dari jutaan rakyat Vandella, hanya ia yang secara terang-terangan memberontak
pada Raja Wolve. Ia adalah pria yang pandai. Ia membuat kemahnya di lereng gunung yang terjal dan
tertutup hutan lebat.
Kekasaran dan kekejaman pria itu memuakkannya.
“Aku yakin nama lengkapmu Mara. Orang tuamu tepat. Engkau memang sepahit namamu.”
Altamyra tersenyum manis. “Jadi,” katanya lembut, “Engkau sudah puas?”
“Engkau ingin memulainya lagi, setan cilik?” Erland mencekal lengan Altamyra.
“Lepaskan aku,” desis Altamyra, “Aku tidak sudi disentuh manusia sekejam engkau.”
Erland mendekatkan wajahnya ke wajah Altamyra. Mata kelabunya menembus tajam mata biru cerah
Altamyra.
Altamyra membalasnya dengan tatapan yang sama tajamnya.
Tak seorang pun di antara mereka yang bergerak hingga akhirnya Erland melepaskan Altamyra.
“Engkau beruntung sekarang kita di luar,” desisnya lalu meninggalkan Altamyra.
“Aku lebih beruntung bila tak melihatmu selama-lamanya!” teriak Altamyra.
Erland terus berlalu tanpa menoleh.
“Dasar wanita!”
Fred mendengar gerutuan itu. “Adaapa?”
“Setan cilik itu benar-benar membuatku jengkel.”
Fred tersenyum. “Sudahlah, Erland. Engkau tidak perlu berpura-pura. Semua orang di sini tahu engkau
menyukainya.”
“Jangan bermimpi!” bantah Erland, “Gadis itu hanya bisa membuatku jengkel.”
“Benarkah itu?”
“Dia adalah setan cilik yang harus kuhindari,” kata Erland tegas.
“Baguslah bila demikian halnya,” kata Fred puas.
“Bagus?”
“Aku akan jujur padamu. Aku menyukainya. Ia adalah satu-satunya gadis yang paling menarik yang
pernah kutemui. Walau kata-katanya tajam, ia pandai dan cekatan.”
“Ia adalah iblis yang harus dihindari, Fred.”
“Ia adalah gadis cantik yang menarik,” bantah Fred, “Kalau engkau memang tidak menyukainya, jangan
menjelek-jelekannya. Masih banyak yang mau menjadi suaminya kalau engkau tidak mau.”
“Apa katamu!?”
“Hampir semua pria di sini tertarik pada Rara. Tetapi demi engkau, kami semua mundur. Engkau dan
Rara sangat cocok, tetapi karena engkau sendiri yang berkata membencinya, aku akan maju sebelum
disaingi yang lain. Aku berterima kasih engkau menjadikan aku orang pertama yang mengetahuinya.”
“Aku tidak percaya kalian semua telah terjerat olehnya,” seru Erland, “Mengapa kalian bisa sedemikian
bodoh?”
“Jangan berkata seperti itu, Erland. Semua orang di sini tahu engkau mencintainya. Tindakanmu, caramu
memandangnya telah menunjukkan cintamu. Hanya dengan dia engkau bisa bertengkar sehebat itu.
Hanya Rara yang mampu menghinamu tanpa membuatmu marah. Aku yakin akan berbeda halnya kalau
Cirra yang menghinamu.”
“Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura, Erland. Kami semua tidak buta dan tidak tuli. Pertengkaran hebatmu malam yang
lalu terdengar oleh kami semua. Walau kami tidak tahu apa arti kata yang diucapkan Rara, kami tahu ia
menghinamu.”
Erland diam saja.
“Jangan diam saja, Erland. Aku yakin engkau mengerti apa yang diucapkan Rara.”
“Engkau ingin tahu?”
“Tepat sekali!”
Erland terdiam sejenak lalu berkata, “Tabib, sembuhkan dirimu sendiri. Manusia yang satu adalah
serigala bagi manusia yang lain.”
“Kata-kata yang cukup bermakna,” komentar Fred.
“Tepatnya nasehat,” Erland membenarkan, “Bayangkan pelayan seperti dia menyuruhku memperbaiki
diri sendiri. Bahkan, memperingatkanku.”
“Ia memang tepat, Erland. Tak heran ia menjadi pelayan kesayangan keluarga Apaleah.”
Erland tidak menanggapi.
“Lihat saja hasil tindakannya. Baru dua minggu berlalu sejak ia dibebaskan. Tetapi ia sudah membuat
banyak perubahan. Wanita-wanita sekarang lebih mudah memintal benang. Anak-anak mendapat
pelajaran setiap hari. Bahkan, yang tua-tua pun diajarinya menulis dan membaca. Belum pernah aku
melihat gadis setekun dia.”
Erland tidak menanggapi. Tapi dalam hatinya ia mengakui kata-kata Fred. Berkat gadis itulah sekarang
kehidupan rakyatnya menjadi lebih baik.
“Erland…”
Rengekan itu membuat Erland berpaling. “Adaapa, Cirra?”
“Lihat ini!” rengek Cirra sambil menunjuk pipinya yang memerah.
“Adaapa dengan wajahmu, Cirra?” tanya Fred.
“Perempuan itu yang melakukannya. Ia menamparku.”
“Rara?” tanya Fred tak percaya.
“Ia memang keras kepala tetapi ia tidak mudah memukul orang apalagi menampar wanita,” bela Erland,
“Engkau pasti mengatakan sesuatu yang membuatnya marah.”
“Tidak,” bantah Cirra, “Aku hanya bertanya baik-baik padanya dan ia menamparku.”
“Aku tidak mempercayaimu,” kata Erland tajam.
“Tanyai saja dia,” saran Fred.
“Aku memang bermaksud menemuinya.”
“Beri dia pelajaran!” seru Cirra, “Aku akan senang sekali kalau engkau mengurungnya. Dasar wanita
tidak tahu terima kasih!”
“Sudah, Cirra,” Fred menghentikan.
Erland meninggalkan mereka tanpa berkata apa-apa.
Altamyra tetap meneruskan kesibukannya menyulam di atas sisa gaun sutranya. Ia mengetahui kehadiran
Erland tetapi tidak menghiraukannya.
“Menyingkirlah,” kata Altamyra tenang, “Engkau menghalangi matahari.”
“Kupikir engkau senang bisa terlindung dari terik matahari.”
Altamyra sedang tidak ingin berbasa-basi. “Engkau telah mendengar rengekannya, bukan? Kalau
engkau ke sini untuk bertanya mengapa aku menamparnya, lebih baik engkau bertanya padanya. Ia tahu
persis sebabnya.”
“Sialnya, aku lebih mempercayaimu.”
“Aku merasa tersanjung,” kata Altamyra dingin.
“Aku datang tanpa niat untuk membuatmu marah. Jadi, bekerja samalah denganku.”
“Engkau tahu aku tidak mau.”
“Engkau juga tahu aku bisa memaksamu melakukannya,” Erland mencengkeram Altamyra.
Altamyra menatap tajam Erland lalu berkata, “Baiklah. Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu.”
“Setelah mendengarnya, engkau bisa memutuskan sendiri siapa yang salah,” Altamyra memulai, “Cirra
datang dan menuduhku menggodamu. Katanya aku adalah wanita genit yang mencoba merampasmu
darinya. Dan, aku telah mencoba menerangkan tetapi ia terus menghinaku. Kita berdua tahu itu salah. Ia
bahkan menghina leluhurku dan membuat kesabaranku habis.”
“Aku heran mengapa engkau tidak membungkam mulut kekasihmu seperti engkau membungkamku.”
“Kekasihku?” tanya Erland heran, “Siapa yang mengatakannya padamu?”
“Bukan aku,” jawab Altamyra tenang, “Tapi dia.”
Erland menatap tajam Cirra di luar rumah.
“Kusarankan engkau menjelaskan padanya kalau kita saling membenci. Aku tidak suka terus
dicemburui.”
“Dia bukan kekasihku.”
“Terserah,” Altamyra bangkit, “Biarkan aku pergi. Aku bosan terus-menerus diganggu kalian.”
Erland membiarkan Altamyra pergi. Ia mempunyai urusan lain yang lebih penting daripada mengurusi
Altamyra.
Altamyra yakin Cirra akan merasakan kemarahan Erland. Diam-diam ia merasa kasihan padanya. Ia
yakin selain dirinya, tidak ada lagi yang berani melawan Erland.
Altamyra masuk lebih dalam ke hutan. Ia mencari-cari pohon rindang dan duduk di bawahnya.
Suasana sepi hutan membuat Altamyra tenang. Ia mengerjakan kembali pekerjaannya.
Menyulam di kain sutra yang halus adalah pekerjaan sulit. Tapi, sisa gaun ini sayang untuk dibuang.
Karena tebalnya lapisan gaun itu, mereka bisa membuat tali yang panjang dan masih menyisakan kain
yang cukup lebar.
Sisa kain itu ingin dipergunakan Altamyra sebagai taplak meja. Altamyra memberinya gambar alam yang
indah dan menyulamnya dengan benang pintalnya yang terang. Walau pekerjaan itu belum separuhnya
selesai, Altamyra dapat melihat hasilnya yang indah.
Tidak percuma ia dibesarkan di daerah yang wanita-wanitanya pandai menjahit, memintal, menenun, dan
berbagai pekerjaan jahit menjahit lainnya.
“Setan cilik!”
“Ouch!” jarum Altamyra lolos dari kain dan menusuk jarinya.“Kau membuatku terkejut,” katanya
menyalahkan.
“Apa yang kaulakukan di sini?”
“Menyepi,” jawab Altamyra, “Jangan khawatir aku tidak akan kabur. Aku tahu percuma kabur darimu.”
“Aku senang engkau mengerti hal itu. Tetapi, aku marah atas sikapmu.”
“Aku?” tanya Altamyra tak bersalah.
“Benar, engkau telah membuat kami semua cemas. Engkau tiba-tiba menghilang dan tidak muncul waktu
makan siang.”
“Makan siang sudah usai?”
“Apakah engkau bodoh atau linglung?” gerutu Erland, “Sekarang ini sudah hampir malam!”
Altamyra heran melihat langit yang mulai gelap.
“Sekarang engkau baru sadar?”
“Maafkan aku,” kata Altamyra.
Erland heran mendengar penyesalan yang tulus itu.
“Terima kasih engkau mau menjemputku. Aku tidak yakin bisa pulang sendiri malam-malam seperti ini.
Aku belum mengenal baik tempat ini.”
“Kupikir engkau tidak tahu berterima kasih.”
Kalau Erland bermaksud membuat Altamyra marah, ia telah gagal. Altamyra tidak tersinggung. Dengan
tenang ia berkata, “Aku membencimu tetapi aku tetap tahu terima kasih.”
“Aku merasa seperti disanjung.”
Altamyra beranjak bangkit. Erland diam mengawasi gadis itu memunguti barangnya satu per satu.
“Mari kita pulang.”
Erland mengikuti Altamyra. Sambil melihat punggung Altamyra, Erland berpikir mengapa gadis itu bisa
berubah sejauh ini. Sedikitpun ia tidak menebarkan benih-benih permusuhan, seperti biasanya.
Pancingannya pun dibalasnya dengan tenang.
Entah apa yang membuatnya menjadi lebih sabar. Kalau suasana hutan bisa mendinginkan kepala gadis
itu, ia akan membiarkannya sepanjang hari berada di dalam hutan. Ia sudah lelah bertengkar dengannya.
Mereka selalu bertengkar. Bahkan, untuk hal-hal yang kecil. Ketika Altamyra mengatakan keinginannya
untuk tidur di dalam tenda bersama orang banyak, Erland menentangnya. Ia tidak setuju Altamyra tidur di
luar.
Bahkan, ketika Altamyra memutuskan akan mengajari para orang tua membaca dan menulis, Erland
menentangnya. Kata Erland, Altamyra sudah cukup repot dan cukup membuatnya pusing dengan
perubahan-perubahan yang dilakukannya.
Tetapi, harus diakui Erland bahwa Altamyra sangat peka terhadap sekitarnya. Erland mempunyai
keinginan untuk memberi rakyatnya pelajaran, tetapi ia terlalu sibuk dengan perlawanannya.
Untuk itu ia menyuruh Cirra menjadi guru mereka. Erland tahu Cirra melakukan tugasnya dengan
setengah-setengah tetapi ia terlalu pusing untuk menegur Cirra. Altamyra tidak mengetahui hal itu. Yang
diketahuinya hanya mereka membutuhkan pendidikan dan ia segera melakukannya begitu dia bebas dari
selnya.
Altamyra memang patut dikagumi. Walau tangan dan kakinya terikat rapat, ia masih memperhatikan
sekelilingnya.
Mungkin Fred benar sikap itulah yang membuatnya menjadi pelayan kesayangan keluarga Apaleah.
Dan, kini menjadi kesayangan rakyatnya yang mulanya membencinya.
Altamyra tersandung sesuatu.
Erland cepat-cepat menangkap tubuh gadis itu sebelum ia jatuh terjerembab. “Ceroboh!” tudingnya.
“A…aku… aku,” Altamyra belum pulih dari kagetnya, “Aku tidak tahu di sini ada akar pohon.”
“Engkau memang harus diawasi ketat setiap hari.”
“Aku sudah tidak apa-apa sekarang. Engkau bisa melepaskanku.”
“Kurasa engkau salah.” Erland memunguti barang-barang Altamyra yang terjatuh tetapi sebelah
tangannya tetap memeluk pinggang Altamyra. “Kurasa aku harus di sampingmu terus kalau aku tidak
ingin direpotkanmu.”
“Aku yakin aku bisa menentukan arah jalanku sendiri.”
“Ya, ke arah jalan yang rusak. Lebih baik engkau mengalah padaku. Aku lebih mengenal tempat ini
daripada engkau.”
Altamyra tahu Erland benar. Ia tidak mencoba melawan perintahnya. Ia mengikuti pria itu.
Kedatangan mereka disambut hangat oleh mereka yang mencemaskan Altamyra. Mereka lega dan
senang melihat Altamyra baik-baik saja.
Altamyra melihat Cirra berdiri di ambang pintu dengan kesal. Dari raut wajahnya terlihat jelas Erland
telah memarahinya. Sekarang ia menjadi penuh dendam pada Altamyra.
Walaupun telah mengetahuinya, Altamyra tidak takut. Ia merasa tidak bersalah atas apa yang menimpa
Cirra. Dia sendiri yang membuat dirinya mengalami semua ini.
Altamyra pergi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian ia sudah berada di antara orang-orang
yang duduk menghadap api unggun.
Mereka saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Sementara yang satu bercerita, yang
lain mendengarkan dengan penuh perhatian. Bergantian mereka menceritakan pengalaman mereka
masing-masing.
Altamyra senang mendengarkan cerita mereka, tetapi ia selalu mengelak menceritakan masa lalunya.
“Aku tidak pandai bercerita.” Itulah yang selalu dikatakannya tiap kali tiba gilirannya.
Masa lalunya yang penuh penderitaan adalah satu di antara banyak hal yang ingin dilupakan Altamyra. Ia
tidak mau membagi duka masa lalunya dengan siapa pun. Ia ingin menyimpannya sebagai kenangannya
sendiri.
“Kali ini pun engkau tidak mau bercerita?” tanya Fred.
“Aku hanya dapat berharap kalian mengerti aku tidak ingin membagi masa laluku dengan siapa pun,”
kata Altamyra lembut.
“Di sini kita semua adalah teman,” Fred meraih tangan Altamyra, “Tidak ada rahasia di antara kita.”
“Itulah yang membuat aku senang tinggal di sini.”
“Apakah menjadi pelayan keluarga Apaleah tidak menyenangkanmu? Engkau pelayan kesayangan
mereka, bukan?”
“Andaikan aku adalah pelayan kesayangan mereka, seorang pelayan tetaplah pelayan. Ia harus tunduk
pada perintah majikannya. Aku adalah burung yang bebas dan tidak mau terikat. Semua itu membuatku
tersiksa bagai dikurung. Mereka mematahkan sayapku hingga aku tidak bisa terbang.”
Fred bergerak mendekati Altamyra. “Aku dapat membayangkan kesusahanmu.”
Altamyra tidak senang melihat Fred semakin mendekatinya.
“Mengapa tidak kauceritakan saja kesusahanmu itu?”
Baru kali ini Altamyra senang mendengar suara sinis itu. Suara itu membuat Fred melepaskan tangannya
dan bergerak menjauh.
Altamyra tidak melihat kapan Erland tiba, tetapi sekarang Erland sudah ada di sisinya.
“Akan kucoba,” kata Altamyra, “Walau aku tidak pandai bercerita.”
“Itulah yang kita nantikan!” seru Fred.
“Kalian tahu bagaimana perasaan seekor burung dalam sangkar?” Altamyra memulai ceritanya.
“Biasanya ia dapat terbang ke mana pun ia mau dan kini ia hanya bisa terbang dalam sangkarnya yang
sempit. Walaupun sangkarnya luas dan terbuat dari emas, ia tidak bahagia. Sebab ia telah terbiasa
terbang ke manapun ia mau. Ia bebas mencari dan melakukan apa yang disukainya.”
“Tetapi, kini ia hanya dapat duduk dalam sangkar. Ia hanya dapat melihat alamnya yang hijau tanpa
dapat terbang kesana. Ia hanya dapat membayangkan hutannya yang hijau rimbun dan sejuk. Kerjanya
hanya menanti tuannya memberinya apa yang tidak disukainya. Ia tidak mau melakukannya, tetapi demi
bertahan hidup ia memaksa dirinya sendiri untuk melakukannya.”
“Sering kali ia berpura-pura sekarat dengan harapan tuannya akan melepaskannya tapi tuannya terlanjur
sayang padanya. Setiap kali melihatnya kurang sehat, sang tuan segera mencarikan dokter terbaik untuk
mengobatinya. Maka, ia pun mencoba melakukan yang yang terbaik bagi tuannya agar ia segera
dilepaskan. Tapi,” Altamyra mendesah panjang.
“Ia salah lagi,” Altamyra sedih, “Tuannya menjadi semakin menyayanginya dan tidak mau
melepaskannya. Sekarang ia telah bebas dan ia sangat bahagia. Karena itu kukatakan pada kalian,
kebebasan itu sangat penting. Hanya dengan kebebasan kita bisa bahagia.”
“Hebat sekali!” Fred memberi Altamyra tepuk tangan. “Kalau engkau mengelak lagi dengan berkata
tidak pandai bercerita, aku akan menertawakanmu. Engkau sangat pandai bercerita. Engkau
mengumpamakan dirimu dengan burung dan membuat kami seperti melihat sendiri bagaimana kehidupan
sang burung yang tidak bahagia.”
“Terima kasih.” Altamyra merasa tidak enak mendengar pujian itu.
“Sudah cukup,” kata Erland tiba-tiba, “Sekarang waktunya engkau tidur.”
Altamyra terkejut Erland tiba-tiba menariknya. Untung saja lukanya sudah lama sembuh, kalau tidak
luka itu pasti sudah membuka lagi karena kekasaran Erland.
“Adaapa denganmu?” protes Altamyra.
“Sekarang waktunya engkau tidur,” jawab Erland dingin.
“Tapi aku tidak tidur di sini. Aku tidur di luarsana.”
“Mulai malam ini engkau tidur di kamarku.”
“Apa!?” pekik kaget Altamyra.
“Sudah kukatakan aku harus mengawasimu secara penuh,” kata Erland sesinis senyumannya.
“Tidak!” protes Altamyra, “Aku tidak mau!”
“Sayangku,” kata Erland berbahaya. Erland menatap Altamyra lekat-lekat. “Jangan mempersulit dirimu
sendiri.”
“Aku tidak mau tidur di tempatmu!” Altamyra balas menatap tajam.
Erland tersenyum kejam lalu mengangkat Altamyra.
“Turunkan aku!” ronta Altamyra. “Turunkan!”
Altamyra terus meronta-ronta dan memukuli dada Erland tetapi pria itu tetap melangkah pasti menuju
kamarnya.
“Aku membencimu,” desis Altamyra saat Erland meletakkannya di tempat tidur. “Sampai mati pun aku
tidak akan memaafkanmu!”
Erland tiba-tiba memeluk Altamyra.
Altamyra meronta kuat-kuat tetapi Erland juga memperkuat pelukannya hingga Altamyra merasa
dadanya sesak.
“Manusia kejam,” desis Altamyra, “Perbuatanmu sama buruknya dengan si Raja serigala itu. Engkau
tidak pantas menggantikannya.”
Altamyra tidak mempedulikan apa-apa lagi termasuk air mata yang mengalir di pipinya. “Bagaimana
engkau akan memperbaiki kehidupan rakyat kalau engkau sekejam dan sekasar ini?” desisnya penuh
kebencian dan kesedihan.
Tidak diduga Altamyra, Erland mencium air mata yang menuruni pipinya.
“Akan kutunjukkan padamu kalau aku bisa bersikap lembut,” kata Erland lembut, “Tapi itu pasti sulit.
Engkau, setan cilik, membuatku selalu ingin menyiksamu sampai mati.”
“Lebih baik aku mati daripada kausentuh,” desis Altamyra.
“Aku tidak akan membiarkannya terjadi,” kata Erland dengan nada menghibur.
Altamyra semakin membenci Erland. Kalau Erland tidak memeluknya kuat-kuat, ia pasti sudah
meledak-ledak. Matanya menatap Erland dengan api kemarahan yang berkobar-kobar.
Erland mencium bibir Altamyra dengan lembut lalu membaringkannya dengan lembut pula. “Tidurlah,”
katanya, “Aku akan tidur di lantai.”
Erland menyelimuti Altamyra lalu mengambil guling di sisi gadis itu.
Altamyra menarik selimutnya tinggi-tinggi saat tubuh Erland menyeberangi tubuhnya.
Erland tersenyum nakal dan berkata, “Engkau lebih cantik kalau diam seperti ini.” Erland mencium
Altamyra sekilas sebelum berbaring di lantai.
Wajah Altamyra merah padam. Seumur hidup baru kali ini dipuji cantik oleh seorang pria.
Altamyra merasa dirinya tolol. Karena pujian pria yang dibencinya saja, ia sudah seperti salah tingkah.
Jantungnya berdegup kencang melihat Erland berbaring di sisi kaki ranjang.
Altamyra senang melihat wajah tampan yang terpejam itu. Tetapi, ia membencinya saat wajah itu
memandangnya dengan sinis.
Altamyra tahu Erland pria yang berani dan baik. Kalau saja kebenciannya tidak ada, ia pasti telah
terpikat padanya. Tetapi, ia masih marah atas sikap Erland pada pengawal-pengawal itu.
Kemarahannya seperti anak kecil. Altamyra tahu hal itu tetapi ia tidak bisa berhenti membenci Erland.
Altamyra yakin Erland seperti dirinya. Ia juga tidak bisa berhenti membencinya. Kalau mereka
sama-sama mau melupakan kemarahan mereka yang tidak berarti, mereka bisa rukun.
Bila ingin kehidupannya di tempat ini lebih baik untuk hari-hari selanjutnya, Altamyra harus mau berusaha
melupakan kemarahannya yang tiada berujung.
Erland pusing.
Hari-hari belakangan ini semua yang dilakukannya tidak ada yang beres. Ia tidak dapat memanah
dengan tepat. Permainan pedangnya kacau.
Semua perhatiannya hilang. Semuanya tercurah untuk seorang gadis yang dapat mengobrak-abrik
ketenangannya. Setan cilik satu itu memang tidak bisa dilepaskan walau hanya sesaat. Selalu saja ada
yang mengekorinya.
Erland heran bagaimana gadis itu menarik perhatian para pria hingga ia selalu dikejar mereka seperti
lebah dan madu.
“Engkau memikirkan apa?”
Erland menatap Fred. “Aku tidak tahu.”
“Jadi, engkau mengakuinya?”
“Mengakui apa?”
Fred menyandarkan punggung di pohon dan berkata, “Engkau menyukai Rara.”
“Aku!?”
“Semua orang tahu engkau mencintai Rara,” kata Fred, “Malam engkau menarik Rara, engkau
menunjukkan kecemburuanmu.”
“Aku!?”
“Akui saja engkau cemburu. Semua yang ada disanatahu engkau cemburu padaku.”
“Apa yang semalam kalian mimpikan?”
“Kami bermimpi engkau dan Rara menikah.” Fred tersenyum nakal.
Erland mengibaskan tangannya sambil berkata, “Jangan terlalu banyak bermimpi.”
“Terserah kalau engkau tidak mau mengakuinya. Tapi, jangan katakan aku tidak memperingatimu, “kata
Fred, “Saat ini banyak yang nekat merebut Raramu. Aku khawatir kalau engkau tidak bergerak cepat,
engkau akan kehilangan dia untuk selamanya.”
“Untuk apa aku mengkhawatirkannya?”
“Terserah padamu,” kata Fred, “Saat ini beberapa anak muda berencana untuk melamar Rara.”
“Melamarnya?” Erland terlonjak kaget.
“Aku mendengarnya sendiri. Mereka akan mengajukannya siang ini.”
“Apakah mereka tidak dapat berpikir mereka masih terlalu kecil untuk menikah? Mereka masih
anak-anak!”
“Daripada engkau ribut di sini, lebih baik engkau menemui Raramu,” Fred memberi usul.
“Aku baru saja akan menemuinya,” Erland meloncat bangkit.
Fred tersenyum puas dan berseru, “Lamar dia sebelum didahului yang lain!”
Kata-kata itu menimbulkan ide di benak Erland. Mungkin itu jalan yang terbaik.
Mereka tidur dalam satu kamar telah menimbulkan banyak gosip. Pernikahannya dengan gadis itu akan
menghentikan gosip-gosip itu dan dapat memulihkan nama baik mereka. Dengan pernikahannya itu pula
ia menjadi lebih leluasa untuk mengawasi gadis itu.
Akhirnya Erland harus mengakui kecantikkan Altamyra. Sejak awal gadis itu telah membuat banyak hal
yang membuatnya takjub.
Mula-mula ia marah sambil menangis. Lalu ia terus menghinanya tanpa henti. Erland yakin tak ada pria
yang tahan mendengar rentetan hinaan itu selain dirinya. Hanya gadis itu saja yang mampu menahan sakit
dan lapar selama berhari-hari.
Erland yakin ia takkan dapat menemukan gadis lain yang seunik setan ciliknya. Setan ciliknya itu sama
sekali tidak mengenal rasa takut.
Melihat wajahnya yang cantik seperti boneka, orang takkan menduga hal itu. Matanya yang biru cerah
selalu menatap tajam. Rambut panjangnya yang keemasan selalu bersinar lembut.
Tak seorang pun yang tidak takut pada kemarahannya selain dia.
Rupanya gadis itu tidak hanya menarik untuknya saja. Semua orang tertarik dengan kepandaian dan
ketangkasannya.
Akhirnya Erland harus mengakui bahwa ia tertarik pada gadis itu dan mencintainya.
Fred benar kalau sekarang ia tidak segera bertindak, ia bisa kehilangan Rara untuk selama-lamanya.
Erland mempercepat langkahnya. Ia merasa harus menemukan Rara secepat mungkin sebelum ada yang
mendahuluinya.
Altamyra berlari-lari kecil sambil bersenandung. Ia merasa sangat gembira.
Hijaunya pepohonan ini mengingatkannya pada desa Marshwillow tempat ia dibesarkan. Ia merindukan
desanya yang hijau.
“Setan cilik!”
Altamyra jengkel. Erland merusak kegembiraannya untuk kesekian kalinya selama ini berada di tempat
ini.
“Adaapa?” tanya Altamyra acuh.
“Apa yang kaulakukan di sini?” selidik Erland.
“Khawatir aku kabur?” tanya Altamyra, “Jangan khawatir, aku tidak akan kabur. Masih banyak yang
harus kulakukan untuk rakyatmu.”
“Aku senang mendengarnya. Kalaupun engkau kabur, aku pasti bisa menemukanmu.”
“Aku yakin engkau akan.”
Erland menarik tangan Altamyra. “Berhentilah, aku ingin berbicara denganmu.”
“Apa lagi yang harus kita bicarakan?” tanya Altamyra. “Aku telah setuju untuk tidur di kamarmu. Aku
juga telah berjanji tidak akan kabur. Masih adakah yang kurang?”
“Apakah engkau tidak bisa bekerja sama denganku walau hanya sekali?”
“Tidak,” jawab Altamyra tegas, “Aku tidak bisa bekerja sama dengan orang yang kubenci.”
“Sebenarnya, apa yang membuatmu marah padaku?” tanya Erland. “Aku telah berulang kali minta maaf
padamu atas kekasaranku padamu. Apakah itu belum cukup?”
Altamyra membuang muka.
“Hanya engkau satu-satunya wanita yang bisa memendam marah lebih dari satu bulan.”
“Terima kasih,” kata Altamyra dengan tersenyum.
“Engkau mau memberitahuku?”
“Engkau sudah tahu mengapa aku tidak dapat berhenti membencimu,” kata Altamyra dengan tenang.
“Baiklah,” Erland mengalah, “Aku minta maaf atas semua kesalahan, kekasaran serta segala sikapku
yang tidak pantas padamu.” Erland menatap Altamyra, “Engkau puas?”
“Belum.”
Erland mengangkat tangannya dengan pasrah. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu terus membenciku.
Aku datang bukan untuk mencari pertengkaran baru. Aku datang untuk melamarmu.”
“Melamarku?” tanya Altamyra tak percaya.
“Aku bertanya maukah engkau menjadi istriku?” ulang Erland dengan tegas.
Altamyra memandangi Erland. “Engkau tidak sedang mabuk?”
“Tidak,” sergah Erland. “Aku sadar apa yang kukatakan.”
Altamyra menatap Erland lekat-lekat.
“Engkau bersedia?”
“Tidak!” sahut Altamyra tegas, “Aku tidak mau menikah denganmu!”
Erland menangkap lengan Altamyra. “Engkau harus,” desisnya.
“Tidak!” bantah Altamyra, “Engkau tidak dapat memaksaku!”
“Baiklah,” Erland mengalah. “Aku memberimu waktu sampai malam ini.”
“Hanya malam ini,” Erland menegaskan.
“Aku tetap tidak sudi!” seru Altamyra pada punggung Erland yang menjauh.
“Menikah dengannya?” kata Altamyra pada dirinya sendiri. “Sampai mati pun aku tak sudi.”
Kecuali kemarahannya yang belum sirna, Altamyra telah mengakui Erland adalah pahlawan. Ia
mengagumi keberaniannya. Tapi, perasaan Altamyra hanya sampai sejauh itu.
Kalau ia disuruh memilih antara menikah dengan Erland atau membiarkan Cirra merebut Erland, ia pasti
akan memilih membiarkan Cirra menikah dengan Erland. Ia mengagumi Erland tetapi tidak tertarik untuk
menikah dengannya.
Altamyra melupakan pinangan Erland. Apapun yang terjadi, ia tetap akan mengatakan “TIDAK!”
Dengan hati riang, ia kembali menari-nari di hutan. Di hutan itu ia mengenang kembali desa
Marshwillownya yang hijau. Ia benar-benar ingin kembali ke desanya sebelum ia dipaksa
meninggalkannya.
Altamyra terus bermain di hutan sampai siang.
Seperti biasa, di siang hari ia membantu para wanita memintal benang. Sore hari ia membantu mereka
menyiapkan makan malam.
Altamyra ingin makan malam bersama mereka, tetapi Erland tidak memperbolehkannya. Seusai
membersihkan diri dan membantu para wanita, Erland memaksanya naik ke kamar.Seperti Erland,ia
sudah lelah bertengkar.
Lebih baik terlebih untuk malam ini, Altamyra segera naik ke atas dan duduk diam di kamar sampai
pagi.
Tidak seperti biasanya malam itu Erland segera masuk ke kamar. Erland tidak segera menanyai
Altamyra. Ia menyibukkan diri di meja kerjanya.
Altamyra tidak mempedulikannya, ia duduk di pojok ranjang dan terus menyulam. Ia ingin segera
menyelesaikan taplaknya. Altamyra yakin malam ini juga taplaknya bisa selesai. Yang belum
diselesaikannya hanya awan-awan kecil dan burung-burung yang terbang di angkasa.
Tiba-tiba Altamyra merasa ada yang mengawasinya. Altamyra mengangkat kepalanya dan terkejut
melihat Erland tengah memperhatikannya.
“Kelihatannya engkau sibuk sekali.”
Altamyra meletakkan sulamannya. Ia tahu saatnya telah tiba.
Erland duduk di samping Altamyra. “Bagaimana?” tanyanya lembut.
“Dengan sangat menyesal,” kata Altamyra lambat-lambat, “Aku tetap tidak dapat menikah denganmu.”
Altamyra telah berkata tenang agar tidak membangkitkan kemarahan Erland tetapi pria itu marah juga.
“Apakah engkau tidak bisa berhenti membenciku? Sebenarnya apa dosaku padamu?”
“Engkau tahu sendiri,” balas Altamyra tidak mau kalah, “Aku yakin engkau tidak terlalu bodoh untuk
mengetahuinya.”
“Apakah engkau masih marah padaku karena aku membunuh orang itu?” Erland mencengkeram lengan
Altamyra.
“Engkau tahu sendiri.”
“Apakah engkau tidak punya pikiran lain selain itu?” tanya Erland tidak percaya. Kemudian dengan nada
yang lebih lembut ia melanjutkan, “Dalam peperangan, kita tidak peduli siapa yang bersalah siapa yang
tidak. Tidak ada hukum dalam peperangan. Begitu pula dalam perjuanganku melawan Raja Wolve.
Kalau kita tidak membunuh, kita yang akan dibunuh. Itulah hukum perang.”
Altamyra menatap Erland dengan tajam.
“Aku akan memberimu waktu lagi. Pikirkanlah kata-kataku ini. Besok pagi aku akan menanyaimu lagi,”
kata Erland dengan kelembutan yang membuat Altamyra heran. Tapi gadis itu tidak heran ketika Erland
menciumnya dengan lembut sebelum berkata, “Selamat malam.”
Altamyra tetap duduk meringkuk ketika Erland sudah membaringkan diri di sisi kaki ranjang.
Gara-gara apa yang dikatakan Erland, Altamyra tidak dapat tidur. Ia terus berpikir apakah yang
dikatakan Erland itu benar?
Adapepatah Latin yang menyebut tidak ada hukum dalam perang. Tapi, Altamyra tidak habis pikir
mengapa orang bisa membunuh semudah itu.
Apakah nyawa itu tidak berharga lagi dalam perang?
Mereka tahu bisa terbunuh, tapi mengapa mereka mau berkorban?
Mengapa demi perang orang mau mengorbankan segala-galanya?
Apakah keuntungan perang?
Perang hanya membuat ibu pertiwi bersimbah darah. Mayat-mayat bergelimpangan. Kalau hasil dari
peperangan itu adalah kemenangan, itu bagus. Tapi kalau kalah…
Apa gunanya mengorbankan nyawa kalau ada cara lain untuk mencapai tujuan?
Erland sendiri bisa menempuh jalan lain yang lebih aman untuk mencapai cita-citanya. Ia bisa menikahi
Prischa. Kalau Raja Wolve mati, Prischa akan naik tahta. Ia juga akan menjadi raja dengan sendirinya.
Altamyra yakin Erland dapat melakukannya. Ia adalah pria tampan yang menarik. Tak mungkin Prischa
tidak menyukainya.
Tapi…
Altamyra tidak mengerti jalan pikiran orang-orang ini. Ia dibesarkan di desa yang damai, adil, tentram,
dan makmur. Ia tahu ia tidak akan pernah dapat memahami jalan pikiran orang-orang di negara ini.
Altamyra tidak dapat tidur. Ia ingin ke bawah berkumpul dengan orang-orang di luarsana.
Melihat Erland yang tidur di dekatnya, Altamyra mengurungkan niatnya. Walau pria itu tidur nyenyak,
bukan berarti ia tidak tahu sekitarnya.
Pernah suatu malam Altamyra terjaga dari tidurnya. Altamyra tidak tahu apa yang membuatnya
terbangun. Samar-samar Altamyra mendengar suara-suara yang menakutkan dirinya. Altamyra tidak
berani membayangkan apa yang bersuara itu.
“Apa yang membuatmu terjaga?”
Altamyra lega mendengar suara lembut itu. “Aku tidak tahu,” katanya, “Aku seperti mendengar
suara-suara yang menakutkan.”
Erland berdiri dan memeriksa keadaan di dalam maupun di luar ruangan luas itu. Ia kembali pada
Altamyra sesudahnya.
“Tidak ada apa-apa,” katanya, “Mungkin engkau bermimpi.”
“Mungkin,” kata Altamyra ragu-ragu.
Erland duduk di sisi Altamyra. “Tidurlah kembali. Aku akan di sini sampai engkau tertidur.”
Altamyra merasakan Erland mengenggam tangannya erat-erat dan memberikan rasa aman padanya.
Altamyra tahu Erland tidak pernah benar-benar terlelap dalam tidurnya. Gerakan kecil darinya bisa
membuatnya curiga.
Saat ini malam sudah larut dan Altamyra tidak ingin mengganggu tidur Erland. Ia berbaring walau tidak
yakin bisa tidur.
Kata-kata Erland terus menghantui pikirannya. Pikirannya terus melayang jauh tanpa bisa membuatnya
tertidur.
Malam yang semakin larut membuat pikiran Altamyra semakin larut, semakin melayang jauh.
Altamyra tidak ingat kapan ia tertidur, tetapi saat ia terjaga, ruangan itu sudah terang.
Erland berdiri memandanginya sambil tersenyum. “Engkau tidur juga akhirnya. Kupikir engkau akan
terus terjaga sampai pagi.”
“Sang rembulan membiusku,” sahut Altamyra sekenanya.
“Basuhlah mukamu. Engkau tampak kusut sekali.”
Altamyra meninggalkan tempat tidur menuju jendela. “Engkau keberatan bila aku membantu mereka?”
“Lakukan apa yang kausuka.”
Altamyra segera merapikan tempat tidurnya lalu meninggalkan Erland dengan hati riang.
Erland tersenyum melihat kegembiraan gadis itu. Ia tidak nampak telah berpikir terus sepanjang malam.
Erland segera mengganti bajunya dan bergabung dengan rakyatnya untuk sarapan pagi. Ia berniat
mengulangi pertanyaannya setelah makan pagi.
Altamyra tidak nampak terbebani sepanjang pagi itu hingga Erland mengajaknya berbicara di dalam
hutan.
“Aku masih belum mengerti,” kata Altamyra sebelum Erland memulai.
“Apa yang belum kaumengerti?” tanya Erland dengan sabar.
“Mereka tahu bisa terbunuh dalam perang, mengapa mereka mau maju kemedanperang?”
“Karena cinta mereka,” jawab Erland, “Karena cinta dan kesetiaan mereka pada pimpinan mereka.
Sama seperti kita yang siap mengorbankan segalanya untuk tanah air kita. Kita melakukannya karena
apa? Kita melakukannya karena kita mencintai tanah air kita.”
Altamyra merenungkan kata-kata itu sebelum berkata, “Sekarang aku mengerti.”
“Lalu bagaimana jawabanmu?’
“Aku tetap menolaknya,” kata Altamyra tegas.
“Mengapa?” tanya Erland heran, “Apakah engkau masih membenciku?”
“Tidak. Sekarang aku dapat mengerti tindakanmu,” kata Altamyra, “Tapi aku tetap menolak menikah
denganmu. Alasanku adalah aku baru mengenalmu.”
“Itu bukan masalah,” kata Erland, “Setelah kita menikah, kita bisa berteman sampai kita saling
mengenal.”
“Maafkan aku,” kata Altamyra, “Aku tidak dapat menikah tanpa alasan yang jelas.”
“Engkau ingin tahu alasannya?” Erland terlihat tidak sabar lagi, “Baik, aku akan memberitahumu. Aku
menikahimu agar aku mendapat dukungan lebih dari rakyat.”
“Dukungan?”
“Untuk melawan Raja Wolve, aku membutuhkan setiap dukungan yang bisa kudapatkan. Dengan
menikahi pelayan kesayangan putri mahkota, aku yakin akan semakin banyak orang yang memihakku.”
“Apakah engkau tidak dapat memikirkan jalan lain selain perang?”
“Apakah ada jalan lain untuk menggulingkan Raja Wolve?”
“Engkau bisa menikahi Putri Prischa. Kalau ia naik tahta, engkau dengan sendirinya akan menjadi raja.”
“Kaupikir itu bisa?” ejek Erland, “Apa tidak pernah terpikir olehmu seorang putri mahkota tidak dapat
menentukan sendiri calon suaminya?”
Altamyra diam termenung.
“Hanya dengan perang saja Raja bisa kugulingkan. Dan, aku bisa memperoleh lebih banyak dukungan
dengan menikahimu.”
Altamyra tetap diam.
“Apakah engkau tidak berpikir pernikahan ini akan menyelamatkan rakyat dari sengsara? Dengan
dukungan yang besar, aku pasti bisa menggulingkan Raja Wolve,” kata Erland penuh semangat. “Engkau
dan aku memiliki cita-cita yang sama yaitu membuat rakyat sejahtera. Aku tidak salah bukan?”
Altamyra diam. Matanya memandang jauh.
Erland memberi gadis itu kesempatan untuk berpikir.
Altamyra tampak ragu-ragu sebelum akhirnya dengan tegas ia berkata, “Aku bersedia.”
“Bagus,” kata Erland puas. “Sekarang juga kita menikah.”
“Apa!?” tanya Altamyra terkejut.
“Aku sudah menyiapkan segalanya,” kata Erland. Erland menarik Altamyra menemui Kana.
Sepertinya Kana tahu apa tugasnya. Begitu melihat Erland membawa Altamyra, ia segera menyambut
gadis itu. Kana mengeluarkan gaun putih sederhana dari sebuah peti dan menyuruh Altamyra
mengenakannya. Sementara Altamyra merapikan gaunnya, Kana membersihkan cadar pengantin.
Altamyra heran bagaimana Erland bisa menyiapkan gaun pengantin secepat ini.
Ternyata Altamyra tidak perlu bertanya. Kana telah menceritakan semuanya sambil mendandani
Altamyra.
Orang tua Erland ternyata juga pemberontak. Merekalah yang mula-mula mendirikan benteng ini.
Selama bertahun-tahun mereka mengobarkan semangat rakyat untuk melawan pemerintah Raja Wolve
yang kejam. Sayang Raja Wolve berhasil menangkap mereka. Ia menjatuhkan hukuman mati pada
mereka.
Saat itu Erland baru dua belas tahun. Dan, sejak itu pula ia memulai pemberontakan terhadap Raja
Wolve. Ia menyempurnakan benteng yang dibangun orang tuanya. Untuk menghidupi rakyat yang tinggal
di sini, ia sering menyerbu pasukan kerajaan yang bertugas menarik pajak.
Tindakannya membuat rakyat mencintai dan menghormatinya. Tapi juga membuat Raja Wolve murka.
Raja memerintahkan prajuritnya menangkap Erland. Tapi, ia tidak pernah berhasil.
Mata-mata Erland banyak. Banyak yang mau memberitahunya bila ada yang Raja rencanakan untuk
menangkapnya.
Selama bertahun-tahun Erland menjadi buronan Raja tanpa pernah sekali pun tertangkap. Erland terus
menyempurnakan strateginya agar Raja kewalahan.
Semua orang membenci Raja Wolve. Raja tega memeras rakyatnya dengan bermacam-macam pajak
yang tinggi hanya untuk memperkaya dirinya sendiri. Ia bahkan tega membunuh siapa saja yang berani
mengatakan ‘tidak’ padanya.
Semua orang di Kerajaan Vandella berharap Raja Wolve segera mati dan Erland naik tahta. Mereka
tidak mengharapkan orang lain selain Erland.
Altamyra mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik ketika mengetahui gaun pengantin yang
dikenakannya adalah milik ibu Erland. Altamyra merasa terhormat bisa mengenakan gaun yang berharga
ini.
Kana memberinya serangkaian bunga hutan yang indah.
“Sayang di sini tidak ada bunga lili atau mawar yang akan melengkapi kecantikanmu.”
Altamyra tidak menanggapi. Ia membiarkan Kana membimbingnya ke ruang tengah tempat Erland telah
menantinya.
Erland tampak sangat tampan dalam jas hitamnya yang halus. Jasnya sehitam rambutnya yang disisir rapi.
“Engkau mirip pengantin jaman pertengahan,” bisik Erland ketika menggandeng Altamyra menghadap
Pastor.
Altamyra tidak tahu bagaimana Erland bisa menyiapkan segalanya secepat jalannya upacara pernikahan.
Altamyra juga tidak mengerti mengapa Erland seperti menyembunyikan perkawinan mereka. Kalau ia
memang membutuhkan tambahan dukungan, ia pasti akan mengundang orang banyak dalam upacara ini.
“Pangeran! Pangeran!”
Upacara terhenti karena panggilan yang penuh kecemasan itu.
Fred segera bertindak dengan membuka pintu. Ia berbicara sebentar dengan orang itu lalu membisikkan
sesuatu pada Erland.
“Maafkan saya, Bapa, tampaknya kita terpaksa menghentikan upacara ini untuk sejenak.”
“Silakan,” jawab Pastor itu.
Erland segera menemui orang di luar itu.
“Berhenti!” Cirra menghadang Altamyra, “Takkan kubiarkan engkau lolos!”
Altamyra membelokkan kudanya dan memacunya kuat-kuat menerobos hutan.
Cirra terkejut melihat kenekatan Altamyra. Ia segera berlari menemui Erland.
“Erland! Erland!” teriaknya.
“Pergilah, Cirra, aku sibuk,” kata Erland.
“Kali ini engkau harus mendengarkanku!” Cirra mulai merengek.
Erland terus menyibukkan diri.
“Wanita itu mata-mata!” seru Cirra,” Sekarang ia kabur!”
“Apa katamu?”
“Mata-mata itu kabur! Ia pasti memberitahu siasat kita pada pasukan kerajaan!”
“Apa!?” Erland terkejut.
“Pasti dia yang memberitahu pasukan tempat kita.”
Erland meninggalkan bawahan-bawahannya dan segera melompat ke atas kuda.
“Pangeran!” seru mereka.
“Teruskan penyerbuan tanpa aku!” perintah Erland.
Erland memacu kudanya secepat mungkin. Ia melihat Altamyra sekitar tiga puluh meter di depannya.
Gadis itu dengan lincah mengarahkan kudanya melewati ranting-ranting pohon. Tangannya yang satu
sibuk melindungi wajahnya dari debu dan tangannya yang lain memacu kudanya cepat-cepat.
“Setan cilik!” teriak Erland.
Altamyra terus memacu kudanya.
Erland berusaha memperpendek jarak mereka tapi tiap kali ia berhasil, jarak mereka kembali menjauh.
Erland geram melihat ketangkasan Altamyra dalam mengendalikan kudanya. Gadis itu seperti tahu apa
yang harus dilakukannya agar jarak mereka tetap jauh.
“Berhenti!” Angin membawa pergi teriakan Erland.
Samar-samar Altamyra dapat mendengar langkah kuda di belakangnya. Ia juga mendengar
teriakan-teriakan Erland, tapi ia tidak mau berhenti. Altamyra terus mempercepat kudanya sambil berdoa
ia tidak terlambat.
Hampir dua bulan Altamyra berada di tempat ini. Waktu itu sudah lebih dari cukup baginya untuk mengenali kawasan hutan ini. Ia tahu jalan terpendek untuk memutus laju kedua kubu itu sebelum mereka
bertemu.
Altamyra tidak mau ada perang. Ia membenci segala yang berbau perang.
Cepatnya laju kuda Altamyra membuat gelungan rambut gadis itu terurai. Walau rambut pirangnya
berkibar-kibar seperti gaunnya, Altamyra tak peduli. Ia hanya ingin segera tiba.
“Berhenti, setan cilik!”
Altamyra semakin mempercepat kudanya. Saat ini tidak ada lagi yang dipedulikannya selain mencegah
pecahnya perang antara kedua musuh ini.
Dari kejauhan Altamyra melihat kedua pasukan itu bergerak mendekat dengan cepat dari jarak sekitar
limaratus meter.
Dalam hati Altamyra terus berdoa ia bisa tiba sebelum terlambat.
Setelah melewati rimbunan pohon, Altamyra segera membelokkan kudanya ke arah pasukan kerajaan.
“Mundur!” teriak Altamyra sambil memberi tanda dengan tangannya.
Tiga puluh meter di belakang Altamyra, Erland mendengar gadis itu terus meneriakkan kata “Mundur”
sambil memberi tanda dengan lambaian tangannya.
Altamyra kesal melihat pasukan itu tidak juga berhenti bergerak. “AKU PERINTAHKAN TARIK
PASUKAN!” Altamyra berteriak sekuat tenaganya.
Erland memperlambat laju kudanya melihat pasukan kerajaan tiba-tiba berhenti bergerak. Tetapi,
Altamyra terus memacu kudanya ke arah pasukan kerajaan.
Dengan gerak tangannya, Erland memerintahkan pasukannya berhenti.
Dari tempatnya, Erland melihat Altamyra terus memacu kuda menerobos puluhan ribu pasukan kerajaan
itu. Pasukan yang terdepan segera berbelok mengikuti Altamyra.
Tak seorang pun di antara merekapernahmelihat para pasukan yang bergerak mundur dengan teratur
dan indah itu. Cara mundur mereka unik. Mirip segerombol penari yang berbelok secara teratur dari
depan hingga yang terakhir.
Dengan bubarnya pasukan kerajaan, Erland pun memerintahkan pasukannya untuk mundur.
“Ia pasti mata-mata!” komentar itu yang pertama kali terlontar dari mulut Cirra setelah mengetahui apa
yang terjadi.
“Tutup mulutmu, Cirra!” sergah Erland, “Jangan lupa, ia adalah pelayan kesayangan Prischa. Pasti
mereka datang untuk menyelamatkannya.”
“Tapi sekarang ia bersama mereka, bukan?” protes Cirra, “Ia pasti akan membocorkan tempat ini pada
mereka.”
“Dengar, Cirra,” Erland memperingati dengan tajam, “Ia tidak suka perang.”
“Dia…”
Fred segera menutup mulut Cirra. “Sebaiknya engkau diam saja, Cirra. Rara bukan gadis seperti itu. Ia
pasti melakukan semua ini untuk menghindari perang.”
“Pasti!” Fred menegaskan.
“Beraninya kalian,” geram Altamyra murka.
Gadis itu menatap tajam setiap orang di depannya. Ia seperti akan menelan mereka semua dengan
matanya.
Semua orang menunduk ketakutan. Tak seorang pun yang berani menatap Altamyra apalagi
menentangnya.
“Siapa yang menyuruh kalian melanggar perintahku!”
Tak seorang pun yang berani membuka mulut.
Altamyra menyilangkan tangan di depan dadanya dan menatap tajam satu per satu prajurit di
hadapannya. Ia menanti munculnya orang yang mengaku bertanggung jawab atas penyerbuan ini.
Tak seorang pun luput dari tatapan murka Altamyra dan tak seorang pun yang berani mengangkat
kepalanya.
“Ma… maafkan hamba, Paduka,” kata Ludwick ketakutan, “Ham… hamba y…yang me…merintahkan
mereka.”
“Beraninya engkau melanggar perintahku!” bentak Altamyra. “Aku memerintahkan kalian diam di tempat
sampai aku datang!”
“Saya mengaku bersalah, Paduka,” Ludwick berlutut di hadapan Altamyra, “Hamba siap menerima
hukuman.”
Altamyra menatap Ludwick dengan penuh kemurkaan.
“Sebelumnya saya ingin Anda mengetahui semua ini terjadi karena saya mengkhawatirkan keselamatan
Anda, Paduka. Saya menanti di Thamasha seperti yang Anda perintahkan. Tetapi, Anda berada disana
lebih lama dari yang Anda janjikan. Saya khawatir mereka melukai Anda. Karena itu, saya meminta Rasputin menyiapkan pasukan untuk menyerang mereka.”
Altamyra menghela napasnya. Pandangannya menjadi lembut. Altamyra berlutut di depan Ludwick.
“Oh, Ludwick…” kata Altamyra lembut sambil memeluk pria tua itu, “Maafkan aku.”
Ludwick terkejut. “Pa… Paduka, Anda tidak pantas melakukan ini.”
Altamyra tersenyum selembut pandangannya. Ia menarik berdiri Ludwick lalu berkata, “Lupakan semua
kepantasan itu.”
“Anda adalah Ratu kami dan kami adalah bawahan Anda.”
“Kata ‘Ratu’ itu hanya menunjukkan tugas, tidak lebih dari itu,” kata Altamyra tegas, “Ratu maupun
Raja tetap saja seorang manusia.”
“Paduka…”
Altamyra mengangkat tangan menghentikan Ludwick.
“Maafkan aku,” Altamyra mengumumkan penyesalannya dengan ketegasan yang lembut, “Seharusnya
aku tahu kalian mengkhawatirkan aku. Aku tidak pantas memarahi kalian.”
Kata-kata itu menegakkan kepala setiap orang.
“Aku mengakui kesalahanku dan aku berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,” kata Altamyra, “Karena
aku sudah tahu mengapa kalian melanggar perintahku, aku pun ingin kalian tahu mengapa aku
marah-marah. Aku mengkhawatirkan kalian juga. Aku tidak ingin seorang pun di antara kalian mati hanya
karena aku. Aku tahu bagaimana perasaan keluarga kalian bila kalian gugur karena aku. Cukup sekali
saja aku mengorbankan nyawa orang.”
“Keluarga yang mereka tinggalkan telah kami urus, Paduka,” lapor Rasputin, “Mayat-mayat mereka
juga telah kami kuburkan dengan layak.”
“Terima kasih, Rasputin.”
“Adalah tugas saya melayani Anda, Paduka,” Rasputin merendahkan diri.
“Kalian bisa bubar sekarang,” Altamyra menutup pertemuannya, “Karena aku sudah berada di sini, kita
bisa kembali ke Perenolde. Kalau tidak ada halangan, kita kembali sore ini, kalian setuju?”
Paraprajurit itu berbisik-bisik. Beberapa di antara mereka memberanikan diri berkata, “Setuju!” Segera
prajurit yang lain mengikuti.
“Setuju!” teriak mereka serempak.
Altamyra tersenyum. “Berarti sudah diputuskan,” katanya, “Kalian bisa melakukan yang lain sampai
saatnya tiba.”
Paraprajurit bersikap tegap dan secara serempak memberi hormat pada Altamyra kemudian mereka
bubar.
“Anda juga bisa beristirahat, Paduka.”
“Tidak, Ludwick. Banyak yang harus kukerjakan.”
“Anda akan membuat kami berada dalam kesulitan kalau Anda masih mengenakan gaun usang itu
setibanya Anda di Istana.”
Teringat pelayan tuanya yang setia, Altamyra tertawa. “Aku yakin Hannah telah memberimu ancaman.”
“Anda tahu persis, Paduka.”
“Baiklah, Rasputin. Aku tidak akan membuat engkau mengalami kesulitan.”
Ludwick memanggil seorang prajurit. “Suruh Sylta mempersiapkan segala sesuatu untuk Paduka.”
Prajurit itu membungkuk lalu pergi.
“Mari, Paduka,” kata Ludwick, “Silakan mengikuti saya.”
Rasputin dan Ludwick mengawal Altamyra ke tenda besar yang ada di tengah-tengah kumpulan tenda
itu.
Seorang wanita muda muncul dari dalam tenda untuk menyambut Altamyra.
“Selamat beristirahat, Paduka,” kata mereka bersamaan.
Altamyra tersenyum dan memasuki tenda.
“Dia mirip sekali dengan Paduka Raja Wolve.”
“Hanya dalam beberapa hal, Rasputin.”
-----0-----
Altamyra mendesah panjang.
Semuanya tepat seperti yang diduganya. Seperti dulu, mereka menjemputnya dengan segala sesuatu
yang lengkap dan mewah. Kereta kuda emas, gaun-gaun indah serta pelayan-pelayan. Semua disiapkan
khusus untuknya, Yang Mulia Paduka Ratu Kerajaan Vandella.
Siapa yang menyangka gadis miskin sepertinya tiba-tiba menjadi Ratu? Altamyra pun tidak pernah
menginginkannya apalagi memimpikannya.
Hal ini memang mustahil. Gadis yang hidupnya selalu kekurangan tiba-tiba diangkat menjadi Ratu sebuah
kerajaan besar. Tapi apa yang terjadi pada Altamyra adalah nyata. Sekarang Altamyra menjadi gadis
kaya. Melebihi kekayaan setiap orang di kerajaan ini.
Keajaiban ini terjadi padanya karena darah biru yang mengalir padanya. Darah biru yang mengalir
padanya sangat kental dan bercahaya.
Ibu maupun ayahnya bukan orang biasa. Mereka adalah Raja dan Ratu dari Kerajaan Vandella. Tapi
selama bertahun-tahun mereka hidup terpisah.
Dari cerita ibunya, Altamyra tahu betapa kejamnya ayahnya. Bahkan, kepada putranya sendiri ia tega.
Walaupun Allan, kakaknya masih tiga tahun, tetapi bila ia melakukan hal yang tak disukai Raja Wolve, ia
mendapat pukulan tak peduli sekecil apa hal itu.
Raja Wolve ingin Allan bersikap sempurna sebagaimana layaknya seorang Putra Mahkota. Sempurna
dalam tindakan maupun kata-kata. Tetapi, sempurna menurut caranya.
Ratu Reinny tidak berani bertindak apa-apa untuk melindungi putranya. Ia sendiri sering merasakan
pukulan Raja yang ringan tangan itu.
Dari lubuk hatinya yang terdalam, Ratu Reinny membenci Raja. Kalau bukan karena dijodohkan orang
tuanya, ia tidak akan menikahi Raja Wolve sekali pun ia adalah pria terakhir di dunia ini. Ratu tidak
berani menolak juga tidak berani kabur. Ia bukan wanita penakut tetapi ia tidak berani melawan demi
keselamatan keluarganya.
Bila ia melawan, Ratu tahu Raja akan menghancurkan keluarganya. Pria itu tidak akan segan-segan
melakukan segala tindakan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Ratu Reinny tahu suaminya
adalah iblis terkejam dari antara para raja iblis.
Demi orang tuanya pula ia terus menahan keinginannya untuk meninggalkan Istana Azzereath. Setelah
orang tuanya meninggal, Ratu semakin ingin pergi tetapi ia tidak melakukannya. Saat itu ia baru saja
melahirkan Allan dan ia tidak tega meninggalkannya.
Banyak pengorbanan yang diberikan Ratu kepada keluarganya. Demi Allan, satu-satunya orang yang
dicintainya setelah orang tuanya meninggal, Ratu bertahan di Istana dingin yang suram itu.
Bertahun-tahun kemudian Ratu melahirkan anak keduanya. Kali ini ia melahirkan seorang anak
perempuan yang cantik. Setelah melihat sendiri apa yang terjadi pada Allan, Ratu yakin Raja juga tidak
akan segan memukul anak perempuannya yang mungil.
Ratu dilanda kebimbangan antara meninggalkan Vandella untuk menyelamatkan Altamyra dan menetap
di Istana untuk menjaga Allan. Ia sangat mencintai kedua anaknya dan tidak tega meninggalkan seorang
pun di antara mereka.
Sekejam-kejamnya Raja Wolve, Ratu yakin ia takkan membunuh Putra Mahkotanya sendiri. Berpegang
pada keyakinan itu, Ratu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Vandella selama-lamanya.
Dengan berat hati, Ratu meninggalkan Allan di malam-malam buta bersama Altamyra yang masih bayi
dan pelayannya yang setia, Hannah.
Negara yang menjadi tujuan Ratu adalah Roma. Ratu tahu suaminya takkan berani menyerangkotasuci
Roma kecuali ia ingin dimusuhi Raja-raja Eropa. DisanaRaja Wolve tidak dapat menemukan mereka.
Pada tahun pertama pelarian mereka, mereka bisa hidup enak berkat perhiasan-perhiasan mahal Ratu.
Walaupun begitu mereka tidak hidup bermewah-mewah. Asalkan mereka bisa makan, itu sudah cukup.
Ratu tahu ia harus menghemat segala yang dimilikinya untuk putrinya yang masih kecil.
Berkat uang simpanan Ratu itulah Altamyra tumbuh menjadi gadis cantik yang selalu ceria. Hidupnya
tidak bergelimangan kemewahan tetapi bergelimangan kebahagiaan. Altamyra terus tumbuh tanpa
mengetahui siapa ayahnya dan siapa dirinya yang sebenarnya. Altamyra hanya tahu ia adalah anak desa.
Sering Altamyra menanyakan ayahnya tapi Ratu tidak mau memberitahu. Baik Ratu maupun Hannah
merahasiakan hal itu dari Altamyra. Mereka hanya menjawab pertanyaan Altamyra dengan berkata,
“Aku akan mengatakannya suatu saat nanti.”
Sering pula Altamyra melihat ibunya sedang melamun. Ia tampak sangat sedih merindukan seseorang.
Altamyra yang tidak tahu apa-apa sering bertanya, “Mengapa Mama sedih? Mama memikirkan Papa?”
Ratu selalu menjawab pertanyaan polos itu dengan tersenyum sedih.
Seiring dengan tumbuhnya Altamyra, pikiran gadis itu menjadi lebih dewasa. Altamyra pun mulai berpikir
ayahnya meninggalkan ibunya hingga sekarang ibunya selalu merindukannya. Sejak itu Altamyra tidak
pernah menanyakan ayahnya lagi. Sejak saat itu pula muncul kebenciannya pada ayah yang tak pernah
dilihatnya.
Tahun demi tahun terus berganti. Tak terasa sudah sembilan tahun Ratu meninggalkan Istana. Tetapi,
sejak mereka pergi hingga saat ini tidak pernah terdengar kabar Raja Wolve mencari mereka. Ratu
sangat lega karenanya. Kehidupan yang tenang dapat terus dijalaninya. Kecuali mengkhawatirkan Allan,
tidak ada lagi yang membuat Ratu cemas.
Natal tahun ke sembilan itu semua berubah. Ratu tiba-tiba jatuh sakit. Kehidupan yang penuh kerja
keras membuat tubuhnya sakit-sakitan. Sebagai orang yang sejak lahir hidup dalam kemewahan, Ratu
tidak terbiasa hidup sederhana bahkan serba kekurangan seperti ini.
Uang yang sengaja disimpan Ratu untuk masa depan Altamyra terpaksa digunakan untuk mengobati
Ratu. Ratu tidak setuju menggunakan uang simpanannya itu tetapi Hannah tetap menggunakannya. Kata
Hannah, uang bisa dicari tetapi nyawa tidak.
Altamyra yang tidak tahu menahu tentang uang simpanan ibunya, diam saja. Ia hanya bisa terus berdoa
dan menjaga ibunya.
Baik Ratu maupun Hannah tidak ingin pendidikan Altamyra terhenti karena masalah ini. Mereka pun
mendesak Altamyra agar tidak meninggalkan pelajarannya demi menjaga Ratu.
Sebagai anak yang tahu balas budi, Altamyra menurutinya. Ia tahu untuk bisa membesarkannya, ibunya
telah bekerja keras. Semasa ibunya masih sehat dulu, hampir tiap saat Altamyra melihat ibunya dan
Hannah menenun kain seperti orang-orang desa Marshwillow lainnya. Mereka menenun hingga larut
untuk membiayai hidup mereka terutama Altamyra yang sedang tumbuh.
Ratu ingin memberikan yang terbaik bagi putrinya. Ia ingin Altamyra tumbuh sehat seperti gadis lainnya.
Sejak saat itulah hidup mereka menjadi lebih sulit. Seluruh uang yang mereka miliki digunakan untuk
mengobati Ratu. Tetapi, kesehatan Ratu terus memburuk.
Hannah, pelayan ibunya yang setia bekerja lebih keras untuk mengobati Ratu dan membesarkan
Altamyra. Tidak lagi istirahat untuknya. Di saat mempunyai waktu luang, ia membantu para tetangga
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia telah bekerja dengan sangat keras tetapi uang yang
dihasilkannya tidak pernah cukup untuk hidup mereka.
Walaupun masih anak-anak, Altamyra mengetahui kesulitan yang dialami keluarganya. Di balik
kesibukan belajarnya, ia sering membantu Hannah memintal dan menenun.
Altamyra juga tahu uang hasil kerja keras mereka tidak cukup untuk membeli semua kebutuhan mereka.
Altamyra meminta Hannah menggunakan semua uang itu untuk menyembuhkan ibunya.
“Demi kesembuhan Mama, aku mau mengorbankan apa saja.”
Itulah yang selalu dikatakannya pada Hannah.
Hannah sendiri juga mau melakukan apa saja demi kesembuhan Ratu tetapi ia juga mempunyai
kewajiban untuk membesarkan Altamyra.
Altamyra terus mendesak Hannah hingga wanita itu tidak mampu melawan keinginannya lagi.
Walaupun kesehatan Ratu terus memburuk, mereka tidak berhenti berusaha. Mereka terus menahan
lapar untuk membeli obat bagi Ratu. Mereka terus berusaha memberikan makanan yang terbaik untuk
Ratu.
Ratu tidak pernah tahu untuk dirinya, Hannah sering meminjam uang pada tetangga.
Penduduk desa Marshwillow tidak ada yang kaya, tetapi mereka tetap mau membantu. Ratu dan
Hannah adalah orang asing di tempat itu tetapi mereka telah dianggap penduduk sebagai bagian dari desa
Marshwillow. Demikian pula Altamyra yang tumbuh besar disana.
Perjuangan Ratu menghadapi penyakitnya akhirnya berakhir pada suatu musim gugur yang dingin.
Setelah selama dua tahun bergelut dengan penyakitnya, Ratu menghembuskan nafas terakhirnya di suatu
pagi yang hujan lebat.
Seperti kehilangan anggota keluarga mereka, seluruh penduduk desa Marshwillow bersedih atas
kepergian Ratu. Berita kematian Ratu yang tersebar cepat di desa kecil itu mengundang penduduk untuk
membantu pemakaman Ratu.
Hingga ia mati, Ratu tidak pernah mengatakan siapakah dirinya yang sebenarnya. Baik Altamyra maupun
penduduk Marshwillow mengenal Ratu sebagai seorang wanita lembut yang bernama Reinny.
Setelah pemakaman ibunya, Altamyra baru mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.
Untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu padanya, Ratu telah menulissuratwasiat dan menitipkannya pada
Hannah.Suratitu hanya boleh diberikan pada Altamyra bila ia telah meninggal. Dalamsuratitu, Ratu
mengatakan segala sesuatu yang selama ini dirahasiakannya dari Altamyra.
Mulanya Altamyra tidak percaya ia adalah Putri Kerajaan. Setelah mendengar cerita Hannah, barulah ia
percaya. Hal itu tidak membuatnya sombong, melainkan membuatnya makin rendah hati. Kebenciannya
pada ayahnya yang sudah tumbuh kian menjadi-jadi.
Seperti ibunya, Altamyra tidak berkeinginan untuk kembali ke Vandella. Walaupun ingin bertemu Allan,
Altamyra tetap bersikeras untuk tinggal di Marshwillow yang dicintainya.
Hannah tidak bisa berbuat apa-apa untuk memaksa Altamyra pulang. Altamyra adalah majikan dan Putri
Kerajaan tanah airnya.
Walaupun tahu hidupnya akan lebih terjamin bila ia kembali pada ayahnya, Altamyra memilih tinggal di
sisi pusara ibunya.
Altamyra tidak pernah merasa dirinya adalah seorang Putri. Ia adalah gadis desa. Ia dibesarkan sebagai
seorang gadis desa yang hidupnya serba kesulitan, bukan sebagai Putri.
Setelah mengetahui rahasia itu, Altamyra mulai menduga ibunya sering melamun bukan memikirkan
ayahnya tetapi memikirkan Allan yang berada dalam cengkeraman ayahnya. Altamyra tahu ibunya
dengan sangat berat hati meninggalkan kakaknya dalam kekejian ayahnya. Altamyra juga tahu bagaimana
tindakan ayahnya pada Allan hingga membuat ibunya terpaksa meninggalkan Allan untuk
menyelamatkannya.
Kebencian yang mendalam pada ayah yang kejam, membuat Altamyra semakin ingin melupakan jati
dirinya. Ia tak peduli apakah ia seorang putri atau bukan. Ia hanya tahu ia adalah gadis desa.
Waktu terus berjalan. Altamyra melupakan rahasia itu. Dalam pikiran maupun dalam tingkah lakunya, ia
tidak pernah lagi mengingat maupun teringat akan siapa dirinya. Altamyra sudah benar-benar melupakan
hal itu ketika Dewey, Menteri Luar Negeri Vandella muncul.
Saat itu Altamyra sedang menanti Hannah yang pergi berbelanja. Sambil menanti, ia menyibukkan diri
dengan menyulam. Di tengah kesibukannya itulah tiba-tiba pintu diketuk orang.
“Tidak mungkin Hannah yang datang,” pikir Altamyra, “Ia tidak perlu mengetuk pintu kalau ingin
masuk.”
Altamyra menuju pintu sambil bertanya-tanya siapa yang datang. Sejak ibunya dikubur, hampir tidak ada
lagi penduduk Marshwillow yang mengunjungi mereka. Penduduk tahu dengan segala keterbatasan yang
ada, mereka tidak dapat menjamu tamu. Penduduk tidak ingin merepotkan Hannah maupun Altamyra.
Altamyra terpana melihat seorang pria setengah baya berdiri di ambang pintu dengan bajunya yang indah
mengkilat. Ia diapit dua pria lain yang lebih muda dan lebih sederhana pakaiannya.
Altamyra melihat mereka semua dari atas ke bawah. Pria yang di tengah mengenakan jas yang rapi
sedang yang di tepi mengenakan baju prajurit dengan warna biru untuk atasannya dan putih untuk
celananya.
Mereka membuat Altamyra bersikap waspada. Altamyra tidak tahu siapa mereka, tetapi mereka telah
menimbulkan kecurigaannya.
“Anda mencari siapa, Tuan?”
“Saya Dewey, Menteri Luar Negeri Kerajaan Vandella. Saya datang untuk menjemput Yang Mulia
Paduka Ratu Reinny dan Yang Mulia Tuan Puteri Altamyra.”
Buku-buku jari tangan Altamyra memutih mendengarnya. Gadis itu membusungkan dadanya dan
menatap pria di depannya. “Mereka tidak ada di sini,” katanya tegas.
Walaupun Raja Wolve mengirim jemputan untuk mereka, Altamyra takkan mau kembali. Ibunya telah
bersusah payah untuk dapat berada di sini. Dan, sebagai anak berbakti, Altamyra takkan membuat usaha
ibunya menjadi sia-sia.
“Mata-mata kami memberitahu mereka berdua tinggal di sini,” kata Dewey keheranan.
“Sayang sekali, Tuan, mereka tidak ada di sini.”
“Ya, sayang sekali,” Dewey tampak sangat sedih, “Mungkin mereka sudah pindah atau mata-mata kami
yang salah.”
“Mungkin saja,” Altamyra menyetujui.
“Terima kasih, Nona. Maaf kami telah menganggu Anda.”
Altamyra yakin mereka akan kembali ke Vandella dengan tangan kosong apabila saat itu Hannah tidak
muncul.
Sejak ibunya masuk Istana, Hannah dan Dewey berkenalan. Hannah tidak mungkin melupakan Dewey.
Dewey juga tidak mungkin melupakan pelayan ibunya itu.
“Apa kabar, Tuan Dewey?” sapa Hannah, “Lama kita tidak bertemu.”
“Hannah?” tanya Dewey tak percaya, “Engkau tinggal di sini?”
“Tentu saja,” jawab Hannah tanpa menyadari kesalahannya, “Sejak meninggalkan Vandella, aku tinggal
di tempat ini.”
“Berarti Paduka Ratu dan Tuan Puteri ada di sini,” gumam Dewey. Tiba-tiba pria itu berbalik dan
menatap Altamyra lekat-lekat.
Altamyra tetap bersikap tenang.
Dewey mencermati tiap lekuk wajah Altamyra. Semakin dilihat, semakin tampak kemiripannya dengan
Ratu Reinny sewaktu ia masih muda. Hanya saja mata biru gadis ini lebih cerah dan rambutnya lebih
bersinar cerah. Selain itu, ia benar-benar seperti gambaran diri Ratu di waktu muda.
Dewey memandang Hannah dengan penuh pertanyaan di matanya.
“Benar, ia adalah…” Hannah tidak jadi melanjutkan kata-katanya. Matanya bertemu dengan wajah
Altamyra yang menyuruhnya menutup mulut.
Sayangnya, Dewey sudah dapat menebak siapa gadis yang membukakan pintu itu.
Altamyra yang sudah menebak hal itu, segera menyingkir ke dalam rumah. Ia menyadari kemiripannya
dengan ibunya. Tak perlu orang lain untuk mengatakan mereka mirip. Altamyra tak mau mendengar siapa
dirinya yang sesungguhnya.
Dewey bingung melihat kepergian gadis itu.
Hannah merasa bersalah atas kejadian itu. “Silakan masuk, Tuan. Saya ingin mengetahui apa yang
membuat Anda datang ke sini.”
Dewey memandangi keadaan di dalam rumah kecil itu. Ruangan-ruangannya sangat kecil dan hampir
kosong. Tidak nampak sofa-sofa yang indah, lukisan-lukisan. Semuanya tidak mencerminkangayahidup
keluarga kerajaan tetapi mencerminkan kehidupan orang miskin yang penuh penderitaan.
Dinding-dinding kayunya tampak lapuk dan disanasini mulai tumbuh lumut. Atapnya lebih mengenaskan
lagi. Atapnya tampak sangat lemah dan sewaktu-waktu siap runtuh.
Tak pernah disangka Dewey kehidupan Ratu dan Putri kerajaannya sedemikian buruknya. Mereka
benar-benar melarat seperti layaknya orang miskin.
“Silakan duduk, Tuan,” kata Hannah, “Maaf tempat kami kotor.”
Dewey mendengar deritan kursi kayunya ketika ia duduk. Dewey melihat sekeliling seperti mencari
seseorang. “Di mana Paduka Ratu?”
Hannah menunduk sedih. “Ia meninggallimatahun lalu.”
“Oh,” itulah yang pertama kali terloncat dari mulut Dewey. “Aku turut berduka cita.”
“Terima kasih, Tuan.”
“Sejak itu engkau sendiri yang membesarkan Tuan Puteri?” Dewey tiba-tiba bertanya.
Hannah tersenyum. “Tepatnya tidak.” Melihat wajah heran Dewey, Hannah melanjutkan, “Nona tidak
membiarkan dirinya merepotkan orang lain. Ia ikut berusaha untuk menghidupi keluarga kecil kami ini.”
Dewey terpekur menatap lantai kayu di kakinya.
“Apa yang membuat Anda datang?”
“Berita duka juga,” jawab Dewey.
“Berita duka?”
“Yang Mulia Paduka Raja Wolve telah meninggal.”
“Apa!?” Hannah terkejut, “Kapan itu terjadi?”
“Berbulan-bulan lalu. Kira-kira tujuh sampai delapan bulan lalu.”
“Oh…” gumam Hannah. “Aku sama sekali tidak menyangkanya.”
“Kami semua juga tidak pernah menduga Paduka pergi secepat ini. Sebulan sebelum beliau meninggal, ia
sakit. Kami semua itu hanya sakit biasa. Tapi, siapa menduga Tuhan berkata lain.”
“Tentunya sekarang tahta kerajaan sedang kosong,” komentar Hannah tanpa pikir panjang. Tiba-tiba
Hannah teringat akan Allan. Ia baru saja akan membetulkan kata-katanya ketika Dewey berkata,
“Karena itulah kami datang ke sini.”
Hannah keheranan. “Bukankah ada Pangeran Allan?”
“Sayang sekali Pangeran juga sudah meninggal.”
“Apa!?” Hannah terkejut. “Pangeranmalang, ia masih terlalu muda untuk mati.”
“Ya, sayang sekali,” Dewey setuju.
“Saya khawatir Anda tidak berhasil, Tuan.”
“Maksudmu?”
“Nona… ehm… maksudku Tuan Puteri tidak mau kembali ke Vandella. Seperti ibunya, sedikit pun ia
tidak ingin kembali ke Vandella. Ia membenci Raja Wolve.”
Dewey sedih mendengarnya. “Kau harus membantuku, Hannah. Hanya engkau yang paling dekat
dengannya. Bujuklah dia.”
“Saya rasa percuma, Tuan,” kata Hannah, “Maaf saya tidak bisa membantu.”
“Engkau harus bisa membantuku.”
“Saya benar-benar tidak bisa, Tuan Dewey.”
“Kau harus.”
“Aku menolak!”
Dewey terkejut. Altamyra tiba-tiba muncul di ruangan itu. Gadis itu seperti sudah mendengar semuanya.
“Maafkan aku,” kata Altamyra, “Aku tidak bermaksud mendengar pembicaraan kalian. Tetapi, rumah
ini kecil dan di mana pun aku berada, aku dapat mendengar pembicaraan kalian.”
“Saya mohon kembalilah ke Vandella, Yang Mulia. Rakyat Vandella membutuhkan Anda.”
“Jangan memohon padaku. Aku takkan mengubah jawabanku,” kata Altamyra tegas.
“Rakyat Vandella sedang menderita, Yang Mulia. Saat ini mereka membutuhkan bantuan Anda. Hanya
Anda yang bisa menyelamatkan mereka dari penderitaan ini.”
“Salahkan serigala itu!” Altamyra bosan dibujuk, “Salahkan kekejamannya hingga tega membunuh putra
kandungnya sendiri.”
“Pangeran Allan meninggal bukan karena dibunuh Paduka. Ia yang membunuh dirinya sendiri,” kata
Dewey, “Ia bunuh diri.”
“Allan bunuh diri karena serigala itu, bukan?”
“Mengapa?” tanya Altamyra keheranan, “Tidak mungkin serigala itu tidak menunjuk pewarisnya yang
baru setelah Allan meninggal.”
“Andaikan saja itu terjadi, Yang Mulia,” Dewey menyesal, “Hingga beliau meninggal, ia tidak pernah
menunjuk penggantinya. Di Vandella ada isu yang tersebar Putri Prischa, anak tunggal keluarga Apaleah
yang mempunyai hubungan dekat dengan Raja, akan naik tahta bila Paduka meninggal. Hal itu benar bila
Anda tidak ada.”
“Bersikaplah seperti aku telah meninggal.”
“Itu adalah tradisi, Yang Mulia. Kami tidak berani menentangnya. Rakyat Vandella pasti memberontak
bila kami melanggar tradisi ini. Karena itulah hingga hari ini kami belum mengumumkan kematian Paduka.
Kami tidak ingin terjadi perebutan kekuasaan. Kami juga tidak ingin membuat pemberontak kerajaan
melakukan kudeta.”
“Pemberontak?” Hannah tertarik pada cerita Dewey.
“Sebenarnya sejak dulu sudah ada gerakan pemberontakan terhadap Raja tapi gerakan itu baru kentara
tak lama setelah kalian pergi. Pemimpin pemberontak itu telah menjadi pahlawan rakyat Vandella yang
miskin dan menderita. Kami yakin demi pahlawan mereka itu, mereka sanggup mengorbankan apa saja
terlebih setelah mengetahui Paduka telah meninggal. Kami menghindari hal itu. Kami tidak ingin terjadi
perang antara pasukan kerajaan dengan rakyat.”
“Angkatlah sang pahlawan menjadi raja dan semua masalah selesai,” usul Altamyra, “Rakyat takkan
marah karenanya.”
“Sudah kami jelaskan, Yang Mulia, tradisi membuat kami tidak bisa berbuat lain. Selama Anda masih
ada, tidak ada yang berhak menduduki tahta kerajaan.”
“Apakah Anda tidak ingin pulang ke Vandella, Nona?” Hannah akhirnya ikut membujuk, “Walaupun
Anda hanya tinggal sehari di Vandella, Anda tetap lahir di Vandella. Dalam diri Anda mengalir darah
Raja Wolve. Saya yakin Ratu pun sebenarnya ingin kembali ke Vandella, tanah airnya.”
Altamyra menangkap maksud lain di balik pernyataan itu. Dengan lembut ia berkata, “Kembalilah ke
Vandella bila engkau ingin, Hannah. Aku tetap tinggal di sini.”
“Saya telah berjanji pada Ratu untuk tidak meninggalkan Anda.”
“Kalau begitu aku memerintahkanmu untuk kembali ke Vandella.”
“Saya tidak dapat meninggalkan Anda, Nona. Bila Anda tinggal di sini, saya tidak mau kembali. Sekali
pun Anda memaksa, saya tetap akan tinggal di sisi Anda untuk melayani Anda.”
“Kau harus, Hannah. Aku tahu engkau selalu merindukan keluargamu,kotatempat engkau dilahirkan.
Engkau selalu merindukan Vandella.”
“Hannah benar, Paduka. Anda harus kembali ke Vandella. Hanya Anda yang bisa menjadi Raja kecuali
Anda turun tahta dan menyerahkannya pada orang lain.”
Altamyra diam merenung kemudian ia berkata, “Baiklah. Aku ikut kalian.”
Setelah mendapat keputusan akhir Altamyra, Dewey segera mengirim utusan untuk memberitahu para
Menteri Vandella. Ia meminta mereka menyiapkan segala perlengkapan untuk penobatan Altamyra.
Di sebuah desa kecil di tepi perbatasan Vandella, Ludwick, Menteri Dalam Negeri Vandella telah
menantinya untuk upacara penobatan.
Upacara penobatan itu berlangsung sederhana. Uskup Vandella yang menobatkan Altamyra dengan
Dewey dan Ludwick sebagai saksinya.
Saat itu yang ada di dalam benak Altamya adalah kembali ke Vandella untuk mengumumkan kematian
ayahnya, menyatakan diri sebagai raja baru lalu turun tahta dan menyerahkannya pada Prischa. Terakhir,
kembali ke Roma.
Altamyra sama sekali tidak punya niat untuk mengunjungi markas para pemberontak itu. Bahkan, ia
tidak tahu akan mereka melalui tempat itu.
Saat akan melalui Lasdorf, kawasan pemberontak, pasukan pengawal Altamyra memperketat
penjagaan. Kecurigaan Altamyra timbul dan ia memaksa kedua menteri itu mengatakan apa yang terjadi.
Hingga kini Altamyra tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba memutuskan untuk mengunjungi benteng
pemberontak itu.
Setelah mengetahui yang sebenarnya, Altamyra mengirim Dewey beserta Hannah kembali ke Istana
Azzereath. Sementara itu Ludwick dimintanya untuk menantinya di Thamasha.
Mereka berdua tidak setuju pada rencananya. Tetapi, di Vandella titah Raja adalah titah yang tidak
dapat dilawan. Altamyra meyakinkan mereka dengan menjelaskan rencananya.
Saat itu hampir bersamaan dengan kembalinya Prischa dari perjalanannya ke luar negeri. Altamyra
memanfaatkan kesempatan itu.
Seorang prajurit diperintahkannya untuk menyebar isu itu. Beberapa hari kemudian Altamyra melewati
sarang musuh. Sesuai dengan perhitungannya, para pemberontak itu menculiknya.
Satu-satunya yang salah dalam perhitungan Altamyra adalah waktu. Altamyra meminta Ludwick
memberinya waktu satu bulan untuk mengetahui kehidupan pemberontak itu sebelum ia memulai
pemerintahannya.
Ternyata waktu yang digunakan Altamyra lebih dari satu bulan bahkan hampir dua bulan.
Altamyra memang berniat memperpanjang masa tinggalnya di benteng itu dengan membuat mereka
menduga ia adalah pelayan Prischa. Ia berharap perpanjangan waktu itu bisa membuat mereka
mempercayainya dan mau bercerita banyak padanya. Tetapi, Altamyra tidak berniat membuat
pasukannya khawatir.
“Sekarang semuanya telah berubah.”
Itulah yang dikatakan Altamyra pada dirinya sendiri saat melihat bayangannya di cermin.
Sementara ia duduk diam, pelayan-pelayan sibuk menata rambutnya.Adayang khusus bagian
menggelung, ada yang khusus memberi hiasan, ada pula yang khusus menyisiri. Altamyra dibuat pusing
karenanya.
Satu-satunya yang bisa dilakukannya hanya duduk diam sampai mereka selesai mendandaninya.
Altamyra benar-benar lega ketika akhirnya mereka selesai.
“Bawa masuk makan siang untuk Paduka,” Sylta memberi perintah pada pelayan-pelayan lainnya.
“Kurasa aku tidak akan makan siang, Sylta.”
“Seperti keinginan Anda, Paduka.”
Altamyra menangkap kekecewaan di wajah Sylta. Altamyra ingat Hannah selalu kecewa bila ia menolak
memakan apa yang ia siapkan untuknya.
“Tunggu!” Altamyra cepat-cepat mencegah. Dengan tersenyum, ia melanjutkan, “Aku tidak akan
membuat usaha kalian sia-sia. Jadi, aku akan makan. Tetapi, aku tidak ingin sendirian. Tolong panggilkan
Ludwick dan Rasputin untuk menemaniku.”
Walau ia tidak menampakkannya, Altamyra tahu Sylta merasa senang. Terlihat dari nada suaranya
ketika ia menjawab, “Baik, Paduka!”
Sylta segera menyuruh pelayan-pelayan itu berangkat dan ia sendiri pergi untuk memanggil kedua
Menteri itu.
Altamyra mendesah. Tenda yang disiapkan untuknya benar-benar besar. Seratus orang masuk ke dalam
tenda ini, takkan membuat sesak suasana di dalam tenda. Benar-benar tenda seorang Raja.
Altamyra duduk di kursi di tengah tenda. Ia diam merenung sampai Sylta datang melapor,
“Tuan Ludwick dan Tuan Rasputin telah tiba, Paduka.”
“Persilakan mereka untuk masuk.”
“Hamba datang menghadap,” kata kedua orang itu sambil membungkuk hormat.
“Duduklah,” kata Altamyra, “Temani aku makan.”
Mereka duduk dan pelayan-pelayan mulai berdatangan dengan bermacam-macam makanan yang lezat.
Selama makan siang itu Altamyra tidak banyak berbicara. Ia terus memusatkan perhatiannya pada
pikirannya. Sikapnya itu membuat Ludwick dan Rasputin was-was.
Altamyra menyadarinya. “Adaapa?” tanyanya, “Kalian sudah makan siang?”
“Belum, Paduka,” jawab mereka ketakutan.
Altamyra tersenyum. “Aku meminta kalian menemaniku bukan untuk memberi hukuman pada kalian.
Aku selalu merasa harus menghabiskan semua ini bila aku makan sendirian. Ayahku tidak pernah
mengajak kalian makan bersama. Aku benar?”
Mereka diam ketakutan.
“Hanya satu yang dapat kukatakan kepada kalian,” Altamyra melanjutkan dengan tegas, “Aku bukan
ayahku dan aku membenci segala sikapnya.”
Pelayan membawakan hidangan terakhir.
Altamyra menggerakkan tangannya untuk menyatakan ia tidak mau.
Pelayan itu melayani Ludwick dan Rasputin lalu meninggalkan tenda.
“Aku tidak akan memaksa kalian untuk mempercayaiku,” Altamyra mengambil gelasnya yang berisi air
jeruk dan meminumnya dengan tenang.
Pelayan-pelayan segera membersihkan meja seusai mereka selesai dengan makan siang mereka.
Altamyra menuju meja rias dan mencari-cari sesuatu di lacinya.
Kedua menteri itu memandangi Altamyra dengan penuh ingin tahu.
Altamyra menulis sesuatu pada selembar kertas lalu kembali pada kedua menterinya.
“Rasputin, kuperintahkan engkau membawa pulang pasukanmu sore ini. Bawa pula kereta kudaku dan
para pelayan.”
Mereka terkejut tetapi Altamyra tidak memberi mereka kesempatan untuk membantah.
“Dari sini ke Perenolde membutuhkan waktu berapa lama?”
“Paling cepat satu minggu, Paduka.”
“Bukan tiga hari?”
“Dengan kecepatan tinggi, waktu itu bisa tercapai, Paduka. Tetapi kita tidak bisa secepat itu dengan
Anda bersama kami. Kami harus berhati-hati dalam setiap langkah kami demi keselamatan Anda.”
Altamyra berpikir keras. “Aku ingin kalian berdua kembali ke Perenolde sore ini juga. Ludwick,
kuperintahkan engkau untuk menyebar titahku ini pada para Menteri.”
Sementara Ludwick membaca kertas itu, Altamyra melanjutkan, “Aku ingin engkau mempersiapkan
rapat di Istana tepat minggu depan. Aku ingin kalian berdua juga membuat laporan atas apa yang kalian
kerjakan selama ini. Mulai dari ayahku sakit hingga saat ini.”
“Bagaimana dengan Anda, Paduka?” Rasputin memberanikan diri untuk bertanya.
“Tinggalkan seekor kuda untukku dan empat prajurit terbaikmu, Rasputin. Aku akan segera berangkat
setelah kalian pergi. Satu tugas lagi untukmu, Ludwick, aku ingin engkau memberitahu Hannah bahwa
aku baik-baik saja dan aku akan segera tiba.”
“Maafkan saya, Paduka, tetapi saya tidak menyetujui usul Anda. Rencana ini terlalu berbahaya. Kami
mengkhawatirkan keselamatan Anda.”
“Apakah engkau kira dengan sekompi pasukan, aku akan selamat?” tanya Altamyra.
“Tidak, Rasputin. Sebuah kereta emas telah menarik perhatian apalagi dengan banyak pasukan. Engkau
juga harus ingat aku baru saja meninggalkan Lasdorf. Tentunya saat ini mereka sedang mengawasi kita
dan bersiap-siap untuk menculikku kembali. Aku telah mengetahui persembunyian mereka. Bagi mereka,
aku terlalu berbahaya untuk dilepas di tengah-tengah kalian.”
Rasputin ingin mengatakan sesuatu tetapi Altamyra mendahuluinya,
“Jangan menyarankan aku untuk menyerang mereka. Aku tidak akan pernah menyerang mereka.
Mereka berjuang untuk kemakmuran mereka. Bukan untuk menggulingkan pemerintah. Di samping itu,
saat ini yang terpenting adalah menyelesaikan masalah pergantian tahta ini.”
Mereka diam memikirkan rencana Altamyra.
Altamyra tidak memberi mereka kesempatan untuk berpikir terlalu lama. “Hari mulai siang. Kembalilah
kalian untuk beristirahat. Pukullimasore nanti kembalilah kalian ke Perenolde. Dan, bila kalian masih
mengkhawatirkan keselamatanku, tinggalkan empat jendral terbaikmu, Rasputin.”
Kedua menteri itu terbiasa untuk tidak membantah titah Raja. “Kami mengerti, Paduka,” kata mereka.
Sekali lagi mereka membungkuk hormat dan meninggalkan tenda Altamyra.
Sylta masuk tak lama setelah kepergian kedua pria itu.
“Sore ini kembalilah ke Perenolde bersama pasukan yang lain,” kata Altamyra, “Katakan pada Hannah
untuk tidak mencemaskanku. Aku akan segera tiba.”
“Anda tidak pulang bersama kami, Paduka?”
“Aku akan pulang setelah kalian berangkat.”
“Biarlah saya ikut dengan Anda, Paduka. Saya ingin terus melayani Anda.”
“Engkau akan melakukannya, Sylta. Tapi tidak saat ini. Banyak yang ingin kulakukan sepanjang
perjalanan pulang nanti. Aku ingin engkau kembali ke Azzereath.”
“Keinginan Anda adalah tugas bagi saya, Paduka.”
Altamyra mengeluh. Semua orang tidak ada yang berani membantahnya. Mereka semua takut padanya.
Kalau ada yang salah di mata mereka, mereka hanya berani bertanya. lalu diam lagi setelah mendapat
jawaban. Untuk mengatakan tidak setuju pun mereka takut dan didahului kata ‘maaf’.
Rambut panjangnya tersembunyi di balik topi hitamnya. Rambutnya yang terjuntai keluar tertimpa sinar
matahari sore dan bersinar indah seperti perhiasan yang tak ternilai harganya.
Wajah cantiknya bersinar ceria. Matanya memandang lembut. Senyum manis tersungging di wajahnya
yang berseri.
Gadis itu berdiri tegak dan menampakkan wibawanya sebagai seorang Ratu.
“Kalian membuatku geli,” kata Altamyra, “Apakah kalian berpikir aku sebesar gajah hingga kalian
terkejut ketika aku tiba-tiba menjadi tidak lebih besar dari semut? Hidup makmur seperti ini dapat
membuat aku bertambah gemuk tetapi waktu dua bulan lebih belum cukup untuk membuatku tampak
subur seperti gajah.”
“Sudahlah,” Altamyra menghentikan tawa gelinya, “Segeralah kembali ke Perenolde sebelum hari gelap.
Jangan buat keluarga kalian menanti dengan cemas lebih lama lagi.”
“Kami berangkat, Paduka.”
Altamyra melambaikan tangannya sampai mereka jauh.
“Kita juga harus segera berbenah dan kembali ke Perenolde.”
“Baik, Paduka.”
Keempat pasukan terbaik yang ditinggalkan Rasputin untuk mengawalnya, mulai membongkar tenda
Altamyra.
Segala perabot yang ada di dalam tenda itu telah dibawa kembali pasukan tadi. Sekarang yang tertinggal
hanya sebuah tenda kosong.
Gaun-gaun Altamyra juga telah dibawa pulang semua. Altamyralah yang memerintahkan hal itu. Ia
menolak membawa baju ganti karena itu akan merepotkan rencananya.
Hari mulai gelap ketika Altamyra menaiki kuda hitam yang ditinggalkan untuknya.
“Ke mana kita akan pergi, Paduka?” tanya Jenderal Duane.
“Kita akan meninggalkan tempat ini,” kata Altamyra, “Semakin larut kita melewati daerah pemberontak,
semakin baik. Malam-malam seperti ini mereka tidak akan mengenali kita.”
“Kami mengerti, Paduka.”
Segera dua orang menempatkan diri di kanan kiri Altamyra dan yang lain mengekor di belakang
Altamyra.
Seperti perhitungan Altamyra, suasana sekitar Lasdorf sangat sepi. Tak tampak seorang pun hingga
mereka berada jauh dari tempat itu.
Melihat hari semakin larut, Altamyra berkata, “Kita harus cepat-cepat mencapaikotaterdekat.”
“Jidoor terletak di sekitar tempat ini, Paduka,” kata Jenderal Hermit, “Kita bisa mencapainya dalamlima
belas menit.”
“Kita kesana,” Altamyra memutuskan, “Tunjukkan jalannya padaku, Hermit.”
Hermit memimpin mereka ke Jidoor.
Dikotakecil itu Altamyra memutuskan akan tinggal untuk malam ini.Kotakecil ini tidak mempunyai
penginapan mewah, tapi Altamyra tidak mengeluh. Ia tahu ia tidak bisa mengharapkan kemewahan dari
kehidupan rakyatnya yang menderita.
Hermit memesan tiga kamar yang berjajar untuk mereka. Kamar Altamyra di tengah dan kedua kamar
lain untuk mereka.
Malah sudah larut ketika mereka tiba di penginapan. Altamyra tidak ingin membuat para Jenderal yang
mengawalnya lelah. Ia tahu tugas mereka berat. Ia pun segera masuk kamarnya seusai makan malam.
Pagi setelah makan pagi, mereka melanjutkan perjalanan.
Setelah melihat kehidupan rakyat Lasdorf, Altamyra tidak terkejut melihat kehidupan di Jidoor. Rakyat
tampak letih dan lemah. Mereka seperti sudah berhari-hari tidak makan. Hanya mereka yang cerdik yang
bisa bertahan dalam situasi seperti ini.
Altamyra melihat sendiri bagaimana orang kaya di Jidoor menolak membantu rakyat yang lain. Bagi
mereka, mengumpulkan uang sepenny adalah sangat sulit. Terlalu berharga uang satu penny untuk
diberikan pada orang miskin.
Hari ini mereka kaya, tetapi belum tentu dengan hari esok. Kekayaan di negara ini tidak pernah terjamin.
Raja yang serakah itu selalu merebutnya dengan kejam.
Altamyra ingin menyumbangkan uang yang dimilikinya pada mereka, tetapi ia tidak melakukannya.
Altamyra tahu ia hanya akan menarik perhatian bila ia melakukannya.
Saat ini setiap orang sibuk mencari kekayaan sendiri untuk dapat membayar pajak. Semua tahu tidak
membayar pajak berarti melawan Raja. Hukumannya adalah masuk penjara. Bahkan, bisa saja hukuman
mati.
Situasi Vandella saat ini benar-benar kacau. Semua saling menekan dan saling bersaing dalam
mengumpulkan uang. Tidak ada lagi yang peduli pada sesama mereka.
Altamyra mendesah panjang.
“Apakah ada yang salah, Paduka?” tanya Duane cemas.
“Kehidupan rakyat benar-benar parah,” jawab Altamyra, “Semuanya lebih buruk dari bayanganku.
Rakyat ini benar-benar membutuhkan raja yang baik.”
“Saya menyarankan kita segera kembali ke Perenolde secepatnya, Paduka.”
“Bilaengkau bermaksud mengatakan semakin cepat aku mengambil alih pemerintahan semakin baik,
Nazer,” kata Altamyra, “Aku sependapat denganmu.”
Walaupun Altamyra telah berkata seperti itu, ia tetap memacu kudanya dengan lambat. Setiap kali
memasuki daerah pemukiman, ia berjalan lambat. Tetapi, ia memacu kudanya dengan kencang di jalan
antara duakota.
Keempat Jenderal itu tampak senang mengawal Altamyra. Gadis itu tidak banyak menuntut seperti
layaknya seorang Ratu. Ia lebih banyak mempelajari sekitarnya.
Mereka tiba di Perenolde dua hari lebih cepat dari perhitungan Altamyra.
Ketika memasuki Perenolde, Altamyra tidak melihat perbedaankotaini dengan kota-kota lainnya. Tetapi,
ketika ia semakin dalam beradadi Perenolde,iamulai melihat ciri ibukota. Gedung-gedung tinggi berjulang
tetapi tidak dapat menyaingi istana megah yang menjulang ke langit.
Sepuluh mil di luar Perenolde, Altamyra dapat melihat megahnya Istana Azzereath. Dan, semakin dekat
semakin indah Azzereath.
Sangat disayangkan oleh Altamyra di sekeliling istana megah ini terdapat kehidupan yang
memprihatinkan. Istana ini berdiri angkuh menatap kehidupan di luar dirinya yang penuh penderitaan.
“Tak lama lagi semua akan berubah,” Altamyra meyakinkan dirinya sendiri.
Setelah melihat sendiri penderitaan rakyatnya, Altamyra mengubah rencananya. Ia mengerti ia tidak
dapat dengan mudah mengalihkan tahta pada orang lain seperti mainan. Ia harus memperbaiki kesalahan
ayahnya. Walau ia membenci ayahnya, sebagai keturunannya ia merasa harus mewakili serigala itu
meminta maaf.
Pintu gerbang istana yang menjulang tinggi tertutup rapat seperti tidak mau menerima kehadiran orang
lain. Dua prajurit berdiri tegak menjaga pintu gerbang.
“Buka pintu!” perintah Jenderal Duane.
Kedua prajurit itu membuka pintu gerbang dan dengan penuh ingin tahu memperhatikan Altamyra yang
dikawal keempat Jenderal terbaik Vandella.
Altamyra tersenyum ramah dan berkata, “Terima kasih.” Kemudian ia memacu kudanya memasuki
halaman Istana yang luas.
Karena kedatangan Altamyra dua hari lebih cepat dari yang direncanakan, tidak ada pesta penyambutan
untuknya. Altamyra tidak peduli akan hal itu.
Gadis itu menghentikan kudanya di tangga masuk.
Seumur hidup Altamyra tidak pernah membayangkan akan tinggal di bangunan setinggi dan semegah ini.
Istana Azzereath lebih megah dari yang Altamyra bayangkan tetapi juga lebih dingin dari bayangan
Altamyra.
Altamyra turun dari kudanya dan menapaki tangga menuju pintu masuk.
“Tahan!” dua prajurit menghadang jalan Altamyra dengan tombak mereka yang runcing. “Siapa kau?
Mau apa masuk ke sini?”
Altamyra tersenyum. Mereka tidak mengetahui siapa dirinya.
“Apa yang kalian lakukan?” Jenderal Nazer memarahi mereka, “Mengapa kalian menghadang jalan
Paduka?”
“Mereka tidak mengenaliku, Nazer,” Altamyra mengingatkan, “Ini pertama kalinya aku menginjakkan
kaki di Azzereath.”
“Tapi mereka tidak berhak menghadang jalan Anda, Paduka.”
“Apakah kalian akan mengenaliku kalau aku tiba-tiba muncul tanpa memberitahu kalian siapa aku?”
“Tentu saja tidak, Paduka,” jawab Jenderal Hermit.
“Jadi,” kata Altamyra, “Kalian tidak boleh memarahi mereka.”
“Kami mengerti, Paduka,” sahut mereka.
“Ijinkan saya memperkenalkan diri pada Anda, Tuan-tuan,” kata Altamyra, “Nama saya Altamyra. Saya
datang dari desa Marshwillow, Roma.”
Kedua prajurit itu terkejut mendengar nama ‘Altamyra’. mereka cepat-cepat berlutut dan berkata,
“Maafkan kelancangan kami, Paduka. Kami patut dihukum.”
“Berdirilah. Jangan mudah mengatakan patut dihukum,” Altamyra menasehati, “Belum tentu setiap
kesalahan adalah kesalahan kalian. Seperti kali ini, kalian sama sekali tidak bersalah. Kalian hanya tidak
mengenaliku.”
“Terima kasih atas kebaikan Anda, Paduka.” Mereka pun berdiri.
“Aku menyerah,” kata Altamyra, “Aku tidak tahu bagaimana lagi membuat kalian berhenti bersikap
sekaku ini.”
“Sejujurnya, Paduka, Andalah yang harus merubah pandangan Anda,” kata Jenderal Werner tanpa rasa
takut.
Keempat Jenderal itu telah mengenal watak Altamyra dalam perjalanan pulang ini. Mereka yang terus
mengawal Altamyra tahu Altamyra tidak mudah marah. Gadis itu mengharapkan orang-orang tidak terlalu
memujanya walau ia adalah seorang Ratu.
“Aku?”
“Anda adalah Ratu. Sudah sepantasnya kami menyanjung Anda,” jawab Hermit.
Altamyra mengeluh panjang dan melangkah masuk.
Tindakan pertama yang dilakukan Altamyra setelah ia berada di dalam Istana adalah melepas topinya.
Altamyra merapikan rambutnya dengan tangannya.
“Benar-benar istana orang serakah,” gumam Altamyra.
Semua yang ada di dalam Istana bersinar cerah. Semuanya terbuat dari bahan-bahan terbaik. Tak satu
pun yang tampak buruk. Semuanya bersinar angkuh.
“Selamat datang, Paduka.”
Altamyra menatap Ludwick dengan heran. “Bukankah engkau seharusnya menyusun laporan?”
“Saya telah menyuruh orang lain untuk mengerjakannya selama saya mengatur penyambutan Anda di
sini.”
“Tetapi sekarang itu tidak perlu lagi,” sambung Altamyra.
“Anda datang lebih cepat dari yang dijadwalkan. Bagaimana perjalanan Anda, Paduka?”
“Semua lancar. Tidak ada gangguan sedikit pun. Bagaimana dengan perjalananmu?”
“Ketika melewati Lasdorf, kami melihat beberapa orang mengawasi kami tetapi mereka membiarkan
kami terus berlalu.”
“Tepat seperti harapanku,” sahut Altamyra, “Sekarang kita harus menyelesaikan tugas pertamaku.”
“Paduka!”
Altamyra tidak terkejut melihat Hannah berlari ke arahnya. Wanita tua itu menubruk dan memeluknya.
Altamyra mengrenyit kesakitan merasakan kuatnya pelukan wanita gemuk itu. Ia merasa seperti akan
diremukkan Hannah.
“Anda membuat saya cemas. Sudah dua bulan Anda berada di Lasdorf. Saya khawatir mereka
mencelakakan Anda.”
“Sekarang aku ada di sini, bukan?”
“Ya, tapi Anda terus membuat saya cemas hari-hari terakhir ini. Saya takut setengah mati ketika Tuan
Ludwick mengatakan Anda kembali dikawal empat Jenderal.”
“Jangan terlalu khawatir, Hannah. Aku baik-baik saja. Selama perjalananku, tidak ada yang
menggangguku.”
“Anda harus beristirahat. Anda pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh ini.”
“Tidak, Hannah. Aku harus menyelesaikan sesuatu dulu.”
“Sesuatu apa?” Hannah tidak senang dibantah.
“Pengumuman kematian ayahku,” jawab Altamyra dengan tersenyum. Kemudian pada Ludwick ia
berkata, “Aku melihat kita mempunyai gedung Parlemen tapi aku tak melihat orang-orangnya. Ke mana
perginya mereka?”
“Mereka ada tetapi selama Raja Wolve berkuasa, mereka tidak berfungsi. Paduka Raja Wolve
menghentikan semua kegiatan mereka. Paduka menolak semua bantahan terhadap perintah-perintah dan
keputusan-keputusannya.”
“Aku ingin engkau memanggil mereka kembali, Ludwick. Buatkan janjiku dengan mereka untuk besok
pada saat makan malam. Aku ingin atas nama Raja Wolve. Sebarkan pada para anggota dewan untuk
hadir pada acara makan malam di Gedung Parlemen bersama Raja Wolve.”
“Baik, Paduka.”
“Aku menekankan untuk tidak menyebut namaku. Biarlah esok aku yang akan memberitahu mereka apa
yang telah terjadi selama ini.”
“Apakah itu tidak terlalu berlebihan, Paduka?”
“Tidak, Ludwick. Aku tahu ayahku tidak pernah bersedia makan malam dengan bawahannya. Kalau ia
tiba-tiba mengatakan akan makan malam dengan anggota dewan di Gedung Parlemen, aku yakin
perhatian banyak orang akan terpancing. Akan banyak koran yang mencatat kejadian itu nanti dan aku
tidak perlu membuang waktu untuk menyebarkan hal ini di seluruh Vandella.”
“Hamba mengerti, Paduka.”
“Saya tidak setuju!” bantah Hannah, “Anda baru tiba tetapi sudah akan bekerja. Kapan Anda
beristirahat?”
“Hari ini sampai besok malam,” jawab Altamyra.
“Itu tidak cukup! Anda terlalu lelah.”
“Tolong jangan membantahku, Hannah. Aku harus segera mengumumkan kabar kematian ayahku.
Semakin cepat semakin baik.”
“Tapi…”
Altamyra mengangkat tangannya menghentikan bicara Hannah. “Sebarkan sekarang juga, Ludwick.”
“Baik, Paduka.”
Altamyra menarik tangan Hannah dan berkata, “Tunjukkan padaku di mana tempat tidurku.” Melihat
Hannah ingin berkata sesuatu, Altamyra mendahului, “Apakah engkau tidak ingin melayaniku?”
“Itu adalah hal yang paling saya inginkan di dunia ini.”
Altamyra tersenyum geli dan terus mengikuti langkah pelayan tuanya yang setia sekaligus ibu asuhnya itu.
Suasana di Gedung Parlemen ramai.
Di dalam orang-orang sibuk membicarakan kejadian tak terduga ini. Di luar para wartawan bersiap-siap
untuk meliput kejadian ini dari awal sampai akhir.
Semua orang ingin tahu mengapa Raja Wolve tiba-tiba menyatakan diri setelah sekian lama tak pernah
muncul. Apalagi Raja Wolve muncul di Gedung Parlemen yang dibencinya dan hendak makan malam
dengan orang-orang yang direndahkannya.
Hal luar biasa ini segera tersebar cepat di Perenolde dan memancing keingintahuan warga.
Semua ingin tahu Raja Wolve muncul di Parlemen untuk apa.Adayang menduga ia datang untuk
membubarkan Parlemen.Adapula yang menduga ia akan mengumumkan Prischa sebagai pewaris
tahtanya.
Banyak anggota dewan yang berdiri di depan Gedung menanti kedatangan Raja Wolve. Mereka
menanti dengan cemas.
Dari jauh tampak kereta emas mendekat. Kereta itu berhenti tepat di depan pintu.
Prajurit-prajurit pengawal Raja segera turun dari kudanya. Seorang di antara mereka membuka pintu
dan seorang lain mengulurkan tangan untuk membantu Raja turun.
Sebuah tangan kecil yang terbungkus kain sutra putih terulur dari dalam. Tangan itu menyambut uluran
tangan prajurit itu. Kemudian dari dalam kereta muncul seorang gadis.
Orang-orang berbisik-bisik melihat gadis itu. Semua ingin tahu siapa dia. Semua bertanya-tanya
mengapa Raja Wolve membawanya. Pertanyaan itu hilang ketika gadis itu berdiri di samping kereta.
Semua yang ada disanamenatap gadis itu dengan penuh ingin tahu. Mereka tidak mengenal gadis itu
tetapi mereka mengenali mahkota yang dikenakan gadis itu. Mereka mengenali jubah kebesaran Raja
yang dikenakan gadis itu.
Altamyra tersenyum ramah pada orang di hadapannya lalu melangkah masuk.
Anggota dewan sampai lupa menyambut Altamyra karena herannya.
Merasakan suasana sekitarnya, Altamyra tersenyum. Ia telah memutuskan akan mengatakan segalanya
di dalam.
“Selamat datang, Paduka,” Ludwick yang telah lama menanti, menyambut Altamyra.
“Semua sudah siap?”
“Sesuai perintah Anda, Paduka. Semua anggota dewan telah hadir.”
Ludwick mengantar Altamyra ke tempat yang telah disiapkan untuk gadis itu.
“Paduka, apakah Anda akan terus membiarkan mereka kebingungan seperti ini?”
“Tidak, Ludwick. Tetapi aku akan membiarkan mereka berpikir dulu.”
Ludwick menarik kursi untuk Altamyra.
“Terima kasih, Ludwick.”
Seperti perkataannya, Altamyra membiarkan semua orang bertanya-tanya selama makan malam itu. Ia
mengajak bicara orang-orang di sekitarnya tetapi tidak menyebut siapa dirinya.
Walau kebingungan, mereka menjawab tiap pertanyaan Altamyra. Altamyra tidak menanyakan masalah
kerajaan ataupun rakyat Vandella. Ia bertanya tentang kehidupan mereka sendiri, tentang keluarga
mereka.
Altamyra ingin menjalin hubungan baik dengan mereka sebelum ia mengumumkan siapa dirinya.
Sikap Altamyra menimbulkan suasana aneh di gedung itu. Orang-orang bertanya-tanya siapakah dia
dengan penuh ingin tahu, tetapi keramahan Altamyra membuat mereka ikut terbawa dalam suasana
hangat.
Altamyra berbicara dengan santainya seperti mereka semua adalah temannya. Bahkan, Altamyra
sesekali mengajak mereka bergurau.
Keramahan Altamyra lambat laun mencairkan suasana keheranan orang-orang itu. Ia membuat mereka
melupakan keingintahuan mereka dengan pesonanya.
Ludwick tersenyum melihat suasana hangat itu. “Tampaknya Vandella akan mengalami kecerahan,”
katanya pada dirinya sendiri.
Sebagai keturunan langsung raja yang teramat kejam, keramahan Altamyra sangat mengejutkan. Sedikit
pun tidak nampak bahwa ia adalah putri Raja Wolve yang selama ini ditakuti rakyat dan keluarganya
sendiri.
Sebagai orang yang dibesarkan di pedesaan pun, Altamyra tetap mengejutkan. Gadis itu seperti terbiasa
dengan kerumunan orang banyak seperti ini. Kalau orang melihatnya yang penuh wibawa seperti ini,
takkan ada yang percaya ia dibesarkan di sebuah desa kecil di pinggirankota.
Hingga makan malam usai, Altamyra tak menyebutkan apa-apa tentang dirinya.
Ludwick bergegas bangkit untuk membantu Altamyra berdiri dan mengantar gadis itu hingga di pintu
masuk.
Seorang prajurit telah membuka pintu kereta dan bersiap-siap untuk membantu Altamyra.
Tiba-tiba Altamyra berhenti dan berbalik.
“Maafkan saya,” katanya menyesal, “Saya lupa memberitahu Anda berita duka yang penting. Raja
Wolve telah meninggal sepuluh bulan yang lalu dan ia secara diam-diam telah dimakamkan.”
Suasana menjadi ramai karena pemberitahuan Altamyra itu.
“Sebagai wakilnya, saya mewakilinya meminta maaf atas semua yang dilakukannya semasa ia hidup.”
“Siapakah Anda, Nona?” seorang pria bertanya pada Altamyra.
Altamyra mengenali pria itu. Ia pernah melihatnya di benteng Erland.
“Nama saya Altamyra,anak kedua sekaligus putri tunggal Paduka Raja Wolve dan Paduka Ratu Reinny,
Ratu Kerajaan Vandella yang baru,” jawab Altamyra tegas, “Penobatan saya dilaksanakan oleh Uskup
Vandella serta disaksikan oleh Ludwick dan Dewey sebagai wakil dari seluruh masyarakat Vandelladan
luar kerajaan.”
Altamyra merasakan suasana tegang di sekitarnya. Ia tersenyum lembut dan berkata, “Terima kasih atas
makan malam yang menyenangkan ini. Saya berharap kita mempunyai kesempatan lagi di lain waktu.”
Seorang prajurit membantu Altamyra naik kereta. Kemudian kereta melaju kembali ke Istana Azzereath
yang megah.
Altamyra tahu ia telah membuat mereka semua terkejut. Ia lega karena telah mengumumkan kabar
kematian ayahnya dan menyatakan diri sebagai Ratu.
Kedua orang tuanya hidup terpisah. Setelah mereka meninggal pun, mereka terpisah.
Pagi ini Altamyra telah mengunjungi makam ayahnya dan Allan untuk menunjukkan baktinya pada
keluarganya. Altamyra pergi berdua dengan Hannah dengan dikawal beberapa prajurit.
Tak seorang pun yang memperhatikan mereka saat itu. Tetapi setelah malam ini, Altamyra akan menjadi
pusat perhatian. Altamyra menyadari hal itu.
Kereta berhenti di depan tangga masuk.
Lagi-lagi seorang pengawal Altamyra mengulurkan tangan untuk membantu gadis itu. Dalam sehari ini
Altamyra telah terbiasa dengan hal itu dan ia tidak banyak mengomentarinya.
Altamyra memasuki Istana yang selalu cemerlang setiap saat.
“Anda sudah datang, Paduka?”
Altamyra hanya berpaling sebentar lalu kembali menatap lukisan di depannya.
“Siapa yang Anda pandangi, Paduka?”
“Allan, Hannah,” jawab Altamyra.
“Pangeran Allan sangat tampan. Saya senang terus memandangnya.”
“Engkau benar, Hannah. Tetapi ia juga sangat menderita,” kata Altamyra sedih.
“Bagaimana perjamuannya?” Hannah mengalihkan pembicaraan.
“Lancar seperti yang kuharapkan.”
“Besok pasti mereka terkejut.”
“Tidak perlu menunggu besok untuk membuat setiap orang tahu akan berita besar ini. Aku yakin tengah
malam nanti hampir semua orang tahu apa yang telah terjadi.”
“Anda terlalu melebih-lebihkan, Paduka.”
“Tidak, Hannah. Percayalah padaku.” Altamyra meyakinkan, “Peristiwa ini akan menjadi berita besar di
koran.”
Altamyra melanjutkan perjalanannya ke kamar.
Kamar tidur utama yang ditempati Altamyra sangat megah. Tempat tidurnya luas dan empuk.
Langit-langitnya tinggi dengan jendela-jendela yang tinggi dan pintu besar. Permadani merah terhampar di
seluruh ruangan itu dan menimbulkan suara bergemerisik tiap kali Altamyra melangkah.
Sepuluh pelayan telah bersiap-siap di dalam kamar untuk melayani Altamyra.
Melihat kedatangan Altamyra, mereka segera mendatangi gadis itu.Adayang menyiapkan gaun tidur
Altamyra.Adayang membantu Altamyra melepaskan jubahnya.Adayang mengambil mahkota dari kepala
Altamyra.
Altamyra benar-benar seorang Ratu saat ini. Cukup dengan kata-kata, semua keinginannya terkabulkan.
Usai melayani Altamyra, pelayan-pelayan itu meninggalkan kamar.
Altamyra memandang langit-langit kamarnya dan membayangkan reaksi rakyat esok. Altamyra dapat
membayangkan wajah-wajah terkejut rakyatnya tetapi ia tidak dapat membayangkan tindakan Erland
bila ia mengetahui hal ini.
Erland tidak hanya terkejut tetapi juga murka. Altamyra telah menipu pria itu dan pria itu paling tidak
suka ditipu.
Setelah selama satu bulan lebih tidur sekamar dengan Erland, Altamyra merasa kesepian di kamar yang
besar ini. Ia telah terbiasa dengan ucapan selamat tidur Erland.
Altamyra menghapus segala kenangan itu dari benaknya. Sekarang bukan saatnya ia memikirkan dirinya
sendiri. Banyak yang harus dilakukannya esok hari. Tugas-tugas telah menantinya.
“Tidak buruk,” gumam Altamyra. Gadis itu tersenyum melihat sederet tulisan besar di halaman pertama
koran. “Sang Putri telah kembali. Aku suka judul ini.”
“Anda telah membuat setiap orang terkejut, Paduka.”
“Aku sependapat denganmu, Sylta. Sayangnya, mereka terlalu menyanjungku. Lihatlah apa yang mereka
tulis.”
Altamyra membacasuratkabar keras-keras.
SANG PUTRI TELAH KEMBALI
Putri Altamyra yang menghilang bertahun-tahun lalu telah kembali. Untuk pertama kali beliau
menyatakan diri di Gedung Parlemen setelah sebelumnya membuat para anggota dewan bertanya-tanya.
Dalam kesempatan itu pula Putri Altamyra mengumumkan kematian Raja Wolve. Putri juga menyatakan
diri sebagai Ratu Vandella yang baru, menggantikan ayahnya.
Warga Vandella berduka cita atas kepergian Raja Wolve yang arif. Segenap warga berdoa untuknya.
Dalam kesempatan in pula warga mengucapkan selamat pada Putri Altamyra atas penobatan dirinya.
Semoga Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra dianugerahi umur panjang untuk memerintah negeri ini.
Ratu Altamyra yang tampil dengan pesonanya, memikat setiap anggota dewan dan semua orang yang
ada di Gedung Parlemen. Dengan keanggunan dan wibawanya, Ratu membuat semua orang
mengaguminya.
Suasana hangat yang tercipta di Gedung Parlemen menunjukkan keramahan Yang Mulia Paduka Ratu
Altamyra. Ratu cantik yang memikat ini tampaknya akan membawa rakyat Vandella pada kemakmuran.
Dengan pendidikan yang diperolehnya di kota suci Vatikan, Ratu akan membawa rakyat pada
kehidupan yang lebih baik. Kepandaian Ratu Altamyra tidak diragukan lagi.
Sangat disayangkan Paduka Ratu Reinny, ibunda Ratu Altamyra, telah meninggal dunia dikotasuci
Vatikan. Ratu yang setia itu telah meninggalkan ktia selama-lamanya. Tetapi, kita yakin Raja dan Ratu
akan senantiasa melindungi kerajaan Vandella. Dengan putri mereka yang cantik sebagai Ratu, Vandella
akan mengalami masa-masa kejayaan.
Altamyra tertawa geli. “Tidakkan itu berlebihan, Sylta? Mereka memuja-mujaku seperti aku adalah
dewi.”
“Mereka tidak berlebihan, Paduka. Anda cantik seperti yang dikatakan dalam koran.”
“Engkau jangan terbawa mereka, Sylta.”
“Saya bersungguh-sungguh, Paduka,” Sylta meyakinkan, “Tak seorangpun di kerajaan ini yang
mempunyai mata biru secerah mata Anda ataupun rambut yang bersinar keemasan seperti Anda.”
“Sayangnya, Sylta,” Altamyra menyesali, “Kalian terlalu memujaku. Lihat saja koran ini. Bagiku ini
bukan berita tetapi acara penyanjungan. Koran ini sama sekali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya
terjadi. Mereka tidak menyebutkan bagaimana aku membuat tiap orang kebingungan, ketakutan, dan
perasaan lain karena sikapku. Mereka terus menyanjungku dan ayahku.”
Altamyra mendesah panjang.
“Kalian benar-benar tidak bebas selama pemerintahan ayahku. Tidak hanya rakyat yang tertindas, tetapi
juga koran. Koran yang seharusnya mengatakan yang sebenarnya, jadi tidak berguna. Koran-koran
hanya bisa memuat berita-berita palsu dan sanjungan-sanjungan terhadap rajanya. Sebenarnya kalian
bersorak atas kematian serigala itu, tapi kalian mengatakan berduka. Kalian was-was terhadapku dan
takut aku sama seperti serigala itu, tetapi kalian mengatakan Vandella akan mengalami kejayaan di
bawah pemerintahanku.”
“Kalian benar-benar takut padaku,” Altamyra berkata dengan sedih. “Kalian memutuskan segalanya
dengan cepat hanya untuk menyanjungku dan membuatku gembira. Kalian tidak akan pernah percaya
kalau aku membenci serigala itu dari lubuk hatiku yang terdalam.”
“Kami percaya, Paduka,” kata Sylta, “Sebelum Anda tiba di sini, Hannah telah bercerita banyak tentang
Anda. Ia menceritakan pula bagaimana Anda dengan tegas menolak kembali ke Kerajaan ayah Anda.
Anda tidak mau kembali kekuasaan orang yang dibenci Anda sekali pun orang itu telah meninggal.
Tetapi, demi kami, rakyat Vandella, Anda bersedia kembali.”
Altamyra tersenyum tetapi matanya bersinar sedih. Gadis itu berjalan ke jendela dan memandang seluruh
wilayah kerajaannya yang terhampar di depannya.
“Andaikan kalian semua percaya padaku.”
“Kami mempercayai Anda, Paduka.”
Altamyra tiba-tiba berbalik. “Aku tahu, Sylta. Bila tidak, engkau takkan berani menyanggahku.”
Sylta tersenyum. “Kami tahu Anda tidak sama dengan ayah Anda.”
“Serigala itu,” gumam Altamyra, “Ia telah menjadi lembar hitam Kerajaan Vandella.”
Tiba-tiba pintu diketuk seseorang.
Sylta segera membuka pintu.
“Lapor, Paduka,” seorang prajurit masuk, “Duke Apaleah datang menemui Anda untuk mengucapkan
selamat atas pengangkatan diri Anda menjadi Ratu Vandella.”
Altamyra menatap kedua orang di hadapannya dan berkata, “Pagi ini akan menjadi pagi yang
melelahkan bagiku.”
“Saya akan meminta Duke kembali bila Anda keberatan, Paduka,” kata prajurit itu.
“Terima kasih atas kesediaanmu, tapi kurasa aku harus menemuinya katakan padaku di mana ia dan
putrinya berada?”
“Bagaimana Anda tahu, Paduka?” pertanyaan itu terlompat begitu saja dari mulut prajurit yang
keheranan itu. Saat itu juga ia menyadari kelancangannya, ia cepat-cepat berkata, “Maafkan ke…”
“Putrinya adalah mantan pewaris tahta,” jawab Altamyra, “Tetapi itu kalau aku tidak ada. Mereka tentu
datang berdua untuk mendapatkan perhatian dariku.”
Altamyra segera berlalu sebelum prajurit itu melanjutkan kata-katanya yang sengaja dipotong Altamyra.
Prajurit itu menatap Sylta dengan bingung.
“Pergilah!” kata Sylta, “Antar Paduka.”
Prajurit itu bergegas menyusul Altamyra.
“Jangan mudah merasa bersalah hanya karena tidak sengaja bertanya tanpa disuruh,” Altamyra memberi
nasehat dengan lembut, “Bertanya bukan hal yang patut dimasukkan dalam daftar kesalahan. Mengerti?”
“Hamba mengerti, Paduka.”
Altamyra tersenyum.
Prajurit segera membukakan pintu Ruang Tamu ketika melihat Altamyra mendekat.
Dua orang yang duduk di dalam seger berdiri untuk menyambut kedatangan Altamyra.
“Selamat pagi, Duke Apaleah, Lady Prischa. Apa yang membuat datang sepagi ini.”
“Kami datang untuk mengucapkan selamat atas pengangkatan diri Anda, Paduka.”
“Terima kasih, Duke. Anda bersedia datang sepagi ini hanya untuk mengatakan hal sekecil ini.”
“Kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk mengucapkan selamat pada Anda, Paduka,” kata
Prischa.
Altamyra tahu sesungguhnya Prischa merasa enggan untuk menemuinya. Prischa merasa Altamyra
merebut tahtanya.
“Aku merasa tersanjung, Lady Prsicha. Aku juga telah menyesal telah merebut tahtamu.”
Prischa terkejut. Ia cepat-cepat berkata, “Anda sama sekali…”
“Tidak, Prischa,” potong Altamyra, “Semua orang tahu engkaulah yang akan naik tahta bila Raja Wolve
meninggal. Tentu sudah banyak yang kalian korbankan untuk mempersiapkan hal ini.”
Duke tertawa. “Anda sangat terbuka, Paduka.”
“Aku menyukai kejujuran, Duke. Bagiku kejujuran lebih berharga daripada pujian yang tinggi,” Altamyra
menegaskan.
“Tentu, Paduka. Di dunia ini apa yang dapat mengalahkan kejujuran?”
“Tidak ada, Duke. Kita semua mengetahuinya,” kata Altamyra, “Sangat disayangkan kerajaan ini lama
terpuruk dalam kepura-puraan.”
“Anda terlalu melebihkan, Paduka.”
“Aku tidak tahu apa-apa tentang kerajaan ini, tapi aku tidak buta untuk mengetahuinya,” Altamyra
mengingatkan dengan lembut.
“Ayah saya benar, Paduka. Anda terlalu melebih-lebihkan.”
Altamyra menatap lekat-lekat kedua orang itu lalu ia tersenyum. “Seharusnya aku menyadarinya dari
tadi. Sebagai ayah dan anak kalian sangat mirip, membuatku iri.”
Pandangan Altamyra menembus mata hijau kedua orang itu. Raut wajah mereka tidak terlalu
menyenangkan untuk dipandang. Mata mereka bersinar licik dan seperti ingin selalu berpura-pura.
Keduanya terdiam.
“Bagi kalian, aku adalah orang asing di tempat ini. Tetapi, jangan melupakan siapa aku. Aku lahir di sini
sebagai keturunan serigala yang kalian takuti itu. Mungkin aku buta tentang kerajaan ini, tapi aku bisa
menjadi seperti ayahku. Dalam tubuhku mengalir darahnya, jangan lupa itu.”
“Tentu tidak, Paduka,” sahut Prischa ketakutan, “Anda tidak buta sama sekali tentang Vandella. Saya
yakin Anda akan membawa Vandella pada kejayaannya.”
Altamyra menatap Prischa lekat-lekat. Ia tahu wanita itu lebih tua darinya tetapi tidak lebih tegas
darinya. Kalau Altamyra menjadi Prischa, ia pasti tidak akan ketakutan hanya karena sedikit diperingati
gadis yang jauh lebih muda darinya.
Pintu diketuk seseorang kemudian seorang prajurit muncul.
“Maaf menganggu Anda, Paduka,” kata prajurit itu, “Saya hendak melaporkan bahwa para Menteri
telah tiba.”
“Terima kasih. Tolong katakan pada mereka, aku akan segera datang.”
“Baik, Paduka.”
“Maafkan saya, Duke Apaleah, Lady Prischa. Saya tidak bisa menemani Anda lebih lama lagi.”
“Kami mengerti, Paduka. Lagipula kami juga hendak pamit.”
“Saya berharap kita mempunyai kesempatan untuk bertemu lagi, Duke.”
“Saya juga berharap, Paduka.”
Altamyra tersenyum melihat kepergian mereka lalu ia meninggalkan Ruang Tamu dan bergegas menemui
para Menterinya.
Semua menteri telah duduk di meja perundingan. Mereka berbincang-bincang sambil menanti
kedatangan Altamyra. Mereka semua terdiam ketika Altamyra memasuki Ruang Rapat dan cepat-cepat
bangkit.
Altamyra menuju kursi tingginya di salah satu ujung meja kotak itu.
“Selamat pagi, Tuan-tuan,” sapa Altamyra, “Maafkan keterlambatan saya.”
“Selamat pagi, Paduka.”
“Silakan duduk,” kata Altamyra, “Kita akan segera memulai rapat pertama kita ini. Sebagai
perkenalanku dengan kalian, aku takkan menyebut siapa aku dan bagaimana asal usulku. Aku yakin
kalian telah mengetahuinya. Aku hanya akan mengatakan rencana-rencanaku di awal pemerintahanku
ini.”
“Seperti yang kita ketahui, kehidupan rakyat sangat menderita. Itulah yang pertama-tama akan kita
ubah. Aku ingin memajukan kemakmuran rakyat sebelum melangkah lebih jauh. Untuk itu aku ingin
membeli bahan-bahan kebutuhan hidup sebanyak-banyaknya untuk dibagikan kepada rakyat. Apakah
ada yang tidak setuju?”
“Maafkan kelancangan saya, Paduka. Menurut perhitungan saya, kas kita tidak cukup untuk melakukan
itu.”
“Tidak, Mardick. Lihatlah Istana ini. Apa yang ada di dalamnya lebih dari cukup untuk meningkatkan
kehidupan rakyat."
“Penduduk Vandella sangat banyak, Paduka. Kas kita terus menipis karena kurangnya pajak yang
masuk. Bila ditambah beban pembelian itu, saya khawatir kas kita akan kosong. Anda harus
memperhitungkan hal itu, Paduka,” Mardick bersikeras, “Dana kita tidak cukup untuk membeli
barang-barang kebutuhan untuk dibagikan pada rakyat. Kita bisa jatuh miskin karenanya.”
“Tidak mungkin! Kemarin aku telah menghitung jumlah uang yang kita miliki cukup untuk membiayai
hidup rakyat. Bahkan, lebih dari yang kuminta!” ujar Ratu.
“Tapi…”
“Cukup!” potong Altamyra tajam, “Jangan mencoba membantahku! Aku tahu ayahku tidak mungkin
menghamburkan uangnya. Ia lebih suka menimbun kekayaan daripada berfoya-foya.”
“Daulat, Paduka,” Menteri Keuangan itu membela pendapatnya.
“Penjaga!” Ratu cantik itu sudah tidak menahan diri, “Jaga dia! Tanpa ijin dariku, ia tidak boleh
meninggalkan istana ini!”
“Baik, Paduka.” Dua prajurit yang berjaga-jaga di dalam Ruang Rapat segera memegang erat-erat
tangan Mardick. Mardick berusaha melawan. Kedua prajurit itu terpaksa memunting tangan Mardick ke
belakang punggungnya.
“Jangan karena aku tidak dibesarkan di sini, engkau menyangka aku tidak tahu apa-apa tentang ayahku.
Ayahku orang yang kikir,” Ratu mengingatkan. Lalu dengan lembut ia berkata, “Siapkan kamar. Mardick
akan menginap di sini untuk waktu yang lama.”
“Baik, Paduka.”
Mardick memucat ketakutan.
“Anda tidak boleh melakukan itu, Paduka.”
“Simpan pendapatmu itu, Ludwick. Sekarang lebih baik engkau mengumpulkan semua ahli keuangan di
kerajaan ini.”
Ludwick memandang heran, namun ia tetap berkata, “Baik, Paduka.”
“Aku berharap sebelum dua minggu mendatang semua telah berkumpul di sini.”
“Baik, Paduka.”
Setelah Ludwick pergi, Altamyra berkata, “Bawa Mardick ke kamarnya. Kurasa ia butuh banyak
istirahat sampai aku selesai dengannya.”
“Dan untukmu, Mardick, kuperingatkan untuk tidak mengirim kabar apa pun pada keluargamu. Aku
ingin mereka semua ada ketika hartamu kuperiksa. Aku ingin tahu sebesar apa uang negara yang kaucuri
selama dua puluh satu tahun engkau menjadi Menteri Keuangan,”Altamyramendekati pria itu dan berkata
pelan tapi tajam.
Prajurit-prajurit itu memberi hormat pada Altamyra sebelum meninggalkan ruangan luas yang dipenuhi
oleh seluruh menteri.
Altamyra menghadap menteri-menterinya yang lain. “Maafkan atas gangguan tadi. Aku harap kalian
mengerti aku tidak ingin menjelaskan apa pun sampai kecurigaanku terbukti. Kusarankan kalian tidak
memikirkannya sebab aku akan memberi kalian tugas berat. Sebelum aku melanjutkan, aku perlu
menegaskan tindakanku tadi agar kalian tidak khawatir ketika menyelesaikan tugasku.”
“Aku tidak akan menahan kalian,” kata Altamyra tegas, “Dan, sampai semua terbukti, aku ingin kalian
merahasiakan hal ini dari orang lain.”
Altamyra tersenyum manis dan berkata lembut, “Kalian mengerti?”
Mereka membalas senyuman itu dengan tulus tanpa rasa takut sedikitpun. “Kami mengerti, Yang Mulia
Paduka Ratu Altamyra,” kata mereka serempak.
Altamyra kembali duduk di kursinya yang tinggi, menghadap menteri-menteri yang melihatnya. Altamyra
menengakkan punggung dan berkata tegas,
“Kalian tahu aku berniat merubah pemerintahan otokrasi ayahku. Sebagai langkah awal, aku ingin
merubah semua peraturan yang dibuat semasa pemerintahan ayahku. Masing-masing dari kalian
kuperintahkan membentuk sebuah badan dengan kalian sebagai kepalanya. Badan ini bertugas
menuliskan semua peraturan yang ada dalam lembaga kalian masing-masing dan merubah semua
peraturan yang membebankan rakyat. Dalam hal ini aku menegaskan aku berbeda dengan ayahku.”
Ratu tersenyum lembut. “Kalian tidak perlu khawatir aku akan menghukum kalian. Aku tahu kalian tidak
mengenal dan tidak mempercayaiku. Aku meyakinkan kalian untuk memegang kata-kataku ini.”
“Kami percaya pada Anda, Paduka,” kata mereka hampir bersamaan.
“Terima kasih,” Altamyra tersenyum manis, “Aku percaya kalian juga menginginkan perbaikan bagi
kerajaan ini. Aku percaya kalian akan memilih orang yang benar-benar sesuai dengan bidang yang kalian
tangani dan benar-benar ingin memperbaiki negara ini. Tanpa perlu melaporkan siapa saja yang kalian
masukkan dalam badan-badan itu, aku percaya kalian dapat menyelesaikan tugas ini kurang dari satu
bulan.”
“Kami akan berusaha sebaik-baiknya, Paduka.”
Altamyra mengangguk. “Aku ingin laporan terperinci mulai dari peraturan lama hingga peraturan baru
yang kalian buat.”
“Baik, Paduka.”
Altamyra bangkit diikuti para menteri itu. “Sebelum kalian mulai mengerjakan perintahku, aku berpesan
kalian tidak perlu ragu untuk menemuiku bila kalian mengalami kesulitan.”
“Kami mengerti, Paduka.”
Menteri-menteri itu membungkuk hormat sebelum meninggalkan Ruang Rapat.
Altamyra mengawasi kepergian mereka hingga orang terakhir. Altamyra pergi ke jendela yang
menghadap gerbang keluar Istana, tapi yang dilihatnya bukan kereta-kereta yang membawa pergi
menteri-menterinya. Altamyra melihat wilayah kerajaannya yang luas yang perlu pertolongannya.
Gadis itu menghela nafas membayangkan orang-orang yang menderita di luarsanakarena kekejaman
ayahnya. Ia sendiri telah melihatnya. Mata kepalanya sendiri telah melihat anak-anak yang kurus, orang
tua yang sakit-sakitan, kaum pria yang kelelahan bekerja, kaum wanita yang menangis. Mereka semua
merintih sedih dan kelaparan.
Banyak yang harus dilakukannya untuk memperbaiki semua ini.
Altamyra kembali duduk di kursinya. Dibukanya sebuah laporan kerja di hadapannya.
Altamyra mendesah panjang melihat laporan yang dibuat dengan rasa takut itu. Tiap tulisan menyiratkan
perasaan takut akan kesalahan.
Mereka semua takut. Takut ia sama seperti ayahnya.
“Paduka!”
Altamyra mengangkat kepala dari pekerjaannya.
Ludwick memandang ruangan kosong itu dengan heran.
“Mereka telah pergi melakukan tugas mereka,” kata Altamyra, “Aku juga akan memberimu tugas yang
sama. Aku ingin engkau membentuk sebuah badan. Pimpin badan itu memeriksa semua peraturan lama
dan merubah peraturan lama yang membebani rakyat. Kalau diperlukan peraturan baru, buatlah. Aku
ingin laporan terinci paling lambat satu bulan mendatang.”
“Hamba mengerti, Paduka.”
“Sebelum kau pergi, aku ingin memberimu tambahan tugas.”
“Hamba siap melaksanakannya, Paduka.”
Altamyra tersenyum. “Aku ingin semua ahli keuangan itu tinggal di sini.”
“Hamba mengerti, Paduka.”
Ludwick membungkuk hormat lalu pergi.
Altamyra menumpuk laporan-laporan di hadapannya menjadi satu. Dibawanya tumpukan kertas itu
meninggalkan Ruang Rapat.
Prajurit di luar terkejut melihat kehadirannya.
“Ijinkan saya untuk membantu Anda, Paduka,” seorang dari mereka berkata.
“Terima kasih.”
Prajurit itu mengambil alih tumpukan kertas yang hampir menutupi wajah Altamyra.
Kepada prajurit yang lain, Altamyra berkata lembut tapi tegas, “Tolong kau panggilkan Briat, Kepala
Rumah Tangga Istana untukku. Aku menunggu di Ruang Kerja.”
“Baik, Paduka.”
Setelah prajurit itu beranjak pergi, Altamyra pun pergi ke Ruang Kerja.
Tengah ia sibuk memeriksa lembaran-lembaran tugasnya, Briat datang.
“Hamba datang menghadap, Paduka.”
“Duduklah, Briat.”
Setelah Briat duduk di hadapannya, Altamyra baru berkata, “Mulai hari ini, Istana akan dipenuhi orang.
Semua ahli keuangan di negeri ini kukumpulkan di sini. Aku ingin engkau mengatur tempat untuk mereka.
Tempatkan mereka hanya di lantai dua. Bila perlu satu kamar untuk dua orang. Aku yakin kamar-kamar
yang luas ini cukup untuk lebih dari satu orang.”
“Anda benar, Paduka. Kamar-kamar di Istana sangat luas. Demikian pula tempat tidurnya. Takkan ada
masalah bila dua orang tinggal di satu kamar.”
“Mengenai teman sekamar itu, aku ingin orang yang berasal dari tempat sama ditempatkan dalam satu
kamar. Aku tidak mau tamu-tamuku merasa tidak nyaman di sini,” Altamyra menegaskan.
“Baik, Paduka,” kata Briat sambil mengangguk.
“Kalau memang sudah tidak cukup, tempatkan mereka di lantai empat.”
“Di lantai empat, Paduka?” tanya Briat heran, “Bukankah itu berarti mereka akan terpencar?”
“Aku ingin lantai satu dan lantai tiga dibiarkan seperti itu. Lantai dua dengan kamarnya yang mencapai
dua ratus kamar akan cukup untuk mereka.”
Briat berpikir keras.
“Untuk sementara waktu ini biarkan mereka makan di Ruang Makan. Selanjutnya, bila jumlah mereka
telah banyak, siapkan di Hall lantai dua.”
Briat hanya memandang wajah cantik Ratunya itu. “Apakah mungkin jumlah mereka mencapai empat
ratus orang?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Altamyra mengerti apa yang ada di pikiran pria tua itu. Ayahnya adalah seorang Raja yang curang. Ia
selalu melebih-lebihkan jumlah pajak yang harus dibayar seseorang. Karena ia tidak ingin ada yang tahu
kecurangannya, ia menghancurkan masa depan ahli keuangan di negeri ini dan membuat tak seorang pun
ingin menjadi ahli keuangan.
Tapi Altamyra juga tahu masih banyak ahli keuangan di kerajaan ini.
“Bila telah ada yang datang, jangan lupa untuk mendatanya,” Altamyra melanjutkan, “Satu tambahan
tugas lagi. Tempatkan Mardick di salah satu kamar di lantai tiga dan aku ingin penjagaannya diperketat.”
“Hamba akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, Paduka.”
Altamyra tersenyum puas.
Seperti yang telah diramalkan Altamyra sendiri, hari-hari berikutnya menjadi hari yang panjang dan
melelahkan baginya.
Sepanjang hari ia duduk di meja kerjanya untuk mempelajari laporan ke dua puluh menterinya. Laporan
dari awal mereka menjabat sampai saat ini lebih tebal dari bayangan Altamyra. Tetapi ia tidak mengeluh.
Altamyra mensyukuri kesibukannya itu. Dengan kesibukannya, ia dapat melupakan Erland dan malam
hari ia sudah terlalu lelah untuk mengenang Erland.
Seperti Altamyra, semua Menteri juga sibuk, kesibukan para Menteri yang luar biasa ini menarik
perhatian para kuli koran.
Siapa yang tidak tertarik oleh para Menteri yang tiba-tiba mengacak-acak kantor mereka untuk
membuka undang-undang lama?
Siapa yang tidak ingin tahu melihat ke dua puluh kantor itu beserta karyawan-karyawannya bersidang
terus tanpa henti?
Tindakan Altamyra membuat warga Vandella bertanya-tanya khususnya warga Perenolde. Seperti
belum puas membangkitkan keheranan rakyatnya, Altamyra membuat kejutan lagi dengan
pengumumannya.
Semua koran memuat titah Altamyra dengan huruf besar-besar dan diletakkan di halaman depan. Bunyi
titahnya:
Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra mengundang semua ahli keuangan Kerajaan Vandella untuk datang
ke Istana Azzereath. Paduka Ratu akan mengadakan pemilihan untuk mengambil seorang ahli keuangan
terbaik yang akan menjadi penasehatnya.Paraahli keuangan yang berminat harap segera menuju Istana
Azzereath untuk segera mendaftarkan diri. Paduka Ratu hanya memberi waktu kurang dari satu minggu
untuk mereka yang tinggal di sekitar Perenolde dan satu setengah minggu untuk mereka yang tinggal di
luar radius 400 mil dari Perenolde.
Semua orang sibuk membicarakan kedua titah Altamyra di rapat pertamanya. Koran-koran menyoroti
kedua titah itu.
Tanpa mereka sadari, keingintahuan mereka yang besar membuat mereka menulis lebih banyak dan
lebih berani daripada sebelumnya. Koran-koran mulai dapat menjawab keingintahuan rakyat.
Sebagai orang yang pertama menyadarinya, Altamyra gembira. Ia tersenyum senang melihat koran telah
berani berpendapat. Mereka berani menulis:Apa yang sebenarnya direncanakan oleh Ratu?
Altamyra yakin mereka tidak menyadari keberadaan kalimat itu. Kalimat yang pada masa pemerintahan
ayahnya dianggap tidak mempercayai Raja. Tetapi setelah koran dicetak dan mereka membacanya,
mereka pasti menyadari kalimat yang dulu bisa menyebabkan hukuman pancung itu.
Sebelum ada yang menemuinya untuk minta maaf, Altamyra segera menyebar ucapan selamat pada
koran-koran.
“Koran Anda bagus sekali isinya. Saya senang atas kemajuan ini. Teruslah berkembang dengan bebas!
Jadilah koran yang benar-benar dapat memberi informasi pada rakyat.”
Demikian kata-kata yang Altamyra tulis pada surat-suratnya.
Menjelang siang hari, kata-kata yang penuh dukungan itu telah tersebar di semua penerbitan koran.
Kedatangan surat itu mula-mula menakutkan para pemilik penerbitan koran, tetapi mereka bersorak
sorai setelah membaca isinya yang penuh dukungan dan kepuasan. Mereka merasa seperti mendapat
sinar kehidupan baru dalam kerja mereka memberi informasi pada rakyat.
Di hari-hari selanjutnya, Altamyra yakin ia bisa tersenyum puas ketika membaca koran. Ia tidak perlu
lagi merasa muak membaca koran yang isinya tidak berguna.
Baru dua hal hasil rapat pertama Altamyra dengan Menteri-menterinya, yang diketahui rakyat. Bila
mereka tahu Altamyra mengurung Menteri Keuangan di Istananya, rakyat pasti akan menjadi semakin
ramai.
Hingga hari ketiga keberadaan Mardick di Istana, tak seorang pun yang tahu. Keluarga Mardick sendiri
tidak tahu apa-apa.
Untuk menenangkan keluarga Mardick, Altamyra mengirim Briat ke rumah Mardick. Melalui Briat,
Altamyra mengatakan saat ini Mardick diperlukan di Istana dan untuk beberapa waktu ia tidak dapat
menghubungi keluarganya.
Keluarga Mardick mempercayainya dan tidak ambil pusing walau sudah lama tidak ada kabar dari
Mardick. Semua percaya Altamyra membutuhkan bantuan Mardick untuk menghitung kas negara.
Tak seorang pun di luar Istana yang tahu Altamyra menghitung sendiri uang yang dimiliki Vandella.
Untuk melakukan pekerjaan itu, Altamyra meminta seluruh penghuni Istana menulis macam-macam pajak
yang dibebankan ayahnya berikut jumlahnya.
Untuk menghilangkan kecurigaan rakyat akibat hilangnya Mardick, Altamyra memerintahkan Orwell,
wakil Menteri Keuangan, menggantikan tugas-tugas Mardick. Kepadanya Altamyra tidak menjelaskan
apa-apa tentang keberadaan Mardick di Azzereath. Ia hanya meminta Orwell melakukan pekerjaan yang
sama seperti menter-menteri lainnya.
Begitu sibuknya Altamyra hingga ia sering melalaikan dirinya sendiri. Tidak ada lagi waktu istirahat
untuknya.
Langkah besar yang diambil Altamyra di awal pemerintahannya ini mengguncang warga Vandella. Mulai
dari Perenolde hingga ke daerah perbatasan. Mereka yang dulu tidak tertarik untuk mengetahui apa yang
dilakukan rajanya menjadi terbangkitkan untuk mengikuti perkembangan suasana ibukota.
Guncangan ini sampai pula di tempat Erland dan menjadi yang paling besar.
Suatu pagi yang serah terdengar suara kuda mendekat beserta teriakan, “Pangeran! Pangeran!”
“Ada apa, Giorgio?” tanya Erland, “Apakah engkau sudah mengetahui bagaimana keadaannya?”
“Gawat, Pangeran. Benar-benar gawat.”
Erland segera menarik Giorgio ke kamarnya.
Fred yang mendengar pembicaraan singkat itu mengikuti Erland.
Erland menutup pintu kamarnya rapat-rapat lalu berkata, “Ceritakan apa yang kaudapatkan di sana?”
“Gadis itu, Pangeran,” Giorgio berkata antara takjub dan takut, “Gadis itu…”
“Cepat katakan, kenapa dia,” Erland tidak sabar lagi.
“Ia adalah Ratu Vandella.”
Baik Erland maupun Fred terhenyak kaget. Mereka menatap Giorgio dengan tak percaya.
“Kau yakin?” tanya Erland.
“Ia adalah Yang Mulia Paduka Ratu Kerajaan Vandella, Pangeran,” Giorgio meyakinkan, “Hamba
sendiri yang mendengar ia berkata seperti itu di Gedung Parlemen.”
Giorgio segera menceritakan apa yang terjadi selama ia berada di Perenolde. Ia menceritakan
bagaimana ia menyamar menjadi wartawan demi mendapatkan informasi untuk Erland.
“Saat itu saya berpikir Anda pasti senang kalau saya memberi Anda informasi apa yang dilakukan Raja
Wolve di Gedung Parlemen setelah sekian lama menghilang. Saya tidak menduga akan bertemu Rara di
sana. Mulanya saya tidak percaya ia adalah Rara tapi ia sangat mirip dengan Rara. Akhirnya saya
bertanya padanya siapa dia. Dengan tegas ia menjawab, ‘ Saya Altamyra, Ratu Kerajaan Vandella’.”
“Kurang ajar,” geram Erland, “Setan cilik itu telah menipuku.”
“Altamyra…” gumam Fred, “Aku merasa pernah mendengar nama itu.”
“Ia adalah putri Raja Wolve yang dibawa pergi Ratu Reinny bertahun-tahun lalu,” Giorgio memberitahu.
“Benar!” seru Fred, “Aku ingat dulu Ratu Reinny membawa pergi putrinya yang baru lahir dan membuat
Vandella gempar kecuali Raja Wolve. Rupanya ia telah mencari putrinya sebelum ia mati dan
berjaga-jaga agar tidak terjadi perebutan tahta. Cukup beralasan mengapa ia tidak pernah
mengumumkan Prischa sebagai pewaris tahta.”
“Saya rasa tidak. Menurut isu yang beredar di Perenolde, hingga Raja Wolve meninggal, ia tidak pernah
memerintahkan pencarian terhadap putrinya. Para menterilah yang mencari mereka.”
“Menteri yang setia,” ejek Erland, “Aku heran mengapa mereka baru mengumumkan hal ini setelah
sepuluh bulan serigala itu mati.”
“Karena mereka mengalami kesulitan dalam menemukan tempat tinggal Ratu, Pangeran. Ratu
menghilang tanpa jejak.”
“Benar-benar budak yang setia,” ejek Erland, “Aku heran mengapa mereka mau menahan berita
kematian serigala itu sampai sang Putri kembali?”
“Saya tidak tahu tentang itu, Pangeran.”
“Kejadian itu terjadi enam belas tahun yang lalu, berarti…” Tiba-tiba Fred berseru takjub, “Gadis itu
masih sangat muda!”
“Setan cilik itu masih anak-anak,” Erland membetulkan.
“Aku tak percaya sekarang kita mempunyai Ratu semuda itu.”
“Ratu muda yang bodoh. Apa yang bisa dilakukan oleh anak-anak sepertinya?”
“Banyak, Pangeran,” jawab Giorgio, “Ketika saya hendak kembali ke sini, terdengar kabar Ratu
memanggil semua menterinya. Saya pikir Anda akan tertarik untuk mengetahui apa rencana Ratu. Karena
itu saya menunda kepulangan saya.”
“Ratu memanggil semua menterinya untuk memerintahkan mereka membongkar semua peraturan lama.
Ratu ingin membuat peraturan baru. Ratu juga menyebarkan pengumuman panggilan terhadap semua ahli
keuangan Vandella. Ratu meminta mereka datang ke Azzereath karena ia akan memilih ahli keuangan
terbaik.”
“Gebrakan yang mengejutkan,” ejek Erland.
“Benar, Paduka,” sahut Giorgio, “Ratu membuat seluruh Perenolde gempar. Koran-koranpun menjadi
berani untuk mengupasnya. Lihatlah ini.”
Erland membaca kalimat yang ditunjuk Giorgio dan berkomentar, “Berani juga mereka meragukan
kemampuan keturunan serigala itu.”
“Itu belum apa-apa dibandingkan dengan koran-koran ini, Pangeran. Saya dengar Ratu memberi
dukungan pada tiap koran untuk terus berkembang.”
“Rencana licik apalagi yang dibuatnya? Ia memang licik. Harus kuakui ia cukup cerdik dalam
mendapatkan simpati rakyat,” kata Erland sinis.
“Beristirahatlah dulu, Giorgio. Lalu kembalilah ke Perenolde dan terus kabari aku apa yang terjadi.
Jangan katakan hal ini pada yang lain. Aku tak ingin mereka khawatir Ratu sial itu menyerbu kita
sewaktu-waktu.”
“Saya kita dalam waktu dekat ini, hal itu tidak akan terjadi. Saat ini Ratu sibuk dengan kas negara.
Bahkan, ia meminta Mardick tinggal di Istana.”
“Aku tetap ingin engkau tutup mulut, Giorgio,” kata Erland tegas.
“Baik, Pangeran.”
“Beristirahatlah lalu segera kembali ke Perenolde.”
Giorgio segera meninggalkan kamar Erland.
“Biacaramu terlalu sinis, Erland. Mengapa engkau mencurigai dia? Belum tentu ia selicik dugaanmu.
Mungkin saja setelah melihat apa yang terjadi di sini, ia ingin memperbaiki pemerintahan ayahnya.”
“Aku percaya pada diriku sendiri. Aku tidak mungkin salah,” Erland murka, “Ia pasti menyesal bila
bertemu denganku. Aku akan membuatnya menyesal telah menipuku dan rakyatku. Aku ingin sekali
membunuhnya.”
“Ia tidak sepenuhnya membohongi kita. Setidaknya ia masih memberikan nama aslinya.”
Erland tidak tertarik untuk mendengarnya, tapi Fred tetap melanjutkan.
“Ia menyuruh kita memanggilnya Rara. Panggilan itu dari namanya, Altamyra. Nama yang menyenangkan
untuk didengar seperti mengandung sinar bintang yang cerah.”
“Berhentilah menyebut-nyebutnya. Aku muak mendengarnya!”
“Engkau boleh marah, Erland. Tapi engkau tidak bisa membohongiku.”
“Cukup!” bentak Erland.
Fred hanya mengangkat bahunya. Ia tahu Erland benar- benar murka saat ini. Ia juga tahu takkan ada
yang berani mengusik Erland dalam hari-hari belakangan ini termasuk Cirra.
Sejak Rara kembali bersama para pasukan itu, Erland sangat cemas. Ia mengirim pasukan untuk
mengintai pasukan kerajaan dan mencari kesempatan untuk menculik Rara kembali.
Setelah tidak berhasil merebut Rara, Erland mengirim Giorgio untuk mencari tahu keberadaan Rara.
Orang yang paling bersorak dengan hilangnya Rara adalah Cirra. Wanita itu seperti mendapatkan
kembali kesempatan untuk berdua dengan Erland.
Cirra semakin berani. Bahkan, ia meminta Erland mengajaknya tidur di kamarnya seperti yang ia lakukan
pada Rara. Erland dengan dingin menolaknya.
Suasana di Vandella tengah berubah. Demikian pula suasana hati Erland. Tapi, tidak suasana rakyat
Lasdorf.
Meskipun mereka membaca koran yang menyerukan perubahan yang dilakukan Altamyra, mereka tidak
akan tahu Altamyra adalah gadis yang sama dengan Rara. Rakyat kecil ini baru akan gempar bila tahu
gadis yang dulu mereka puja adalah Ratu Vandella.
Tujuh ratus mil dari tempat itu Altamyra tetap meneruskan kesibukannya. Siang malam ia terus terlihat di
Ruang Kerjanya dengan tumpukan kertas yang tinggi.
Terlalu banyak yang harus dilakukannya hingga ia sering melupakan waktu. Setiap kali hari menjadi
gelap, Altamyra berkata, “Waktuku cepat berlalu.”
Waktu yang terus berganti dengan cepat, mendorong Altamyra untuk bekerja lebih cepat lagi. Lebih
banyak yang diselesaikan Altamyra, semakin puas hatinya.
Kesibukan yang ada di Azzereath tidak hanya terjadi pada Altamyra saja. Seluruh pelayan Istana ikut
disibukkan oleh kedatangan para ahli keuangan yang datang memenuhi panggilan Altamyra.
Orang yang pertama kali terkejut dengan banyaknya ahli keuangan yang datang adalah Briat. Saat ia
mencatat nama ke lima puluh, ia segera menemui Altamyra.
“Luar biasa, Paduka,” serunya tak percaya, “Lihatlah ini. Ini nama ke lima puluh yang saya catat.”
Altamyra tertawa geli. “Berilah dia hadiah, Briat, sebagai penghargaan menjadi orang ke lima puluh.”
“Anda seperti akan mengadakan perlombaan, Paduka.”
“Engkaulah yang membuatnya seperti itu, Briat,” Altamyra tersenyum geli, “Aku berjanji minggu depan
engkau akan lebih terkejut.”
“Anda benar, Paduka, mereka masih banyak.”
“Aku sudah mengatakannya padamu,” Altamyra mengingatkan dengan lembut, “Lebih baik sekarang
engkau kembali ke bawah. Aku yakin sudah banyak yang menanti engkau memasukkan nama mereka
dalam daftar peserta lombamu.”
Melihat wajah Briat yang seperti anak kecil yang sedang marah, Altamyra tertawa geli. “Pergilah
menemui para peserta lombamu sebelum mereka membatalkan niatnya untuk mengikuti lombamu.”
Briat tersenyum ketika ia membungkuk. Ia masih tersenyum ketika kembali ke Hall.
Altamyra tersenyum melihat kepergian Briat lalu kembali menekuni pekerjaannya. Membaca laporan
telah diselesaikannya berhari-hari lalu. Sekarang yang menjadi pekerjaannya adalah menyusun hal-hal
yang harus segera dilakukannya setelah membaca laporan kedua puluh menterinya serta membuat
keputusan-keputusan baru.
Segala hal baik yang terlintas dalam pikirannya segera ditulisnya dan dipisah-pisahkannya. Sangat
banyak hal yang terlintas dalam pikiran Altamyra hingga ia bingung mana yang harus dilakukannya lebih
dulu.
Di tengah-tengah kesibukannya, Altamyra masih menyempatkan diri untuk menyelesaikan masalah
Mardick dan menerima menteri-menterinya yang datang untuk menanyakan sarannya.
Sejak mengurung Mardick di salah satu kamar Istana, Altamyra tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Namun, dari prajurit yang menjaga kamar tempat Mardick berada, ia mengetahui Mardick gelisah
menanti hasil pemeriksaan Altamyra terhadap dirinya.
Ketika hari terakhir yang ditentukan tiba, Altamyra memanggil Ludwick ke Istana. Dari hasil pendataan
Briat, Altamyra mengetahui jumlah orang yang datang.
Pagi hari setelah makan pagi, Altamyra meminta Briat menyuruh pelayan menyiapkan kertas dan pena di
Ruang Rapat.
Pelayan-pelayan Istana segera melaksanakan perintah Altamyra itu. Mereka tidak mau kalah dengan
Altamyra yang juga sibuk menyiapkan segala-galanya untuk pertemuannya yang pertama dengan semua
ahli keuangan Vandella itu.
Kesibukan di dalam Istana yang terjadi sejak pagi itu membuat para tamu Altamyra tahu saat pemilihan
telah tiba. Mereka pun sibuk mempersiapkan diri.
Menjelang siang, pelayan telah menyiapkan segalanya seperti perintah Altamyra.
Briat memanggil seluruh tamu Istana itu ke Ruang Rapat tempat Altamyra dan Ludwick telah menanti.
Sambil menunggu mereka semua berkumpul, Altamyra berbincang-bincang dengan beberapa orang.
Ketika semua telah berkumpul, Altamyra tetap berbincang-bincang.
Ludwick juga menyibukkan diri dengan bercakap-cakap dengan mereka. Ia telah diberitahu Altamyra
untuk membiarkan mereka menunggu.
“Aku ingin tahu sampai di mana batas kesabaran mereka,” kata Altamyra sebelum seorang pun
memasuki Ruang Rapat.
Setelah hampir setengah jam menanti, orang banyak itu mulai gelisah. Mereka mulai mengkhawatirkan
rencana Ratu mereka.
“Di mana Paduka Ratu, Ludwick?”
“Sejak tadi kami menanti di sini.”
“Beliau sudah ada di sini sebelum kalian datang,” Ludwick berkata sambil melihat seorang gadis muda
yang tengah berbicara dengan seorang pria tua.
“Dia!?” Mereka terkejut ketika melihat Altamyra.
Kemudian mereka mendekati Altamyra dan berlutut, “Maafkan kami, Paduka Ratu. Kami tidak
menyapa Anda sebagaimana mestinya.”
Dalam waktu singkat semua yang hadir ikut berlutut dan memohon maaf.
Altamyra tersenyum ramah dan berkata, “Berdirilah kalian semua. Masih banyak yang harus dilakukan
daripada mempermasalahkan sopan santun.”
“Baik, Paduka,” kata mereka serempak. Dengan hampir bersamaan, mereka berdiri.
“Dari kalian yang ada di sini, aku ingin memilih beberapa orang yang benar-benar ahli dalam hal
pembukuan uang,” Altamyra menegaskan, “Sebagai pemilihan pertama, aku akan memberi pertanyaan
mudah. Jawabannya tidak perlu dikatakan, tetapi tulis di kertas dan berikan pada Ludwick. Kalian
mengerti?”
“Kami mengerti, Paduka.”
“Pertanyaannya adalah bila kalian mempunyai uang lebih banyak dari impian kalian, apa yang akan
kalian lakukan? Kutunggu jawabannya dalam lima menit.”
Altamyra menuju kursi tingginya di ujung meja rapat dan melihat orang-orang yang mulai menulis
jawaban mereka.
Tak lama kemudian, Ludwick menyerahkan tumpukan kertas jawaban itu pada Altamyra.
“Terima kasih, Ludwcik.”
Altamyra mulai melihat lembar teratas. Gadis itu hanya melihat sebentar lalu menyingkirkannya. Ia
mengambil lembar yang lain dan segera menyingkirkannya.
Ludwick tidak terkejut maupun heran dengan kerja Altamyra yang cepat. Gadis itu memang tangkas.
Dalam satu minggu, ia sudah membuat banyak perubahan yang dilakukan raja lain dalam sepuluh tahun.
Dalam waktu singkat di hadapan Altamyra telah ada dua tumpuk kertas. Altamyra mendesah panjang
ketika menyerahkan setumpuk kepada Ludwick.
“Mereka tidak berhasil.”
Altamyra kecewa melihat tumpukan kertas itu.
Ludwick melihat jawaban itu lalu dengan heran ia menatap Altamyra.
“Aku membutuhkan orang yang selalu tanggap dengan perubahan bukan yang mengikuti masa lalu,”
Altamyra menjelaskan, “Sayang, beberapa dari mereka masih mengira aku sama dengan ayahku. Sudah
banyak koran yang menuliskan keinginanku, tapi mereka tidak tahu. Aku sengaja tidak mengatakannya
pada mereka untuk melihat siapa yang selalu mengikuti perubahan jaman.”
Ludwick mengerti keinginan Altamyra.
Tumpukan kertas yang diberikan Altamyra itu pada intinya mengatakan, “Aku akan memberikan uangku
pada Raja agar ia senang.” Sedang tumpukan yang lain intinya berisi, “Aku akan menggunakannya untuk
memperbaiki kehidupan rakyat.”
Ludwick mengumumkan hasil pemilihan pertama.
Setelah semua yang gagal pergi, Altamyra berdiri dengan tumpukan kertas baru.
“Pertanyaan yang kedua adalah kalian harus menyelesaikan hitungan ini,” Altamyra berkata tegas.
Ludwick mengambil kertas itu dari Altamyra dan membagikannya.
Sekagi Ludwick membagikan soal kedua, Altamyra berkata, “Silakan menggunakan meja rapat. Aku
hanya memberi waktu lima belas menit untuk hitungan mudah itu. Kumpulkan pada Kincaid.”
Ludwick mendekati Altamyra. “Soal telah saya bagikan, Paduka.”
“Sekarang ikutlah denganku. Banyak yang harus kita selesaikan.”
Altamyra menuju meja yang baru dipindahkan ke sudut ruangan itu pagi tadi. Di meja itu tampak
setumpuk kertas berisi hitungan.
Ludwick duduk di depan Altamyra.
“Periksalah ini. Apakah benar ini semua pajak yang ditarik ayahku?”
Selagi Ludwick memeriksa, Altamyra mengawasi orang-orang yang sibuk menghitung itu.
Ludwick mengangkat kepala dari kertas itu.
“Selain pajak tanah, pajak pendapatan, apakah ayahku juga menarik pajak hasil panen, pajak barang,
pajak rumah, pajak ternak, pajak kendaraan, dan semua macam pajak yang ada di situ?”
“Benar, Paduka.”
Beberapa orang yang telah selesai memberikan hasil perhitungan mereka pada Kepala Keamanan Istana
yang mengawasi mereka.
“Bolehkan saya mengajukan pertanyaan, Paduka?”
“Silakan.”
“Mengapa Anda membuat soal yang berbeda-beda?”
“Aku ingin tahu kemampuan mereka yang sebenarnya. Aku membutuhkan orang yang dapat bekerja
cepat dan teliti.”
“Waktu telah habis!” Kincaid mengumumkan, “Anda dipersilakan beristirahat di kamar Anda
masing-masing.”
Semua berdiri. Beberapa mengeluh panjang. Yang lain tersenyum senang. Ada juga yang berbisik-bisik.
Suasana sepi Ruang Rapat menjadi riuh.
“Seperti anak-anak sekolah yang sedang ujian,” gumam Ludwick.
“Aku membuatnya seperti itu,” sahut Altamyra dengan senyum manisnya.
Kincaid mendekat. “Semua jawaban telah saya kumpulkan, Paduka.”
“Terima kasih, Kincaid. Maukah engkau membawakannya ke Ruang Kerjaku?”
“Dengan senang hati, Paduka.”
“Mari kita berangkat, Ludwick,” Altamyra mengambil tumpukan tugasnya.
“Ijinkan saya membantu Anda, Paduka,” Ludwick mengulurkan tangan.
“Terima kasih, Ludwick,” Altamyra menyerahkan bawaannya.
Altamyra meninggalkan Ruang Rapat dikawal kedua orang itu,
Penjaga pintu membukakan pintu untuk mereka.
Kincaid dan Ludwick meletakkan kertas-kertas itu di meja.
“Aku tidak ingin merepotkanmu, Kincaid, tapi aku ingin meja kecil di Ruang Rapat itu dikembalikan ke
tempat asalnya.”
“Keinginan Anda adalah tugas bagi saya,” Kincaid membungkuk hormat dan meninggalkan tempat itu.
“Menteri Luar Negeri datang menghadap, Paduka.”
“Suruh dia masuk.”
“Hamba datang memenuhi panggilan Anda, Paduka,” Dewey membungkuk hormat.
“Engkau datang tepat waktu, Dewey. Kemarilah dan bantu kami memeriksa jawaban-jawaban ini.”
“Baik, Paduka.”
Dewey duduk di samping Ludwick.
Altamyra menyerahkan kepada mereka masing-masing selembar kertas. “Ini adalah jawaban untuk
semua soal ini. Perhatikan baik-baik soalnya. Ada lima belas jenis soal di sini.”
“Kami akan berhati-hati, Paduka.”
Ketiganya segera tenggelam dalam kesibukan mereka. Di antara mereka bertiga, Altamyralah yang
paling cepat. Gadis itu membuat semua soal itu. Gadis itu pula yang membuat jawabannya. Ia telah ingat
semua jawaban, semua angka yang berderet-deret itu.
Selama hari-hari terakhir ini Altamyra terbiasa bekerja cepat. Tak heran ia menjadi tangkas dalam segala
hal namun penuh perhitungan.
Dari8454 orang yang telah tiba, 157 orang yang lolos dalam pemilihan pertama. Dari pemilihan kedua,
yang lolos hanya 36 orang.
Altamyra memandang kertas yang berisi jawaban yang benar itu.
“Biarkan mereka menanti,” kata Altamyra, “Besok baru kita umumkan. Sampai saat itu tiba, jangan
mengatakan hasilnya pada siapa pun.”
“Kami mengerti, Paduka.”
“Mendekatlah!”
Ludwick dan Dewey berdiri di samping Altamyra.
“Ini adalah hasil perhitungan kasarku,” Altamyra mengangkat selembar kertas, “Kuingin kalian
memberitahu mana yang salah, mana yang terlewat.”
“Ini, Paduka,” Ludwick menunjuk sederet angka, “Jumlah yang ditarik lebih besar dari ini.”
Altamyra menghitung kembali hasil perhitungannya. Baik Ludwick maupun Dewey tidak henti-hentinya
memberi bantuan pada gadis itu. Tiap ada yang salah, mereka tak ragu untuk memberitahu. Mereka juga
tidak segan memuji pekerjaan Altamyra.
Altamyra juga dengan senang hati menerima pendapat kedua menterinya.
“Sudah saatnya beristirahat!”
Altamyra terkejut melihat pelayan tuanya yang setia membawa nampan penuh berisi makanan. “Apa
yang kaulakukan di sini, Hannah?” Altamyra memandang seorang wanita, “Brenda, bukankah aku
memberimu tugas untuk mencegahnya bekerja?”
“Maafkan saya, Paduka Ratu, tapi saya pikir Hannah benar. Telah seharian Anda bekerja bahkan Anda
sampai melewatkan waktu makan siang. Sekarang terlalu terlambat untuk makan, tetapi tidak untuk
waktu minum teh.”
Altamyra hanya menghela nafas. “Letakkan saja di meja lalu antar Hannah kembali ke kamarnya.”
“Anda harus beristirahat, Paduka,” Hannah menasehati, “Sepanjang minggu ini saya melihat Anda
bekerja terlalu keras. Kalau Anda jatuh sakit, siapa yang akan melakukan perbaikan hidup rakyat.”
“Selain itu saya tidak suka berdiam diri,” Hannah mengingatkan.
Altamyra diam memandang wajah keriput pelayan tua itu. Dalam benak gadis itu telah muncul gagasan
baru.
Rakyat membutuhkan bantuannya saat ini juga. Bukan nanti bukan juga esok, tapi sekarang. Segala
perubahan yang dilakukannya membutuhkan waktu lama untuk benar-benar berjalan. Saat ini detik ini
pula rakyat mengharapkan batuan.
“Brenda,” kata Altamyra tegas, “Panggil Kincaid, Briat juga Liplannd saat ini juga.”
“Baik, Paduka,” Brenda beranjak pergi.
“Apa yang akan Anda lakukan?” tanya Hannah keheranan.
“Memberimu pekerjaan,” jawab Altamyra tenang, “Sekarang engkau duduk saja menanti mereka.”
Altamyra berpaling pada kedua menteri di kanan kirinya itu, “Mari kita lanjutkan,” katanya.
Tak lama kemudian Brenda datang dengan ketiga pria itu.
“Kami datang menghadap, Paduka,” mereka melapor.
“Liplannd, Briat, Kincaid, aku punya tugas untuk kalian,” Altamyra memulai, “Liplannd, ajak
pelayan-pelayan Istana membantu Hannah membongkar semua gaun-gaunku juga gaun ibuku dan
memilih yang baik untuk diberikan pada rakyat.”
Hannah terkejut tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk membantah.
“Hannah, pimpin pelayan-pelayan Istana memilih gaun-gaunku itu lalu bawa ke Hall lantai pertama. Briat,
siapkan beberapa kereta kuda untuk membawa gaun-gaun itu. Dan engkau Kincaid, bawa prajuritmu
untuk membagikan gaun-gaun itu pada rakyat. Ajak juga para pelayan, kalau engkau kekurangan orang.
Untukmu, Brenda, bantu Hannah dan cegah ia ikut mengangkat kopor-kopor itu.”
“Paduka!” Hannah menyahut, “Saya tidak setuju! Gaun-gaun itu menyimpan banyak kenangan. Kalau
semua disumbangkan, apa yang tersisa?”
“Aku tahu apa yang kaupikirkan,” Altamyra berkata lembut, “Mama pasti mengerti keinginanku ini. Ia
pasti senang gaun-gaunnya berguna untuk rakyat. Aku juga akan senang sekali kalau milikku dapat
membantu rakyat yang menderita. Ini adalah langkah kecil yang dapat kulakukan saat ini selagi yang
besar masih direncanakan.”
“Aku ingin bangsawan-bangsawan lain dan mereka yang kaya membantu rakyat. Tapi, yang lebih dulu
melakukannya harus aku, mereka akan mengikutiku. Aku takkan melarang bila kalian ikut membantu.
Bantuan yang sangat kecil tetapi penuh keikhlasan akan sangat berarti daripada bantuan besar yang
hampa.”
“Kincaid, bila engkau sampai di kota, umumkan pada rakyat yang mampu untuk ikut menyumbang dan
pada yang tidak mampu untuk mau datang ke Istana mengambil bantuan. Briat, kalau engkau selesai
menyiapkan kereta, aturlah Hall menjadi dua bagian. Satu untuk penerimaan bantuan dan satu untuk
pemberian bantuan. Mulai besok Hall dibuka untuk umum dan kalian tetap berkeliling menyalurkan
bantuan, tapi tidak di sini melainkan di kota-kota lain. Mungkin di kota-kota lain juga perlu pengumuman,
aku akan membuatnya.”
Altamyra mengambil secartik kertas dan mulai menulis.
“Kincaid,” panggil Altamyra seusai menandatangani pengumumannya, “Ini untuk dibacakan di ibukota
dan ini di kota-kota lain. Ingat, aku hanya membuat dua. Bila ada pengumuman yang lain, cari dan
periksa. Aku tidak mau hal ini digunakan oleh orang-orang tamak untuk mengumpulkan harta.”
“Baik, Paduka.”
Melihat kelima orang itu masih tidak bergerak, Altamyra berkata, “Apa yang kalian tunggu?”
“Kami akan melakukan tugas sebaik-baiknya, Paduka,” kata mereka serempak sambil membungkuk.
Altamyra melihat kedua menterinya bergantian. “Hannah benar, kita butuh istirahat.” Altamyra berdiri
dan menuju sofa di depan meja kerjanya itu. Altamyra menuang teh dan memberikannya pada Ludwick
dan Dewey.
“Terima kasih, Paduka.”
Altamyra tersenyum, “Katakanlah padaku bagaimana kehidupan rakyat selama ini sejauh yang kalian
ketahui.”
“Rakyat hidup menderita, Paduka. Raja menarik pajak terlalu banyak dan terlalu besar. Sulit bagi rakyat
miskin untuk bertahan hidup, banyak orang yang kelaparan di desa-desa. Di di kota, hanya mereka yang
kaya yang mampu bertahan hidup. Bangsawan tidak lagi mengalami masa kejayaan. Pajak terlalu tinggi.”
“Sulit untuk menjadi kaya,” Dewey menambahkan, “Lebih mudah untuk jatuh miskin. Pajak
perdagangan pun sangat tinggi.”
“Tak ada yang berani menentang Raja. Siapa yang tidak mau membayar pajak akan dipenjara. Raja
juga tidak segan-segan membunuh orang yang tidak disukainya. Penjara dipenuhi orang-orang yang
menangis menderita. Janda-janda meratapi anak-anaknya. Anak-anak kelaparan.”
“Untuk semua itu sudah berakhir,” kata Dewey bersemangat, “Anda hadir di sini sebagai bidadari kami.
Anda memberikan banyak kebahagiaan. Anda menghidupkan suasana suram ini dan kerajaan yang
menderita ini. Banyak anugerah yang Anda berikan tapi Andalah anugerah terbesar kami.”
“Terima kasih, Dewey. Aku senang mendengarnya. Aku berharap semua orang juga berpikiran seperti
itu. Sayangnya, banyak yang takut dan membenciku.”
“Kami tidak membenci Anda, Paduka,” hibur Ludwick, “Suatu saat nanti rakyat akan mengetahui
ketulusan Anda dan mereka akan mencintai Anda.”
Altamyra tersenyum lalu bangkit. “Aku tidak bisa duduk-duduk saja di sini. Aku ingin membantu
mereka. Kalau kalian lelah, kalian boleh beristirahat. Aku tidak mengharapkan kalian ikut denganku.”
Ludwick dan Dewey berpandang-pandangan.
“Bagaimana menurutmu?”
“Bagaimana lagi, Dewey? Paduka gadis yang tangkas. Ia bekerja tanpa henti tapi tak terlihat lelah.
Apakah kita harus kalah?”
“Baik! Kita ikut Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra.”
Mereka segera mengejar Altamyra yang telah berada di Hall dan bersiap-siap naik wagon ke kota.
“Kami tidak setuju!”
Altamyra keheranan melihat orang-orang yang dengan tegas menolaknya. “Mengapa tidak?” tanyanya
heran, “Tidak ada yang salah bila aku ikut kalian.”
“Keselamatan Anda terancam, Paduka,” ujar Kincaid, “Kita akan bertemu langsung dengan rakyat.
Kemungkinan adanya pemberontak di antara mereka sangat besar. Bila rakyat mengetahui Anda
bersama kami, mereka mungkin akan menjadi tidak teratur. Saat itu kami akan kesulitan melindungi
Anda. Walaupun seluruh pasukan Istana dikerahkan untuk menjaga Anda, kami tidak dapat melawan
rakyat banyak. Selain itu Anda pasti melarang kami mencelakakan rakyat.”
Altamyra tersenyum. “Aku mengerti kekhawatiranmu, Kincaid. Mereka tidak akan tahu aku ada di
antara kalian. Mereka belum bertemu denganku dan hari ini adalah pertama kalinya kita akan
menyalurkan bantuan. Tak seorangpun yang mengetahuinya selain kita karena aku baru saja
memutuskannya.”
“Kincaid benar, Paduka. Perhatian kami nanti akan lebih tertuju pada rakyat daripada untuk Anda.”
“Aku tahu, Ludwick. Aku telah memikirkannya.”
“Biarkan kami sendiri yang melakukannya, Paduka. Kami bisa melakukannya.”
“Aku percaya padamu, Briat.” Altamyra diam berpikir lalu ia tersenyum. “Aku tahu bagaimana agar
kalian tidak khawatir. Tunggulah aku di sini.”
Altamyra berlari ke dalam.
Orang-orang yang ditinggalkan gadis itu berpandangan-pandangan dengan heran.
Hannah dan para pelayan wanita masih sibuk membongkar gaun-gaun Altamyra di ruang ganti kamar
gadis itu. Mereka tak menyadari kedatangan Altamyra.
“Tunggu sebentar!” cegah Altamyra.
“Ada apa, Paduka?” tanya Hannah heran.
“Tidak ada apa-apa, Hannah. Aku hanya ingin mengambil gaun ibuku yang kaupegang itu.”
Hannah menyerahkan gaun itu dengan keheranan. “Untuk apa gaun ini, Paduka?”
Altamyra membentangkan gaun itu di depannya. “Engkau akan tahu, Hannah.” Lalu gadis itu menghilang
ke kamar tidurnya.
Altamyra tersenyum puas ketika melihat dirinya di cermin. Gaun hijau tua itu sudah kuno dan
membuatnya tampak puritan. Dan, tak ada yang mengenalinya sebagai Ratu Vandella. Siapa yang akan
menyangka gadis dalam baju kuno ini adalah seorang Ratu?
“Aku tak ingin menyia-nyiakan pekerjaan kalian, tapi ini akan membuatku semakin mirip gadis desa yang
kuno,” gumam Altamyra ketika ia melepas gelungan rambutnya yang berhiaskan muntiara-muntiara murni
yang berkilauan.
Rambut keemasan yang panjang itu tergerai hingga hampir mencapai lutut Altamyra. Sejak ibunya
meninggal, Altamyra terus memanjangkan rambutnya. Rambut kesayangannya itu menyimpan
kenangan-kenangan indah saat ibunya masih hidup.
Ketika menyisir rambutnya, Altamyra teringat ibunya yang suka membelai rambutnya dengan penuh
kasih sayang. Tanpa disadarinya, Altamyra menitikkan air mata.
“Sekarang aku menduduki tahta kerajaan ini, Mama. Aku berjanji akan memperbaiki semua kesalahan
serigala itu,” janji Altamyra.
Dihapusnya air matanya lalu ia segera kembali ke Hall.
Semua yang sibuk memindahkan barang ke wagon, keheranan melihat Altamyra.
“Aku mirip gadis desa?” tanya Altamyra sambil tersenyum.
Mereka hanya bisa menatap Altamyra lekat-lekat. Dengan gaun hijau tuanya yang sudah kusam itu,
Altamyra tidak nampak seperti seorang ratu. Gaun polos itu terbuat dari kain katun biasa dengan
lengannya yang panjang dan kerahnya yang menutup rapat leher Altamyra yang indah. Dengan rambut
panjang yang tergerai, Altamyra mirip gadis perawan jaman kuno.
“Tampaknya kita harus mengalah, Kincaid.”
“Anda benar, Tuan Dewey.”
Altamyra tersenyum puas. “Mana kereta yang sudah siap?”
“Kereta ini yang hampir siap untuk diberangkatkan, Paduka,” jawab Briat, “Kami menanti bingkisan
terakhir. Itu dia datang!”
Pelayan memasukkan sebungkus gaun terakhir ke dalam wagon.
“Ayo kita berangkat!” Altamyra memanggil Ludwick dan Dewey. Lalu ia menerima uluran tangan dua
prajurit di dalam wagon.
Dewey menatap Kincaid. “Engkau yang kami andalkan.”
“Jangan khawatir, saya tidak akan pergi dari sisi Paduka.”
Kusir kuda segera membawa wagon meninggalkan Azzereath setelah semua naik.
Semua yang ada di dalam kereta mencemaskan keselamatan Altamyra. Hanya gadis itu sendiri yang
tidak tampak cemas. Gadis itu tampak gembira.
Senyum gembiranya berubah menjadi senyum ramah ketika kereta berhenti di sebuah pemukiman
miskin.
Penduduk tempat itu keheranan melihat datangnya wagon besar itu dan mereka lebih keheranan ketika
seorang prajurit berseru,
“Kami datang membawa bantuan untuk kalian. Bila kalian mau, antrilah di sini.”
Penduduk berbisik-bisik.
Altamyra segera bertindak. Sebelum ada yang menyadari tindakannya, ia meloncat turun. Gadis itu
membawa sesuatu dalam keranjang dan berjalan mendekati orang tua yang tengah berbaring lemah di
depan rumah reyot.
Orang-orang yang di dalam wagon terkejut. Mereka berteriak, “Pa…” Tiba-tiba mereka menutup mulut
rapat-rapat. Mereka sadar kata-kata yang biasa mereka sebut untuk memanggil Altamyra itu bisa
membuat celaka gadis itu.
Kincaid melompat turun dan segera mengejar Altamyra.
Altamyra berlutut di sisi orang tua itu. Ia mengeluarkan makanan yang ada di dalam keranjang dan
memberikannya sambil berkata, “Terimalah, Tuan. Saya membawanya untuk Anda. Jangan membiarkan
Anda dan keluarga Anda kelaparan.”
Altamyra melihat anak-anak kecil yang kurus kering di sisi pria tua itu. Ia tersenyum ramah pada mereka
dan berkata, “Saya yakin kalian mau mencoba kue-kue yang lezat ini.”
Anak-anak kecil itu tanpa ragu mengambil sendiri apa yang ada di keranjang Altamyra. Mereka terlalu
lapar untuk memikirkan siapa Altamyra dan mengapa ia datang membawa makanan.
Pria tua itu tidak tahan melihat anak-anaknya makan selahap itu. Ia mengulurkan tangan mengambil roti
yang diulurkan Altamyra padanya.
Melihatmereka makan dengan lahap, Altamyra tersenyum senang. Penduduk lain yang juga kelaparan
tidak dapat menahan air liur mereka. Perut mereka merengek minta makan melihat teman-teman mereka
makan dengan lahap. Mereka segera menyerbu Altamyra.
Kincaid segera melindungi Altamyra. “Kalian bisa mengambil makanan sebanyak-banyaknya di kereta!”
Orang banyak itu beralih ke kereta.
“Paduka membuktikan perbuatan lebih berguna daripada kata-kata,” kata Ludwick lalu ia melompat
turun diikuti prajurit lain.
Dalam waktu singkat mereka sibuk menurunkan makanan dari kereta untuk diberikan pada warga.
Mereka sibuk mengatasi tangan banyak yang terulur itu. Beberapa orang berusaha masuk ke kereta
untuk mengambil sendiri makanan dan membuat prajurit kebingungan.
“Tenang! Semua pasti mendapatkan!”
Teriakan-teriakan itu terdengar di sekitar kereta.
Altamyra melihat kereta yang dikerumuni orang yang sedang berebutan itu. Ia berdiri dan berjalan ke
sana untuk membantu mereka.
Kincaid segera menyusul gadis itu untuk melindunginya dari kerumunan orang banyak. Kincaid turut
membantu menurunkan barang-barang dan membagikannya pada orang-orang.
Karena semua mencegah ia turun tangan, Altamyra hanya bisa duduk di antara orang-orang itu dan
berbincang-bincang dengan mereka. Sambil berbincang-bincang, Altamyra memberikan obat-obatan
kepada mereka yang membutuhkan. Gadis itu juga tidak segan merawat mereka yang terluka.
Kincaid yang berjanji untuk terus berada di sisi Altamyra, mengambilkan segala yang diperlukan gadis
itu.
“Anda pusing?” tanya Altamyra penuh perhatian, “Sejak tadi saya melihat Anda terus memegang dahi.”
“Tidak, Nona.”
Altamyra tersenyum. “Kincaid, tolong kau carikan obat untuk Tuan ini.”
“Baik, Nona.”
Altamyra merasa pria itu terus menatapnya tetapi ia tidak mempedulikannya. Dalam hari-hari terakhir ini,
Altamyra sudah biasa menjadi pusat perhatian. Gadis itu meneruskan kesibukannya menjadi dokter untuk
orang-orang miskin itu.
Pria itu terus berusaha mengenali Altamyra. Ia merasa pernah bertemu gadis itu. Di suatu waktu dan di
suatu tempat. Ia terus berpikir keras.
“Anda membuat saya khawatir, Tuan. Apakah Anda sakit? Kalau Anda merasa tidak sehat, silakan
mengatakannya. Saya akan mencari dokter untuk Anda.”
Pria itu terus menatap Altamyra. Mata biru yang penuh perhatian itu mengingatkannya pada seseorang.
Seseorang yang dengan tegas berkata…
“Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra!” seru pria itu, “Tidak salah lagi. Anda pasti Paduka Ratu. Saya
pernah melihat Anda di Gedung Parlemen ketika Anda mengumumkan kematian Raja Wolve.”
Altamyra terkejut. Mungkinkah pria itu adalah salah satu wartawan yang dulu mengikui jalannya kegiatan
di Gedung Parlemen.
Tetapi, Kincaid lebih terkejut lagi. Ia cepat-cepat menghampiri Altamyra dan membantu gadis itu berdiri.
Orang-orang berpandang-pandangan tak percaya.
“Anda pasti Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” kata pria itu percaya diri.
“Sebaiknya kita segera kembali, Paduka,” bisik Kincaid.
Altamyra tersenyum manis pada pria itu lalu mengikuti Kincaid ke kereta.
Melihat keributan itu, pasukan segera bersiap-siap kembali ke Azzereath.
“Paduka! Paduka!”
Orang-orang itu berseru memanggil Altamyra dan berusaha mendekati gadis itu. Namun, pasukan segera
menghadang mereka.
“Paduka! Paduka!” Orang-orang itu melambai-lambaikan tangan kepada Altamyra. “Paduka, terima
kasih! Terima kasih atas kebaikan hati Anda!”
“Mari, Paduka,” Ludwick dan Dewey dengan tidak sabar mengulurkan tangannya.
Pasukan yang sedikit itu mulai tidak sanggup menghadapi rakyat yang terus memaksa mendekati
Altamyra.
“Kita kembali ke Istana Azzereath!” seru Kincaid.
Segera pasukan itu melompat ke kereta. Kusir kuda melajukan kereta dengan kencang.
“Terima kasih, Paduka! Terima kasih!”
Dari dalam kereta, Altamyra melihat mereka berlutut di tanah dan menyembah-nyembah sambil terus
meneriakkan ucapan terima kasih mereka. Hingga mereka jauh pun suara-suara itu masih terdengar.
“Maafkan aku,” kata Altamyra, “Aku tidak bermaksud membuat kalian kewalahan.”
“Sudah menjadi tugas kami untuk melindungi Anda, Paduka,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Aku senang mempunyai orang-orang sesetia kalian. Kalian selalu menjaga dan melindungiku. Aku
takkan melupakan hal ini.”
“Anda terlalu berlebihan, Paduka. Tugas kami adalah terus menjaga dan melindungi Anda,” kata
Kincaid.
Altamyra hanya tersenyum.
Tak lama kemudian kereta berhenti di depan pintu Istana. Dua orang prajurit sudah bersiap untuk
membantu Altamyra.
“Bagaimana perjalanan Anda, Paduka?” sambut Briat.
“Baru kali ini aku harus lari dari orang banyak karena ketahuan,” kata Altamyra menahan geli, “Aku
merasa seperti pencuri.”
“Benarkah itu?” tanya Briat tidak percaya.
“Benar, Briat. Kami tidak menyangka ada yang mengenali Paduka di sana. Kami telah memilih tempat
yang cukup jauh dari Istana,” Ludwick menerangkan.
“Saya bersyukur Anda baik-baik saja, Paduka.”
“Jangan memberitahu Hannah. Aku tidak ingin dia khawatir.”
“Tentu, Paduka. Ketika mengetahui Anda pergi, ia sangat cemas.”
“Aku akan menemuinya agar ia tidak cemas lagi.”
Altamyra berlari ke kamarnya.
“Paduka! Mengapa Anda melakukan tindakan berbahaya seperti itu?”
Serbuan yang didapatnya ketika ia tiba, membuat Altamyra tersenyum, “Aku harus melakukannya,
Hannah. Engkau tidak perlu cemas. Aku pergi dengan beberapa prajurit.”
Hannah tidak dapat berbuat apa-apa. “Brenda, ambilkan baju ganti untuk Paduka!” perintahnya.
Altamyra tidak membantah sedikitpun ketika para pelayan sibuk membantunya mengganti gaun. Mereka
menyiapkan air mandi yang hangat dan wangi untuknya. Mereka pula yang mengenakan gaun sutra lain
yang indah pada dirinya dan menghiasi rambut panjangnya dengan manik-manik yang indah.
Hingga mereka selesai dengan dirinya, Altamyra diam berpikr.
“Terima kasih, Hannah,” Altamyra bersiap pergi lagi setelah rambutnya selesai disisir rapi.
“Anda mau ke mana lagi?”
“Jangan khawatir. Aku ingin menemui Ludwick.”
“Anda harus beristirahat. Anda sudah terlalu lama bekerja.”
Altamyra beranjak ke pintu sebelum dicegah Hannah. “Selamat tinggal,” katanya ketika membuka pintu.
“Jangan lupa untuk makan malam!”
Altamyra tersenyum mendengar seruan itu, “Kali ini aku takkan lupa, Hannah,” katanya perlahan sambil
menuju Hall.
Briat masih sibuk mengatur Hall ketika Altamyra datang.
“Di mana Ludwick dan Dewey serta Kincaid?”
“Kincaid pergi ke pusat kota untuk mengumumkan titah Anda sedangkan Tuan Ludwick dan Tuan
Dewey saya minta untuk beristirahat. Apakah Anda memerlukan mereka, Paduka? Saya akan memanggil
mereka untuk Anda.”
“Tidak perlu, Briat. Biarkan mereka beristirahat. Suruhlah seorang prajurit untuk menemuiku di Ruang
Kerjaku.”
“Baik, Paduka.”
Altamyra kembali ke Ruang Kerjanya dan menulis sesuatu pada secarik kertas.
“Hamba datang memenuhi panggilan Anda, Paduka.”
Altamyra menghampiri prajurit itu. “Antarkan surat ini pada Menteri Keamanan.”
“Baik, Paduka.”
Setelah prajurit itu pergi, Altamyra menemui penjaga pintu Ruang Kerjanya. “Salah satu dari kalian,
panggilkan Liplannd untukku.”
“Baik, Paduka.”
Sesaat kemudian Liplannd sudah menghadap Altamyra.
“Apakah semua ahli keuangan itu masih ada di sini?”
“Tidak, Paduka. Siang tadi beberapa di antara mereka meninggalkan Istana.”
“Bila malam ini mereka makan di Ruang Makan cukup?”
Liplannd berpikir sebentar lalu berkata, “Cukup, Paduka.”
“Siapkan makan malam di sana. Aku akan makan bersama mereka.”
“Baik, Paduka.”
“Bila Ludwick dan Dewey masih di sini, aku ingin mereka turut bersamaku.”
“Saya akan memberitahu mereka, Paduka.”
Altamyra kembali menekuni pekerjaannya membuat keputusan baru untuk memperbaiki kehidupan
rakyat.
Ketika hari mulai gelap, seorang pelayan datang untuk menutup jendela-jendela dan menghidupkan lilin.
Ia tahu kesibukan Altamyra, karena itu ia tidak mengusik gadis itu.
Hingga hari menjadi gelap, Altamyra masih sibuk di ruangannya dengan tumpukan tebal laporan para
menterinya dan surat-surat keputusannya.
“Makan malam sudah disiapkan, Paduka.”
Altamyra mengangkat kepalanya. “Aku akan segera ke sana.”
Pelayan itu membungkuk dan pergi.
Altamyra merapikan meja kerjanya. Lalu meraih secarik kertas dan pergi ke Ruang Makan.
“Selamat malam, Paduka.”
“Selamat malam, Ludwick, Dewey.”
“Anda akan mengumumkannya sekarang, Paduka?”
“Benar. Aku tidak dapat menunda hal ini lebih lama lagi, Dewey. Aku akan mengatakannya seusai
makan malam.”
“Saya melihat Anda bekerja terlalu keras, Paduka. Beristirahatlah demi kesehatan Anda. Bila Anda
sakit, siapa yang akan memperbaiki kehidupan rakyat?”
Altamyra tersenyum. “Engkau mirip Hannah, Ludwick.” Sebelum pria itu menanggapi, Altamyra berkata,
“Bagaimana perkembangan tugas yang kuberikan pada kalian?”
“Saya hampir selesai, Paduka. Kami telah menyusun semuanya. Sekarang kami sedang memeriksa ulang
semuanya.”
“Karena undang-undang kami berhubungan dengan negara lain, kami sedikit mengalami hambatan
karena hampir semua keputusan itu masih dilaksanakan. Tetapi, kami telah menghubungi negara-negara
tersebut dan meminta mereka tetap mau bekerja sama dengan kita bila keputusan baru itu dilaksanakan.
Mereka mengetahui perubahan yang terjadi di kerajaan ktia dan mereka mendukung Anda sepenuhnya.
Kami sedang membuat laporannya.”
“Aku berharap menteri-menteri lain juga hampir selesai.”
“Mereka juga hampir selesai, Paduka,” kata Ludwick dengan tersenyum, “Kami terpengaruh oleh
semangat Anda. Kami ingin memberikan yang terbaik untuk Anda.”
“Tidak, Ludwick. Kalian bisa melakukan tugas besar ini dengan cepat karena sejak dulu kalian tahu
mana yang salah dan mana yang harus diubah. Sejak dulu kalian telah mempunyai gambaran tentang
peraturan yang lebih baik, tetapi kalian tidak berani mengatakannya. Sekarang kalian mengingatnya
kembali dan menyempurnakannya.”
Tidak seorang pun dari mereka yang bisa membantah Altamyra karena saat itu mereka sudah tiba di
Ruang Makan. Prajurit membuka pintu dan mengumumkan kedatangan Altamyra.
Mereka segera berdiri dan berkata, “Selamat malam, Paduka Ratu Altamyra.”
“Selamat malam,” balas Altamyra, “Silakan duduk, Tuan-tuan.”
Selama makan malam berlangsung, Altamyra tidak menyebutkan siapa saja yang telah berhasil melalui
penyeleksian keduanya. Ia mengajak mereka membicarakan hal selain itu.
Setelah pelayan membawa pergi hidangan penutup, Altamyra berkata,
“Dalam kesempatan ini saya akan mengumumkan nama-nama mereka yang telah lolos pemilihan kedua.”
“Ijinkan saya untuk menggantikan Anda, Paduka.”
“Silakan.” Altamyra kembali duduk.
Ludwick berdiri dan mulai menyebut satu per satu nama yang tertera di kertas.
Sesaat Ruang Makan menjadi ramai setelah Ludwick selesai membaca nama-nama itu. Altamyra
menanti ruangan menjadi sepi sebelum ia berkata,
“Selamat pada kalian yang berhasil. Bagi yang belum berhasil, jangan putus asa. Berusahalah terus.
Mereka yang nama-namanya disebutkan Ludwick, aku tunggu di Ruang Pertemuan besok setelah makan
pagi.”
Altamyra beranjak bangkit. “Selamat malam, Tuan-tuan.”
Ludwick dan Dewey segera mengikuti Altamyra.
“Paduka, Anda akan bekerja lagi?”
“Kalian tidak perlu mencemaskanku,” Altamyra menerangkan, “Aku ingin malam ini kalian menginap di
sini tetapi bila kalian merindukan keluarga kalian, aku tidak melarang. Selamat malam.”
Altamyra membuka pintu Ruang Kerja dan menghilang di baliknya.
Ludwick dan Dewey hanya dapat berpandang-pandangan sambil mengangkat bahu.
Altamyra mirip ayahnya bila sedang bekerja. Mereka bekerja siang malam tanpa henti dan tanpa kenal
lelah.
Mereka tidak tahu Altamyra melakukannya di samping untuk rakyatnya juga untuk mencegah dirinya
memikirkan Erland.
Setelah makan pagi usai, Altamyra berada di Ruang Pertemuan. Tak lama ia menanti ke 36 ahli
keuangan itu datang.
“Selamat pagi,” sapa Altamyra.
“Selamat pagi, Paduka Ratu.”
“Silakan duduk. Kita akan segera memulai rapat kecil kita.”
Mereka duduk mengitari meja panjang.
Altamyra menatap mereka semua dan memulai rapat.
“Saya memilih kalian bukan tidak berdasar. Saya percaya pada kemampuan kalian. Itulah sebabnya
saya memilih kalian. Kalian, yang terpilih, akan saya beri tugas. Kalian saat ini bukan lagi sebagai saingan
tetapi sebagai satu kelompok orang yang bekerja sama.”
“Tugas kalian adalah menghitung jumlah pemasukan dan pengeluaran selama 20 tahun terakhir ini. Di
hadapan saya ini telah tercantum macam-macam pajak berikut besarnya dan jumlah penduduk selama
kurun waktu 20 tahun terakhir.”
“Untuk melakukan tugas ini, aku ingin kalian tetap tinggal di Istana. Agar keluarga kalian tidak cemas,
tulislah surat pada mereka dan berikan pada pelayan. Mereka akan mengumpulkan surat-surat kalian dan
mengantarnya.”
“Untuk kelancaran tugas ini, aku mempersilakan kalian menggunakan ruangan ini sebagai tempat kerja
kalian. Sebelum kalian memulainya, aku ingin menegaskan kalian bekerja sebagai satu kesatuan. Sebuah
kesatuan pasti memiliki pemimpin. Oleh karena itu, aku menunjuk Toed menjadi pemimpin kalian. Ada
yang tidak setuju?”
“Kami setuju, Paduka.”
“Kalian bisa memulai tugas kalian sekarang. Bila kalian mengalami kesulitan, jangan ragu untuk bertanya
padaku.”
“Kami mengerti, Paduka.”
Altamyra meninggalkan Ruang Pertemuan dan segera menuju Ruang Kerja.
“Kalian berdua masuklah, aku mempunyai tugas untuk kalian.”
Kedua prajurit penjaga pintu Ruang Kerja itu mengikuti Altamyra.
Altamyra mengeluarkan dua tumpuk kertas dari lacinya.
“Masing-masing dari kalian kuperintahkan menyebar sepuluh surat. Tunggulah sebentar jawaban para
Menteri itu. Bila tugas ini sudah selesai, segeralah kembali.”
Mereka menerima surat-surat itu lalu berkata, “Hamba akan melakukan tugas sebaik-baiknya.”
Kedua prajurit itu baru saja pergi ketika seorang pelayan muncul.
“Kepala Penjara Vandella datang menghadap, Paduka.”
“Suruh dia masuk.”
Kepala Penjara itu membungkuk dan berkata, “Selamat pagi, Paduka Ratu. Saya datang membawa
nama-nama penghuni penjara di seluruh Vandella seperti yang Anda minta.”
Pria kurus ceking itu menyerahkan berkas-berkas yang dibawanya.
“Duduklah,” kata Altamyra, “Aku akan mempelajarinya sebentar.”
Altamyra membalik-balik kertas itu.
“Saya sudah mengelompokkan antara yang dipenjara karena melanggar hukum dan yang dipenjara
karena tidak membayar pajak maupun yang menentang Paduka Raja Wolve.”
Altamyra tidak terkejut melihat yang dipenjara karena melanggar hukum lebih sedikit dari yang tidak
bersalah. Ia sudah dapat menduganya sebelum menerima laporan ini.
Altamyra bersyukur nama-nama itu dipisahkan pada lembar yang berbeda sehingga bisa menghemat
waktunya. Ia segera membagi-bagi berkas-berkas itu menjadi dua kelompok, bersalah dan tidak
bersalah.
“Nama-nama ini sudah kaukelompokkan berdasarkan tempat mereka dipenjara?”
“Sudah, Paduka. Setiap tahun Paduka Raja Wolve meminta laporan penghuni penjara dari
masing-masing penjara yang sudah dikelompokkan seperti itu. Saya hanya perlu menyatukan mereka dan
menyerahkannya pada Anda.”
“Ternyata serigala itu ada baiknya juga,” Altamyra berkata pada dirinya sendiri.
“Aku menugaskanmu berkeliling tiap penjara dan membacakan titahku ini,” Altamyra mengeluarkan
selembar kertas dari lacinya yang sudah ditandatanganinya.
Kepala Penjara itu melihat isinya yang berbunyi:
Atas titah dari Ratu Kerajaan Vandella, nama-nama yang tersebut di bawah ini mulai saat ini dinyatakan
tidak bersalah. Oleh karena itu, mereka dibebaskan dari penjara dan semua yang menjadi milik mereka
dikembalikan.
“Nama yang harus kausebutkan adalah nama yang ada di kertas ini. Bila engkau menyelesaikan tugasmu
di satu penjara, segera kirim daftar namanya kepadaku.”
“Baik, Paduka.”
“Satu hal yang tidak boleh kaulakukan adalah mewakilkan tugas ini pada orang lain. Aku percaya
engkau dapat melaksanakannya dengan baik.”
“Saya akan berusaha menjalankan titah Anda sebaik-baiknya, Paduka.”
Altamyra tersenyum puas melihat kepergian pria itu. Satu tugas lagi telah dilakukannya. Sekarang ia
menanti kabar dari Menteri-menterinya sebelum menjalankan setumpuk keputusan yang sudah dibuatnya.
Menjelang sore, kedua prajurit yang diutus Altamyra datang. Mereka menyerahkan surat balasan para
Menteri itu pada Altamyra.
Altamyra tersenyum puas setelah membaca surat-surat balasan itu. Para Menterinya hampir
menyelesaikan tugas mereka dan itu artinya Altamyra bisa segera mengadakan rapat.
Dua hari setelah pengumuman titah Altamyra, Hall Istana mulai ramai. Bangsawan-bangsawan mulai
berdatangan untuk menyerahkan bantuan mereka. Orang-orang kaya pun tak mau ketinggalan.
Altamyra menyadari ini semua berkat koran yang dengan gencar mengabarkan dirinya yang menyamar
menjadi gadis desa untuk memberi bantuan sendiri pada rakyat. Sayangnya, menurut Altamyra,
koran-koran itu terlalu memujinya. Karena dalam koran dikatakan ia mau melupakan kedudukannya
demi menyuapkan nasi pada orang tua yang lumpuh.
Walaupun begitu, Altamyra berterima kasih pada mereka. Berkat mereka penyebaran kegiatan amalnya
menjadi cepat.
Bantuan sudah banyak yang terkumpul di Hall. Prajurit-prajurit Vandella terus mengantarkan bantuan ke
kota-kota di seluruh Vandella. Bahkan, penduduk Perenolde turut membantu mengantarkan bantuan ke
daerah-daerah di luar Perenolde.
“Ratu Altamyra Menggerakkan Mega Bantuan untuk Rakyat Vandella.” Demikian judul salah satu
koran.
Sekali lagi Altamyra membuat gempar rakyatnya. Tak seorang pun dari rakyat Vandella yang menduga
Ratu mereka yang keturunan langsung Raja Wolve yang kejam, sebaik ini. Ratu telah menunjukkan
ketulusannya dengan membuang harga dirinya sebagai Ratu saat ia mengunjungi pemukiman penduduk
miskin pada hari pertama ia menyalurkan bantuan.
Rakyat juga mengetahui Altamyra telah mengeluarkan mereka yang tak bersalah dari penjara. Banyak di
antara mereka yang keheranan ketika dibebaskan. Ketika mereka tahu apa yang terjadi, mereka sangat
bersyukur pada Tuhan yang mengirim Ratu sebaik Altamyra pada mereka.
Dalam waktu kurang dari dua minggu pemerintahannya, Altamyra membuat rakyat menganggapnya
sebagai anugerah yang luar biasa. Ia yang semula ditakuti kini menjadi pujaan tiap orang. Rakyat memuja
dan menyanjungnya.
Walaupun begitu, Altamyra tak melihat adanya seseorang yang datang ke Istana untuk mengambil
bantuan. Tempat penerimaan bantuan sangat ramai, tapi tempat pengambilannya sangat sepi.
“Mereka tidak berani masuk?” tanya Altamyra heran.
“Benar, Paduka. Tampaknya mereka takut Anda mempunyai rencana tertentu. Perlukah kami
membujuk mereka?”
“Jangan,” Altamyra cepat-cepat mencegah. “Aku khawatir mereka semakin curiga bila kau melakukan
itu.”
“Apakah yang harus kami perbuat, Paduka?”
Altamyra mengawasi kerumunan orang jauh di depan gerbang Istana. Mereka sejak tadi hanya
menggerombol di sana. Tidak maju juga tidak mundur. Jumlah mereka terus bertambah, tapi tidak
keberanian mereka.
“Baiklah,” kata Altamyra tiba-tiba, “Aku yang akan menanganinya sendiri.”
“Jangan, Paduka,” cegah Kincaid.
“Percayakan padaku, Kincaid. Sekarang perintahkan prajurit membukagerbang belakang. Aku akan
tiba di sana dalam waktu lima menit.”
-----0-----
“Mengapa kalian berkumpul di sini?”
“Kami ingin masuk ke sana, tapi kami tidak berani.”
“Ya, aku mengerti perasaan kalian. Aku pun demikian ketika pertama kali diundang oleh Ratu. Di sana
aku disambut dengan baik.”
“Anda lebih kaya dari kami, Nona,” seseorang menyelentuk, “Paduka Raja sangat benci pada kami,
orang miskin karena kami tidak pernah mampu membayar pajak. Apalagi putrinya. Siapa tahu ia
mengundang kami semua untuk dibunuh?”
Altamyra tidak menanggapi. Ia berjalan ke tempat ia menyembunyikan bola. Di sana, ia pura-pura
tersandung bola itu.
“Bola sialan!” umpat Altamyra, “Siapa yang meletakannya di sini?”
Beberapa anak yang mendengar umpatan itu mendekati Altamyra.
Dalam hati Altamyra tersenyum senang tapi di luar, ia tetap menahan amarah. Altamyra mengambil bola
itu dan melemparnya sekuat tenaga ke arah gerbang istana seraya berkata, “Pergi jauh dan jangan
mengangguku lagi.”
Lagi-lagi dalam hati Altamyra tersenyum senang karena rencananya berhasil. Anak-anak itu berlari
mengejar bola yang terus menggelinding ke gerbang Istana. Altamyra pura-pura terkejut melihatnya.
“Gawat!” serunya.
“Lihat! Ini semua kesalahanmu. Apa yang harus kami lakukan kalau mereka dibunuh?” Orang-orang itu
menyalahkan Altamyra.
“Tenang,” kata Altamyra tenang, “Aku akan menolong mereka. Para prajurit itu patuh padaku.”
Altamyra berjalan ke gerbang Istana sementara itu orang-orang di belakangnya mengikuti di jarak yang
cukup jauh.
Bola menggelinding terus hingga memasuki halaman Istana. Anak-anak kecil itu terus mengejar tapi
mereka dihadang penjaga pintu gerbang. Orang tua mereka berteriak panik di belakang Altamyra.
“Biarkan mereka masuk!” seru Altamyra.
Penjaga pintu gerbang mengijinkan mereka masuk.
“Mengapa engkau membiarkan mereka masuk?” Orang-orang itu menuntut Altamyra.
“Jangan khawatir, aku yakin mereka baik-baik saja.”
“Kalau terjadi sesuatu pada mereka, engkau harus bertanggung jawab!”
“Tentu saja,” jawab Altamyra tenang.
Saat itu pula anak-anak tadi muncul. Mereka tampak senang. Mulut mereka penuh dengan makanan.
Teman-teman mereka yang lain mendekat melihat hal itu. Mereka bercakap-cakap lalu bersama-sama
masuk ke Istana.
Para orang tua yang panik itu segera mencegah anak mereka hingga tanpa sadar mereka juga telah
memasuki Istana.
Altamyra masuk dengan tersenyum. “Anak-anak berani memasuki Istana, mengapa kita tidak?”
Orang-orang itu terkejut saat menyadari mereka telah berada di halaman Istana. Mereka hendak keluar
tapi saat itu pula muncul pelayan-pelayan Istana dari segala penjuru.
“Jangan takut,” kata Altamyra lembut, “Aku akan melindungi kalian. Aku menjamin keselamatan kalian.”
Altamyra tetap tersenyum lembut ketika melihat wajah takut mereka. Ia terus berjalan memasuki Istana.
“Selamat datang,” sambut penjaga pintu sambil membuka pintu utama lebar-lebar.
Orang-orang itu terheran-heran melihat di Hall telah disiapkan berbagai macam makanan yang
lezat-lezat.
Anak-anak yang tidak punya kekhawatiran apa-apa, melesat ke meja makan dan menyantap semua
yang ada.
Sekelompok orang mendekati anak-anak itu dan mencegah mereka makan lebih banyak lagi. “Jangan
dimakan! Siapa tahu ini beracun,” kata mereka.
Altamyra mendekati sebuah meja dan mengambil sepotong biskuit. Ia memakannya lalu berkata, “Ini
enak sekali. Tidak mungkin ada racunnya.”
Beberapa orang terpengaruh tindakan Altamyra. Mereka mulai mengambil makanan walau dengan
takut-takut. Melihat teman-teman mereka makan dengan lahap, yang lain menyusul. Orang-orang miskin
yang selalu kelaparan itu melupakan segalanya. Saat itu yang penting bagi mereka adalah mengisi perut
mereka yang berbunyi.
Makanan terus berpindah dengan cepat, tapi yang ada di hadapan mereka tidak kunjung habis.
Pelayan-pelayan Istana terus membawakan makanan dan sesekali berkata sopan, “Silakan makan.”
Altamyra senang melihat pemandangan di depannya. Akhirnya para fakir miskin itu dapat
mengenyangkan perut mereka.
“Anda tidak makan, Nona?”
“Tidak, Tuan. Silakan Anda melanjutkan, saya sudah kenyang. Ini semua disiapkan khusus untuk
kalian.”
“Tidak apa-apa, Nona. Makanan ini masih banyak. Ia terus mengalir seperti sungai,” celetuk yang lain.
“Sungai yang nikmat dan mengenyangkan,” timpal yang lain.
Altamyra tersenyum.
“Paduka!”
“Ada apa, Kincaid?”
“Para menteri sudah tiba, Paduka.”
“Baiklah, aku mengerti. Tolong temani para tamu kita sementara aku menemui mereka.”
“Baik, Paduka.”
“Maafkan saya, saudara-saudara. Saya tidak dapat menemani kalian lebih lama lagi. Ada yang harus
saya lakukan.”
Orang-orang itu menatap Altamyra lekat-lekat.
Altamyra tersenyum dan sambil mengangguk kecil, ia meninggalkan Hall.
“D… dia…”
“Gadis itu Ratu Altamyra.”
“Aku tidak percaya!”
“Ratu sendiri yang mengajak kita masuk! Aku tidak percaya!”
“Aku merasa bersalah telah mencurigainya.”
“Ia sama sekali tidak marah telah kita tuding seperti itu. Itu artinya ia benar-benar bermaksud baik.”
Suasana Hall menjadi ramai.
Kincaid tersenyum geli mendengar apa yang dibicarakan mereka.
“Memang tak seorang pun menduga ia adalah Ratu,” gumamnya.
Bukan karena Altamyra tidak pantas menjadi Ratu, orang-orang sukar mengenalinya sebagai Ratu.
Altamyra mewarisi ketegasan dan wibawa ayahnya. Tetapi, ia juga mewarisi sifat lembut ibunya. Sifat
lembut itu lebih nampak pada dirinya dan dengan raut wajahnya yang masih sangat muda, semua orang
mengira ia adalah gadis cantik yang lembut seperti seorang bidadari.
Kedudukannya di Kerajaan Vandella ini sangat tinggi. Ia adalah pemimpin dari kerajaan ini dan demi
dia, semua orang mau melakukan apa saja. Kepadanya semua nasib rakyat ini terletak.
Tetapi, tingkahnya tidak menunjukkan kedudukannya. Ia lebih banyak berkelakuan seperti gadis pada
usianya yang selalu gembira. Di balik itu semua, Altamyra menyimpan kekuatan yang luar biasa.
Kekuatan menentukan yang baik dan yang salah.
Kekuatan mengambil keputusan yang tepat.
Kekuatan memberi perintah.
Kekuatan bertindak tegas.
Kekuatan yang menunjukkan ia adalah seorang Ratu yang tegas dan penuh wibawa serta bijaksana.
Kekuatan itulah yang selalu dia tampakkan saat memberi titah pada orang lain.
Kekuatan itu pula yang membuat semua orang mau memberi lebih dari yang diminta gadis itu.
“Selamat pagi, Tuan-tuan,” kata Altamyra sambil tersenyum ramah, “Maaf saya membuat Anda
menunggu.”
Menteri-menteri itu berdiri. “Selamat pagi Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” balas mereka.
Altamyra duduk di kursi tingginya dan berkata,
“Aku senang kalian bisa menyelesaikan tugas yang kuberikan dua minggu lebih cepat dari waktu yang
kuberikan. Hari ini aku meminta kalian datang untuk melaporkan hasil kerja kalian dan untuk
membicarakan beberapa hal.”
“Agar segalanya lebih cepat, aku meminta kalian menyerahkan laporan kalian padaku sekarang juga.
Tidak perlu berdiri, berikan saja pada orang di samping kalian.”
Dalam waktu singkat berkas-berkas laporan itu berjalan dari satu tangan ke tangan lain hingga tiba di
tangan Altamyra.
Altamyra menumpuk laporan-laporan yang masing-masing tebalnya hampir tiga sentimeter itu. Kemudian
ia berkata,
“Aku akan mempelajari laporan-laporan ini sebelum membicarakannya dengan kalian. Sekarang yang
akan kita bicarakan adalah keputusan-keputusan yang telah kubuat tapi belum kulaksanakan. Aku ingin
meminta pendapat kalian tentang hal ini.”
Altamyra mengambil lembar teratas dari kertas-kertas yang dibawanya ketika memasuki Ruang Rapat
tadi.
“Ada banyak yang ingin kubicarakan dengan kalian. Yang pertama akan kita bicarakan adalah mengenai
Mardick.”
Altamyra melihat Orwell.
“Sudah saatnya engkau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada atasanmu itu, Orwell. Sebelumnya
aku memintamu untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun termasuk keluarga Mardick.”
“Hamba mengerti, Paduka.”
Altamyra tersenyum puas sebelum melanjutkan, “Mardick tidak membantuku seperti yang dikatakan
koran-koran. Ia kutahan di sini atas tindakannya yang melanggar hukum. Kecurigaanku telah terbukti.
Aku telah menghitung kekayaannya yang seharusnya dan membandingkannya dengan kekayaan yang
dimilikinya. Hasilnya adalah ia mencuri uang negara selama ia menjabat sebagai Menteri Keuangan.”
Menteri-menteri berbisik membicarakan pengumuman Altamyra.
Siapa yang menyangka Menteri kesayangan Raja Wolve itu mencuri uang negara? Selama pemerintahan
Raja Wolve, Mardick selalu membuat Raja senang. Ia selalu tepat waktu menyetor pajak. Ia adalah
tangan kanan Raja yang sekejam Raja Wolve sendiri dalam menarik pajak.
“Aku tidak akan membuka sidang sebelum para ahli keuangan membuktikannya. Dalam waktu dekat ini
Toed akan memberikan hasil perhitungannya. Saat itu akan terbukti jumlah uang yang selama ini telah
dicuri Mardick. Sampai saat itu tiba, aku tetap ingin kalian merahasiakan hal ini.”
“Kami mengerti, Paduka.”
“Masalah lain yang ingin kubicarakan adalah mengenai keputusan-keputusanku. Aku telah
mengelompokannya sesuai dengan bidang kalian masing-masing.”
Altamyra berdiri untuk membagikan surat-surat keputusannya.
“Bacalah dan beritahu aku bila ada yang tidak kalian setujui.”
Sementara mereka membacanya, Altamyra kembali ke kursinya dan berkata, “Keputusan-keputusanku
ini sangat erat dengan bidang kalian masing-masing dan undang-undang yang kalian perbaharui itu. Aku
sengaja menunda pelaksanannya untuk disesuaikan dengan Undang-undang yang baru. Bila kalian telah
setuju dan merasa tidak ada yang perlu diperbaiki, segera lakukan hal itu.”
“Permisi, Paduka. Ada yang ingin saya tanyakan.”
“Silakan, Orwell.”
“Anda menurunkan pajak hingga tingkat terendah. Apakah hal ini tidak akan mengurangi pendapatan
kita?”
“Pasti akan mengurangi pemasukan kita. Hal itu tidak perlu diragukan lagi. Tetapi, aku telah menghitung
semuanya. Uang yang kita miliki saat ini sangat cukup untuk membiayai segala pengeluaran kita dalam
beberapa tahun ke depan. Ingatlah, Orwell, ayahku menarik pajak yang sangat tinggi selama lima puluh
tiga tahun ia memerintah dan ia sangat kikir dalam membelanjakannya.”
“Anda mengatakan uang negara dicuri Mardick. Bukankah itu…”
“Aku akan membuat Mardick mengembalikan sebesar yang ia curi pada rakyat. Kalian tidak perlu
merisaukan hal ini. Mardick cukup pintar untuk mengetahui ketelitian ayahku. Ia tidak mencuri apa yang
harus dia berikan pada ayahku tapi ia mencuri dari rakyat sendiri. Dengan kekuasaannya sebagai Menteri
Keuangan yang bertanggung jawab atas segala penarikan pajak, Mardick meminta sedikit lebih banyak
dari yang ditetapkan ayahku, yaitu sekitar seperdua puluh bagian. Kelebihannya itu adalah untuknya dan
agar ayahku tidak marah bila mengetahuinya, ia memberikan sebagian kecil dari kelebihan itu.”
“Apakah uang yang kita miliki cukup untuk membeli bahan baku dari luar negeri dan memberi bantuan
pada rakyat untuk mengembangkan industri?” tanya Noah khawatir.
Altamyra menatap Menteri Ekonominya itu.
“Sebelum aku memutuskan hal itu, Noah, aku telah memperhitungkan segalanya. Aku telah membuat
perhitungan kasar atas uang yang kita miliki. Aku juga telah membuat uraian pengeluaran yang akan
timbul karena keputusan-keputusanku itu.”
Altamyra mengangkat seberkas dokumen. “Inilah perhitungan kasarku. Kepastian yang lebih tepat akan
keluar setelah Toed dan para ahli keuangan lainnya selesai dengan tugas mereka. Kalian hanya perlu
melakukan tugas di tangan kalian itu. Jangan mengkhawatirkan dananya. Kekayaan kita cukup untuksemua itu.”
“Sungguh sangat disayangkan Raja saja yang semakin kaya di negeri ini sedangkan rakyat semakin
miskin. Aku akan merubah semua itu. Aku, dengan dukungan kalian, akan memperbaiki keadaan ini,”
kata Altamyra bersungguh-sungguh.
“Setelah semua pembaharuan ini dilaksanakan, aku yakin lima tahun lagi rakyat sudah makmur. Saat itu
kita secara bertahap akan menaikkan pajak untuk memperbesar pemasukan kita. Jangan membebani
rakyat dengan pajak-pajak yang tinggi selama masa perbaikan ini. Kita harus menyesuaikan pajak
dengan keadaan rakyat. Pajak bukan untuk Raja tapi untuk rakyat,” Altamyra menegaskan.
“Saya mengerti, Paduka. Saya akan segera mengumumkan keputusan Anda tentang perpajakan ini.”
Altamyra mengangguk puas. “Untuk kedamaian rakyat ini pula aku akan memperbaiki hubungan dengan
para pemberontak itu.”
Semua mengerti terlonjak kaget tapi Altamyra tetap melanjutkan,
“Setelah masalah-masalah pembaharuan ini selesai, aku akan mengundang pemimpinnya ke sini. Dan,
hingga saat itu tiba, aku ingin peperangan dengan mereka dihentikan. Aku berharap minggu depan aku
telah menyelesaikan pekerjaanku mempelajari Undang-undang yang kalian buat ini dan
mengesahkannya.”
“Saya tidak setuju, Paduka!” Rasputin mengangkat tangannya, “Para pemberontak itu tidak menyukai
Raja Wolve. Saya khawatir mereka tidak menyukai Anda pula. Pemimpin mereka mungkin akan
menggunakan undangan itu untuk membunuh Anda.”
Dalam hati Altamyra percaya hal itu bisa terjadi tapi ia berkata,
“Aku berada di antara mereka hampir dua bulan, Rasputin. Aku tahu mereka berjuang demi
kemakmuran rakyat. Mereka membenci ayahku atas kekejamannya. Bila mereka juga membenciku itu
adalah wajar. Aku adalah putri serigala yang mereka benci. Tetapi, pemimpin mereka pandai. Ia pasti
tahu apa dampaknya bila ia membunuhku. Ia pasti mengerti hal itu.”
“Rasputin benar, Paduka. Bila kekhawatiran itu terjadi, bagaimana nasib kami rakyat Vandella? Siapa
yang akan melanjutkan perbaikan ini?” kata yang lain hampir bersamaan.
“Bila kita memutuskan terus berperang dengan mereka, apa kata rakyat?” tanya Altamyra tegas.
Semua terdiam.
“Dalam masa-masa pembaharuan ini, jangan mengeluarkan biaya yang tidak berguna seperti untuk
perang. Apa yang kita dapatkan dengan perang? Tujuan kita dan pemberontak itu sama, menciptakan
kehidupan yang adil dan makmur. Aku tidak akan mengorbankan rakyat untuk perang bodoh ini.”
“Paduka…”
“Aku mengerti kekhawatiran kalian. Tapi, untuk kali ini aku tidak ingin dibantah,” Altamyra menegaskan,
“Aku tahu apa yang kulakukan. Dan, aku tahu mereka pasti tahu apa yang telah kita lakukan untuk
memperbaiki keadaan yang kacau ini. Pemimpin mereka juga tidak akan membunuhku tanpa alasan
kuat.”
“Anda harus memperhitungkan semuanya masak-masak, Paduka,” Rasputin mengingatkan.
“Telah kulakukan, Rasputin. Aku tidak akan menarik keputusanku ini walau kalian tidak setuju. Bila
memang mereka membunuhku, biarlah itu terjadi. Apa artinya sebuah nyawa ini dibandingkan mereka
yang menderita?”
Sebelum ada yang membantahnya lagi, Altamyra cepat-cepat melanjutkan, “Bila tidak ada lagi
pertanyaan, kalian bisa mengatakan segala yang terlupakan olehku dalam keputusan itu.”
Para menteri mendesah panjang. Dalam hal ketegasan, Altamyra seperti ayahnya, membuat orang lain
tahu ia bersungguh-sungguh.
“Satu tugas lagi untuk kalian semua, aku ingin kita membina hubungan baik dengan semua negara lain.
Kita membutuhkan dukungan luar negeri dalam masa-masa ini.”
“Kami mengerti, Paduka.”
“Silakan mengatakan apa yang terlupakan olehku.”
Semua termenung melihat kertas-kertas di hadapan mereka. Altamyra pun tidak mau duduk berdiam
diri. Gadis itu mengambil seberkas laporan dan mempelajarinya.
Lama ia menanti, tapi tidak ada yang mengangkat tangan untuk melaporkan apa yang terlupakan
olehnya.
“Mengapa kalian diam saja?” tanya Altamyra heran.
“Saya merasa tidak ada yang perlu diperbaiki maupun ditambahkan, Paduka,” kata Ludwick jujur.
“Bagi saya, semuanya telah Anda putuskan tanpa ada yang terlewat.”
“Saya pun merasa seperti itu, Paduka.”
“Yang lain?”
“Tidak ada, Paduka.”
“Baiklah, rapat kita hari ini selesai. Aku akan membutuhkan kalian bila aku telah membaca semua
laporan kalian. Aku akan selalu terbuka untuk menerima pertanyaan kalian.”
Altamyra berdiri diikuti menteri-menterinya.
“Selamat siang.”
“Selamat siang, Paduka Ratu.”
Altamyra meninggalkan ruangan itu diikuti para menteri. Kepada prajurit yang menjaga pintu, Altamyra
berkata, “Tolong kalian letakkan tumpukan berkas itu di Ruang Kerja.”
“Baik, Paduka.”
Altamyra kembali ke Hall. Ia melihat orang banyak itu tampak gembira. Mereka mendapatkan makanan
dan barang-barang lain yang selama ini tidak pernah mereka mimpikan.
Terlihat kerumunan wanita yang sibuk memilih gaun dan kerumunan anak-anak yang memilih mainan.
Perbedaan hidup Raja Wolve dan rakyat Vandella benar-benar tampak jelas.
Badan mereka yang kotor dan kebersihan Istana Azzereath yang selalu gemerlap. Baju mereka yang
compang-camping dengan benda-benda Istana yang mewah.
Semuanya menggambarkan dengan jelas ketimpangan yang ada.
Diam-diam Altamyra meninggalkan Hall. Ia merasa tindakannya tepat. Ia tidak bisa menyerahkan tahta
pada orang lain sebelum ia memperbaiki kesalahan ayahnya. Tetapi ia tidak bisa bersantai-santai dalam
hal ini.
-----0-----
“Lihat ini!”
Erland hanya membuang wajah. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan Fred.
“Ratu Altamyra turun dari tempatnya yang tinggi untuk mengusap wajah rakyat. Ini judul berita utama
koran lima hari yang lalu. Lihatlah ini pula Ratu mengumumkan pada rakyat untuk mau mengambil sendiri
bantuan di Istana Azzereath dan untuk mereka yang kaya, Ratu meminta mereka untuk turut
menyumbang.”
Erland mengacuhkannya.
Fred meneruskan membaca koran.
Letak Lasdorf yang tersembunyi membuat daerah ini selalu ketinggalan berita. Koran yang datang selalu
koran beberapa hari yang lalu.
Seluruh rakyat Erland sudah tahu apa saja yang dilakukan Altamyra dan mereka sukar mempercayainya.
Tapi, mereka tidak tahu Altamyra adalah Rara.
Sejak Giorgio melaporkan hasil pengintaiannya, Fred selalu memuji-muji Altamyra di hadapan Erland.
Berlainan dengan Erland, Fred mempercayai segala maksud baik Altamyra. ia menyukai segala yang
dilakukan gadis itu untuk Altamyra.
“Lihat ini!” lagi-lagi Fred berseru tak percaya, “Ratu menyumbangkan gaun-gaunnya! Aku tak percaya
Ratu sekaya dia memberikan gaun-gaun terbaiknya untuk rakyat.”
Erland bosan. Dalam hari-hari terakhir ini Fred benar-benar membuatnya muak dan bosan.
“Tindakannya ini menunjukkan niatnya yang benar-benar tulus,” komentar Fred, “Aku ingin tahu apa yang disidangkannya dengan para Menteri hari ini. Giorgio mengabarkan mereka bersidang hari ini,
bukan?”
Erland mengangguk malas.
“Dia gadis yang luar biasa. Ia pasti akan membawa kita pada kemakmuran,” Fred berkata mantap.
“Erland, engkau akan meneruskan pemberontakanmu?”
“Sementara ini aku akan diam melihat keadaan. Aku yakin tak lama lagi ia akan menunjukkan taringnya
yang sesungguhnya.”
“Dan engkau akan mulai peperangan lagi,” tebak Fred.
“Tepat!” sahut Erland tegas.
“Aku tidak mengerti, Erland. Mengapa engkau tidak bisa mempercayainya? Paduka Ratu telah
menunjukkan niat baiknya dan engkau tetap tidak mempercayainya.”
“Paduka Ratu?” Erland mengejek, “Sejak kapan engkau menghormatinya sebagai Ratu?”
“Sejak aku mempercayainya,” jawab Fred dengan tersenyum.
Erland mendengus kesal. “Dia tidak pantas kauhormati setinggi itu. Percayalah padaku, ia adalah serigala
berbulu domba.”
“Ia memperbaiki pemerintahan ayahnya. Apakah ia akan memperbaiki hubungan pemerintah
denganmu?” Fred bertanya-tanya pada dirinya sendiri. “Kalau ia mengajakmu berdamai, engkau mau
menerimanya?”
“Aku akan membunuhnya,” geram Erland, “Sekarang hentikan omong kosongmu itu. Aku benar-benar
muak mendengarnya!”
Fred mengangkat bahunya dengan pasrah.
“Aku bosan, Erland. Tidak bisakah engkau membiarkan aku membaca dengan tenang?” gerutu Fred,
“Setiap kali aku membaca koran, engkau selalu memulai ejekan-ejekanmu itu. Kalau engkau cemburu
pada Ratu Altamyra, katakan saja. Kita harus mengakui sekarang ia lebih terkenal daripada engkau.”
“Aku tidak akan cemburu padanya.”
“Terserah engkau,” Fred tidak peduli.
Keadaan telah berubah banyak dalam hari-hari terakhir ini di seluruh wilayah Vandella juga pada diri
Fred dan Erland.
Kalau dulu Erland yang bosan mendengar Fred memuji Altamyra, sekarang Fredlah yang bosan
mendengar hinaan-hinaan Erland.
Keputusan-keputusan Altamyra terus memperbaiki keadaan rakyat dan membuat rakyat mulai
mempercayai serta mencintainya. Tetapi, kecurigaan Erland tidak juga berkurang.
Fred tidak tahu apa yang membuat pria itu sekeras ini. Biasanya, Erlandlah yang paling mudah berubah
mengikuti suasana. Sekarang ia tegar seperti batu dengan keputusannya.
“Kalau cinta sudah ditipu, beginilah akibatnya,” kata Fred pada dirinya sendiri dan terus membaca.
Dalam pekan-pekan terakhir sejak Altamyra memulai pemerintahannya, koran-koran terus menyoroti
dirinya. Koran-koran tanpa ragu mengupas semua tindakannya yang selalu mengejutkan rakyat.
Tidak ada lagi yang menyamakan Altamyra dengan ayahnya. Semua tahu Altamyra berbeda dengan
ayahnya. Ia setegas ayahnya tetapi selembut bidadari.
Kedudukannya yang tinggi serta paras wajahnya yang cantik dan didukung usianya yang masih muda,
membuat para bangsawan pria berusaha mendekatinya.
“Sebaiknya engkau berhenti membencinya atau kau akan kehilangan dia selama-lamanya, Erland. Ketika
aku pergi ke Thamasha, aku mendengar orang-orang berkata, ‘Ratu adalah gadis yang sangat menarik.
Andai dia bukan seorang Ratu, aku pasti melamarnya.’ Kau akan sangat menyesal bila itu terjadi.
Apalagi bukan hanya rakyat Vandella yang mengatakannya.”
“Aku tidak akan menyesali pernikahannya,” kata Erland tegas.
“Sungguh?”
“Aku berbicara dengan seluruh kemantapanku.”
“Aku lega mendengarnya. Aku juga tertarik padanya. Sekarang aku tidak perlu mengkhawatirkan
apa-apa untuk menikahinya.”
“Mengapa harus khawatir?”
“Kau hampir menikahinya,” kata Fred pasrah. Tiba-tiba pria itu melonjak kaget, “Kalau pernikahanmu
tidak diganggu, engkau telah menikah dengan Ratu! Dan, engkau sekarang telah menjadi Raja Vandella!”
“Aku beruntung tidak menikahi setan cilik itu,” sahut Erland dingin.
Fred mengangkat bahunya. “Terserah padamu, tapi jangan marah kalau aku menikahinya.”
“Aku turut bahagia karenanya,” kata Erland dingin.
Fred mengacuhkannya dan kembali membaca hingga ia menemukan berita yang menarik.
Selalu, setiap ia menemukan berita yang menarik, ia selalu berseru, “Lihat ini!” Dan Erland menyahutinya
dengan seribu macam hinaan.
Sejak ditinggalkan Altamyra, keadaan di Lasdorf banyak berubah seperti keadaan Vandella umumnya.
Berkat peninggalan Altamyra, kehidupan rakyat Lasdorf lebih makmur. Terlihat dengan semakin
besarnya penghasilan rakyat dalam satu hari. Membaca bukan lagi hambatan bagi mereka.
Dengan berubahnya sistem pemerintahan Vandella, untuk sementara waktu Erland menyibukkan diri
dengan melakukan apa yang harus dilakukannya sejak dulu dan sudah dimulai Altamyra.
Erland menjadi guru bagi rakyatnya. Setiap hari ia meluangkan waktu untuk mereka di samping
mengolok Altamyra di hadapan Fred.
Sering Fred berpikir apakah rakyat Lasdorf menyetujui sikap Erland bila mereka tahu Ratu Altamyra
adalah Rara. Tetapi, berulang kali ia berpikir itu tidak mungkin terjadi. Erland takkan membiarkan
rakyatnya tahu siapa Ratu mereka.
“Pangeran! Pangeran!”
Erland berdiri mendengar seruan panik itu dan menuju jendela. Ia melihat ke bawah dengan cemas.
Seseorang berlari menuju bangunan tempat ia berada dan beberapa meter di belakangnya seseorang di
atas kuda digiring mendekat oleh pasukannya.
Erland segera menemui mereka.
“Pangeran!”
“Apa yang terjadi, Jemmy?”
“Ada utusan Ratu Altamyra!” kata Jemmy setengah tak percaya, “Ia datang membawa bendera
perdamaian.”
Erland melihat pria tua di atas kuda yang dalam keadaan terikat. Tangannya menggenggam bendera
putih, tanda menyerah itu.
“Hamba diutus Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra untuk menemui Anda, Pangeran.”
Erland mendengus puas. Akhirnya gadis itu akan melakukan sesuatu terhadapnya. Dan ia ingin tahu
rencana licik apa yang sedang direncanakan setan cilik itu.
“Bawa dia masuk,” perintah Erland.
“Pangeran!”seru Jemmy cemas.
“Aku dapat menanganinya sendiri,” kata Erland tegas.
Orang-orang yang mengawal Ludwick menurunkan pria itu dari atas kuda dan membawanya ke ruang
utama.
“Tinggalkan kami berdua!”
“Baik, Pangeran.”
Sepeninggal mereka, Erland melepaskan ikatan Ludwick.
“Terima kasih, Pangeran.”
“Apa yang ingin kausampaikan?” tanya Erland sinis.
Ludwick tidak terkejut menerima sambutan dingin itu. Altamyra telah memperingatinya sebelum melepas
kepergiannya.
“Ratu ingin mengundang Anda untuk datang ke Istana Azzereath untuk berdamai.”
Melihat pandangan Erland tetap sinis, Ludwick melanjutkan, “Ratu sangat menyesal tidak dapat datang
sendiri ke sini. Banyak hal yang harus diselesaikannya. Hari ini beliau membuka sidang untuk Mardick.”
“Mardick?” tanya Erland heran.
“Ratu sangat luar biasa! Dalam waktu singkat, ia tahu Mardick telah mencuri uang rakyat. Perhitungan
Ratu sendiri dengan perhitungan para ahli keuangan tidak jauh berbeda. Hari ini Ratu menggelar
persidangannya bersama para Menteri.”
Erland memandang Ludwick dengan sinis.
“Khusus hamba, hamba mendapat tugas untuk menjemput Anda. Ratu berkata sayalah wakilnya yang
paling tinggi di dalam Kerajaan Vandella. Ratu menghormati Anda namun ia tidak dapat menemui Anda
sendiri.”
“Sebenarnya apa yang direncanakan Ratumu? Ingin menarik perhatian rakyat dengan menghukum
menteri kesayangan ayahnya?”
Ludwick menghela nafas. Altamyra juga telah memperingatinya tentang pandangan sinis Erland
terhadapnya.
“Ratu berencana untuk mengubah kerajaan ini. Ia ingin membuang semua peninggalan ayahnya dan
menggantinya dengan yang baik. Termasuk memperbaiki hubungan pemerintah dengan Anda.”
“Katakan padanya aku menolak.”
“Ratu telah menduganya,” kata Ludwick.
Erland membuang muka dengan angkuh.
“Ia tidak memaksa Anda bila Anda menolak,” kata Ludwick jujur, “Tetapi, saya memohon Anda sudi
datang ke Azzereath.”
“Anjing yang setia,” ejek Erland.
Ludwick bersikap seperti tidak mendengarnya.
“Saya minta maaf atas kejadianbeberapabulan lalu. Ratu tidak memerintahkan kami untuk menyerang
tempat ini. Ia tidak tahu penyerangan itu. Ratu memerintahkan kami untuk bertahan di Thamasha sampai
beliau datang. Sayalah yang memerintahkannya. Saya melakukan itu karena saya menghawatirkan
keselamatan Ratu. Ratu tidak berniat untuk memperpanjang permusuhan kerajaan dengan Anda.”
Erland tidak menanggapi.
“Saya mohon, Pangeran. Ratu bisa jatuh sakit bila ia memaksakan diri datang ke Lasdorf. Saat ini ia
sangat lelah. Setiap saat ia terus bekerja tanpa mau berhenti. Tidak seorangpun yang bisa
menghentikannya.”
“Kaupikir aku bisa?”
“Anda juga tidak dapat, Pangeran,” Ludwick mengakui, “Tapi Anda sudi datang ke Azzereath, kami
sangat berterima kasih.”
“Sebagai gadis yang dibesarkan di desa miskin, Ratu tahu bagaimana kesulitan rakyat Vandella. Ia
berkeinginan untuk memperbaiki semua itu. Dalam diri Ratu terdapat sifat keras Raja Wolve. Ia selalu
berkata, ‘Aku tidak akan berhenti sebelum semuanya selesai. Banyak yang harus dilakukan.’ Ratu ingin
segera menyelesaikan segalanya dan tanpa ia sadari, ia telah merusak tubuhnya. Ratu masih terlalu muda
untuk mengerti hal itu.”
“Kami semua mengkhawatirkan kesehatan Ratu bila ia harus menempuh perjalanan panjang ini. Ratu
tidak ingin memaksa Anda untuk datang ke Azzereath tapi kami memohon pada Anda. Tak seorang pun
di Azzereath bisa membayangkan apa yang terjadi bila Ratu tiba-tiba sakit. Saat ini adalah masa paling
sulit dan Ratu sangat dibutuhkan Vandella.”
“Betapa setianya kalian pada keturunan serigala itu.”
Ludwick tidak tersinggung mendengar kata-kata sinis itu. “Ratu Altamyra lebih menyerupai ibunya
daripada ayahnya. Anda mungkin tidak percaya, tetapi ini benar. Ratu Altamyra sangat membenci
ayahnya. Ia tidak mau memerintah Vandella yang merupakan warisan ayahnya. Tapi, ia tetap
melakukannya demi rakyat Vandella. Kami tahu Ratu mencintai rakyat dan kami pun mencintai Ratu.”
Erland diam membisu.
Ludwick putus asa melihat pandangan angkuh pria itu. “Paduka Ratu benar, ia tidak bisa dipaksa,”
pikirnya sedih.
“Aku ikut,” Erland pada akhirnya memutuskan, “Aku ingin tahu apa yang direncanakan setan cilik itu
terhadapku.”
-----0-----
“Menteri Dalam Negeri sudah tiba, Paduka.”
“Bawa dia menghadapku.”
Prajurit itu kembali keluar. Tetapi, Altamyra terus memandang halaman Istana.
Akhir-akhir ini Istana menjadi semakin ramai karena kehadiran para tunawisma itu. Setiap hari selalu ada
yang pulang dan pergi. Yang menginap di Hall pun tidak sedikit.
Mereka senang tinggal di Istana. Orang-orang Istana pun selalu menerima mereka dengan ramah. Segala
kebutuhan mereka tersedia di sini.
Altamyra telah membuat Istana Azzereath yang selama ini ditakuti, menjadi tempat yang paling
menyenangkan untuk ditinggali. Sebagai Ratupun, ia bertindak sebagai tuan rumah yang ramah.
Halaman Istana kini tidak hanya indah tetapi juga menawan dengan banyaknya anak-anak yang bermain
di sana. Orang-orang pun dengan bebas bersenda gurau di halaman Istana.
Istana Azzereath yang dingin kini menjadi Istana yang selau ceria. Canda tawa kini selalu menghiasi
kehidupan Istana.
“Hamba datang menghadap, Paduka,” kata Ludwick seraya membungkuk, “Saya menjemput Pangeran
Erland sesuai keinginan Anda. Saya mengaku bersalah, Paduka, karena saya tidak berhasil membujuk
Pangeran untuk beristirahat sebelum menemui Anda.”
“Tidak apa-apa, Ludwick. Sekarang engkau bisa meninggalkan kami berdua.”
Altamyra tetap tidak bergerak setelah kepergian Ludwick. Matanya terus menatap halaman Istana.
Erland diam memandangi rambut Altamyra. Rambut itu tampak lebih bersinar keemasan. Rambut emas
itu tergerai menutupi pinggang Altamyra yang kecil. Tubuhnya yang terbungkus gaun ungu cerah tampak
ramping.
Gadis itu terus memandang ke depan dengan menyilangkan tangan di depan dadanya. Tidak sepatah
katapun yang diucapkannya.
Altamyra tahu sebelum sebelum menghadapi Erland, ia harus benar-benar mempersiapkan dirinya.
Pembicaraannya dengan Erland takkan semudah rapat dengan para Menteri. Mengingat
kejadian-kejadian di masa lalu, pembicaraan ini akan menjadi semakin sulit.
Altamyra menguatkan dirinya sebelum akhirnya ia menatap Erland. Altamyra senang bisa bertemu orang
yang selalu dipikirkannya itu. Tapi, ia membuang jauh-jauh perasaan rindunya.
“Terima kasih Anda sudi datang ke tempat ini. Dalam kesempatan ini pula saya minta maaf karena telah
menipu Anda dan rakyat Lasdorf,” kata Altamyra sopan.
“Katakan apa yang sebenarnya kaurencanakan?” balas Erland tajam.
“Saya berencana mengajak Anda berdamai.”
“Berdamai,” cemooh Erland.
“Saya tahu Anda tidak akan mempercayainya tapi saya ingin Anda tahu saya ingin memperbaiki
kehidupan rakyat Vandella. Untuk itu, saya mempunyai dua tawaran untuk Anda.”
“Tawaran berdamai?”
Altamyra mengacuhkan kata-kata yang penuh ejekan itu. “Anda ingin meneruskan pernikahan kita atau
tidak?”
Erland terdiam mendengar tawaran yang tidak diduganya itu.
Altamyra sedih melihat raut wajah dingin Erland. Gadis itu segera memunggungi Erland untuk mencegah
pria itu melihat kesedihannya.
Altamyra menutup matanya ketika berkata, “Semua telah diputuskan.”
Sebelum bertanya pada Erland, Altamyra sudah mengetahui jawaban Erland. Erland membenci ayahnya
dan takkan sudi menikah dengannya.
Kali ini Altamyra menatap Erland dengan tenang.
“Tinggallah di sini untuk beberapa hari sampai semuanya selesai. Sebelum Anda menduduki tahta, saya
akan merapikan Istana ini. Saat ini Castil Quarlt'arth sedang ditata ulang untuk tempat penampungan para
tunawisma. Sebelum akhir minggu ini segala kegiatan di Hall akan dipindahkan ke sana.”
“Castil Quarlt'arth?” tanya Erland tak percaya.
Altamyra tidak ingin menjelaskan banyak tentang rencananya dengan kastil peristirahatan ayahnya yang
megah.
“Semuanya akan beres sebelum penobatan Anda.”
Altamyra menepuk tangannya dua kali lalu prajurit yang menjaga pintu masuk.
“Tolong antarkan Pangeran Erland ke kamarnya.”
“Baik, Paduka,” kata prajurit itu lalu pada Erland ia berkata, “Mari, Pangeran.”
“Silakan beristirahat. Anda pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh,” kata Altamyra sebelum
membalikkan badan.
Erland melihat punggung Altamyra dan pergi meninggalkan ruangan itu.
Tidak banyak yang mereka bicarakan. Mereka lebih banyak bersikap seperti dua orang asing.
Erland tak menduga semua kata-kata Altamyra. Gadis itu berbeda dengan gadis di Lasdorf.
Altamyra kini lebih cantik dan juga lebih anggun serta berwibawa. Ia bukan lagi gadis yang selalu
mengajaknya bertengkar.
“Saya sangat senang dapat bertemu Anda, Pangeran. Saya tidak pernah menyangka akan bertemu Anda
di Istana. Sudah sejak dulu saya ingin bertemu Anda.”
“Apakah aku setenar itu?” tanya Erland dingin.
“Benar, Pangeran. Paduka Ratu sering mengatakan kekagumannya pada Anda. Ia merasa bangga
Vandella mempunyai pahlawan seberani Anda.”
Erland tidak mempercayai apa yang didengarnya.
“Paduka Ratu mengatakan ingin mengajak Anda bekerja sama untuk membangun kembali Vandella.
Beliau yakin Anda pasti tahu segala hal yang baik untuk Vandella. Tapi, kami berkata Ratu juga pantas
memimpin Vandella. Anda berdua pantas untuk menjadi pemimpin Vandella.”
Prajurit itu tiba-tiba menutup mulutnya. “Maafkan saya, Pangeran. Akhir-akhir ini kami semua terbiasa
bersikap terbuka.”
“Paduka Ratu menyuruh kami bersikap jujur. Ia selalu berkata kesopanan kami padanya hanya untuk
menunjukkan hormat kami padanya. Dan, ia tidak berhak mengurung kebebasan kami dalam bentuk apa
pun. Ratu selalu menekankan hal itu pada kami. Ia tidak ingin terlalu disanjung tetapi kami selalu
memujanya. Karena itu, di sini kami bisa akrab dengan Ratu dan pada saat yang bersamaan kami juga
menghormatinya.”
“Banyak yang dilakukan Ratu untuk mengakrabkan diri dengan kami semua. Setiap hari Ratu bekerja
tanpa henti terutama pada hari-hari pertama dulu. Setelah Ratu membuka Istana untuk umum, setiap hari
Minggu Ratu menghentikan semua kegiatan di Istana. Setiap hari Minggu kami mengadakan pesta
sederhana di halaman. Saat itu Ratu tidak menginginkan penghormatan padanya dalam bentuk apapun.
Saat itu Ratu ingin dianggap sebagai rakyat biasa.”
“Saya berharap Anda tinggal di sini sampai hari Minggu. Kami akan senang sekali bila Anda mau. Kami
semua selalu berharap dapat bertemu Anda.”
Erland tidak menanggapi.
Prajurit itu berhenti di sebuah pintu dan membukanya. “Inilah kamar Anda, Pangeran. Kamar teman
Anda tepat di sebelah kamar ini. Selamat beristirahat, Pangeran. Paduka Ratu ingin Anda menganggap
Istana sebagai rumah Anda.”
Prajurit itu membungkuk lalu pergi.
Erland memasuki kamarnya dengan enggan.
Banyak hal yang menghantui pikirannya. Ia tidak ingin menemui Fred seperti janjinya sebelum menemui
Altamyra. Saat ini ia ingin menyendiri.
Erland tidak heran Fred tidak mencarinya. Ia yakin pria itu sedang tidur nyenyak di sebelahnya. Sesaat
setelah kereta mereka memenuhi Istana, ia sudah menguap lebar-lebar.
Altamyra benar-benar berbeda. Tapi gadis itu masih tetap penuh misteri. Seperti dulu, di mata birunya
yang cerah, tersimpan banyak rencana. Entah apa yang direncanakannya kali ini tapi Erland tetap akan
mewaspadai gadis itu.
Mungkin sekarang ia tidak menunjukkannya, tapi Erland yakin suatu saat nanti gadis itu akan
menunjukkannya. Suatu saat nanti pasti Altamyra menunjukkannya.
Teringat kembali akan Altamyra, Erland mengutuki dirinya. Ia tidak dapat memungkiri keinginannya
untuk menarik gadis itu ke pelukannya dan menciumnya sampai ia puas. Erland benci. Ia masih
merindukan gadis serigala itu sedangkan itu adalah hal yang paling ingin dibunuhnya.
Erland mengutuki Altamyra yang menimbulkan kesan dingin di antara mereka. Kalau gadis itu
menebarkan sikap permusuhannya, ia takkan seperti ini. Perasaannya tidak akan kacau oleh keinginan
untuk menghancurkan sikap dingin dan menjaga jarak itu.
Rencana yang apa yang disusun Altamyra untuknya? Apapun itu, ia tidak akan berhasil. Kalau Altamyra
mengira ia dapat memperalat dirinya, ia salah. Terutama kalau ia ingin mengangkatnya sebagai Raja untuk
menarik perhatian rakyat.
Timbul kembali keinginan Erland untuk mencekik gadis yang telah menipunya itu.
Pada pertemuan mereka yang baru saja berlalu, Erland melupakan keinginannya karena sikap Altamyra
yang tidak diduganya. Pada pertemuan kedua mereka, Erland yakin ia harus mengendalikan diri agar
tidak mencekik leher cantik itu.
Dan, saat itu Altamyra harus berhati-hati padanya.
Sore hari seorang pelayan datang menemui Erland.
“Paduka Ratu ingin Anda hadir dalam pertemuan di Ruang Hijau.”
“Pertemuan apa?”
“Pertemuan dengan masyarakat.”
Erland keheranan.
“Setiap sore selama satu jam, Paduka meluangkan waktu untuk bertemu masyarakat. Dalam jamuan
minum teh itu, Paduka mendengarkan masalah-masalah rakyat. Banyak yang datang dari jauh untuk
mengeluh pada Paduka Ratu. Sekarangpun Paduka Ratu sudah berada di antara mereka.”
Pelayan pria itu membantu Erland mempersiapkan diri lalu mengantarnya ke Ruang Hijau.
Ketika Erland tiba di sana, Altamyra sedang duduk di sebuah kursi tinggi sambil memangku kedua
tangannya. Ia tampak sangat cantik dengan senyum manis yang tersungging di wajahnya yang ceria.
Rambutnya yang digelung tinggi, membuat gadis itu tampak lebih dewasa.
Erland jengkel ketika ia menyadari tidak ada gadis yang lebih anggun daripada Altamyra saat ini.
Gaun yang dikenakannya sangat sederhana. Gadis itu juga tidak mengenakan hiasan rambut. Altamyra
seperti ingin menyesuaikan diri dengan tamu-tamunya.
Sikap ramah dan terbuka Altamyra membuat suasana di dalam ruangan itu hangat. Tidak ada kesan
rakyat menghadap Ratunya. Yang terkesan hanya suasana hangat yang penuh kekeluargaan.
Sebagai tuan rumah, Altamyra sangat ramah. Tanpa mempedulikan kedudukannya, ia mau melayani
tamu-tamunya.
“Pangeran Erland sudah datang, Paduka.”
Semua menoleh pada Erland.
Altamyra tersenyum dan berkata, “Selamat datang, Pangeran. Kami tengah membicarakan Anda. Mari,
silakan duduk.”
Altamyra berdiri dan memberi tempat untuk Erland. Altamyra merasakan pandangan dingin Erland
ketika ia menuangkan teh untuknya.
“Silakan duduk di sini, Paduka.” Mereka yang duduk di kursi panjang saling berdempetan untuk
memberi Altamyra tempat.
“Terima kasih.”
Altamyra baru saja duduk berdesak-desakan ketika orang-orang itu mulai berbicara dengan Erland.
Dalam pertemuan kali ini Altamyra hanya menjadi pendengar. Ia pendengar yang baik. Tidak
mengatapan apa-apa tetapi menyimpan banyak hal dalam pikirannya.
Dalam hatinya, Altamyra tersenyum. Ia bahagia atas keputusannya yang baginya paling baik.
Erland tidak menyadari kursi yang sekarang didudukinya adalah kursi untuk Raja Vandella. Altamyra
tidak tahu apa yang akan dikatakan pria itu bila ia mengetahuinya. Yang Altamyra ketahui saat ini adalah
keputusannya tepat.
Dengan penuh perhatian Erland mendengarkan kata-kata rakyat dan menanggapinya dengan bijaksana.
Pria itu selalu tahu apa yang harus dikatakannya atas pertanyaan-pertanyaan mereka.
Altamyra tidak mau terlalu memperhatikan Erland. Ia tidak mau Erland berpikir buruk tentangnya.
Altamyra ingin semuanya berlangsung dengan baik tanpa ganjalan di hati pada saatnya.
Apapun alasan Erland dulu memaksa menikah dengannya, Altamyra tidak mau mempedulikannya lagi.
Memikirkannya hanya membuat hati terasa makin sakit.
Dulu Erland ingin memanfaatkannya untuk menggalang kekuatan melawan ayahnya. Sekarang Altamyra
senang. Tidak perlu ada perang untuk mengganti pemerintahan otoriter ayahnya.
Aneh!
Semua ini aneh!
Ketika berada di Lasdorf, Altamyra merasa gila karena kebenciannya yang mendalam pada Erland. Kini
Altamyra merasa gila karena cintanya yang mendalam pada Erland.
Apa yang dikatakan orang-orang memang benar. Batas antara benci dan cinta tidak sampai setipis
kertas.
Tapi apa yang dapat dilakukan Altamyra terhadap perasannya itu? Altamyra tahu sejak awal Erland
ingin memanfaatkannya. Dan, setelah tahu ia adalah putri orang yang telah membunuh orang tuanya, ia
takkan memaafkannya. Altamyra tahu Erland membencinya.
Kebencian Erland pada Altamyra berbeda dengan kebencian Altamyra pada Erland. Altamyra tahu pria
itu benar-benar membencinya hingga terasa pada seluruh cara dia ketika melihat dan berbicara
dengannya.
Tidak ada gunanya mempertahankan permusuhan ini.
Tepat satu jam Altamyra berada di Ruang Hijau, gadis itu berdiri.
“Maafkan saya. Saya tidak bisa menemani Anda lebih lama lagi. Bila kalian ingin, silakan melanjutkan
tanpa saya.”
Erland mengawasi kepergian Altamyra tanpa berbicara apa-apa.
Dari pelayan yang melayaninya tadi, Erland tahu Altamyra selalu sibuk. Tiada hentinya ia berada di
Ruang Kerja.
Di malam hari saat semua orang tidur, Altamyra masih terjaga. Lewat tengah malam gadis itu baru
beranjak dari meja kerjanya. Sebelum memasuki ruang tidurnya, Altamyra masih mengelilingi Hall untuk
memeriksa keadaan rakyat yang tidur di sana.
Pelayan itu berkata, “Kami sering menyebut Ratu sebagai Bidadari Malam. Tiap malam Anda akan
melihat Ratu membawa lilin kecil dan berkeliling Hall.”
Erland tidak mengerti mengapa malam ini ia tidak bisa tidur. Pikirannya melayang-layang dan matanya
sukar tertutup.
Samar-samar Erland mendengar langkah-langkah ringan.
Erland mencari mantel di lemari dan menuju Hall.
Di ujung lorong, Erland melihat Altamyra tengah menyelimuti seseorang. Hampir tiap langkah, gadis itu
berhenti untuk membenahi selimut banyak orang itu.
Tanpa disadarinya, Erland tersenyum melihat pemandangan itu.
Seorang Ratu yang kedudukannya sangat tinggi dan penuh gemerlapan, turun untuk memberikan
kasihnya pada rakyat.
Erland terus berdiri di ujung lorong sampai Altamyra menuju ke arahnya.
“Anda belum tidur?” tanya Altamyra keheranan.
“Aku tidak bisa tidur,” jawab Erland, “Mengapa engkau belum tidur?”
“Banyak yang harus diselesaikan.”
“Sudah banyak yang kauselesaikan. Apa yang kurang?”
Altamyra tersenyum.
“Rencanamu itu…”
“Kita telah sepakat dalam hal itu,” potong Altamyra. “Saya akan menyerahkan tahta pada Anda.”
“Bagaimana denganmu?”
“Jangan mengkhawatirkan saya. Masih banyak yang dapat saya lakukan.”
“Bagaimana dengan pernikahan kita?”
Altamyra menghela napas dan terus berjalan. “Pernikahan kitahanya hampirresmi secara agama.
Andaikan kita menyelesaikan pemberkatan pernikahan dan mengakhirinya dengan penandatanganan
surat pernikahan…”
“Tapi itu juga tidak akan membuat pernikahan kita resmi secara hukum. Nama yang ada bukan nama
saya. Tak ada yang mengetahui pernikahan itu selain kita, Fred serta Kana. Saya yakin hanya Fred yang
tahu saya adalah Rara.”
“Engkau mencintaiku?”
Tiba-tiba Altamyra berhenti dan menatap Erland lekat-lekat.
Erland tidak tahu bagaimana menjawabnya. Ia sendiri terkejut dengan pertanyaan itu.
“Saat ini yang paling saya cintai adalah rakyat.” Altamyra melangkahkan kakinya.
Erland segera mengikuti Altamyra. “Kalau aku menjadi Raja, bagaimana denganmu?”
“Saya rasa kita telah membicarakan hal itu,” jawab Altamyra.
“Bagaimana dengan rakyat?”
“Rakyat mencintai Anda. Mereka pasti senang bila Anda memerintah mereka. Saya telah membuka
jalan bagi Anda untuk memulai pemerintahan. Anda tidak perlu mencemaskan apa pun.”
“Engkau telah membuka jalan tetapi apakah yang kulakukan akan sama dengan yang kaurencanakan?”
“Para Menteri akan membantu Anda. Mereka tahu apa yang saya inginkan. Mereka telah bersumpah
pada saya akan terus memberikan yang terbaik bagi Vandella.”
Erland terdiam.
Semua telah diatur Altamyra sedemikian rapi hingga tidak mungkin dibatalkan lagi. Altamyra telah
memperhitungkan segalanya. Segala kekurangan rencananya telah ditutupnya dengan rapat hingga tak
ada yang bisa merusaknya.
Altamyra berhenti dan membuka pintu.
“Selamat malam, Pangeran.Erland kebingungan.
“Ini kamar Anda, Pangeran,” Altamyra mengingatkan dengan tersenyum geli.
“Semoga Anda dapat tidur nyenyak.” Altamyra berbalik dan melangkah pergi.
“Altamyra!” Erland menarik tangan gadis itu. Erland menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
Tindakannya itu membuat Altamyra cemas. Ia takut api lilin di tangannya mengenai baju Erland.
Erland menatap lekat-lekat wajah cantik Altamyra. Ia tidak akan menemukan wajah secantik dan
semanis ini di manapun. Dengan lembut, ia mencium bibir Altamyra kemudian menghilang di balik pintu.
Altamyra terpaku.
Jantungnya berdebar sangat kencang. Seluruh darah di tubuhnya seperti menggelegar. Wajahnya terasa
panas.
Altamyra merasa seperti demam.
Berminggu-minggu ia merindukan kehangatan dan rasa aman di dalam pelukan Erland. Tetapi, ia tidak
berani memimpikannya.
Altamyra tahu bila Erland memeluk atau menciumnya, ia akan semakin sukar meninggalkan pria itu.
Sedangkan demi rakyat Vandella, ia harus menjauh dari Erland.
Altamyra tahu apa yang harus segera dilakukannya. Ia akan meminta Ludwick membantunya.
Hari-hari berikutnya akan menjadi saat yang paling sulit bagi Altamyra.
Erland mengawasi Altamyra.
Seperti yang pernah dikatakan padanya, pada hari Minggu Altamyra menghentikan semua
kesibukannya. Sejak pagi gadis itu sudah tampak di halaman dengan gaunnya yang sederhana.
Pada hari-hari biasa, Altamyra menghabiskan banyak waktunya di Ruang Kerja. Mereka jarang
bertemu. Hanya pada saat makan pagi dan waktu minum teh, mereka bertemu.
Fred yang keheranan karena tidak melihat Altamyra pada saat makan siang, pernah bertanya, “Mengapa
Paduka Ratu tidak makan bersama kami? Apakah ia hanya bisa makan pagi bersama kami?”
“Tidak, Tuan,” jawab pelayan, “Paduka Ratu selalu mengatakan sebentar bila kami panggil. Dan,
akhirnya Paduka lupa untuk makan. Sekarang kami langsung mengirim makan siang Paduka ke Ruang
Kerja dan Paduka tidak akan lupa untuk makan.”
Erland diam saja. Ia tahu bila Altamyra sibuk, ia akan melupakan segala-galanya.
Melihat kesibukan Altamyra, Erland tetap tidak mempercayai gadis itu. Ia yakin ada rencana lain di balik
semua ini. Sikap Altamyra juga semakin memperkuat dugaannya.
Gadis itu selalu menjauh tiap melihatnya. Ia seperti menjaga jarak antara mereka sambil membangun
benteng yang tebal. Sikapnya itu seperti takut Erland membongkar rencananya.
Setiap malam ia selalu mendengar langkah-langkah kaki Altamyra ketika melewati kamarnya. Tapi sejak
malam itu, Erland tidak pernah dengan sengaja menemui Altamyra lagi.
Erland merasa murka tiap kali melihat gadis itu. Ia yakin Altamyra menyerahkan tahta padanya untuk
mendapatkan perhatian rakyat dan juga untuk memanfaatkannya.
Semua menteri setia pada Altamyra. Apa yang kelak dikatakan Erland tidak akan mereka lakukan.
Altamyra dengan bantuan para menterinya yang setia, membuatnya menjadi raja boneka. Mereka akan
memanfaatkannya untuk memeras rakyat.
Bila rakyat membencinya, Altamyra akan muncul lagi. Dengan segala tindakannya saat ini, rakyat pasti
mengelu-elukan kemunculannya. Setelah itu, Altamyra akan menyingkirkannya dan menindas rakyat
Vandella seperti yang dilakukan ayahnya.
Altamyra sangat cerdik. Ia tahu bahaya terbesar adalah cinta rakyat pada Erland. Karena itu, ia
membuat rakyat membenci Erland sebelum ia menunjukkan wajah di balik bulu dombanya.
Erland mengakui kecerdasan Altamyra, tapi ia takkan membuat gadis itu berhasil.
Satu-satunya orang di antara mereka yang setiap saat semakin mengagumi Altamyra adalah Fred.
Hampir setiap saat Fred memuji Altamyra.
Erland menyesal membawanya sebagai teman.
Ketika Erland memberitahu Altamyra akan menyerahkan tahta padanya, Fred berkomentar, “Ratu tahu
engkau pantas menjadi Raja Vandella.”
Pendapat itu tidak berubah walau Erland telah mengatakan siasat Altamyra yang sebenarnya.
Selalu, setiap melihat Altamyra, Erland mengawasi gadis itu. Pagi ini pun ia tidak melepaskan pandangan
dari Altamyra.
Hari Minggu, semua kesibukan terpusat di halaman Istana. Istana sendiri sangat sepi.
Orang-orang yang biasanya berada di Hall, telah dipindahkan Altamyra ke Castil Quarlt'arth sejak
kemarin.
Seperti yang dikatakan Altamyra pada Erland, hari Sabtu Hall lantai pertama bersih. Semua kesibukan
yang biasanya ada di Hall, dipindahkan ke Castil Quarlt'arth dalam sehari itu.
Ketika pemindahan dilakukan, warga Perenolde yang pertama kali gempar. Hari ini, seluruh rakyat
Vandella gempar.
Rakyat Vandella tahu Castil Quarlt'arth adalah kastil kesayangan Raja Wolve. Castil itu dibangun Raja
Wolve sebagai hadiah pernikahannya untuk Ratu Reinny.
Castil Quarlt'arth berada di tepi sebuah danau besar dengan pemandangan yang indah. Seindah kastil itu
sendiri dan segala perabot mewah di dalamnya.
Setelah Ratu Reinny menghilang, Raja Wolve sering mengunjungi kastil itu. Pangeran Allan tinggal di
kastil itu selama berbulan-bulan dalam satu tahun.
Pada awalnya, Altamyra ingin memberikan kastil itu pada rakyat. Setelah ia memikirkannya
masak-masak, ia tidak melanjutkannya.
Altamyra tahu rakyat akan menjadi malas bila ia selalu memberi mereka. Altamyra tidak ingin rakyat
Vandella seperti itu. Ia hanya ingin membantu rakyat dalam tahun-tahun pertama masa perbaikan ini.
Saat ini pemukiman untuk rakyat miskin tengah dibangun. Pemukiman itu dibangun di dekat daerah yang
subur untuk pertanian.
Sebelum tahun depan, pondok-pondok sederhana itu akan selesai. Mereka yang saat ini tinggal di Castil
Quarlt'arth akan dipindahkan ke sana. Di tempat baru itu, mereka harus berusaha untuk hidup sendiri.
Sedangkan rakyat lain yang telah mempunyai rumah, diberi bantuan untuk memperbaiki rumahnya.
Bantuan itu tidak hanya berasal dari Istana Azzereath saja. Banyak warga Vandella yang turut memberi
bantuan. Bantuan dari negara lain juga terus mengalir.
Untuk mengawasi penyaluran bantuan, Altamyra membentuk badan khusus. Anggotanya ia pilih setelah
mendapat saran-saran dari orang di sekitarnya. Setiap hari ia mendapatkan laporan dari mereka.
Satu bulan lebih sudah Altamyra menjadi Ratu yang memerintah Vandella. Banyak yang telah berubah
dalam masa yang singkat itu.
Kehidupan rakyat mengalami kemajuan. Banyak penduduk yang mulai terangkat dari kemiskinan.
Rumah-rumah yang tidak layak huni mulai berkurang. Setiap hari banyak rumah yang selesai diperbaiki.
Pemukiman yang dibuat Altamyra juga telah menunjukkan hasil. Banyak pondok-pondok baru yang
selesai dan ditempati penduduk.
Semua itu karena kerja keras rakyat Vandella. Altamyra membuat keputusan dan mereka
melaksanakannya dengan giat. Mereka sangat mendukung segala tindakan Altamyra dan berusaha
memberikan yang terbaik bagi ratu cantik itu.
Pajak yang rendah membuat rakyat dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Lahan-lahan
pertanian yang dulu terbengkalai, mulai terawat lagi.
Para tahanan yang dibebaskan Altamyra, telah melanjutkan pekerjaan mereka.
Kota-kota mulai berseri. Wajah-wajah lelah dan kelaparan telah hilang. Sebagai gantinya, terlihat
wajah-wajah cerita dan suasana kota yang ramai.
Sebulan lalu perekonomian Vandella terhenti. Semua uang yang ada di masyarakat terus mengalir ke
Istana dan tidak kembali lagi ke masyarakat. Sekarang uang terus berputar.
Seperti yang pernah dikatakan Altamyra pada para menterinya, uang kerajaan lebih dari cukup untuk
membenahi kehidupan rakyat.
Dalam satu tahun, Raja Wolve mampu mengumpulkan uang bermilyar-milyar dan mengeluarkannya
kurang dari satu juta. Bila dihitung dalam Poundsterling – mata uang yang saat itu paling mahal –
pendapatan murni Vandella dalam satu tahun lebih dari 398 milyar. Jumlah itu sangat besar dan cukup
untuk mendanai hidup rakyat Vandella yang lebih dari 78 juta dalam satu bulan.
Raja Wolve telah memerintah Vandella dengan kekejamannya selama 53 tahun. Uang yang
dikumpulkannya sangat banyak. Semua itu tersimpan dalam Bank Vandella.
Jumlah uang yang sangat besar itu cukup untuk mendanai kehidupan rakyat Vandella selama lebih dari
lima tahun tanpa membuat Istana bangkrut.
Tetapi, Altamyra takkan melakukannya. Ia membantu rakyat untuk bangkit dari kemiskinan ini. Setelah
itu mereka harus berusaha sendiri untuk hidup.
Ia telah membuka jalan untuk rakyatnya dalam mencapai kemakmuran. Keputusan-keputusannya dan
undang-undang yang dibuatnya tidak lagi sekejam dulu. Mereka lebih lunak tetapi tetap tegas.
Pemukiman yang dibangunnyapun dapat meningkatkan kemakmuran Vandella.
Rumah-rumah itu dibangunnya di atas lahan yang berpotensi. Lahan yang selama pemerintahan Raja
Wolve tidak pernah disentuh.
Dalam waktu satu bulan, Altamyra membuat perubahan yang dilakukan raja lain dalam waktu sepuluh
tahun. Altamyra membuat kagum para menterinya. Dalam waktu satu bulanpula Altamyra terus membuat
Vandella gempar. Setiap hari selalu ada berita yang membuat Vandella gempar.
Seperti ketika koran menuliskan apa yang sebenarnya terjadi pada Mardick. Tak seorangpun menduga
Mardick, menteri yang paling dicintai Raja Wolve telah mencuri uang negara.
Sidang Altamyra dengan para menterinya, memutuskan Mardick dipenjara. Mengingat jasa-jasanya
pada Vandella selama dua puluh satu menjadi Menteri Keuangan, Altamyra memberinya keringanan.
Mardick tetap dipenjara tetapi tidak selama yang diusulkan Hakim Agung Vandella.
Altamyra memecat Mardick dari jabatannya dan memenjarakan pria itu di penjara Perenolde selama
lima tahun.
Sementara itu keluarga Mardick diperintahkan Altamyra untuk mengembalikan apa yang mereka curi
dari rakyat. Rakyat telah menderita karena kekejaman Raja Wolve. Dan, Mardick memperberat
penderitaan rakyat dengan ketamakannya.
Sebagai pengganti Mardick, Altamyra atas usul menteri-menterinya, mengangkat Toed menjadi Menteri
Keuangan yang baru.
Sejak minggu lalu, saat Altamyra membuka sidang terhadap Mardick, keluarga Mardick terus
melakukan titah Altamyra. Mereka mengembalikan harta mereka pada rakyat. Mereka banyak
menyalurkan bantuan.
Sejak saat itu, tidak ada lagi yang mengungkit masalah Mardick. Semua telah melupakannya sebab
masih banyak kejutan Altamyra yang lain. Seperti pemindahan para tunawisma dan segala kesibukan Hall
ke Castil Quarlt'arth.
Kepada Danilo, Menteri Kependudukan yang bertugas mengawasi pembangunan pemukiman baru,
Altamyra memerintahkan selalu melaporkan perkembangan pembangunan itu. Tiap ada pondok yang
selesai, Altamyra menyuruhnya segera melapor agar bisa segera ditempati.
Hari Minggu ini adalah hari istimewa. Hari ini dalam pesta di Istana, tidak hanya ada Ratu Vandella tapi
juga pahlawan Vandella. Sejak pagi halaman Istana dipenuhi orang-orang.
Sepintas penjagaan Istana terlihat longgar. Tetapi, penjagaan diperketat. Istana ditutup rapat-rapat dan
pasukan Istana berjaga-jaga di halaman dengan mengenakan baju biasa. Di sisi Altamyra pun selalu ada
beberapa pelayan yang selain membantunya juga melindunginya.
Atas titah Altamyra, sarapan pagi mereka buat di halaman.
Ketika Altamyra sibuk membantu pelayan membuat sarapan, Erland menghadapi banyak pemujanya.
Tetapi, matanya terus menatap Altamyra.
Erland melihat Fred mendekati Altamyra. Mereka berbincang-bincang dengan akrab. Altamyra tampak
berseri ketika berbicara dengan pria itu. Ia tertawa riang bersama Fred.
Kecemburuan membakar hati Erland. Ia tidak mau melihat pria lain di dekat Altamyra. Tetapi, ia juga
tidak mau mendekati gadis itu.
Hari ini Altamyra membaurkan diri dengan rakyat. Mereka yang tidak mengenalinya, tidak akan tahu ia
adalah Ratu Vandella.
Dengan berjalannya waktu, orang-orang yang datang semakin banyak. Hari ini tidak hanya rakyat yang
berdatangan tapi juga para Menteri dan bangsawan-bangsawan. Semua berdatangan ke Istana untuk
menyambut keberadaan Erland di Istana.
Hari ini yang menjadi pusat perhatian adalah Erland.
Altamyra tersenyum senang melihat Erland dengan tangkas menanggapi setiap pertanyaan rakyat.
“Semoga hari ini tidak hujan.”
“Aku pun berharap demikian,” sahut Altamyra, “Pergantian musim selalu membuatku khawatir.”
“Pergantian musim panas selalu menjengkelkan saya.”
Altamyra tertawa geli. “Aku akan selalu ingat ketika engkau baru menjemur baju-baju dan hujan deras
tiba-tiba turun.”
“Saat itu adalah saat yang paling menyebalkan,” Hannah menekankan.
“Melihat langit yang cerah seperti ini, kupikir hari akan cerah.”
“Aku setuju denganmu, Brenda,” sahut Sylta.
“Andai hujan turun, apakah Istana mampu menampung orang sebanyak ini?”
“Dapat, Fred,” jawab Altamyra, “Benarkan itu, Briat?”
“Tentu, Paduka. Istana sangat luas.”
“Untuk kali ini aku bersyukur pada ketamakan serigala itu. Bila bukan karenanya, kita tidak akan dapat
berkumpul di sini. Hari ini jumlah yang hadir jauh lebih banyak dari biasanya.”
“Mereka ingin berjumpa dengan Anda dan Pangeran Erland.”
“Anda berdua dipuja-puja rakyat.”
Tiba-tiba Fred menyahut, “Mengapa kalian tidak menikah?”
Altamyra menatap Fred lalu melihat Erland yang duduk jauh di seberang.
“Benar, Paduka. Anda mencintai rakyat dan Pangeran juga ingin memberikan yang terbaik untuk rakyat.
Anda berdua pasti akan menjadi pasangan yang cocok.”
Altamyra tersenyum melihat Hannah. “Kau benar, Hannah.” Sebelum wanita itu bersorak atas
jawabannya, Altamyra melanjutkan, “Tetapi, kalian tahu apa yang kuinginkan.”
Orang-orang di sekeliling Altamyra kecewa ketika bersama-sama mengatakan kalimat yang sering
diucapkan Altamyra. “Anda tidak akan memperhatikan diri Anda sebelum rakyat makmur.”
Altamyra tersenyum. “Kalian telah mengetahuinya.”
“Paduka, saat ini kehidupan rakyat Vandella mulai mengalami perbaikan. Anda bisa memikirkan diri
Anda.”
Altamyra menatap orang-orang itu. “Mengapa aku merasa kalian seperti seorang ibu yang membujuk
anaknya untuk menikah?”
“Kami melakukan ini untuk kebaikan Anda, Paduka.”
“Apakah Anda mencintai Pangeran?”
Altamyra terkejut. “Bagaimana kalian punya pikiran seperti itu?”
“Jangan berkata seperti itu. Kami, pelayan Istana, tahu kedatangan Anda terlambat dua bulan karena
Anda tinggal di Lasdorf.”
Altamyra tidak menyahuti orang-orang yang berusaha membujuknya itu.
Di kejauhan Erland tidak melepaskan pandangan dari Altamyra. Gadis itu selalu bersinar di manapun ia berada. Tak seorang pun yang memiliki rambut seemas Altamyra. Tak seorangpun semenawan, seanggun
Altamyra.
Tak heran bila ia dikerumuni banyak orang. Mereka mendengarkan apa kata Altamyra dengan penuh
perhatian.
Di antara mereka seperti tidak ada batas antara Ratu dan bawahannya. Mereka seperti sekelompok
rakyat yang sibuk berbincang-bincang.
“Siapa yang Anda lihat, Pangeran?” tanya Nazer.
“Sejak tadi Anda tidak memperhatikan kami,” timpal Hermit.
“Anda belum menjawab pertanyaan terakhir kami.”
“Maaf, apa pertanyaan kalian tadi?”
“Kami bertanya bagaimana cara Anda menyerang lalu menghilang? Kami tidak pernah dapat menangkap
Anda. Kami tidak pernah dapat menduga kapan dan di mana Anda muncul. Anda selalu muncul tiba-tiba
dan menghilang tiba-tiba,” ulang Jenderal Hermit.
“Anda muncul seperti hantu,” tambah Jenderal Duane.
Erland tidak mendengarkan mereka. Perhatiannya terpusat lagi pada Altamyra.
Jenderal Nazer mengikuti pandangan Erland. Ia tersenyum ketika tahu apa yang membuat Erland tidak
menaruh perhatian pada percakapan mereka.
Ratu adalah gadis cantik yang selalu dikerumuni orang. Tua muda, pria wanita, semua ada di sekeliling
Ratu yang menawan itu.
Sedangkan Erland dikelilingi jenderal-jenderal Vandella yang ingin mengetahui siasat perang pria itu.
Siasat perang Erland telah lama membuat mereka kewalahan dan kagum. Sekarang mereka mempunyai
kesempatan untuk menanyakannya. Tapi, Erland tidak memperhatikan.
“Paduka Ratu!” seru Nazer.
Altamyra memandang ke arah asalnya suara itu.
“Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra, datanglah ke sini. Kami ingin berbicara dengan Anda.”
Altamyra bangkit. “Berhentilah menjadi ibu,” katanya sambil tersenyum. Lalu ia meninggalkan
kerumunan orang itu.
“Paduka Ratu!” Kali ini yang memanggil bukan hanya Nazer. Semua yang di sekeliling Erland memanggil
gadis itu.
“Aku datang. Aku datang,” kata Altamyra. Altamyra tidak tahu apa yang membuat para pejabat militer
Vandella itu tidak sabar menantinya. Ia berlari mendekati mereka.
Sebuah panah melesat cepat dan berhenti di dada Altamyra.
Semua orang berteriak terkejut. “Paduka Ratu!!”
Kincaid segera melompat menangkap tubuh Altamyra. “Paduka! Paduka Ratu!” panggilnya cemas.
Tangan Altamyra bergetar ketika ia memegang panah di dadanya. Bibirnya bergetar ketika ia tersenyum.
Altamyra seperti ingin mengucapkan sesuatu.
“Tangkap orang itu!” seru para Jenderal panik.
Tanpa diperintah orang-orang di halaman Istana telah bergerak untuk menangkap orang yang melepas
panah itu.
“K…Kin…c…ca…i…d… j…ja…n…ng…a…n… m…me…” Altamyra jatuh pingsan sebelum
menyelesaikan kata-katanya.
“Paduka!” seru Kincaid.
“Panggil dokter! Cepat panggil dokter!” seru Briat.
“Siapkan kamar Paduka!”
“Bawa Paduka ke kamarnya!”
Teriakan-teriakan panik memenuhi halaman Istana. Semua kebingungan, terkejut, dan khawatir. Semua
berlari ke dalam Istana. Semua panik.
Kincaid segera membopong tubuh Altamyra dan berlari ke kamar gadis itu.
Erland diam terpaku di tempatnya. Ia melihat Altamyra menatapnya ketika panah itu menancap di
dadanya. Ia melihat mata gadis itu bersinar meminta bantuannya sebelum jatuh. Erland terkejut dengan
kejadian sesaat yang merubah suasana hari Minggu ini.
Dokter datang ketika Kincaid baru membaringkan Altamyra di tempat tidur.
Pelayan-pelayan Istana berlari-lari mengantar dokter ke Kamar Tidur Utama. Mereka menarik dokter
itu ke lantai tiga tempat Altamyra berbaring.
Lorong depan kamar Altamyra dipenuhi orang. Di dalam kamar gadis itu juga banyak pelayan wanita.
Semua mengkhawatirkan keselamatan Altamyra.
Satu jam lebih dokter berada di dalam sebelum akhirnya ia keluar.
“Bagaimana keadaan Paduka?” sambut mereka.
“Panah itu menancap tidak terlalu dalam. Dalam waktu singkat, Paduka akan membaik.”
Jawaban itu sedikit melegakan orang-orang itu.
Setelah kepergian dokter, Kincaid memerintahkan pasukan mengawasi Istana secara ketat. Rakyat dimintanya untuk pulang. Pintu gerbang Istana ditutup rapat setelahnya.
Kincaid khawatir orang yang mau membunuh Altamyra datang.
Pria yang terlihat memanah Altamyra, telah ditahan di penjara bawah tanah Istana. Ia menanti keadaan
Altamyra.
Para menteri dan jenderal berkumpul di dalam Kamar Tidur Utama. Mereka percaya Altamyra dapat
sembuh. Semua orang percaya.
“A… apa… yang kalian lakukan di sini?”
Semua terkejut mendengar suara lemah itu.
“Terima kasih, Tuhan. Anda sudah sadar,” pinta Hannah.
“Bagaimana keadaan Anda, Paduka?”
“Aku merasa lemah, Kincaid. Dadaku terasa sakit setiap kali aku berbicara.”
“Dokter mengatakan ujung panah itu menggores paru-paru Anda. Ia menyarankan Anda banyak
beristirahat,” Hannah memberitahu.
“Saya mengaku bersalah, Paduka. Saya tidak dapat menjalankan tugas dengan baik. Saya patut
dihukum.”
“Ini bukan kesalahanmu, Kincaid. Kejadian ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Entah mengapa pada
hari istimewa ini semua terjadi.”
Semua orang berpandang-pandangan.
Nafas Altamyra tersenggal-senggal. Ia seperti kehilangan semua kekuatannya.
“Anda harus beristirahat, Paduka,” kata Hannah.
Altamyra tersenyum lemah. “Kau harus berterima kasih padanya, Kincaid. Kalau bukan karenanya, aku
tidak akan mau beristirahat seperti ini.”
“Jangan terlalu banyak berbicara, Paduka. Anda akan memperparah luka Anda.”
Altamyra tersenyum melihat menteri-menterinya.
“Keluarlah kalian. Biarkan Paduka beristirahat,” kata Hannah.
“Selamat beristirahat, Paduka,” kata mereka.
Mereka meninggalkan Kamar Tidur Utama dan berkumpul di Ruang Rapat.
“Apakah menurutmu Pangeran yang melakukannya?”
“Tidak mungkin, Rasputin.”
“Mungkin saja, Ludwick. Sejak Pangeran masuk Istana, ia dan Paduka Ratu seperti saling menjauhi.
Paduka Ratu berkata ingin mengajak Pangeran berdamai, tapi sejak Pangeran memasuki Istana, mereka
tidak pernah berunding.”
“Mengapa kejadian ini muncul saat Pangeran ada?”
“Mengapa hari-hari yang lalu tidak pernah terjadi?”
“Bila Pangeran ingin membunuh Paduka Ratu, ia tentu sudah melakukannya sejak lama. Ia takkan
melakukannya saat Ratu berada di antara orang banyak. Kalau aku adalah Pangeran, aku akan
membunuhnya saat aku berdua dengan Ratu.”
“Kalau berdua, Ratu tidak akan mendapatkan pertolongan,” timpal Ludwick.
“Bila bukan Pangeran, siapa yang ingin membunuh Ratu? Siapa yang membenci Ratu?”
Mereka saling menatap dengan bingung.
“Menurut saya, kita harus memeriksa orang ini dan menanti keputusan Ratu.”
“Aku setuju denganmu, Kincaid. Tapi menurutku kita tidak perlu menanti Ratu pulih. Masalah ini adalah
masalah gawat. Ratu pasti mengerti.”
“Kalau Ratu mengetahui masalah ini, ia pasti tidak akan berdiam diri. Ia akan memperburuk
keadaannya.”
“Hingga Ratu pulih, kita harus memperketat penjagaan Istana.”
“Mulai saat ini saya akan selalu berada di sisi Paduka,” janji Kincaid.
-----0-----
Altamyra terjaga.
Altamyra tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Hari beranjak malam ketika Hannah memberinya
obat dan menyuruhnya tidur. Sekarang matahari telah menerangi ruang tidurnya.
“Jadi, apa yang sekarang mereka lakukan?”
Altamyra menajamkan pendengarannya.
“Hari ini para Menteri membuka sidang. Mereka akan mengadilinya. Mereka juga mengikutsertakan
Pangeran untuk membuktikan keterlibatan Pangeran.”
“Menurutmu, Kincaid, apakah Pangeran terlibat dengan usaha pembunuhan ini?”
Altamyra terbelalak kaget mendengarnya. Ia meninggalkan tempat tidurnya.
Altamyra membuka pintu yang menghubungkan ruang duduk dan ruang tidur kamarnya. Ia berlari
menuju pintu depan.
“Paduka Ratu!” Hannah terlonjak kaget. “Anda mau ke mana?”
Altamyra menghilang di balik pintu.
“Cepat kejar dia!” teriak Sylta panik.
Kincaid melompat dan segera mengejar Altamyra.
Altamyra memegang dadanya yang terasa sakit. Nafasnya tersenggal-senggal tapi ia tidak berhenti.
Siapa pun orang itu, Altamyra ingin menolongnya. Altamyra melihat orang itu sebelum ia jatuh. Ia melihat
kepanikan di wajahnya. Rasa panik itu tidak akan muncul pada seorang pembunuh.
Altamyra yakin ada orang yang menyuruhnya. Para menterinya tidak akan mempedulikan hal itu. Siapa
yang disuruh dan siapa yang menyuruh tidak akan mereka pedulikan.
Altamyra terus berlari sambil berpegangan pada tembok hingga ia tiba di Ruang Tahta.
“HENTIKAN!”
Semua yang ada di dalam Ruang Tahta membelalak kaget melihat Altamyra.
Altamyra melihat seorang pria yang terikat di tengah ruangan.
“Beraninya kalian melakukan sesuatu di luar sepengetahuanku!”
“Paduka!” seru Kincaid cemas.
Nafas Altamyra tersenggal-senggal ketika ia memasuki ruangan. Badannya limbung. Wajahnya pucat
pasi.
Kincaid mendekati Altamyra tapi gadis itu menepis tangannya.
“Maafkan kami, Paduka. Kami tidak ingin merepotkan Anda.”
“Bebaskan dia!”
“Paduka!” Menteri-menteri itu terkejut, “Ia berusaha membunuh Anda.”
“Aku perintahkan lepaskan dia!” seruan Altamyra memenuhi ruangan.
Semua menatap Altamyra.
Altamyra murka melihat tidak ada yang bergerak.
“Dia tidak bersalah! Dia tidak diperintah oleh Erland untuk membunuhku! Bagaimana kalian pantas disebut menteri bila tidak dapat melihat kebenaran!?”
Para prajurit segera membuka ikatan orang itu.
“Pergilah,” kata Altamyra lembut pada orang itu.
Pria itu melihat Altamyra dengan ketakutan.
Sekali lagi Altamyra berkata lembut, “Cepat pergilah.”
Pria itu berdiri dan berlari menuju pintu. Prajurit segera menghadang pintu.
“Cukup!” bentak Altamyra murka, “Biarkan dia pergi!”
Prajurit-prajurit itu memandang para menteri.
“BIARKAN DIA PERGI!” seru Altamyra dengan seluruh kekuatannya.
Tiba-tiba Altamyra batuk.
Semua terkejut melihat Altamyra memuntahkan darah merah segar.
“Paduka Ratu…”
Altamyra menutup mulutnya dan berusaha menghentikan batuknya yang semakin parah. Tiba-tiba gadis
itu jatuh. Darah membasahi gaunnya dan menodai rambutnya yang keemasan. Tangannya yang
berlumuran darah, membuat lantai menjadi merah.
Altamyra melihat pria itu masih berada di Ruang Tahta. Altamyra menahan badannya dengan kedua
tangannya yang bergetar hebat.
Pandangan Altamyra melembut ketika berkata, “Pe…per…r…g…i…lah…
Kee…l…ua…rr…g…am……mmu p…pa…st…i… m…menn…ce…mma…ska…nnmu….”
Pria itu dengan ketakutan berlari menuju pintu.
Kincaid mendekati Altamyra.
“B…bi…a…r…r…ka…n… d…di…a… p…pper…g…i…”
“Tentu, Paduka.”
Altamyra jatuh pingsan di pelukan Kincaid.
Rasputin segera bertindak. “Cepat ikuti pria itu. Ia akan membawa kita pada majikannya.”
Kincaid mengangkat Altamyra. “Aku akan membawa Paduka ke kamarnya.”
“Panggil dokter.”
Erland mematung. Sepatah katapun tidak terlontar dari mulutnya. Ia diam melihat Altamyra dibopong pergi.
Tak lama kemudian dokter datang. Ia memberi Altamyra obat penenang sebelum meninggalkan Istana
Azzereath.
Sepanjang hari itu Altamyra terus tertidur. Ia baru bangun keesokan harinya.
Sinar matahari yang menyilaukan membuatnya memejamkan mata untuk sesaat. Setelah beberapa saat
Altamyra terbiasa dengan sinar yang menyilaukan itu.
Altamyra melihat Sylta memasuki ruang tidurnya.
“Sylta…”
“Anda sudah bangun, Paduka?” Sylta mendekati Altamyra.
“Hari apa ini? Sekarang pukul berapa?”
“Hari ini hari Selasa dan saat ini sudah pukul sembilan pagi.”
“Aku harus ke Ruang Rapat.”
“Jangan melakukan itu, Paduka!” seru Sylta kaget, “Dokter berpesan Anda harus berada di tempat tidur
sampai Anda benar-benar pulih.”
Seruan kaget Sylta membuat Hannah datang. “Ada apa?”
“Paduka ingin ke Ruang Rapat,” Sylta melaporkan.
“Hari ini aku ada rapat dengan para menteri,” Altamyra memberitahu.
“Dokter menegaskan Anda tidak boleh meninggalkan tempat tidur, Paduka,” kata Hannah, “Tindakan
Anda kemarin membuat goresan luka di paru-paru Anda membesar. Nyawa Anda berada dalam bahaya
bila Anda bertindak seperti kemarin. Dokter menekankan kami untuk mencegah Anda berbicara banyak
dan berbuat banyak. Ia khawatir semua itu akan memparah luka di paru-paru Anda.”
“Aku pun merasa sangat lelah bila engkau menentangku, Hannah,” kata Altamyra lemah.
“Tidak seorang pun yang akan hadir, Paduka,” kata Hannah, “Mereka tahu Anda terlalu lemah untuk
rapat.”
Altamyra tersenyum misterius. “Kemarin malam saat aku terjaga, aku memerintahkan prajurit untuk
memberitahu mereka bahwa rapat hari ini tetap berjalan.”
“Anda harus ingat kata dokter, Paduka.”
“Hari ini aku tidak akan berbicara. Rapat hari ini aku akan mendengarkan.”
“Biarlah Pangeran menggantikan Anda.”
“Harus aku yang memimpin rapat kali ini,” Altamyra menyingkap selimutnya.
Sylta cepat-cepat membantu Altamyra.
Hannah mengambilkan mantel gadis itu. “Tidak ada yang bisa mencegah Anda,” katanya ketika
mengenakan mantel itu pada Altamyra.
Altamyra tersenyum.
“Kincaid!” panggil Hannah.
Altamyra memandang Hannah dengan heran.
“Ada apa?”
“Gendong Paduka ke Ruang Rapat.” Hannah tersenyum pada Altamyra, “Anda tidak harus berjalan
untuk ke sana.”
Altamyra tertawa geli. Tiba-tiba ia mulai batuk.
“Paduka,” kata Sylta cemas sambil menepuk punggung Altamyra.
Nafas Altamyra tersenggal-senggal setelahnya.
“Anda benar-benar dapat melakukannya?” tanya Sylta cemas, “Mengapa Anda tidak menyuruh Kincaid
meminta mereka kembali?”
Altamyra tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan lemah. Kemudian menatap Kincaid.
Kincaid segera mendekat. “Maafkan saya, Paduka.”
Altamyra melingkarkan lengannya di leher pria tengah baya itu.
“Kurasa aku harus mengganti jabatanmu, Kincaid. Mulai hari ini aku mengganti kedudukanmu dari
Kepala Pengawal Istana menjadi Pembopong pribadiku.”
Kincaid tersenyum lalu ia membawa Altamyra meninggalkan Kamar Tidur Utama.
Hannah menatap cemas kepergian mereka tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Beberapa saat kemudian Altamyra telah duduk di kursi tingginya di Ruang Rapat. Altamyra duduk
menanti kedatangan para menteri.
Beberapa saat kemudian terdengar keributan di luar Ruang Rapat.
“Undang mereka untuk masuk,” kata Altamyra lemah.
“Baik, Paduka.”
Kincaid segera keluar.
“Apakah Paduka Ratu sanggup memimpin rapat?”
“Aku masih ingat kemarin beliau tampak sangat pucat dan lemah.”
“Apakah baik bila rapat tetap berlangsung?”
“Paduka Ratu telah menanti Anda di dalam.”
Para Menteri itu terkejut.
Kincaid membuka pintu lebar-lebar.
Seorang gadis dalam mantel coklatnya duduk di kursi tinggi. Ia tersenyum lemah pada mereka.
Wajahnya yang pucat tidak menghilangkan kecantikkannya.
“Selamat siang,” sapa Altamyra lemah.
“Selamat siang, Paduka,” balas mereka.
Mereka menatap Altamyra dengan cemas. Tubuh kecil yang duduk di kursi itu tampak lemah. Wajah
pucat Altamyra mengkhawatirkan mereka. Nafasnya terlihat pendek. Ia seperti kesulitan untuk
menghirup udara.
“Silakan kalian memulai laporan kalian,” kata Altamyra lemah.
Kincaid memandang semua menteri itu dan berharap mereka mengerti apa yang harus dilakukan.
Mereka mengetahui keadaan Altamyra yang lemah. Tanpa membuang waktu, mereka segera
melaporkan pelaksanaan semua keputusan Altamyra dan undang-undang baru. Bergantian mereka
berdiri dan membacakan laporan mereka.
Altamyra mendengarkan dengan penuh perhatian.
Duduk dan mendengarkan dengan penuh perhatian, membuatnya merasa sangat lelah. Altamyra tidak
menyukai keadaannya yang lemah seperti ini. Tubuhnya hanya menghambat kegiatannya yang banyak.
Kincaid melihat nafas Altamyra semakin pendek. Gadis itu tersenggal-senggal dan wajahnya semakin
pucat. Keringat dingin bercucuran di dahinya.
Para Menteri juga melihatnya. Mereka menatap Altamyra dengan cemas.
“Anda baik-baik saja, Paduka?” tanya mereka cemas.
Altamyra menggelengkan kepalanya dengan lemah. Ia merasa terlalu lemah untuk berbicara.
“Sebaiknya Anda beristirahat demi kesehatan Anda.”
“Biarlah rapat ini dihentikan sampai di sini. Kami tidak akan bisa mencurahkan seluruh perhatian kami
pada rapat ini bila Anda seperti ini. Jangan sampai keadaan Anda menjadi semakin parah karena rapat
ini.”
“Rakyat Vandella membutuhkan Anda, Paduka. Anda harus memperhatikan kesehatan Anda.”
“Kesehatan Anda di atas segala-galanya.”
“Rapat ini bisa kita lanjutkan bila keadaan Anda telah membaik.”
Altamyra terharu ketika memandang para menterinya.
“Mereka benar, Paduka. Sebaiknya Anda kembali ke kamar Anda,” kata Kincaid.
Altamyra mengulurkan tangannya dan Kincaid menyambutnya dengan menggendong Altamyra.
“Masalah kemarin…”
“Jangan khawatir, Paduka,” sahut Rasputin, “Kami telah melakukan penyelidikan. Hari ini kami akan
membuka sidang untuk memeriksa kejadian hari Minggu itu.”
“Anda tidak perlu turun tangan,” tambah Danilo, “Pangeran Erland bisa menggantikan Anda dalam
persidangan itu.”
“Benar,” sahut Noah, “Pangeran pasti bisa.”
“Pangeran Erland mendorong kami untuk segera menyelesaikan masalah ini,” sambung Rasputin.
“Ia ingin segera menangkap orang di balik usaha pembunuhan terhadap Anda ini,” Ludwick
menekankan.
Altamyra tersenyum. Ia tahu Erland pasti akan melakukannya. Bukan karena mengkhawatirkannya tetapi
karena ingin membersihkan nama dari tuduhan itu. Dan kesadaran itu membuat hatinya sakit.
“Kami pasti akan melaporkan hasil persidangan itu pada Anda,” Rasputin menegaskan.
Altamyra tersenyum lembut pada mereka seperti matanya yang bersinar penuh kerinduan. “Kalian sangat
memperhatikan aku. Kalian selalu mengerjakan tugas dengan baik. Aku sangat senang mempunyai
menteri seperti kalian. Aku takkan melupakan kalian.”
Altamyra mengangkat kepalanya dan berkata, “Antarkan aku, Kincaid.”
“Baik, Paduka.”
Kincaid membawa Altamyra meninggalkan Ruang Rapat.
“Mengapa aku merasa Paduka Ratu seperti akan meninggalkan kita untuk selama-lamanya?”
“Jangan berbicara seperti itu, Danilo!” hardik Noah.
Dewey berkata, “Kita semua tidak ingin Paduka Ratu pergi.”
“Paduka Ratu juga tidak akan meninggalkan kita,” kata Toed.
“Jangan berpikir yang aneh-aneh,” potong Rasputin, “Kita harus segera melanjutkan pemeriksaan dan
membuka persidangan.”
Altamyra sudah sangat lemah ketika Kincaid membaringkannya di tempat tidur.
Hannah segera menghilang bersama Sylta tetapi tak lama kemudian mereka muncul bersama senampan
makanan.
Seperti seorang bayi, Altamyra membiarkan makanan terus disuapkan ke mulutnya. Altamyra merasa
terlalu lemah untuk melawan. Ia sangat lelah dan ingin segera beristirahat.
Hannah menyuapkan makanan hingga pada suapan yang terakhir.
Sylta segera menyediakan obat Altamyra setelahnya. Ia mengangkat tubuh lemah Altamyra dan berkata,
“Minumlah, Paduka. Setelah itu Anda harus tidur.”
Altamyra meminum obatnya tanpa berkata apa-apa.
Sylta kembali membaringkannya. Wanita itu merapikan selimutnya lalu merapikan kembali meja di
samping tempat tidur Altamyra dari piring-piring.
“Tidurlah yang nyenyak. Kami ada di ruang duduk bila Anda membutuhkan kami,” kata Hannah.
Dengan pandangan matanya, Altamyra tersenyum melihat kepergian mereka.
Belum lama Altamyra terbaring, dokter datang.
Altamyra membuka matanya mendengar langkah-langkah kaki di dekatnya dan suara orang berbicara.
Seorang pria berjenggot putih tersenyum padanya.
“Bagaimana keadaanku?”
“Dengan sangat menyesal, saya mengatakan keadaan Anda tidak membaik sejak kemarin. Pelayan
Anda memberitahu tadi pagi Anda menghadiri rapat. Itu adalah tindakan yang dapat membahayakan
Anda.”
Altamyra tersenyum lemah. “Kalau bukan aku, siapa yang dapat melakukannya?”
“Saya tahu Anda adalah gadis yang tangkas. Anda tidak pernah bisa dibuat diam, bukan?”
“Anda telah mengetahuinya.”
“Saya pikir satu-satunya yang bisa membuat Anda diam adalah memberi obat tidur pada Anda.”
“Kupikir obat tidur juga tidak bermanfaat banyak. Aku tidak pernah tidur selama yang diharapkan
setelah minum obat tidur. Anda bisa menanyakannya pada Hannah.”
“Pelayan Anda telah memberitahu saya kalau kemarin malam Anda terjaga dan memulai kesibukan
Anda. Ia terpaksa memberi Anda obat tidur lebih banyak agar Anda benar-benar tidur sampai pagi.
Sepertinya saya harus memperbesar dosisnya.”
“Apakah Anda yakin bisa berhasil?” tanya Altamyra, “Terlalu banyak yang harus saya lakukan hingga alam bawah sadar saya pun tahu saya tidak bisa tidur terlalu lama.”
“Anda harus banyak beristirahat, Paduka,” Dokter mengingatkan. “Celaka!” seru Dokter kaget.
Altamyra kebingungan.
“Berbicara dengan Anda sangat menyenangkan tetapi saya tidak boleh mengajak Anda terlalu banyak
berbicara. Anda harus banyak menghemat nafas Anda sampai luka di paru-paru Anda sembuh.”
Altamyra tersenyum.
“Selamat beristirahat, Paduka. Besok saya akan kembali untuk memeriksa keadaan Anda.”
“Terima kasih, Dokter.”
Pria tua itu segera meninggalkan Altamyra sendirian di kamarnya.
Altamyra tidak kembali tidur seperti saran Dokter. Ia menanti kedatangan Kincaid yang telah berjanji
akan segera memberitahunya hasil pemeriksaan para Menteri.
Seusai pelayan membersihkan Altamyra dan mengganti perbannya, Kincaid datang menghadap.
“Bagaimana persidangannya?” tanya Altamyra.
“Persidangan berjalan dengan lancar, Paduka. Pangeran Erland yang memimpin sidang itu,” Kincaid
memulai laporannya, “Sebenarnya setelah Anda melepaskan pria itu, Rasputin menyuruh prajurit
mengikuti pria itu.”
“Menurut Rasputin, pria itu akan segera menemui orang yang menyuruhnya setelah meninggalkan Istana.
Dugaan Rasputin benar. Pria itu tidak segera pulang tetapi menemui tuannya.”
“Setelah mendapat laporan prajurit, Rasputin segera memerintahkan penangkapan keluarga Apaleah.”
Altamyra terkejut tetapi ia tidak berkata apa-apa.
“Dalam sidang tadi, pria itu mengakui ia melakukannya karena diperintah Duke Apaleah. Duke mulanya
tidak mengakui perbuatannya itu. Tetapi, Pangeran Erland berhasil membuat putrinya mengaku. Pangeran
mencabut gelar Duke Apaleah dan memenjarakan mereka di penjara Perenolde. Baru saja kemenakan
Duke diangkat menjadi Duke Apaleah yang baru.”
“Pria itu?”
“Pangeran mengatakan pria itu juga bersalah karena telah mau melakukan perbuatan yang melanggar
hukum. Anda tidak perlu khawatir, Paduka. Pangeran memberinya keringanan. Ia tidak dipenjara selama
Duke Apaleah dan Putri Prischa.”
“Terima kasih, Kincaid. Engkau tidak lupa memberitahuku.”
“Saya tidak akan melupakan janji saya pada Anda, Paduka.”
“Aku ingin engkau berjanji lagi padaku.”
“Hamba siap melakukan apa pun untuk Anda, Paduka.”
Altamyra tersenyum. “Aku senang mempunyai prajurit seperti engkau. Azzereath patut berbangga atas
kesetiaanmu.”
Kincaid ingin mengatakan sesuatu tetapi Altamyra mendahului.
“Aku ingin engkau mengantarkan sebuah surat pada Ludwick hari ini juga.” Altamyra mengulurkan
tangan ke meja di samping tempat tidurnya. Ia mengambil surat yang baru ditulisnya dan menyerahkannya
pada Kincaid.
“Berjanjilah surat itu akan tiba di tangan Ludwick malam ini juga.”
“Hamba akan melakukan tugas sebaik-baiknya.”
Altamyra menutup matanya. “Aku lelah, Kincaid. Aku ingin beristirahat.”
“Hamba mengerti, Paduka. Hamba tidak akan menganggu Anda lagi. Selamat beristirahat.”
Altamyra mengawasi kepergian Kincaid.
Altamyra tidak pernah menyangka Duke Apaleah dan putrinya akan merencanakan pembunuhan
terhadapnya.
“Rupanya aku terlalu sibuk hingga melupakan mereka,” katanya pada dirinya sendiri.
Prischa adalah Ratu Vandella bila ia tidak ada. Ambisi Duke Apaleah untuk menjadikan putrinya sebagai
Ratu Vandella telah terlihat ketika mereka bertemu.
Di mata Duke, Altamyra yang dibesarkan di desa terpencil, tidak pantas menjadi Ratu Vandella.
Prischa, putrinya yang telah mendapatkan pendidikan terbaik di negeri ini yang pantas memerintah
kerajaan ini.
Duke Apaleah sangat cerdik. Ia memanfaatkan keberadaan Erland di Istana Azzereath. Ia ingin Erland
yang dipersalahkan dalam usaha pembunuhan ini. Ia berhasil andaikata Altamyra tidak segera bertindak.
Sayangnya, Altamyra telah mempercayai Erland dan ia mencintai pria itu. Altamyra takkan membiarkan
orang-orang menuduh Erland tanpa bukti yang kuat.
Rakyat Vandella tahu antara Erland dan Altamyra terdapat permusuhan yang kental. Permusuhan itu
adalah peninggalan Raja Wolve.
Semua mata akan tertuju pada Erland bila Altamyra terbunuh saat pria itu ada di Istana. Apalagi saat itu
Altamyra tengah berlari menuju Erland.
Semua itu terkesan Erland sengaja memanggil Altamyra untuk menjauhkannya dari kerumunan orang
banyak. Dan, ketika Altamyra sedang berlari, panah dilepaskan.
Rencana yang sangat sempurna. Dengan kematian Altamyra, Prischa akan menjadi Ratu Vandella. Dan,
Duke akan tersenyum sangat puas. Sekali bertindak, ia membuang dua penghalang besarnya, Altamyra dan Erland, dan memenuhi impiannya, menjadikan putrinya sebagai Ratu Vandella.
Tidak akan ada orang yang berani melawan setelah Erland – pahlawan yang paling dipuja rakyat
Vandella – dihukum mati.
Altamyra merasa lega. Hasil persidangan telah keluar. Semua yang bersalah telah mendapat ganjarannya.
Tidak ada saat yang paling melegakan Altamyra selain saat ini. Semua tugasnya telah usai dan ia bisa
pergi dengan tenang.
13
“YANG MULIA PADUKA RATU ALTAMYRA MENGHILANG!” seru para Menteri kaget.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Dewey panik. “Uskup Agung telah datang. Beberapa saat lagi ia
akan tiba di Katedral Kerasithui.”
Menteri-menteri itu berpandang-pandangan dengan cemas.
“Bagaimana Ratu menghilang?” tanya Rasputin.
“Saya tidak tahu,” jawab Kincaid, “Kemarin malam saya masih berbicara dengannya. Beberapa pelayan
juga sempat berbicara dengan Paduka Ratu sebelum Ratu tidur.”
“Apakah ia tidak diculik?” tanya Noah.
“Tidak,” jawab Kincaid, “Sejak hari Minggu saya memperketat penjagaan di Istana khususnya di
Kamar Tidur Utama.”
“Kau yakin?”
“Saya sangat yakin.”
“Bagaimana mungkin Ratu bisa menghilang? Apakah kalian telah mencarinya di seluruh Istana? Mungkin
saja Paduka Ratu berada di suatu tempat di Istana ini.”
“Mulai pagi tadi kami terus mencari di seluruh pelosok Istana, tetapi hingga kini kami tidak
menemukannya.”
“Apakah tidak ada yang melihat kepergian Ratu?”
“Tidak.”
“Apakah mungkin seseorang pergi tanpa meninggalkan jejak?”
Dewey semakin panik. “Bagaimana ini? Beberapa saat lagi Bapa Paus akan tiba di sini.”
“Apakah kita harus menundanya?”
“Tidak,” sahut Dewey, “Kita tidak bisa. Demi permintaan Ratu Altamyra, Bapa Paus telah
menyempatkan diri untuk datang. Tidak mungkin kita membatalkannya.”
“Kita tidak bisa membatalkan acara ini,” sambung Toed, “Para undangan sudah tiba dan semuanya telah
dipersiapkan dengan matang.”
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Dewey panik.
Ruang di belakang altar Katedral Kerasithui menjadi ramai.
“Jangan khawatir!”
Semua memandang Ludwick yang terengah-engah di ambang pintu.
“Maaf aku terlambat. Aku baru saja berangkat ke sini ketika aku teringat aku harus ke Istana mengambil
surat pernyataan Paduka Ratu.”
“Ratu menghilang, Ludwick,” Noah memberitahu dengan panik.
Ludwick terkejut.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tidak bisa membatalkan rencana ini.”
“Jangan panik, Dewey,” kata Ludwick, “Paduka Ratu telah memintaku menggantikannya dalam acara
ini.”
Semua menatap tajam Ludwick. “Kau tahu di mana Ratu berada?”
“Tidak,” jawab Ludwick, “Ratu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menyuruhku menggantikannya
dalam acara ini. Ketika membacanya, aku pikir Ratu benar. Ia terlalu lemah untuk hadir dalam acara ini
tetapi ia tidak bisa membatalkannya. Sedikitpun aku tidak berpikir Ratu akan menghilang.”
“Apa yang harus kita katakan pada Bapa Paus?”
“Menurutku, sebaiknya kita mengatakan Ratu sakit sehingga ia tidak dapat memberikan pernyataan
turun tahtanya ini.”
“Turun tahta?” seru semua yang ada di ruang kecil itu terkejut.
“Kalian belum tahu?” tanya Ludwick heran.
“Hanya engkau saja yang tahu?” Mereka balas bertanya.
“Aku pikir Ratu telah memberitahu rencananya ini pada kalian.”
“Apa yang Ratu rencanakan?” tanya mereka tidak sabar.
“Ratu ingin Pangeran Erland menggantikannya memerintah Vandella. Ratu berkata Pangeran Erland lebih
pantas daripada dia. Ratu tidak mengetahui Vandella sebaik Pangeran. Pangeran dibesarkan di Vandella
sedangkan Ratu di luar negeri. Bagi Ratu, daerah-daerah Vandella sangat asing.”
“Bagaimana Ratu bisa berpikir seperti itu?”
“Membantahnya sekarang tidak ada gunanya lagi,” kata Ludwick sedih, “Aku telah mencoba
menghentikan Ratu tetapi ia tetap melanjutkannya. Ia sendiri yang mengirim surat pada Bapa Paus untuk
datang ke sini dan menobatkan Pangeran menjadi Raja Vandella. Ratu pula yang menyebarkan undangan
pada kerajaan-kerajaan lain dan pada bangsawan-bangsawan Vandella.”
“Aku yakin Ratu tidak memberitahu rencananya ini pada mereka kecuali pada Sri Paus.”
“Ratu suka memberi kejutan,” Ludwick sependapat.
“Bapa Paus telah tiba,” lapor seorang prajurit.
Menteri-menteri itu terlonjak kaget. Mereka cepat-cepat keluar dari pintu belakang untuk menyambut
Bapa Paus.
“Saya mewakili Paduka Ratu meminta maaf,” kata Dewey, “Saat ini Ratu sakit sehingga ia tidak dapat
menyambut Anda.”
Bapa Paus tersenyum penuh kasih. “Saya mengerti. Semoga Ratumu segera sembuh.”
Dewey mengantar Bapa Paus ke dalam Katedral.
Sebelum Bapa Paus memulai upacara penobatan Erland, Ludwick membacakan surat pernyataan turun
tahta Altamyra.
Hari ini dalam kesempatan ini, saya, Altamyra menyatakan diri turun tahta. Untuk selanjutnya,
pemerintahan Vandella akan dipegang oleh Pangeran Erland, pria yang saya ketahui akan membawa
Vandella ke arah perbaikan yang lebih baik daripada saya, orang asing di Vandella. Dengan segala
hormat, saya mengucapkan terima kasih atas dukungan Anda semua selama pemerintahan saya. Saya
berharap Anda terus mendukung kerajaan Vandella. Semoga Pangeran Erland dapat membawa Vandella
pada kehidupan yang lebih baik.
“Demikian pernyataan Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” Ludwick mengakhiri.
Suara riuh memenuhi Katedral Kerasithui. Semua orang terkejut mendengar pernyataan itu. Semua
orang tidak menyangka.
Kedudukan Altamyra sebagai Ratu Vandella sangat kuat. Rakyat tidak mengharapkan Altamyra turun
tahta. Rakyat mendukungnya dan mencintainya.
Rakyat Vandella telah melupakan kenyataan bahwa Altamyra adalah putri Raja yang mereka benci.
Mereka hanya tahu Altamyra adalah ratu mereka, bidadari mereka yang cantik dan penuh kasih.
Altamyra adalah ratu yang selalu bersinar di hati rakyat Vandella.
Uskup Agung segera memulai upacara penobatan Erland.
Semua orang terdiam hingga Uskup Agung memasangkan mahkota Kerajaan Vandella yang gemerlapan
di kepala Erland.
Sebagai pengganti Altamyra, Ludwick memasangkan jubah kebesaran Raja pada pria itu.
“Mulai saat ini kami, rakyat Vandella mengakui Anda sebagai Raja kami, pemimpin kami,” kata
Ludwick.
Semua orang memberi selamat pada Erland. Semua berpikir Erland bahagia karena keinginannya untuk
memerintah Vandella telah tercapai.
Tapi tak seorang pun yang tahu perasaan Erland.
Sejak mendengar berita menghilangnya Altamyra, hatinya terus bergolak cemas. Ia bingung atas semua
yang terjadi. Ia tidak tahu lagi apa yang direncanakan Altamyra.
Altamyra seperti tidak ingin menunjukkan bahwa ia memberikan tahta pada Erland. Altamyra ingin
rakyat tahu Erland mendapatkan tahta Vandella karena perjuangannya. Altamyra tidak ingin membuat
pandangan rakyat terhadap Erland turun karena ialah yang memasangkan jubah kebesaran Raja pada
pria itu.
Setelah melihat sendiri bagaimana Altamyra berusaha menyelamatkan orang yang telah memanahnya,
Erland melihat Altamyra sungguh-sungguh mencintai rakyatnya. Saat itu Erland akhirnya tahu Altamyra
berbeda dengan apa yang dibayangkannya.
Keyakinannya itu diperkuat dengan berita yang muncul di koran-koran keesokan harinya.
Semua koran secara besar-besaran menceritakan kehidupan Altamyra sebelum menjadi Ratu Vandella.
Mereka menuliskan bagaimana Altamyra menolak pulang ke Vandella walaupun itu demi menjadi Ratu
yang membuat hidupnya lebih bahagia daripada hidup penuh kesulitan di desa Marshwillow.
Hannah telah bercerita banyak pada koran-koran bagaimana Altamyra membenci ayahnya hingga ingin
melupakan jati dirinya sebagai Putri Kerajaan.
Bila boleh memilih, Altamyra pasti memilih menjadi rakyat biasa. Namun, demi rakyat Vandella yang
menderita, gadis itu kembali.
Keinginannya untuk hidup sebagai rakyat biasa sangat kuat. Setelah memperbaiki semuanya, ia
memberikan tahta pada orang yang menurutnya pantas. Tetapi, Altamyra tidak menyadari dirinya sendiri
pantas memerintah Vandella.
Dengan pendidikannya sebagai anak desa terpencil, Altamyra membuat semua orang kagum padanya.
Menteri-menteri telah lama mengagumi Altamyra dan mereka terus mengagumi gadis itu hingga kini.
Kekaguman dunia pada Altamyra yang pandai sangat besar. Semua tidak percaya Altamyra dibesarkan
di desa kecil tetapi Hannah, sang pelayan membuat mereka percaya. Hannah adalah saksi kehidupan
Altamyra yang penuh kesusahan di masa lalu.
Altamyra menghilang seperti angin tetapi semua orang tetap mengenangnya. Dunia mengenangnya
sebagai Ratu muda yang sangat cantik. Rakyat Vandella mengenang Altamyra sebagai bidadari cantik
yang memberikan banyak anugerah kepada mereka.
Bidadari itu akan terus tersimpan di dalam hati rakyat.
Kepergian Altamyra yang tanpa jejak membuat rakyat berpikir gadis itu benar-benar seorang bidadari.
Setelah menyelesaikan tugasnya, ia kembali ke tempatnya. Ia meninggalkan Hannah di tempat kelahiran
wanita itu.
Erland tidak mau mempercayai semua itu. Ia yakin Altamyra masih ada di dunia ini di suatu tempat.
Entah di mana pun itu. Gadis itu masih ada.
Mengingat kondisinya yang sangat lemah, Erland yakin gadis itu tidak jauh.
Siang hari seusai penobatannya, seorang pelayan mengantarkan surat padanya.
“Ada surat untuk Anda, Paduka.”
Erland membukanya tanpa banyak berbicara.
Saya mengucapkan selamat atas penobatan Anda, Pangeran. Saya percaya Anda akan menjadi Raja
yang baik bagi Kerajaan ini.
Altamyra
“Altamyra!” kata Erland terkejut. “Di mana dia?”
“Hamba tidak tahu, Pangeran.”
“Surat ini,” Erland mengibaskan surat di tangannya, “Bagaimana surat ini bisa sampai padamu? Altamyra
yang memberikannya padamu?”
“Benar, Paduka Ratu yang memberikan surat itu pada saya.”
“Engkau orang terakhir yang melihat Altamyra,” kata Erland, “Engkau pasti tahu ke mana dia pergi!”
“Tidak, Paduka. Paduka Ratu Altamyra memanggil saya beberapa saat sebelum para pelayan datang.
Beliau meminta saya menyerahkan surat ini pada Anda setelah Anda pulang dari Katedral Kerasithui.”
Erland sedih. Satu-satunya orang yang dikiranya dapat menjadi petunjuk di mana Altamyra berada,
ternyata bukan orang terakhir yang melihat Altamyra. Orang terakhir yang melihat Altamyra adalah
pelayan-pelayan gadis itu.
Hingga hari ini mereka mengatakan mereka terus berada di sisi Altamyra hingga gadis itu tertidur.
Setelah itu tidak ada lagi yang melihat Altamyra.
Kemunculan Altamyra mengejutkan Vandella. Kepergiannya pun mengejutkan. Semasa ia memerintah,
ia juga membuat banyak kejutan. Altamyra adalah gadis yang senang memberi kejutan.
Cara Altamyra masuk ke dalam kehidupan Erland mengejutkan. Caranya keluar dari kehidupan Erland
juga mengejutkan.
Semakin mengingat keadaannya yang lemah, semakin ingin Erland menemukan Altamyra.
Erland yakin Altamyra belum jauh dari Istana Azzereath. Ia telah memerintahkan seluruh pelosok
Perenolde diperiksa. Tetapi, hasilnya nihil.
Tidak seorang pun melihat Altamyra.
Pernah suatu kali Erland memergoki Briat menolak seorang tamu.
“Mengapa engkau menolaknya, Briat?” tanya Erland murka, “Engkau tidak berhak melakukan itu.
Akulah yang memutuskan akan menerimanya atau tidak.”
“Maafkan saya, Paduka,” kata Briat, “Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra memberi saya wewenang
untuk menolak segala bentuk lamaran terhadapnya.”
Erland terkejut.
“Seminggu setelah Ratu memerintah, banyak surat lamaran yang datang. Banyak juga utusan yang datang
hendak melamar Paduka Ratu, tetapi Paduka Ratu menolak semuanya. Paduka Ratu berkata, ia tidak
bisa menikah dengan siapapun sebelum rakyat Vandella makmur. Beliau meminta saya mengatakan itu
pada mereka sebagai jawabannya.”
Erland semakin ingin menemukan Altamyra. Erland tidak ingin pria lain mendapatkan Altamyra. Ia tidak
dapat hidup bila tahu ia tidak dapat memiliki gadis itu.
Sekarang Erland merasa menyesal. Andai dulu ia tidak segera memutuskan untuk menyambut serangan
pasukan kerajaan, sekarang Altamyra adalah istrinya yang resmi baik secara hukum maupun agama.
Altamyra salah bila mengatakan pernikahan mereka tetap tidak resmi secara hukum bila mereka telah
menandatangani surat pernikahan. Hukum tahu siapa yang dinikahi Erland. Semua orang tahu. Tidak
akan ada yang peduli nama apa yang tertera di surat pernikahan mereka. Mereka adalah suami istri!
Bila saat itu Erland tidak memutuskan untuk menikahi Altamyra secara diam-diam, kini semua orang di
Lasdorf juga di luar Lasdorf tahu Altamyra adalah istrinya. Dan, tak seorang pun berusaha mendapatkan
gadis itu.
Sekarang gadis itu berada di tempat yang jauh darinya. Erland tidak bisa menjaga Altamyra dari pria lain
yang berusaha merebutnya. Erland tidak dapat terus berada di sisi Altamyra.
Akhirnya Fred tersenyum puas melihat kegalauan hati Erland.
“Aku telah berulang kali memperingatimu tetapi engkau tidak mau mendengarkan. Engkau memilih
membunuh Ratu daripada mengakui engkau masih mencintainya,” kata Fred pada suatu saat.
Erland benar-benar mati kutu sekarang. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hidupnya seperti neraka karena
kepergian Altamyra. Ia tidak bisa melupakan Altamyra. Ia tidak akan pernah bisa melupakan setan
ciliknya yang cantik itu.
Seluruh yang ada di dalam Istana ini membuatnya kembali teringat pada Altamyra.
Di Kamar Tidur Utama yang kini menjadi tempat tidurnya, selalu tercium wangi Altamyra. Wangi yang
sama yang tercium di kamarnya setelah Altamyra kembali pada pasukannya.
Setiap Erland berbaring di ranjang, ia selalu mencium wangi Altamyra dan merindukan Altamyra.
Erland tidak tahu mengapa Altamyra tega meninggalkannya dengan cara seperti ini. Mengapa Altamyra
tega membuat seluruh rakyat yang dicintainya mengkhawatirkannya.
Hingga dua bulan kepergiannya, semua orang masih mengingatnya.
Sering Erland mendengar pelayan-pelayan berkata, “Aku merasa Istana sangat sepi. Andai Paduka Ratu
ada di sini…”
Erland pun mengharapkan Altamyra ada di sisinya.
Sekarang Erland benar-benar menyesal. Ketika Altamyra terbaring lemah di kamarnya, ia tidak pernah
mengunjungi gadis itu. Ia bersikap acuh ketika gadis itu jatuh pingsan di Ruang Tahta dengan berlumuran
darah. Ia diam saja ketika Altamyra tampak sangat menderita karena panah yang menancap di dadanya.
Andai ia mau membuang kemurkaannya… keangkuhannya…
Terlambat sudah untuk menyadari. Erland merasa benar-benar bodoh. Ia terlalu marah hingga buta akan
segalanya. Ia marah karena telah jatuh cinta pada putri orang yang telah membunuh orang tuanya. Ia
marah karena Altamyra telah menipunya.
Melihat pencarian selama dua bulan tidak menghasilkan apa-apa, Hannah meminta dikirim ke desa
Marshwillow. Hannah yakin Altamyra kembali ke desa itu. Ia masih ingat kata-kata Altamyra sebelum
meninggalkan desa itu.
“Aku akan kembali ke tempat ini suatu saat nanti. Aku tidak akan meninggalkan Mama terlalu lama.”
Hannah percaya Altamyra kembali ke desa Marshwillow untuk menemani Ratu Reinny yang
dimakamkan di sana.
Erland mengijinkan wanita itu pergi bersama beberapa pelayan. Ia berharap Hannah menemukan
Altamyra di sana.
Sebulan setelah kepergiannya, Hannah kembali dengan lesu.
Altamyra tidak ada di desa Marshwillow. Penduduk desa berkata setelah mereka pergi dengan kereta
emas tujuh bulan lalu, Altamyra tidak pernah kembali. Bahkan, mereka bertanya bagaimana keadaan
gadis itu.
Hilang sudah satu kemungkinan.
Erland tidak tahu lagi di mana Altamyra berada.
Andai ia berada di Castil Quarlt'arth untuk menemani rakyatnya, pelayan di sana pasti telah melaporkan.
Andai ia tinggal di antara rakyat, pasti terdengar beritanya.
Altamyra adalah gadis yang menarik dan selalu bersinar terang. Ia adalah bintang di antara lautan
manusia. Di mana pun ia berada, ia pasti akan membawa anugerahnya yang mengejutkan.
Vandella sangat luas. Vandella mempunyai banyak kota dan desa. Banyak tempat yang harus didatangi
untuk menemukan Altamyra.
Berkat Altamyra, Vandella mengalami banyak kemajuan. Pemerintahan Erland terasa lebih tenang
daripada pemerintahan Altamyra. Perubahan-perubahan yang harus dilakukan, telah diselesaikan
Altamyra hanya dalam satu bulan pemerintahannya.
Sekarang Erland tidak sesibuk Altamyra. Setiap hari ia hanya duduk menanti laporan dari seluruh
pejabat Vandella.
Altamyra telah mengatur semuanya serapi mungkin hingga tidak ada yang harus diperbaiki Erland.
“Ratu sangat pandai. Semua yang dilakukannya tidak ada yang salah. Sedikitpun tidak ada kesalahan.
Tidak ada tindakannya yang perlu diperbaiki. Semuanya sempurna,” kata Ludwick padanya.
Erland sependapat dengan Ludwick.
Altamyra meninggalkan berkas-berkas perubahan yang dilakukan selama sebulan. Erland tidak perlu
bertanya pada orang lain mengenai sebulan pemerintahan gadis itu. Altamyra menuliskan semuanya
dengan rapi dan jelas.
Tidak ada yang kurang pada semua tindakan Altamyra. Semuanya rapi dan sempurna.
“Kepergiannya pun sempurna,” gumam Erland pada suatu saat.
Erland merasa putus asa untuk menemukan Altamyra. Semua daerah di kerajaan ini telah diperiksa
tetapi Altamyra tidak ada di antara mereka.
Erland khawatir Altamyra pergi ke luar negeri bersama pria lain. Erland tidak dapat membayangkan
kemungkinan terburuk yang ditakutinya itu. Kemungkinan terburuk lainnya yang pernah terlintas di pikiran
Erland adalah Altamyra meninggal setelah meninggalkan Istana.
Dengan tubuh yang sangat lemah seperti itu dan dengan luka di paru-paru, bagaimana Altamyra dapat
bertahan di udara yang buruk ini.
Pergantian musim panas ke musim gugur di Vandella bukanlah cuaca yang bersahabat. Di saat terang,
hujan bisa tiba-tiba turun dengan deras. Udara siang hari sangat menyengat dan udara malam dingin
membekukan tulang.
Di manapun Altamyra berada, Erland yakin gadis itu tahu bagaimana kegalauan rakyat Vandella.
Bagaimana rakyat Vandella merindukan bidadari mereka yang penuh cinta kasih.
“Akhirnya kita sampai juga,” kata Fred lega, “Enam bulan meninggalkan tempat ini, rasanya seperti
meninggalkannya selama setahun.”
Erland tidak berkata apa-apa.
Tujuh bulan telah berlalu sejak kepergian Altamyra yang mengejutkan. Belum pernah Erland merasakan tujuh bulanberlaluselama ini. Satu hari terasa bagai neraka yang menyiksanya. Ia selalu merasakan
Altamyra berada di sekitarnya tetapi gadis itu tidak ada. Hanya wangi tubuhnya yang terus tercium di
seluruh pelosok Istana Azzereath terutama di Kamar Tidur Utama.
“Selamat datang, Paduka,” sambut rakyat Lasdorf.
“Anda pergi baru tujuh bulan tetapi terasa bertahun-tahun bagi kami,” kata Jemmy, “Kami turut senang
akhirnya Anda berhasil mendapatkan apa yang Anda inginkan.”
“Terima kasih,” kata Erland tetapi hatinya berteriak, “Aku belum mendapatkan apa yang kuinginkan.
Aku kehilangan dia.”
“Tempat ini telah banyak berubah dari yang kuingat,” kata Fred.
“Tentu saja,” sahut Kana, “Sejak engkau menemani Pangeran ke Istana Azzereath, engkau tidak pernah
kembali walaupun untuk menengok kami. Sekarang engkau menjadi sombong. Karena tinggal di Istana
yang mewah, engkau tidak mau kembali ke tempat yang terpencil ini.”
“Aku juga ingin kembali sejak dulu tetapi aku harus menemani Pangeran,” jawab Fred, “Banyak yang
harus diselesaikan sebelum kami bisa ke sini.”
“Bukankah semua telah diselesaikan Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra?” tanya Kana keheranan.
“Engkau benar, Kana,” jawab Erland, “Tetapi aku masih mempunyai banyak tugas.”
“Tugas seorang raja selalu menumpuk,” Fred menjelaskan.
“Bagaimana keadaan kalian? Aku melihat kehidupan kalian semakin membaik. Aku sudah melihat
pondok-pondok kayu di sekitar rumahku.”
“Kehidupan kami terus membaik sejak Rara memberi kami mesin pintal dan sejak Yang Mulia Paduka
Ratu Altamyra memperbaiki kerajaan ini,” jawab Jemmy.
Erland tersenyum.
Penduduk Lasdorf yang dulu paling membenci Raja Wolve, masih mengingat putri serigala itu. Bahkan,
mereka selalu menyebutnya dengan gelarnya yang lengkap, Yang Mulia Paduka Ratu. Pasti mereka akan
semakin menyanjung Altamyra bila mereka tahu Yang Mulia Paduka Ratu mereka adalah Rara dan Rara
adalah Yang Mulia Paduka Ratu mereka.
“Sejak Anda meninggalkan kami, telah banyak perubahan yang terjadi di sini.”
“Aku telah melihatnya, Giorgio. Aku senang kehidupan kalian menjadi lebih baik.”
Pohon-pohon mulai menghijau. Dedaunan mulai terbangun dari tidurnya yang panjang selama musim
dingin. Beberapa tetes salju yang belum mencair di awal musim semi, tampak bersinar tertimpa sinar
matahari.
Udara yang sejuk mengelilingi tempat ini. Kabut putih tipis menyelimuti hutan tetapi tidak menghalangi
tiap orang untuk melihat apa yang tersembunyi di balik kabut itu.
Erland melihat tenda-tenda lapuk yang dulu mengelilingi rumah peninggalan orang tuanya telah
berkurang. Sebagai gantinya, telah muncul pondok-pondok kayu kecil. Asap dari pondok itu terus
membumbung tinggi ke angkasa.
Erland merindukan saat-saat bersama Altamyra di tempat ini. Walau mereka sering bertengkar, Erland
menyukai dan sangat menikmatinya.
Tiba-tiba Erland bertanya, “Mengapa kalian tidak turun gunung? Dulu kalian tinggal di sini untuk
menghindari kekejaman Raja Wolve. Sekarang Vandella telah membaik. Mengapa kalian tetap
mengucilkan diri di sini?”
“Banyak di antara kami yang tinggal di sini selama bertahun-tahun bersama orang tua Anda. Banyak di
antara kami yang lahir dan dibesarkan di tempat ini. Bagi kami, tempat ini adalah tanah air kami. Di sini
tersimpan kenangan kami.”
Di sini tersimpan pula kenangan Erland bersama Altamyra.
“Apakah rumahku juga berubah?” tanya Erland.
Erland memasuki rumah yang telah lama ditinggalkannya.
“Sudah kukatakan hanya aku yang bisa melakukannya. Mengapa kalian tidak percaya?”
Erland terpaku mendengar suara itu. Suara itu…
“Biar aku yang mengerjakannya.”
Erland berlari ke belakang rumahnya.
Seorang gadis duduk di kursi. Tubuhnya terbalut gaun nila yang tebal. Selimut yang tebal menutupi
kakinya. Ujung-ujung selimut seperti berlomba dengan ujung gaunnya. Rambutnya yang keemasan
menutupi wajahnya yang menunduk pada sulaman di tangannya.
Tangannya dengan terampil menyulam. Beberapa gadis duduk di sekelilingnya dan memperhatikannya
dengan cermat.
Seperti menyadari sedang diperhatikan, gadis itu mengangkat kepalanya. Ia tidak tampak terkejut
melihat Erland dan rombongannya. Dengan senyum manis, ia berkata, “Selamat siang.”
“YANG MULIA PADUKA RATU ALTAMYRA!!!” pekik Ludwick terkejut.
Semua orang di tempat itu terkejut.
“Rara adalah…,” kata Kana tak percaya.
“Rara adalah Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” Jemmy meneruskan dengan takjub.
“Dia…dia…Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra?” tanya Cirra tak percaya.
Erland terus menatap Altamyra lekat-lekat.
Altamyra tidak mempedulikan suasana sekelilingnya. “Bagaimana keadaan keluargamu, Ludwick?”
“Mereka baik-baik saja, Paduka. Kami semua baik-baik saja.”
“Sampaikan salamku pada mereka.”
“Tentu, Paduka.”
Kana melihat pandangan Erland terpaku pada Altamyra. “Sebaiknya kita pergi,” katanya tiba-tiba,
“Rara… eh… Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra harus beristirahat. Sekarang sudah waktunya dia
tidur.”
Fred segera menangkap maksud Kana. “Ayo pergi,” usirnya, “Banyak yang harus kita tunjukkan pada
para Menteri ini. Mereka tentu ingin tahu bagaimana kehidupan kita selama pemerintahan Raja Wolve.”
Para Menteri pun merasakan suasana di antara Erland dan Altamyra. Tanpa menunggu disuruh dua kali,
mereka segera pergi.
Fred tahu Cirra takkan mau meninggalkan Erland berduaan dengan Altamyra. Ia segera menarik pergi
wanita itu.
Erland mendekati Altamyra. “Apa yang kaulakukan di sini?” ia bertanya dengan suara dinginnya.
“Mengikuti nasehat dokter,” jawab Altamyra tenang, “Bagaimana pemerintahanmu?”
“Semua lancar seperti yang kaukatakan. Para Menteri menuruti semua kata-kataku.”
Erland terus menatap Altamyra lekat-lekat.
Jantung Altamyra berdebar-debar melihat cara Erland memandangnya. Matanya terlihat lega. Pria itu
seperti telah kehilangan semua beban hidupnya.
Mereka membisu dan saling menatap.
Tiba-tiba Erland memeluk Altamyra kuat-kuat hingga gadis itu merasa dadanya sakit. “Engkau membuat
dadaku sakit, Erland.”
“Engkau patut mendapatkannya setelah membuat seluruh Vandella khawatir terutama aku.”
“Kana akan marah bila lukaku terbuka kembali.”
Teringat luka di dada gadis itu, Erland melonggarkan pelukannya tetapi tidak melepaskan gadis itu.
“Bagaimana lukamu?”
“Lukaku telah lama sembuh.”
Erland menatap Altamyra penuh curiga.
“Engkau tidak percaya?” tanya Altamyra, “Engkau ingin melihatnya?”
Tiba-tiba wajah Altamyra memerah menyadari apa yang diucapkannya. Ia akan seperti gadis murahan
bila membuka tubuhnya walau untuk menunjukkan lukanya yang telah sembuh.
“Engkau tidak boleh melihatnya,” Altamyra memperbaiki ucapannya, “Engkau harus mempercayaiku.”
Erland tertawa geli melihat wajah yang memerah itu. “Mengapa tidak?” godanya.
“Karena itu tidak sopan,” Altamyra menjawab tegas.
“Tak kusangka kau masih mengerti adat, setan cilik.”
“Kau!?” suara Altamyra meninggi. “Apakah kau datang untuk mencari pertengkaran baru?”
Erland tersenyum nakal.
Altamyra menghela nafas. “Sudahlah. Aku tidak ingin merusak masa-masa tenangku.”
“Secara agama, aku adalah suamimu. Engkau ingat?”
Seketika Altamyra murung.
Erland mendekap Altamyra semakin dekat dengan tubuhnya. “Engkau membuatku sangat cemas. Tidak
pernah aku secemas ini dalam hidupku.”
“Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak mengkhawatirkan aku.”
“Engkau terluka ketika engkau pergi, Altamyra,” Erland mengingatkan. “Bagaimana engkau bisa sampai
ke sini?”
“Dengan kereta,” jawab Altamyra singkat.
Erland melihat bayang-bayang sekelompok orang di samping rumah. Ia mengangkat Altamyra.
“Apa yang kaulakukan?” tanya Altamyra panik.
“Aku pernah mengatakan padamu tempat yang paling aman untuk berbicara adalah di kamarku,” bisik
Erland di telinga gadis itu.
Altamyra melingkarkan tangannya di leher Erland tanpa berkata apa-apa.
Erland membaringkan Altamyra di tempat tidur lalu melihat sekeliling ruangan. “Engkau tidur di tempat
ini?”
“Kana yang menyuruhku. Katanya, aku bisa semakin gawat kalau tidur di luar sana. Ia juga berkata
engkau tidak akan marah karena istrimu tidur di sini.”
Erland menutup matanya. “Di sini tercium wangimu.”
“Wangi?”
Erland membaringkan diri di sisi Altamyra dan menarik tubuh gadis itu merapat.
“Erland…,”protes Altamyra terhenti oleh ciuman lembut Erland.
“Sudah sejak lama aku ingin seperti ini,” Erland tersenyum tanpa merasa bersalah, “Aku selalu ingin
memelukmu sepanjang malam dan mencium wangi tubuhmu yang segar.”
Altamyra diam membisu.
“Di Kamar Tidur Utama selalu tercium wangimu. Tiap kali aku berbaring di ranjang, aku selalu teringat
padamu. Aku selalu mencemaskanmu, Altamyra.”
“Aku telah mengatakan padamu untuk tidak mencemaskanmu,” Altamyra mengulangi.
“Siapa yang tidak cemas ketika engkau pergi tiba-tiba dengan keadaan seperti itu!? Engkau pergi tanpa
memberitahu siapapun. Engkau menghilang bersama angin.”
“Tidak,” bantah Altamyra.
Erland menatap Altamyra lekat-lekat. Matanya bersinar tidak percaya.
“Aku memberitahu Ludwick kalau aku akan pergi untuk memulihkan kesehatanku.”
“Pantas saja,” gumam Erland. “Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?”
Altamyra kebingungan.
“Semua orang bingung dan cemas ketika engkau pergi, tetapi Ludwick tetap terlihat tenang. Ia sering
menasehatiku untuk tidak mengkhawatirkan apa pun.” Erland menjelaskan.
“Ia sudah tahu tetapi ia diam saja,” geram Erland tiba-tiba. “Apakah ia tidak dapat melihat kecemasan
rakyat? Kecemasanku!?”
“Ia tidak bersalah,” bela Altamyra, “Aku menyuruhnya untuk tutup mulut.”
“Seharusnya aku tahu kalian bersekongkol untuk menipuku,” Erland menenggelamkan wajahnya di
rambut Altamyra, “Engkau membuatku hampir gila karena mencemaskan kesehatanmu.”
Erland membelai rambut Altamyra. Dari gerakannya, suaranya terlihat ia merasa lega dan bahagia karena
dapat memeluk Altamyra kembali.
“Aku khawatir engkau tidak dapat bertahan dalam cuaca yang buruk ini. Hannah mengatakan engkau
pernah bersumpah akan kembali ke Marshwillow tak lama setelah engkau pergi ke Vandella. Ia mengira engkau kembali ke sana tetapi ia tidak menemukanmu. Penduduk mengatakan tidak pernah melihatmu
sejak engkau meninggalkan tempat itu.”
“Aku berencana untuk kembali ke Marshwillow.”
“Kau gila!” pekik Erland, “Apakah engkau tidak memikirkan kesehatanmu!? Saat itu engkau sekarat.”
“Aku tahu kejamnya laut di musim gugur. Aku tahu aku tidak dapat bertahan bila memaksa kembali ke
Marshwillow. Karena itu aku memutuskan pergi ke Lasdorf. Aku berencana memulihkan kesehatanku di
sini. Setelah itu aku akan pergi ke Marshwillow.”
“Apakah engkau tidak dapat berpikir lagi, gadis bodoh?” tanya Erland heran, “Apakah engkau tidak
tahu bagaimana kondisimu saat itu? Engkau tidak sanggup untuk berjalan selangkahpun. Aku melihatmu
digendong Kincaid.”
“Saat itu aku tidak sanggup, tetapi sekarang aku sanggup. Engkau ingin tahu?” Altamyra beranjak
bangkit.
“Tidak,” Erland menarik tubuh Altamyra. “Saat ini aku ingin tahu bagaimana engkau bisa sampai ke sini
dan tanpa seorangpun yang melihat kepergianmu. Engkau tidak tidur saat pelayan meninggalkanmu?”
“Tidak,” kata Altamyra, “Mereka memberiku obat tidur seperti pesan dokter. Obat tidur bisa
membuatku tenang tetapi tidak selama yang diharapkan. Aku selalu terjaga di tengah malam. Malam itu
aku segera berkemas dan meninggalkan Istana. Tidak seorangpun yang dapat melihatku karena aku pergi
dengan mengenakan mantel hitam. Aku meninggalkan Istana melalui pintu belakang.”
“Pintu belakang?”
“Azzereath mempunyai pintu belakang. Pintu itu selalu tertutup dan hanya digunakan pada keadaan
darurat. Pintu itu tidak pernah dijaga oleh prajurit.”
“Sekarang aku mengerti bagaimana engkau bisa pergi tanpa meninggalkan jejak.”
Altamyra melanjutkan ceritanya, “Setelah itu aku menuju Perenolde. Di sana aku menyewa kereta
kuda.”
“Engkau sungguh tidak bisa dimaafkan, Altamyra. Engkau tahu tubuhmu lemah tetapi engkau
memaksakan diri untuk berjalan ke Perenolde,” gumam Erland, “Aku bersyukur jarak Azzereath dan
Perenolde tidak jauh.”
“Engkau tidak perlu khawatir. Aku berjalan pelan-pelan sehingga aku tidak terlalu menyakiti dadaku.”
Tiba-tiba Erland teringat sesuatu. “Kereta kuda hanya bisa mengantarmu ke Thamasha. Bagaimana
engkau ke tempat ini? Engkau…”
“Kau terlalu mengkhawatirkan aku,” Altamyramenjelaskan dengan lembut, “Aku meminta kusir
mengantarku hingga di tepi hutan. Di sana, pasukanmu melihatku. Mereka melihat keadaanku dan segera
membawaku ke sini.”
Altamyra tidak akan lupa bagaimana pasukan Erland cepat-cepat mendatanginya ketika ia turun dari
kereta dengan dipapah kusir kereta. Mereka tampak sangat cemas melihat tubuhnya yang limbung dan hampir jatuh. Tanpa banyak bertanya, seorang dari mereka menggendongnya membawanya ke Lasdorf.
Sedangkan yang lain segera kembali untuk menyiapkan tempat tidur.
Semua wanita segera menyambut kedatangannya. Semua orang mencemaskan keadaannya yang sangat
lemah.
Nafasnya tersenggal-senggal. Wajahnya putih pucat dan tubuhnya demam.
“Cepat bawa dia ke kamar Pangeran!” seru Kana.
Beberapa wanita segera melepaskan mantelnya dan menyelimutinya dengan selimut tebal yang hangat.
Beberapa wanita yang lain sibuk mengompres dahinya.
Altamyra terlalu lemah untuk membuka matanya. Ia memandang wajah-wajah cemas itu melalui celah
kedua matanya.
Tiba-tiba Altamyra merasa tubuhnya diangkat dan suatu cairan yang pahit dimasukkan ke mulutnya.
Altamyra tidak melawan, ia meminumnya walau ia tidak menyukai rasanya yang sangat pahit.
Wanita itu membaringkannya kembali setelahnya. “Tidurlah. Besok engkau pasti merasa lebih baik.”
Melalui celah matanya, Altamyra memandang wajah Kana lalu jatuh tertidur.
“Aku sangat berterima kasih pada Kana,” kata Altamyra, “Aku tidak tahu ia pandai meramu obat.
Berkat obat-obatannya, lukaku sembuh dan kesehatanku membaik.”
“Sejak dulu Kana memang pandai meramu obat. Ia menjadi tabib di sini,” Erland menjelaskan.
“Ia telah menyelamatkanku. Aku tidak akan bisa melupakan tindakannya.”
“Bagaimanapun juga, aku tetap mencemaskanmu.”
“Engkau mencemaskanku dari Cirra?” selidik Altamyra. “Engkau tidak perlu mengkhawatirkan wanita
itu. Sejak aku tiba di sini, Kana memperlakukanku dengan istimewa. Ia selalu menjagaku dari terutama
Cirra. Setiap kali Cirra mendekatiku, ia segera mengusir wanita itu. Setiap saat ia selalu berada di sisiku
untuk mencegah aku melakukan hal-hal yang dapat membuat lukaku semakin parah.”
Altamyra tersenyum geli teringat sikap Kana yang melebihi Hannah. “Ia hanya mengijinkan aku
menyulam. Sepanjang musim dingin, ia mengurungku di kamar. Ia menghidupkan perapian dan
memberiku baju yang sangat tebal. Ia menyelimutiku dengan selimut yang tebal pula. Setiap saat orang
banyak berkumpul di kamarku dan membuat aku merasa kepanasan.”
“Ia berusaha membuatmu selalu merasa hangat.”
“Aku tahu,” kata Altamyra, “Setelah musim dingin selesai, tiap pagi ia membawaku ke bawah. Ia
mengatakan udara pagi yang segar baik untuk paru-paruku. Ia sangat menjagaku. Berkat dia, lukaku
benar-benar sembuh. Paru-paruku telah sembuh. Sekarang aku dalam masa pemulihan.”
“Siapa yang menggendongmu?”
Altamyra tidak mengerti pertanyaan Erland.
“Saat itu engkau tidak sanggup berjalan,” Erland mengingatkan.
“Tidak,” bantah Altamyra, “Aku sanggup berjalan tetapi aku tidak dapat berjalan jauh. Baru beberapa
langkah, nafasku telah tersenggal-senggal.”
“Siapa yang menggendongmu!?” Erland mengulangi pertanyaannya dengan memaksa.
Erland tidak mau Altamyra dekat dengan pria lain. Ketika melihat Kincaid menggendong Altamyra, ia
tidak cemburu. Kincaid terlalu tua untuk Altamyra, tetapi di sini?
“Giorgio yang menggendongku. Kana menyuruhnya selalu membantuku untuk pergi dari satu tempat ke
tempat lain. Selain Giorgio, Kana tidak mengijinkan pria lain mendekatiku. Bagi Kana, aku adalah istrimu
dan ia menjagaku dari pria lain yang berusaha merebutku darimu.”
Erland lega mendengarnya. Ia merasa beruntung telah memilih Kana sebagai penggiring wanita Altamyra.
“Kana mengatakan sekarang waktunya engkau tidur,” Erland tiba-tiba bangkit.
“Setiap hari pada saat ini, Kana memberiku obat dan menyuruhku tidur.”
“Di mana obatnya?”
Altamyra tidak mengerti permintaan pria itu, tetapi ia tetap menjawab pertanyaan itu. “Kana
meletakkannya di meja kerjamu.”
Erland menuju meja itu kemudian kembali ke sisi Altamyra dengan obat di tangannya. Erland membantu
Altamyra duduk lalu menyuapkan obat itu. Erland membaringkan Altamyra sebelum meletakkan gelas di
meja kerja.
Altamyra kebingungan melihat sikap Erland.
Erland berbaring di sisi Altamyra dan memeluk gadis itu.
Altamyra terkejut. “Erland!”
Lagi-lagi Erland menghentikan protes Altamyra dengan ciuman lembutnya. “Tidurlah,” katanya setengah
berbisik.
Obat yang dibuat Kana untuk Altamyra, selalu membuat gadis itu mengantuk. Dalam waktu singkat ia
telah jatuh tertidur.
Altamyra bahagia. Tangan-tangan kekar Erland terasa terus melingkari tubuhnya. Dada pria itu terasa
hangat dan membuatnya terasa sangat tenang. Altamyra yakin ia bisa tidur lama dalam pelukan pria itu.
Ketika Giorgio memberitahu Erland akan datang, Altamyra tahu pria itu akan terkejut melihatnya.
Tetapi, ia tidak menduga Erland akan memeluknya seperti ini.
Sejak meninggalkan Istana, Altamyra tidak berharap dapat bertemu Erland lagi. Ia yakin Erland akan
menemukan wanita lain yang akan dicintainya sepanjang hidupnya. Di Istana banyak berkeliaran
wanita-wanita cantik. Tamu-tamu wanita yang cantik juga banyak.
Hidup Erland di Azzereath dikelilingi oleh kemewahan dan wanita-wanita cantik. Pria itu akan cepat
melupakannya dan pernikahan mereka yang aneh. Hingga kini Altamyra sering bingung apakah ia sudah
menjadi istri Erland atau belum. Altamyra tahu ia mencintai pria itu dan akan terus mencintai pria itu
sepanjang hidupnya.
Setelah semua ini selesai, Altamyra ingin kembali ke Marshwillow. Ia akan hidup di dekat ibunya dengan
cintanya kepada Erland dan rakyat Vandella. Dari jauh ia akan terus memperhatikan mereka.
Tiba-tiba Altamyra merasa tubuhnya seperti diguncang-guncang. Ia membuka matanya.
Erland menunduk. “Engkau sudah bangun?”
Altamyra melihat ruangan sempit itu dengan kebingungan. Beberapa saat kemudian ia terpekik kaget.
“ERLAND!!”
Erland tersenyum tak bersalah.
“Engkau akan membawaku ke mana?”
“Aku akan membawamu kembali ke Istana.”
“Aku tidak ingin kembali,” kata Altamyra tegas.
“Aku tahu engkau ingin ke Marshwillow,” kata Erland dingin, “Setelah engkau menipuku, apakah aku
akan membiarkanmu pergi lagi? Kaupikir aku tidak tahu engkau sengaja bersembunyi di Lasdorf selama
beberapa bulan agar tidak seorangpun yakin engkau kembali ke Marshwillow. Setelah aku memeriksa
tempat itu, engkau akan segera ke sana dan hidup dengan tenang.”
“Aku tidak menipumu, Erland. Aku melakukan apa yang harus kulakukan.”
“Apa!?” tukas Erland ketus.
“Menjauhimu.”
“Mengapa?” suara Erland berubah menjadi lembut.
“Karena aku tahu engkau membenciku. Engkau tidak dapat melihatku tanpa kebencian walau hanya
sedetik. Engkau tidak tahan melihatku.”
Erland terus menatap Altamyra.
“Matamu saat kita bertemu menunjukkan kebencianmu padaku. Saat melihatnya, aku tahu engkau tidak
dapat memaafkanku. Engkau membenciku dari lubuk hatimu yang terdalam,” kata Altamyra dengan
sedih. “Engkau adalah burung rajawali yang selalu terbang bebas. Aku tidak ingin mengikatmu dengan
kebencianmu kepadaku. Aku tahu bila aku pergi, engkau lebih mudah melupakan aku.”
“Mengapa engkau tega meninggalkan rakyat Vandella dalam kecemasan? Apakah engkau tidak melihat
kecemasan kami?”
Sering Altamyra mendengar pertanyaan itu. Setiap hari, setiap saat Giorgio memberinya pertanyaan yang
sama. Altamyra selalu memberi jawaban yang sama,
“Aku melihatnya. Aku mengetahuinya dan aku merasakan kecemasan kalian. Tetapi, aku tidak bisa
kembali pada kalian. Tugasku membenahi semua pemerintahan ayahku telah selesai. Aku telah
menemukan orang yang tepat untuk memerintah Vandella. Aku tidak dapat melupakan kalian tetapi aku
tidak dapat berada di sisi kalian selamanya. Aku tidak mempunyai masa depan tetapi kalian mempunyai
masa depan yang panjang yang harus terus kuperjuangkan.”
“Orang yang tepat?”
“Ya, engkaulah orang yang tepat untuk memerintah Vandella. Aku telah mengujimu dan engkau telah
melewatinya.”
Erland keheranan. “Aku tidak pernah merasa diuji.”
“Engkau tidak menyadarinya. Aku terus menghinamu bukan tanpa alasan. Saat itu aku marah tetapi aku
juga sedang mengujimu. Aku senang engkau mendengarkan semua kata-kataku dan merubah dirimu.
Saat itu aku tahu engkau akan menjadi raja yang baik untuk Vandella.”
“Engkau luar biasa,” seru Erland kagum, “Engkau adalah gadis yang selalu membuatku terpesona.”
Altamyra memejamkan matanya.
“Aku akan membawamu ke Azzereath sebagai istriku dan tidak akan ada pria yang merebutmu dariku,
gadisku yang mempesona.”
Tubuh Altamyra membeku. “Apa tujuanmu kali ini?”
“Tujuan?” Erland keheranan.
“Dulu engkau memaksaku menikah denganmu karena engkau ingin menggalang kekuatan. Saat itu aku
setuju setelah kupikir pernikahanku denganmu akan membawa kedamaian bagi Vandella. Sekarang aku
bukan Ratu Vandella lagi. Engkau juga telah menjadi Raja Vandella. Aku mencintaimu melebihi apapun
di dunia ini tetapi engkau memanfaatkan aku.”
Erland menatap Altamyra lekat-lekat. Ia tidak percaya akan apa yang didengarnya.
“Engkau membenciku. Jangan menikahiku atas dasar kebencian itu,”mataAltamyraberkaca-kaca,
“Kembalikanlah aku ke Lasdorf dan biarkan aku hidup tenang.”
“Aku lebih membenci diriku sendiri setelah engkau pergi,” Erlandmencium mata yang basah itu dan
membelai rambut Altamyra dengan penuh kasih sayang, “Aku mencintaimu melebihi apa pun di dunia ini.”
“Kupikir engkau mencintai Cirra.”
“Gadis bodoh,” kata Erland lembut, “Bagaimana aku bisa mencintai wanita lain bila seluruh cintaku telah
tercurah untukmu.”
“Engkau dan Cirra dibesarkan bersama-sama di tempat ini. Sejak kecil kalian adalah teman.”
“Tetapi Cirra tidak semenarik dirimu. Tidak ada yang lebih menarik daripada engkau di dunia ini.
Engkau adalah bintang yang selalu bersinar di hatiku. Lebih cantik dari siapa pun.”
“Engkau adalah burung rajawali agungku yang gagah perkasa.”
“Aku takkan terbang tanpamu. Aku ingin engkau selalu berada di sisiku. Aku telah menemukanmu dan
aku tidak akan melepaskanmu lagi. Aku akan selalu memelukmu agar engkau tidak bisa meninggalkanku
lagi. Semeter pun aku tidak akan membiarkan.”
Tiba-tiba Altamyra tertawa geli. “Jangan terlalu yakin, Erland. Aku yakin engkau tidak akan membiarkan
aku ikut denganmu bila engkau sedang rapat.”
“Engkau benar. Aku tidak akan membiarkan engkau menyibukkan diri dengan urusan pemerintahan dan
aku akan selalu mengawasimu agar tidak meninggalkan Azzereath tanpa aku.”
“Aku akan sangat bosan.”
“Aku akan memberimupekerjaan yang akan membuatmu senang.”
“Apa itu?” tanya Altamyra tertarik.
Erland mendekatkan bibirnya ke telinga Altamyra dan membisikkan sesuatu.
Wajah Altamyra memerah.
Erland tertawa. “Aku telah berkata aku akan membawamu kembali ke Azzereath sebagai istriku. Aku
akan mengadakan pesta besar dan mengundang setiap orang agar mereka tahu bidadari ini adalah
milikku, rajawali yang gagah perkasa.”
“Engkau keterlaluan!”
“Aku akan memberimu banyak tugas yang harus kaujaga dan kaurawat tiap hari.”
“Aku pasti akan selalu memperhatikan mereka. Aku pasti akan melupakanmu,” goda Altamyra.
Erland tiba-tiba bersikap serius. “Kalau engkau lebih memperhatikan anak kita lebih daripada aku, aku
akan sangat cemburu,” katanya tajam.
Altamyra tersenyum nakal. “Aku takkan meninggalkan burung rajawaliku yang gagah perkasa. Aku akan
menjadi bintangmu yang selalu bersinar di hatimu,” katanya berjanji.
Beberapa meter di belakang kereta kuda Erland dan Altamyra, Noah berkata,
“Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka? Beberapa saat lalu mereka seperti bertengkar sekarang
mereka tertawa.”
Merasa ditatap, Ludwick berkata, “Aku tidak tahu. Selama Ratu berada di Azzereath, aku sering
bersamanya tetapi ia tidak pernah mengatakan apapun tentang Raja Erland hingga rapat itu.”
“Apapun yang terjadi di antara mereka, aku merasa mereka cocok,” sahut Danilo.
“Dari dulu mereka memang cocok. Banyak yang mengharapkan Ratu menikah dengan Raja Erland,
tetapi Ratu memberikan tahta pada Raja dan ia pergi.”
“Menurutmu, mengapa Raja memaksa membawa Ratu sebelum Ratu bangun?”
“Aku tidak punya ide tentang itu.”
“Apakah menurutmu Raja mencintai Ratu?”
“Tidak mungkin.”
“Mungkin saja, Noah. Jangan lupa Ratu pernah tinggal di Lasdorf selama dua bulan. Ratu adalah gadis
yang menarik, tak mungkin Raja tidak jatuh cinta padanya. Andai aku masih muda, aku juga akan jatuh
cinta pada Ratu.”
“Aku kagum pada Ratu. Menurutku, penduduk Lasdorf mengalami kemajuan seperti yang dikatakan
Tuan Fred, karena Ratu. Aku yakin Ratu yang mengatur semua pembangunan pondok-pondok itu.”
“Aku juga berpikir seperti itu,” Ludwick setuju, “Tidak ada yang dapat membuat perubahan besar
secepat itu selain Paduka Ratu Altamyra.”
“Semua orang pasti terkejut dengan kembalinya Ratu.”
“Pasti, Noah,” kata Ludwick dan Danilo bersamaan.
-----0-----
“Jangan berisik!” desis Erland.
Altamyra merajuk. “Aku ingin duduk sendiri. Aku tidak ingin terus dipangku.”
“Engkau tidak suka duduk di pangkuanku?” selidik Erland.
“Aku tidak ingin membuat engkau lelah.”
“Walaupun lelah, aku suka memangkumu terus. Kalau engkau tidak kupangku, aku khawatir engkau
kabur.”
“Hatiku telah bersamamu, bagaimana aku bisa pergi meninggalkanmu?”
Erland tersenyum. “Kalau engkau, aku yakin bisa, setan cilik.”
Altamyra memasang muka masam.
Erland ingin tertawa tetapi ia menahannya. Ia berencana membuat semua orang di Azzereath terkejut
dengan kemunculan Altamyra.
Setelah membawa pulang Altamyra, Erland sengaja tidak memberi kabar apapun pada orang-orang di
Istana maupun pada rakyat Vandella. Erland melarang seorangpun mengatakan Altamyra telah
ditemukan.
“Ia suka memberi kejutan. Aku ingin kemunculannya ini mengejutkan seperti menghilangnya,” kata
Erland pada setiap orang yang ikut bersamanya.
Kereta memasuki halaman Istana semakin dalam.
Seluruh penghuni Istana telah berdiri di depan pintu masuk untuk menyambut kedatangan Erland.
Erland turun kemudian mengulurkan tangan ke dalam kereta. “Kemarilah, sayang.”
Semua memandang ingin tahu. Siapakah gadis yang dibawa kembali oleh Raja mereka?
Hannah murung. Ia ingin melihat Altamyra menikah dengan Erland tetapi rupanya pria itu telah
menemukan wanita lain. Menurutnya, Erland akan menjadi pria yang baik untuk Altamyra. Erland akan
dapat membahagiakan Altamyra.
Sepasang tangan putih terulur dari dalam kereta. Hannah terbelalak melihat rambut keemasan yang
menutupi wajah gadis itu. Rambut kuning seemas dan secerah itu hanya dimiliki seorang gadis. Gadis itu
adalah…
Gadis itu memandangnya dan tersenyum manis.
“Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra!” pekik semua orang.
Altamyra tersenyum dan menjatuhkan diri di pelukan Erland.
Erland membawa Altamyra menjauhi kereta kuda.
“Kami senang sekali dapat melihat Anda, Paduka.”
“Aku bukan Ratu kalian lagi,” kata Altamyra mengingatkan.
“Bagi mereka, engkau adalah Ratu mereka dan terus akan menjadi Ratu mereka,” kata Erland dan ia
berbisik dengan suara lembut, “Bagiku, engkau adalah Ratu yang selalu bersinar di hatiku.”
Altamyra tersenyum pada pria itu. Lalu ia meninggalkan pria itu dan mendekati orang-orang itu sambil
membentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
“Mengapa engkau tidak menyambutku seperti biasanya, Hannah? Mengapa kalian tidak menyambut
kedatanganku?”
Hannah berlari memeluk Altamyra. “Anda membuat saya khawatir, Paduka.”
Altamyra melihat Erland menatapnya lekat-lekat. Matanya seperti mengingatkannya pada kesalahannya.
Altamyra memberikan senyum tak bersalah pada pria itu.
“Anda pergi ke mana saja, Paduka? Saya mencari Anda di Marshwillow tetapi Anda tidak ada di sana.
Sebenarnya Anda ke mana?”
“Aku tidak ke mana-mana, Hannah.”
“Di mana Anda menemukan Ratu, Paduka?”
“Aku menemukannya di Lasdorf. Ia sangat pintar. Bersembunyi di tempat yang tidak mungkin
kupikirkan. Lalu setelah kita telah memeriksa Marshwillow, ia akan pergi ke sana.”
“Aku tidak begitu!” bantah Altamyra, “Aku ke Lasdorf karena aku ingin memulihkan kesehatanku. Aku
yakin udara di sana dapat mempercepat kesembuhan paru-paruku.”
“Mengakulah,” desak Erland, “Engkau ke sana karena ingin bersembunyi.”
Altamyra melepaskan Hannah dan mendekati Erland. Matanya menatap tajam pria itu. “Kalau aku ingin
bersembunyi, aku pasti telah berada di sana saat ini. Aku takkan berdiam diri di Lasdorf ketika tahu
engkau akan datang,” katanya tajam.
“Engkau sudah tahu?” tanya Erland keheranan.
“Giorgio memberitahuku,” jawab Altamyra, “Ia selalu memberi kabar padaku atas apa yang terjadi di
Vandella termasuk di sini.”
“Jadi, engkau tahu kami mencemaskanmu?”Erland berkata sinis.
“Sudah kukatakan aku mengetahuinya, engkau tidak mendengarkan dengan baik.”
“Aku harus menghukummu atas itu,” Erland berjanji.
“Tidak akan bisa!” sahut Altamyra.
Erland tersenyum kejam tetapi Altamyra tidak takut melihatnya.
Hannah merasa bersalah telah menimbulkan pertengkaran di antara dua orang itu. “Maafkan saya, saya
tidak bermaksud membuat Anda bertengkar.”
Fred tertawa geli. “Kau tidak bersalah, Hannah. Mereka sering bertengkar. Ketika mereka tinggal di
Lasdorf, setiap saat mereka bertengkar. Tanyalah mereka yang tinggal di Lasdorf kalau engkau tidak
percaya.”
“Kalau begitu sebaiknya saya menjauhkan Paduka Ratu dari Paduka Raja,” kata Hannah. Hannah
menarik Altamyra menjauh. “Saya tidak ingin Paduka Ratu disakiti Paduka Raja.”
Fred tertawa semakin keras melihat wajah masam Erland.
“Apakah Anda baik-baik saja selama perjalanan pulang?”
“Jangan cemas, Hannah. Kana telah memberiku bekal obat-obatan yang banyak. Ia pandai meramu
obat. Ia juga yang merawatku selama aku tinggal di Lasdorf.”
“Anda harus menceritakan pada saya semua yang telah terjadi.”
“Tentu.”
Sepanjang hari itu, Altamyra harus menghadapi berbagai macam pertanyaan dari semua orang. Tanpa
henti dan tanpa kenal lelah, ia menceritakan apa yang dilakukannya setelah pergi dari Istana Azzereath.
Semua orang ingin mengetahui cerita Altamyra. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian.
Altamyra merasa lelah terus bercerita tetapi ia tetap melakukannya. Altamyra tahu ia telah membuat
mereka semua cemas dan sudah seharusnya ia menceritakan semuanya agar mereka tidak cemas lagi.
Terlihat kelegaan yang luar biasa di mata mereka saat mereka memandang Altamyra.
Erland merasa keberadaan Altamyra menghidupkan kembali suasana Azzereath. Erland tahu gadis
bintangnya selalu menebarkan sinarnya yang memukau dan membuat orang tertarik.
“Malam ini engkau sangat cantik, Altamyra.”
Altamyra tersenyum. “Terima kasih.”
Untuk makan malam ini, ia mengenakan gaun sutranya yang paling indah. Ujung gaunnya yang berwarna
merah muda dihiasi renda-renda putih dan modelnya sangat manis. Warnanya yang cerah membuatnya
tampak semakin segar.
Erland duduk di sisi Altamyra. “Mereka tampak sangat senang melihatmu.”
“Aku melihatnya.”
Tiba-tiba Erland menarik Altamyra ke dalam pelukannya. “Aku juga sangat senang dapat memelukmu
seperti ini.”
Altamyra tidak melawan. Ia memejamkan matanya. “Aku merasa lelah.”
“Sepanjang hari ini engkau bercerita tanpa henti,” Erland mengingatkan, “Andai aku tidak membawamu
pergi, saat ini engkau masih berada di Ruang Duduk.”
Altamyra tersenyum geli teringat wajah geram Erland ketika pria itu memasuki Ruang Duduk. Tanpa
banyak berbicara, Erland membopongnya dan membawanya ke Kamar Tidur Utama di mana telah
pelayan-pelayan telah menanti kedatangannya.
“Mengapa engkau menyuruhku tidur di Kamar Tidur Utama?” tanya Altamyra, “Kamar itu adalah kamar
Raja Vandella. Sekarang engkaulah Raja Vandella, bukan aku.”
“Hingga hari ini rakyat menganggapmu sebagai Ratu mereka.”
Altamyra mengangkat kepalanya menatap wajah Erland. “Mereka juga menghormatimu sebagai Raja
mereka.”
“Tetapi aku merasa mereka lebih mencintaimu daripada aku.”
“Jangan berbicara seperti itu, Erland,” hibur Altamyra, “Mereka mencintaimu.”
“Mereka juga mencintaimu. Tetapi cinta mereka tidak sebesar cintaku padamu,” bisik Erland, “Tidak
ada yang boleh mencintaimu melebihi cintaku padamu. Tidak boleh ada yang kaucintai melebihi cintamu
padaku.”
Erland mencium Altamyra.
“Aku memberikan seluruh cintaku padamu, Erland, rajawaliku yang gagah perkasa.”
Erland kembali mencium Altamyra. Kali ini ia mencium gadis itu dengan penuh nafsu.
Altamyra merasa tubuhnya panas. Darahnya seperti mendidih. Tubuhnya terasa ringan seperti terbang ke
tempat yang sangat tinggi. Tangan-tangan kekar yang melingkar tubuhnya, membuatnya merasa
terlindungi.
Tiba-tiba Erland menghentikan ciumannya yang membara.
Altamyra menatap Erland dengan penuh rasa heran.
Erland tersenyum. Tangannya yang satu menelusuri wajah Altamyra dan tangannya yang lain memeluk
pinggang Altamyra erat-erat. “Aku ingin terus mencium dan memelukmu tetapi aku harus bersabar hingga
engkau menjadi istriku,” katanya.
“Bukankah aku telah menjadi istrimu?”
“Di Lasdorf, kita telah diresmikan menjadi suami istri oleh Pastor. Aku ingin dunia tahu engkau adalah
istriku. Aku ingin melakukan apa yang dulu seharusnya kulakukan. Aku akan mengadakan pesta besar
dan mengundang banyak orang. Semakin banyak orang yang datang, semakin banyak yang tahu engkau
adalah milikku.”
Altamyra mengulangi janji yang pernah diucapkannya pada Erland, “Aku takkan meninggalkan burung
rajawali agungku yang gagah perkasa. Aku akan menjadi bintangmu yang selalu bersinar di hatimu.
Selamanya.”
Tamat
Dipersembahkan untuk penggemar :http://dimhad.6te.net
Dipersembahkan untuk :http://dimhad.6te.net
Matahari bersinar terik. Sinarnya yang angkuh membuat udara sekitar menjadi panas tak tertahankan.
Altamyra telah terlindung dari panas yang menyengat itu, tapi sekujur tubuhnya tetap basah dan lengket
oleh keringat.
Dari jendela kereta, ia dapat melihat prajurit-prajurit yang mengawalnya. Altamyra heran. Dengan baju
besi yang tebal, mereka sama sekali tidak kepanasan. Di dalam ia merasa seperti berada di tungku
pemanas apalagi di luar.
Udara panas membuatnya jengkel. Semua orang di sekitarnya pasti mau mengipasi dirinya agar ia
merasa sejuk, tapi tetap saja percuma. Ia telah mengipasi dirinya dengan kipas bulunya, tapi yang
terkipas adalah udara panas.
Belum lagi bajunya yang tebal. Baju seindah ini selalu diimpikannya tapi tidak untuk saat ini.
Altamyra bersumpah bila ada yang memaksanya mengenakan baju bangsawan yang tebal di musim
panas, ia akan menolak mentah-mentah. Ia merasa heran mengapa gadis-gadis bangsawan mampu
mengenakan baju setebal ini di hari yang panas.
Beginilah kalau gadis miskin tiba-tiba mengenakan gaun indah yang berlapis-lapis. Ia terbiasa
mengenakan selapis gaun katun yang kasar. Di udara sepanas apa pun, ia merasa nyaman dengan
gaunnya. Sekarang ia benar-benar merasa tidak nyaman.
Kalau saat ini ia melihat danau atau sungai, ia pasti akan meloncat masuk tanpa berpikir panjang. Ia
benar-benar tersiksa dengan panas yang menyengat ini.
Altamyra merasa tertipu. Mereka berhasil membujuknya dan kini ia menderita karenanya.
Pinta mereka, “Kami mohon demi menyelamatkan…”
Altamyra mendengus kesal teringat kata ‘menyelamatkan’ itu. Siapa pun yang akan diselamatkannya, ia
tidak peduli lagi. Saat ini untuk menyelamatkan diri sendiri dari panas saja, ia tak mampu. Apalagi yang
lain!?
Demi kata itu pula ia rela meninggalkan tempatnya yang hijau permai dan subur ke daerah yang panas
seperti padang pasir ini. Di tempatnya, angin meniupkan daun-daun tetapi di sini debu saja yang terlihat.
Altamyra merasa sedikit beruntung mereka menggelung rambut pirangnya tinggi-tinggi. Kalau tidak, ia
yakin sekarang ia sudah menjadi manusia setengah matang di tungku matahari ini.
Kereta tiba-tiba berhenti.
Altamyra baru saja menduga para prajurit menemukan tempat yang sejuk untuk berteduh, ketika suara
gaduh itu terdengar di luar.
Suara pedang yang beradu itu membuat Altamyra cemas. Ia ingin meninggalkan kereta tapi pelayan di
sampingnya mencegah.
“Jangan lakukan itu! Di luar terlalu bahaya.”
Melalui jendela pintu kereta, Altamyra melihat pengawal-pengawalnya jatuh satu per satu. Mereka
semua bersimbah darah.
Tiba-tiba seseorang muncul di jendela dan mengejutkan mereka. Mulut orang itu berdarah dan ia
membelalak pada mereka. Perlahan-lahan orang itu jatuh ke bawah.
Pemandangan itu membuatnya tidak tahan lagi. Tanpa menghiraukan larangan, ia membuka pintu kereta
lebar-lebar dan melompat keluar.
Apa yang dilihatnya ternyata lebih mengerikan dari perkiraannya. Mayat-mayat bergelimpangan di
mana-mana. Darah merah yang segar membanjiri tanah.
“Masuklah kembali,” pelayan itu menariknya, “Di sini terlalu bahaya untuk…”
Mereka dikejutkan seseorang yang rubuh di dekat mereka.
Prajurit itu menarik ujung gaun Altamyra dan seperti hendak mengucapkan sesuatu. Belum sempat ia
mengatakannya, sebuah pedang telah menancap di punggungnya.
Ditatapnya dengan marah orang itu. “Beraninya engkau melakukan itu,” geram Altamyra, “Dasar tidak
punya belas kasihan!”
Pria itu tersenyum sinis.
Kemarahannya semakin memuncak. “Apakah menurutmu nyawa manusia itu sedemikian murahnya!?
Apakah bagimu nyawa itu tidak ada harganya!? Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkannya!?”
Pria itu terkejut melihat air mata gadis itu.
“Apakah engkau tidak dapat berpikir!? Bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkannya? Apakah kau
tidak dapat berpikir betapa sedihnya mereka kalau ia pulang hanya nama!?”
Dari atas kudanya, pria itu membungkuk. Tangannya terulur ke wajah Altamyra tapi ia menepisnya
dengan penuh kemarahan. Pria itu tertawa sinis.
Sang pelayan memegang lengan Altamyra dengan ketakutan. “Sebaiknya kita tidak membuatnya marah,”
bisiknya.
“Siapa yang mengatakan aku tidak punya belas kasihan?” pria itu berkata tajam, “Kalian beruntung, aku
tidak pernah membunuh anak-anak dan wanita.”
“Bagus kalau engkau menyadarinya!” balas Altamyra sinis.
Pria itu tersenyum simpul.
Altamyra terkejut tiba-tiba tubuhnya diangkat.
“Lepaskan aku!” serunya marah, “Aku tidak sudi kausentuh!”
Ia hanya tersenyum sinis menghadapi rontaan Altamyra. “Sekarang engkau tawananku.”
“Aku tak sudi menjadi tawanan pembunuh sepertimu!”
“Kembalilah pada keluarga majikanmu dan katakan putri mereka kini menjadi tawananku,” kata pria itu
sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Altamyra.
“Mundur!” perintah pria itu lalu ia membawa kudanya berlari ke dalam hutan.
Pelayan itu terpaku di tempatnya. Semua terjadi sangat cepat. Ia masih sukar mempercayai apa yang
baru saja dialaminya.
Gadis itu tiba-tiba diangkat ke kuda pria itu dan dibawa pergi sebagai tahanan. Dari kejauhan terlihat ia
terus meronta-ronta.
“Lepaskan aku!” bentaknya.
Pria itu tak bergeming. Ia terus memacu kudanya secepat mungkin menjauhi tempat perkelahian tadi.
“Lepaskan aku!”
“Sebaiknya engkau diam atau aku akan meninggalkanmu di sini.”
Altamyra tidak takut pada ancaman itu. Dengan lantang ia berkata, “Lebih baik ditinggal di sini daripada
duduk di dekat pembunuh sepertimu!”
Pria itu tersenyum sinis dan semakin mempererat pelukannya.
Altamyra marah besar. Ia membenci tubuhnya yang kurus kecil. Kalau ia gemuk, pria itu takkan dengan
mudah mengangkatnya ke kudanya. Kuda itu juga pasti kelelahan berlari sambil membawanya.
“Dasar pengecut!” gerutunya, “Beraninya hanya bersikap kasar pada wanita! Dasar tidak sopan!”
Melihat pria itu diam saja, ia semakin gencar melontarkan kejengkelannya. “Pembunuh! Sadis! Tidak
tahu aturan! Kasar! Pengecut! Tidak punya hati! Penakut! Licik! Kejam!”
Kediaman pria itu membuat Altamyra semakin bersuka ria dengan kejengkelannya. Ia semakin lantang
menyemburkan ejekan-ejekannya.
“Manusia berdarah dingin, amoral, asusila, penipu, penakut, lemah, lamban.”
Orang-orang yang mengikuti mereka terheran-heran mendengar serentetan kata yang terus meluncur dari
mulut mungil itu.
Perhatian mereka membuat Altamyra semakin senang dan bersemangat untuk meneruskan.
Segala macam kata yang terlintas di benaknya, disebutkannya begitu saja. Ia tidak peduli apakah ia
sudah mengatakannya. Ia juga tidak peduli pada orang-orang yang semakin tertarik mendengarnya.
Bahkan, ia tidak lagi mempedulikan pria di dekatnya yang diejeknya tanpa henti.
“Cukup!” akhirnya kesabaran pria itu habis.
Kata-kata yang penuh kemarahan itu tidak membuat si gadis diam. Ia terus mengoceh tanpa henti.
“Apakah ejekan-ejekanmu itu belum cukup?”
“Belum!” sahutnya lantang. “Engkau memang manusia kejam yang berdarah dingin dan pengecut!
Engkau pembunuh paling kejam dari yang terkejam! Engkau lebih kejam daripada si serigala itu!”
“Cukup!” bentaknya tak mau kalah. “Kalau engkau tidak mau diam, aku akan menunjukkan padamu
bagaimana kejamnya aku.”
“Lakukan saja dan aku akan menganggap engkau tidak pantas menjadi pahlawan rakyat!” tantang
Altamyra.
“Bungkam saja dia, Erland.”
“Jangan khawatir, Fred, aku bisa menanganinya.”
“Lakukan kalau engkau bisa! Engkau takkan bisa membungkamku.”
“Engkau menantangku?”
Mata biru Altamyra bersirat tajam. Sinar matanya menampakkan kemarahannya yang meluap-luap.
Wajah cantiknya menantang penuh keberanian.
Erland tersenyum kejam. Matanya seperti menyimpan rahasia yang sangat kejam.
“Kaupikir aku takut dengan tatapanmu itu?” ejek Altamyra, “Tatapan milik pengecut sepertimu tidak
patut ditakuti! Engkau hanya berani menculik wanita lemah dan membunuh orang yang tak berdaya!
Engkau tidak pantas menjadi pejuang rakyat!”
“Engkau yang membuatku melakukannya, jangan salahkan aku,” desis Erland kejam.
Altamyra terkejut. Ia sama sekali tidak menduga pria itu berani meninju perutnya. Altamyra menatap
Erland dengan penuh kemarahan dan mendesiskan kata “Pengecut!” dengan geram sebelum akhirnya ia
jatuh pingsan.
“Akhirnya dia diam juga,” kata Fred, “Kukira aku harus mendengar ocehannya sepanjang jalan. Tak
kukira ada yang lebih cerewet dari Cirra. Tapi aku lebih tak menduga engkau akan membungkamnya
dengan cara itu.”
“Gadis seperti dia sekali-kali harus diberi pelajaran agar tidak angkuh seperti itu.”
Fred menatap Altamyra yang kini tergolek lemas di pelukan Erland. “Kalau ia diam seperti ini, ia
kelihatan manis,” kata Fred sambil tersenyum.
“Mulutnya lebih tajam dari pisau manapun,” bantah Erland.
“Kalau orang melihatnya saat ia seperti ini, ia takkan menduga kalau gadis ini punya ratusan, ribuan
bahkan mungkin jutaan kata yang lebih tajam dari pisau.”
Erland tiba-tiba tertawa. “Ia setan cilik,” katanya.
-----0-----
Altamyra terbangun oleh rasa sakit di perutnya. Samar-samar ia ingat seorang pria bertubuh besar
memeluknya. Pria itu pula yang menawannya dan meninjunya.
Kemarahannya bangkit lagi ketika teringat kekasaran dan kekejaman pria yang bernama Erland itu.
Sekarang tidak hanya perutnya yang sakit. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit.
Dalam kegelapan yang pekat ini, Altamyra sulit mengenali posisinya. Tetapi, Altamyra dapat merasakan
dinding dan lantai batu yang menjadi sandaran tubuhnya.
Altamyra merasakan perih di pergelangan tangan dan kakinya. Tanpa perlu melihatnya, Altamyra yakin
ia diikat kuat-kuat.
Altamyra tersenyum sinis. “Rupanya ia takut aku kabur,” katanya pada dirinya sendiri dengan penuh
kepuasan.
Dengan tangan dan kaki terikat kuat-kuat, Altamyra mencoba duduk. Walau tangannya terasa perih
setiap ia menggerakkannya, Altamyra tak mau menyerah.
Setelah berhasil mendudukkan dirinya, Altamyra menempelkan telinga di dinding dan mencoba
mengenali suasana di luar.
Altamyra jengkel. Ia sama sekali tidak dapat mendengar apa-apa. Rupanya dinding batu itu sangat tebal.
Altamyra menarik kedua kakinya merapat ke badannya dan mendesah panjang.
Entah mengapa ia mau melakukan semua ini. Sekarang ia sendiri yang merasakan akibatnya. Walaupun
ini untuk menyelamatkan orang lain, ia takkan mendapat hadiah atas pengorbanannya ini.
Pintu tiba-tiba terbuka lebar.
pintu.
“Engkau sudah sadar rupanya,” pria itu mendekatinya, “Baguslah kalau begitu. Sekarang ikut aku,
Pangeran ingin berbicara denganmu.”
Altamyra menepis dengan kasar tangan pria itu. “Katakan padanya aku tidak sudi menemuinya.”
“Engkau memang sekasar yang mereka katakan,” gerutu pria itu, “Aku ingin tahu bagaimana engkau
menghadapi kemarahanku.”
“Silakan,” kata Altamyra sinis, “Aku juga ingin tahu pria selemah engkau bisa marah seperti apa.”
Hinaan Altamyra tepat mengenai sasaran. Pria itu naik pitam dan berkata lantang, “Aku ingin tahu
apakah engkau masih keras kepala kalau aku tidak memberimu makan malam.”
“Silakan,” balas Altamyra dengan senyum manis, “Seminggu tidak makan pun tidak masalah bagiku.
Sebaliknya, aku semakin senang karena ajal makin cepat mendatangiku. Itu artinya aku tidak perlu
berlama-lama berada di dekat orang-orang pengecut seperti kalian.”
Altamyra mendengar geraman pria itu sebelum ia membanting pintu keras-keras.
Gadis itu tersenyum puas akan hasil tindakannya. Di saat ia marah seperti ini, tidak ada lagi yang dapat
membuatnya gentar.
Pria itu salah kalau menduga ia akan memohon-mohon bila tidak diberi makan. Mereka semua salah
kalau menduga ia akan menderita karena lapar.
Ia bukan orang kaya yang selalu makan kenyang tiga kali sehari. Setiap hari dalam kehidupannya, ia
tidak pernah makan kenyang. Bahkan, tidak jarang ia tidak makan selama berhari-hari.
Makanan termurah pun bagi keluarganya adalah sangat mahal. Untuk dapat memperoleh semangkuk
makanan, mereka harus berusaha mati-matian. Bahkan, sering mereka terpaksa meminjam uang pada
tetangga.
Mereka salah kalau mengira ia tidak tahan dengan siksaan seperti ini. Baginya siksaan seperti ini tidak
ada sepersepuluh penderitaan yang telah dialaminya.
Kehidupannya jauh lebih menderita daripada duduk terikat seperti ini. Satu hari baginya bisa terasa
seperti satu musim kemarau panjang.
Walau ia tidak bebas setidaknya ia tidak perlu mengkhawatirkan atap rumah yang seperti akan terbang
bila tertiup angin, dinding kayu yang siap roboh sewaktu-waktu, ataupun atap rumah yang selalu bocor
dalam hujan deras.
Keadaan Altamyra saat ini jauh lebih baik daripada dulu. Dulu ia tidak punya bantal yang empuk untuk
tidur mau pun kasur yang nyaman. Kini pun ia tidak punya tetapi baju tebalnya masih dapat digunakannya
sebagai alas tidur sekaligus bantal.
Duduk di atas lantai batu dengan gaun tebal ini, Altamyra merasa seperti duduk di kursi yang agak
empuk.
Altamyra menutup matanya dan tersenyum puas. Ia ingin tahu sampai sejauh mana mereka
menelantarkannya.
Mereka tahu perannya sangat penting untuk menekan kekuasaan Raja Wolve yang kejam. Tetapi
mereka tidak tahu ia bukan sang putri bangsawan yang mereka incar itu. Ia hanya berperan sebagai dia.
Saat ini sang putri sedang bersenang-senang di pelukan keluarganya. Putri yang dikabarkan menjadi
pengganti Raja Wolve itu sangat penting bagi para pemberontak ini untuk menekan Raja Wolve, tirani
yang kejam.
Selama mereka tidak tahu siapa dia, mereka pasti tidak berani menelantarkannya. Mereka pasti tahu
menelantarkannya sama saja dengan menggagalkan rencana mereka yang bagus.
Altamyra benar-benar puas menyadari semua kunci penting dalam rencana mereka ada padanya. Ia
puas dapat dengan leluasa menumpahkan semua kemurkaannya atas kekejian mereka yang telah
membunuh pengawal-pengawalnya.
Mereka boleh saja membenci Raja Wolve, tetapi mereka tidak berhak membunuh bawahan Raja
Wolve. Para prajurit itu belum tentu menyanjung Raja sepenuhnya. Kalau bukan demi nyawa dan
keluarga, mereka pasti telah melawan Raja.
Raja Wolve memang kejam tetapi belum tentu bawahannya juga kejam. Mereka bertindak menurut
perintah Raja yang jauh lebih kejam dari serigala itu. Raja yang tega membunuh putra kandungnya
sendiri.
Altamyra tidak dapat memaafkan Erland dan teman-temannya yang ternyata sama kejamnya dengan
Raja Wolve.
Kemarahannya akan mempersulit mereka mencapai tujuannya. Altamyra tidak akan membuat segalanya
menjadi mudah bagi mereka. Tidak peduli apa pun ancaman mereka.
Suara ramai di luar membangunkan Altamyra dari tidurnya.
Udara pagi yang sejuk membuat Altamyra merasa lebih segar. Tetapi udara dingin itu tidak dapat
menyurutkan api kemarahan di dada Altamyra.
Cahaya matahari pagi menerobos jendela kecil menembus kegelapan ruang kecil yang lembab itu.
Dengan susah payah, Altamyra berusaha berdiri dan mengintip suasana di luar melalui jendela kecil yang
hanya cukup bagi sepasang mata untuk mengintip ke luar itu.
Altamyra tersenyum sinis melihat terali jendela yang rapat dan kokoh itu. “Mereka benar-benar khawatir
aku kabur,” katanya sinis.
Pemandangan di luar yang dilihatnya berbeda dengan bayangannya. Orang-orang tua muda, laki-laki
wanita berlalu lalang di luar.
Yang wanita sibuk membuat sarapan dengan tungku api unggun. Sementara itu para pria menyerahkan
hewan-hewan hasil buruan mereka untuk dimasak. Anak-anak berlari-lari dengan senang.
Tenda-tenda tempat mereka tidur tampak rapuh. Peralatan masak mereka yang sederhana menunjukkan
sulitnya hidup mereka. Baju mereka kusam, compang-camping bahkan kekecilan. Semua itu
menampakkan kemiskinan mereka.
Altamyra mendesah panjang.
“Kau puas melihat mereka?”
Altamyra memalingkan kepala mendengar kata-kata sinis itu tetapi ia segera membuang pandangannya
ketika mengetahui Erland yang mengajaknya bicara. Daripada berbicara dengannya, Altamyra lebih
senang mengawasi kehidupan mereka yang jauh lebih menderita dari dirinya sendiri.
“Engkau memang keras kepala. Tidak salah kalau Jemmy tidak memberimu makan malam,” kata Erland
sinis, “Aku ingin tahu sekeras apa kepalamu.”
Altamyra tidak takut menghadapi ancaman itu. Ia menghadap Erland dan tersenyum manis.
“Baik,” geram Erland, “Kita lihat seberapa keras dirimu.”
Altamyra tidak dapat menahan tawanya mendengar ancaman itu. Baginya yang saat ini sedang murka,
ancaman itu hanya angin sepoi-sepoi yang meniup wajahnya.
Ia yakin mereka juga tidak akan menelantarkannya. Mereka cukup pintar untuk mengetahui pentingnya
dirinya dalam rencana mereka. Ia adalah pion penting untuk menskak mat Raja Wolve.
Sayangnya, mereka tidak cukup pintar untuk menyadari mereka telah tertipu.
Erland menutup pintu dengan keras dan membuat Altamyra semakin senang.
Altamyra puas bisa membuat Erland marah besar. Ia puas dapat membalaskan dendamnya.
Samar-samar Altamyra mendengar suara ribut di luar. Ia tahu orang-orang itu mengira ada yang tidak
beres dengan dirinya tetapi ia tidak peduli.
Walau ia terikat, bukan berarti ia tidak bebas untuk mengatakan apa yang ada di hatinya.
Ia dibesarkan sebagai burung yang bebas terbang ke mana saja. Ia ditempa dalam suasana yang serba
sulit. Ia dibentuk menjadi gadis kuat yang tak kenal takut.
Tidak seorang pun yang dapat mengikatnya termasuk tali kasar yang terbuat dari sabut kelapa ini.
Simpul ikatan di kaki maupun tangannya sangat erat dan terlihat sukar dibuka. Tetapi, Altamyra tidak
mau putus asa sebelum mencoba.
Dengan gerak tangannya yang terbatas, Altamyra berusaha melepaskan ikatan kakinya yang menyiksa
kulit kakinya. Tangannya terasa perih tiap kali ia menggerakkannya tetapi Altamyra tidak mau berhenti
berusaha.
Pekerjaan yang mula-mula terasa membosankan lama kelamaan mejadi kesibukan yang menyenangkan
Altamyra. Ia merasa seperti bermain dengan teka-teki yang rumit.
Kekasaran mereka padanya membuat Altamyra semakin ingin mempersulit mereka.
Altamyra merasa kepanasan. Ia menyeka keringat di dahinya. Saat itulah jeritan kecil terlontar dari
mulutnya.
Altamyra terpana melihat darah di tangannya. Usahanya untuk membuka ikatan kakinya ternyata
membuat pergelangan tangannya terluka oleh tali kasar itu.
Dipandanginya darah yang masih mengalir itu. Dalam hati ia berkata, “Mereka terlalu khawatir hingga
bertindak sekejam ini.”
Saat ini yang bisa dilakukannya adalah menanti matahari yang menyinari ruangan itu mengeringkan
darahnya.
Altamyra bersandar di dinding sambil mengawasi darahnya yang perlahan-lahan mengering dan
meninggalkan noda di gaun sutranya.
Noda darah kering di kain sutra sangat sulit dihilangkan. Mereka pasti marah karenanya. Gaun yang
indah ini telah ternoda oleh darahnya.
Altamyra mengejek dirinya sendiri yang mau melakukan semua ini. Pengorbanannya yang besar ini tidak
akan mendapat hadiah apa-apa tetapi ia mau dan telah melakukannya.
Dalam keheningan itu, Altamyra menyadari keadaan di luar lebih sepi dari tadi. Ia mengintip keluar.
Matahari telah tinggi. Api-api unggun telah dimatikan. Para wanita duduk bergerombol sambil
mengerjakan sesuatu. Anak-anak bermain tiada henti. Tetapi, para pria tidak nampak seorang pun. Ia
bertanya-tanya ke mana mereka pergi.
“Inikah wanita yang berani menghina Erland?”
Altamyra membalikkan badan.
Seorang wanita cantik melotot pada Altamyra dengan penuh keangkuhan. Mata hijau kelamnya
menyiratkan rasa jijiknya. Wanita itu tampak sangat cantik dengan rambut pirang tuanya yang nyaris
coklat.
“Engkau beruntung Erland tidak membunuhmu.”
“Sebaliknya,” kata Altamyra tenang, “Aku merasa lebih beruntung mati daripada harus bertemu pria
sepengecut dia.”
“Kau!” geram wanita itu, “Baik, aku akan menuruti permintaanmu.” Kemudian pada wanita di
belakangnya ia berkata, “Bawa kembali makanannya!”
“Tapi, Cirra, kita diperintahkan…”
“Untuk apa kita khawatir,” potong wanita itu tajam, “Para pria saat ini sedang berburu. Mereka akan
kembali besok bahkan mungkin lusa.”
“Kita…”
Lagi-lagi wanita itu berkata tajam, “Aku bilang tidak! Aku ingin dia tahu bagaimana rasanya mati karena
kelaparan itu.”
Altamyra tertawa geli. Tawanya memenuhi ruang kecil itu dan membuat wanita yang dipanggil Cirra itu
melotot sedangkan wanita satunya terheran-heran.
“Engkau akan melihat dampaknya,” kata Altamyra lembut. “Pasti!”
Cirra melotot lalu pergi meninggalkan Altamyra.
Sinar menyilaukan yang tiba-tiba memasuki ruangan itu membuat Altamyra terjaga.
“Dasar putri bangsawan!” kata pria itu, “Kerjanya hanya tidur saja!”
Altamyra tidak menghiraukannya.
Hari ini adalah hari ketiga ia disekap dalam ruangan lembab ini dan artinya sudah dua hari ia tidak makan
dan harus menahan rasa sakit di pergelangan tangannya.
Melihat pria itu, Altamyra dapat menduga ia dan kaum pria lainnya baru tiba dari perburuan. Pria itu
masih menyandang kapak berburunya. Wajahnya tampak kotor dan lelah.
Pria itu mendekati Altamyra. “Pangeran ingin bertemu denganmu.”
Saat ini Altamyra mungkin saja kehabisan tenaga. Seluruh tenaganya digunakannya untuk menahan lapar
dan sakit. Tetapi, kemarahannya belum surut. Kemarahan itulah yang membuatnya mampu menempis
tangan pria itu kuat-kuat.
“Aku tidak sudi!” kata Altamyra tajam.
“Jangan memaksaku bertindak kasar padamu, Lady.”
Altamyra menatap tajam pria itu sebagai balasan atas ancamannya.
Pria itu geram dibuatnya.
“Minggir!” perintah seseorang, “Biar kutangani sendiri dia.”
Pria itu menepi. “Tidak perlu, Pangeran, saya dapat mengatasinya.”
Altamyra melotot mendengar pria itu memanggil Pangeran pada Erland. Dan, ia tertawa geli.
Pria itu heran tetapi Erland tidak.
“Sudah kuduga untuk mengatasinya, aku harus turun tangan sendiri,” kata Erland, “Tinggalkan kami
berdua.”
“Baik, Pangeran.”
Sepeninggal pria itu, Erland berkata, “Sudah cukup hinaanmu itu?”
Altamyra membuang muka.
“Aku ingin berbicara denganmu.”
Altamyra tidak bergeming sedikitpun.
“Sebaiknya engkau menurutiku, engkau sudah merasakan bagaimana akibatnya.”
Sayangnya, Altamyra adalah gadis yang tak kenal takut.
Erland mendekati Altamyra. Ia memalingkan wajah gadis itu menghadapnya, tapi Altamyra menepisnya
kuat-kuat.
“Engkau memang setan cilik,” geram Erland. Lalu Erland mengangkat Altamyra.
“Turunkan aku!” protes Altamyra, “Turunkan! Aku tidak sudi kau sentuh!”
Erland tidak mempedulikan teriakan Altamyra. Ia terus membawa Altamyra ke ruangan pribadinya di
tingkat dua.
“Turunkan aku!” seru Altamyra tanpa henti. Tangannya yang terikat erat terus memukul dada Erland dan
membuat darah segar kembali mengalir. Tetapi, Altamyra tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Erland
menurunkannya.
Akhirnya Erland menurunkan Altamyra. Ia mendudukkan Altamyra di tepi pembaringan.
“Sekarang kita sudah jauh dari orang-orang. Di sini tidak akan ada yang mendengar kita, engkau dapat
mengatakan apa yang membuatmu terus membangkang dan tidak mau bekerja sama.”
Altamyra tidak mau berbicara apa pun. Ia membuang muka.
“Kau tahu aku ingin berbicara denganmu.”
“Dan aku tidak sudi,” akhirnya Altamyra menyahut.
“Engkau harus,” kata Erland berbahaya, “Aku akan membuatmu mau bekerja sama denganku.”
“Aku tidak sudi bekerja sama dengan pengecut sepertimu!” seru Altamyra, “Daripada berbicara
denganmu, lebih baik engkau tidak memberiku makan sama sekali! Dua hari lagi tidak makan, tidak
masalah bagiku. Sebaliknya, aku senang. Aku lebih cepat mati.”
Erland tiba-tiba mencengkeram kedua lengan Altamyra.
Altamyra mendorong tubuh Erland kuat-kuat. “Daripada berbicara denganmu, lebih baik aku mati!”
Mata Erland menangkap noda darah di tangan Altamyra. Ia menangkap tangan gadis itu dan terkejut
melihat darah segar di pergelangannya.
“Terkejut?” ejek Altamyra, “Mengapa terkejut melihat hasil kekasaranmu?”
Erland diam saja. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan memotong simpul ikatan tangan
Altamyra. Sorot matanya terlihat penuh penyesalan melihat tangan Altamyra yang terluka.
“Puas?”
“Kalau ini dapat membuatmu jera, aku puas,” jawab Erland, “Tapi kau, setan cilik, engkau tidak jera,
bukan?”
Altamyra menjawabnya dengan senyum nakal.
“Tunggu di sini,” kata Erland, “Kuperingatkan engkau untuk tidak kabur.”
Altamyra tersenyum sinis ketika Erland meninggalkan kamar.
Bisa dipastikan pria itu sama sekali tidak tahu Cirra telah melanggar perintahya. Ia tampak terkejut
ketika ia mengatakan dua hari lagi tidak diberi makan, ia tidak apa-apa.
Altamyra melihat jendela terbuka lebar dan di bawah sana yang tampak hanya beberapa anak kecil. Ia
yakin mereka tidak akan tahu kalau saat ini ia kabur, tetapi ia tidak mau melakukannya. Pembalasan
amarahnya belum selesai.
Tak lama kemudian Altamyra mendengar langkah-langkah kaki mendekat.
“Mengapa engkau mengikatnya erat-erat, Jemmy?” terdengar Erland bertanya.
“Kata Anda, wanita ini berbahaya dan harus dijaga ketat. Saya pikir dengan diikat erat, ia tidak akan
kabur.”
“Ikatanmu membuat tangannya terluka,” Erland memberi tahu dengan sabar.
“Biar saja!” sahut seorang wanita.
Dari nadanya, Altamyra dapat mengenali suara itu.
“Aku senang tangannya terluka.”
“Lebih baik engkau diam, Cirra,” Erland memberi peringatan, “Engkau telah melanggar perintahku dan
aku belum memperhitungkannya denganmu.”
“Siapa yang mengatakannya padamu?” bentak Cirra, “Wanita itu. Ya, pasti dia. Bagaimana engkau
dapat mempercayainya?”
“Tanpa perlu bertanya, aku sudah tahu,” Erland berkata tajam, “Ia lebih kurus daripada sebelum aku
meninggalkannya.”
“Mengapa engkau memperhatikannya? Apakah ia sangat penting bagimu?”
“Ya,” sahut Erland, “Ia sangat penting bagiku dan bagi rencana kita!”
Altamyra tersenyum simpul dugaannya tepat. Semuanya, tidak ada yang salah.
Cirra telah merasakan dampak tindakannya, seperti yang telah diduganya. Erland dan kelompoknya
akan memanfaatkannya untuk menekan Raja Wolve.
Erland masuk dengan membawa kain pembalut dan obat serta baskom berisi air. Ia meletakkan semua
itu di sebelah kaki Altamyra dan mengambil tangan Altamyra.
Tiba-tiba Erland teringat sesuatu. Ia meletakkan tangan Altamyra dengan hati-hati dan menyingkap ujung
gaun gadis itu.
Memar di kaki Altamyra membuatnya mendesah panjang. “Maafkan aku. Aku sama sekali tidak
mengetahui hal ini.”
Altamyra terlalu jengkel untuk menanggapi. Ia membiarkan Erland merawat luka-lukanya. Altamyra
merasa tidak patut berterima kasih karena Erland harus menebus kekasaran-kekasarannya terhadap
dirinya.
“Kupikir lebih baik kita bicara dengan perut terisi,” kata Erland seusai membalut semua luka Altamyra.
Gadis itu diam saja. Bahkan, ia sama sekali tidak bergerak ketika Erland kembali dengan dua wanita
yang masing-masing membawa makan siang untuk mereka.
Erland menunjuk meja tempat mereka harus meletakkan makan siang itu.
Setelah melakukan tugasnya, kedua wanita itu pergi.
“Kuharap engkau tidak berkeberatan untuk makan siang bersamaku.”
Altamyra tidak bergeming.
Erland heran. “Sebenarnya, apa yang membuatmu keras kepala seperti ini? Apakah engkau sama sekali
tidak lapar? Atau engkau tidak mau makan siang bersamaku?”
Suasana hening hingga Erland berkata, “Baiklah, aku minta maaf atas semua tindakanku padamu selama
ini. Engkau puas?”
Altamyra tetap mematung.
“Baiklah, engkau tidak mau makan bersamaku.” Erland mendekat Altamyra. Ia mengambil sebuah kursi
dan duduk di depan Altamyra.
“Aku langsung saja berbicara mengapa aku menculikmu,” kata Erland. “Semua orang di kerajaan ini
tahu setelah Raja Wolve meninggal, engkau akan menjadi penggantinya. Putra Mahkota sudah lama
meninggal dan satu-satunya orang yang berkerabat dekat dengan Raja adalah engkau.”
“Sebagai calon pengganti Raja, kedudukanmu sangat penting dan Raja pasti memperhatikan
keselamatanmu. Itulah yang ingin kumanfaatkan darimu. Raja Wolve sangat kejam, engkau telah melihat
sendiri bagaimana sulitnya hidup rakyat karena ketamakan dan kekejamannya.”
“Hidup orang-orang di tempat ini masih lebih baik daripada orang-orang miskin lainnya. Di sini mereka
masih dapat makan dengan teratur tetapi tidak dengan yang lain. Kamu semua menderita karena pajak
yang banyak dan terlalu tinggi.”
“Bertahun-tahun aku telah menanti kesempatan seperti ini dan aku takkan melepaskannya begitu saja.
Aku ingin kerjasamamu untuk menekan Raja Wolve. Kalau aku berhasil, Raja Wolve akan digulingkan
dan aku akan membentuk pemerintahan yang lebih baik daripada yang sekarang.”
“Aku ingin kesejahteraan rakyat ditingkatkan, pajak-pajak diturunkan dan dihapus…”
Gagasan-gagasan Erland dipotong oleh tawa Altamyra. “Ide-idemu bagus. Sayangnya, aku bukan dia.”
“Apa yang kau katakan?” tanya Erland tidak percaya.
“Aku bukan Tuan Puteri Prischa,” ulang Altamyra tegas.
“Tidak mungkin!”
“Engkau memang pandai tetapi masih terlalu mudah untuk ditipu. Aku hanya pion pengganti. Aku
dimanfaatkan untuk memancing engkau agar menangkapku.”
“Kau pikir aku bisa kautipu?”
“Sayangnya,” Altamyra menyesal, “Engkau telah tertipu.”
Raut ramah Erland perlahan-lahan berubah menjadi geram.
“Kalau engkau pikir aku bisa kautipu dengan kata-kata itu, engkau salah.”
“Kalau engkau tidak mempercayaiku, engkau bisa memeriksanya sendiri di kediaman mereka. Dan,
engkau akan menemukan saat ini sang Putri bahagia dalam pelukan orang tuanya.”
“Baik, kita akan melihatnya,” kata Erland setelah terdiam cukup lama.
Erland menuju pintu dan berseru memanggil seseorang. “Bawa dia kembali ke selnya dan panggil
Giorgio kemari.”
“Tunggu dulu,” sahut Altamyra. Gadis itu merenggut pena dan kertas di meja kerja Erland lalu berjalan
ke pintu.
Menyadari Erland menatapnya, Altamyra berkata tenang, “Engkau dapat mengawasiku kalau engkau
curiga.”
“Pergi saja,” kata Erland acuh.
Altamyra merasa senang. Erland tampak marah sekali tetapi itu tidak lebih menyenangkan dibandingkan
pekerjaan yang akan dilakukannya. Sekarang ia tidak akan merasa bosan berada di dalam selnya yang
pengap dan lembab itu.
Dua hari berada di sel itu cukup membuat Altamyra tahu bagaimana kehidupan orang-orang di
sekitarnya.
Dari pengamatannya, Altamyra tahu di siang hari saat semua pekerjaan telah usai, para wanita biasanya
berkumpul sambil memintal benang. Mereka masih memintal dengan tangan sedangkan Altamyra tahu
alat untuk memintal.
Penduduk tempat ia berasal adalah pemintal benang. Mereka memintal dengan alat sederhana yang
terbuat dari kayu.
Altamyra ingin sekali membantu mereka yang hidupnya lebih sulit dan menderita daripada dia sendiri. Ia
ingin membagi kepandaiannya dengan orang-orang itu agar mereka dapat hidup lebih baik.
Dari pengamatannya pula Altamyra tahu anak-anak tidak memperoleh ilmu. Hanya sesekali saja mereka
memperoleh pengajaran.
Walau hidup mereka sulit, ibunya tetap berupaya agar ia memperoleh ilmu sebagai bekal kehidupannya
kelak. Pastor di desa mereka sangat baik. Ia menampung semua anak yang tidak mampu dan
memberinya pendidikan secara cuma-cuma. Sekarang Altamyra ingin meniru Pastor itu.
Anak-anak itulah yang kelak akan menggantikan mereka yang kini sudah tua. Apa jadinya kerajaan ini
kalau anak-anaknya bodoh dan tidak tumbuh dengan baik?
Semenjak Erland mengobati luka Altamyra, ia tidak pernah menemui gadis itu lagi. Altamyra senang
karenanya. Dengan demikian, ia bisa dengan tenang memusatkan perhatiannya pada kesibukannya.
Tidak ada orang yang menganggapnya sejak hari itu. Hanya beberapa wanita yang memasuki selnya. Itu
pun untuk mengantar makanan ataupun mengganti perban luka-lukanya.
Walaupun sekarang ia mendapat jatah makan secara tetap, Altamyra sering lalai makan karena
sibuknya.
Bila ia memusatkan perhatiannya pada satu hal, ia cenderung melupakan yang lain termasuk mengisi
perutnya sendiri.
Tidak ada yang mempedulikan Altamyra. Ia tahu semua orang di sini menganggapnya musuh.
Altamyra tidak pernah menghitung berapa lama ia berada di sana, ia hanya merasakan ia sudah lama
berada di tempat ini.
Suatu hari ketika Altamyra menghitung-hitung berapa lama ia berada dalam sel yang gelap dan lembab
ini sambil mengepang rambut panjangnya, seseorang membuka pintu.
Altamyra terkejut melihat yang datang kali ini pria, bukan wanita.
“Engkau punya kesibukan baru rupanya.”
Altamyra tidak mempedulikan suara sinis yang lama tak didengarnya itu. Ia terus mengepang rambutnya.
“Aku punya kabar baik untukmu.”
Sudah dapat ditebaknya Erland datang untuk memberitahu ia benar. Prischa saat ini bersama
keluarganya. Dan itu membuat Altamyra tersenyum sinis penuh kepuasan.
“Mulai hari ini engkau kubebaskan,” lanjut Erland. “Hanya dari sel ini, tidak dari tempat ini,” katanya
menekankan.
Erland meletakkan sesuatu di dekat Altamyra dan berkata, “Sebaiknya engkau menanggalkan gaunmu
dan memakai gaun ini. Di sini engkau tidak pantas mengenakan gaun mewah.”
“Memang tidak,” sahut Altamyra senang.
Erland mengamati beberapa lembar hasil kerja Altamyra.
“Nanti akan kujelaskan,” kata Altamyra, “Sekarang bisakah engkau meninggalkanku? Aku ingin
melepas gaun yang rasanya setahun menempel padaku ini.”
“Seminggu lebih,” Erland membenarkan.
“Terserah,” kata Altamyra, “Dan, bisakah aku meminjam gunting, jarum, dan benang?”
“Untuk apa!?” tanya Erland curiga.
“Penjelasan nanti,” sahut Altamyra.
“Baiklah.” Erland pergi mencarikan barang-barang yang diinginkan Altamyra.
Ketika ia kembali, Altamyra telah berganti baju. Gadis itu juga telah merapikan tumpukan kertasnya
yang tadi berserakan dan kini sedang menggeluti gaun mewahnya.
“Terima kasih,” kata Altamyra manis ketika Erland meletakkan barang-barang itu di sampingnya.
“Sekarang jelaskan padaku apa yang kau lakukan.”
“Aku tidak bisa memerintah sepertimu, tetapi aku bisa membantu rakyatmu. Aku akan membuatkan
mereka alat pintal sehingga produksi benang mereka lebih baik dan bermutu. Yang nantinya akan
meningkatkan harga jualnya.”
“Bagaimana caranya?” tanya Erland tak percaya.
Altamyra tersenyum misterius. “Desaku adalah desa pemintal benang. Aku tak mungkin tidak tahu
seperti apa alat pemintal yang digunakan orang-orang di desaku.”
Altamyra menyerahkan kertas paling atas pada Erland. “Aku telah menggambarnya di sini lengkap
dengan ukurannya.”
Erland mempelajari gambar itu. Sementara itu Altamyra mulai menggunting gaun sutranya yang mahal.
“Apa yang kaulakukan!?” Erland terkejut melihat tindakan Altamyra.
“Selain kayu, kita membutuhkan tali yang baik. Sutra ini bisa menjadi tali yang cukup baik. Ini bukan
sutra terhalus tetapi sutra terbaik.”
Erland mengamati gambar Altamyra lagi lalu berkata, “Aku akan membantumu. Aku membuat
kerangkanya dan engkau membuat talinya.”
Altamyra tersenyum.
“Sebaiknya kita membuatnya di luar. Udara lembab ini tidak baik untuk kesehatan.”
Erland membawakan gaun dan gambar Altamyra. Lalu Altamyra mengikuti Erland meninggalkan
bangunan itu.
Setelah berada di luar, Altamyra baru menyadari bangunan itu hanya rumah batu berukuran sedang
dengan dua tingkat. Tingkat bawah untuk umum dan tingkat atas khusus untuk Erland.
Altamyra memilih sebuah pohon yang cukup rindang lalu duduk di bawahnya.
Erland meletakkan gaun gadis itu di samping Altamya lalu meninggalkannya sendirian.
Altamyra memulai kesibukannya melepas satu per satu jahitan gaunnya yang halus. Kemudian ia
memotongnya kecil-kecil dan menjahitnya menjadi tali kecil rangkap dua yang panjang.
Sementara itu Erland membentuk kerangka alat itu sesuai dengan gambaran Altamyra.
“Tolong kaujelaskan maksudmu dengan tanda ini,” tanya Erland.
“Engkau harus membuat sesuatu seperti poros yang bisa berputar…”
“Erland!”
Percakapan mereka terhenti karenanya.
“Apa yang kalian lakukan? Apa kalian tidak sadar perbuatan aneh kalian itu menarik perhatian kami?”
“Dia punya cara untuk meningkatkan hasil dan mutu benang pintal kita.”
“Benarkah?”
“Lihat saja gambar alat pintal yang dibuatnya ini.”
“Alat pintal?” ulang Fred, “Aku pernah mendengarnya tetapi aku tidak pernah tahu seperti apa rupanya.
Dari mana engkau mengetahuinya?”
“Aku berasal dari desa para pemintal benang,” jawab Altamyra dengan tersenyum.
“Pantas saja engkau tahu,” sahut Fred, “Aku akan membantumu Erland.”
“Aku memang membutuhkan setiap bantuan,” timpal Erland.
“Ayo kita bantu mereka!” seru Fred.
Beberapa orang mulai mendekat membantu Erland. Sementara itu Altamyra masih sibuk sendiri. Semua
orang masih menganggapnya musuh.
Beberapa saat kemudian seorang wanita mendekati Altamyra. “Adakah yang dapat saya bantu?”
tanyanya ragu-ragu.
“Terima kasih, Nyonya. Anda dapat membantu saya membuat tali seperti ini dari kain ini.”
Setelah itu wanita yang lain mulai mendekat dan membantu Altamyra. Altamyra senang melihatnya.
Dengan sabar, ia menjelaskan apa yang sedang dibuatnya. Dan untuk apa alat pintal itu.
“Sayang sekali gaun seindah ini dipotong-potong,” celetuk seorang wanita.
Altamyra tersenyum lembut. “Lebih baik kehilangan satu gaun mahal daripada kehilangan satu-satunya
kesempatan untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Kalau hidup kita lebih makmur, segalanya dapat
kita beli.”
“Di negara ini semuanya mustahil. Raja sangat tamak. Ia takkan membiarkan rakyatnya kaya.”
“Benar,” timpal yang lain, “Ia akan segera merampas harta orang yang kaya untuk menambah hartanya.”
“Percayalah kepadaku segalanya pasti berubah cepat atau lambat.”
“Kalau Raja mati dan Pangeran naik tahta,” tebak Altamyra.
“Benar!” sahut semuanya.
Altamyra termenung. Tangannya terus bergerak menyelesaikan pekerjaannya.
Pekerjaan yang sulit itu akhirnya selesai menjelang petang. Sebagai sentuhan terakhir, Altamyra
memasang tali dengan sabar.
“Mari kita coba sehebat apa daya ingatku,” kata Altamyra sebelum mencoba alat itu.
“Tidak buruk,” gumam Altamyra melihat hasil alat yang dibuat berdasarkan gambarnya itu.
Sebelum meninggalkan tempat yang dikerumuni orang-orang itu, Altamyra memberi petunjuk bagaimana
menggunakannya.
Altamyra bahagia bisa membuat alat yang dapat menolong orang-orang itu. Dengan hati riang, ia kembali
ke selnya.
“Hei! Berhenti!”
Altamyra terus berjalan.
“Kubilang berhenti!”
Altamyra melihat sekelilingnya lalu bertanya, “Akukah yang kau panggil?”
“Benar,” jawab Erland, “Siapa lagi yang berada di sini selain kita, setan cilik?”
“Aku ingin berterima kasih atas…”
“Tidak perlu,” potong Altamyra, “Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan sebagai manusia
yang masih mempunyai hati.”
“Apakah engkau bermaksud menyinggungku?”
Altamyra berjalan lagi. Ia tidak sedang dalam suasana hati untuk bersitegang dengan pria itu. Ia tidak
ingin membiarkan pria ini merusak suasana hatinya yang sedang berbahagia itu.
Erland heran melihat Altamyra kembali ke selnya. “Mengapa engkau kembali ke sini? Bukankah aku
telah membebaskanmu?”
“Ini adalah ruanganku,” jawab Altamyra tenang, “Aku tidak tahu di mana engkau akan menempatkanku
malam ini. Sampai saat itu, aku hanya tahu di mana aku bisa melewatkan malam ini.”
Erland diam memperhatikan Altamyra duduk di lantai dan mulai menulis lagi.
“Sampai saat ini aku belum tahu namamu.”
Altamyra tidak menanggapi.
“Mengapa engkau tidak memberikan namamu agar aku tidak perlu menyebutmu dia atau gadis itu?”
Altamyra masih tidak menanggapi.
Erland mencekal tangan Altamyra. “Kau mendengarkanku?” tanyanya tajam.
“Lepaskan aku,” balas Altamyra, “Engkau menyakitiku.”
Erland tahu ia memegang luka di tangan Altamyra tetapi ia tak melepaskannya. “Jadi, siapa namamu?”
ulangnya.
Altamyra menatap tajam. “Aku tidak sudi engkau menyebut namaku.”
“Engkau mengajakku bermain kasar?”
“Apakah engkau bisa bersikap lembut?”
“Setan cilik,” geram Erland, “Apakah engkau selalu menyebalkan seperti ini?”
“Tidak,” jawab Altamyra lantang, “Aku membencimu dan aku tidak akan pernah memaafkanmu!”
“Apa kesalahanku padamu, setan cilik? Apakah belum cukup permintaan maafku!?”
Altamyra membuang muka dengan angkuh.
“Setan cilik, engkau membuatku marah. Aku peringatkah engkau untuk tidak membuatku marah.”
“Kaupikir aku takut padamu?” Altamyra mendekatkan wajahnya sambil menatap tajam.
Erland tersenyum. Senyumannya mengandung sejuta bahaya yang terpancar di matanya. “Tidak,”
katanya setuju, “Setan cilik sepertimu tidak pernah kenal takut.”
“Bagus,” kata Altamyra puas, “Engkau sudah mengerti benar hal itu.”
“Aku juga tahu engkau tidak sudi kupanggil dengan namamu. Lebih-lebih engkau tidak sudi kusentuh.”
Altamyra tersenyum puas.
“Jangan salahku aku kalau aku memanggilmu setan cilik.”
“Setan cilik,” gumam Altamyra. “Setan cilik pasti orang tuanya setan besar.” Altamyra tersenyum manis
dan berkata, “Aku suka itu.”
“Kau!” geram Erland.
Erland mendorong Altamyra dengan kasar hingga gadis itu terbaring di lantai. “Mulutmu yang tajam itu
sesekali perlu diberi pelajaran.”
Jantung Altamyra berdegup kencang. Erland berbicara sangat dekat dengan mulutnya hingga Altamyra
dapat merasakan setiap gerakan bibir Erland.
Altamyra mengkhawatirkan tindakan Erland selanjutnya tetapi ia tidak mau membuat Erland senang
dengan menampakkannya.
Erland tersenyum kejam melihat sorot mata Altamyra yang tajam. “Engkau membuatku kagum, setan
cilik.” Lalu ia mencium Altamyra dengan kasar.
Mula-mula yang dilakukan Altamyra adalah terkejut. Namun, ia segera sadar dan mulai meronta-ronta.
Walaupun tahu tubuhnya yang kecil tidak akan menang melawan tubuh tegap Erland yang menindihnya,
Altamyra tidak mau berhenti. Ia terus meronta-ronta sekuat tenaganya.
Altamyra tidak sudi dicium Erland. Ia marah pada pria itu dan ia lebih marah lagi karena pria yang paling
dibencinya itu menjadi pria pertama yang menciumnya.
Akhirnya Erland menghentikan ciumannya. Ia tersenyum puas melihat Altamyra.
“Aku membencimu,” desis Altamyra, “Sampai mati pun aku tidak akan memaafkanmu.”
Erland hanya tertawa mendengarnya.
Altamyra menjadi murka. “Engkau tidak pantas memimpin pemberontakan terhadap Raja. Engkau tidak
lebih baik darinya!”teriaknyalantang.
“Berteriaklah sampai engkau puas. Takkan ada yang mendengarmu.” Erland meninggalkan tawanya
yang kejam di ruang sempit itu.
Altamyra membenci kekejaman Erland itu.
“Medice, cura te ipsum!” seru Altamyra “Lupus est homo homini!”
“Sudah puas memandangiku?”
Altamyra membuang mukanya.
“Aku merasa tersanjung engkau terus memperhatikanku sepanjang hari ini,” kata Erland sinis.
“Engkau terlalu kejam untuk dipandang,” balas Altamyra.
Erland melihat kain di pangkuan Altamyra.
Sebelum Erland menyentuh pekerjaannya, Altamyra menyingkir. “Pergilah jauh-jauh. Jangan merusak
hari bahagiaku.”
Erland tersenyum sinis. “Aku ragu setan sepertimu bisa bahagia dengan duduk-duduk saja.”
Altamyra mengacuhkan kata-kata kejam itu.
“Banyak juga hal baik yang telah dilakukan setan sepertimu, Rara.”
Altamyra menatap tajam Erland.
Erland tertawa kejam. “Kaupikir aku tidak tahu? Banyak yang akan memberitahuku. Jangan lupa di sini
aku adalah penguasanya. Semua orang patuh padaku.”
“Manusia kejam,” desis Altamyra.
Bagi orang lain Erland adalah pahlawan mereka. Altamyra mengakui ia adalah pria yang tampan tapi
tidak mau mengakui kebaikan hati Erland. Ia telah melihat sendiri kekejaman Erland dan ia tidak akan
memaafkannya.
Pria itu memang berani. Dari jutaan rakyat Vandella, hanya ia yang secara terang-terangan memberontak
pada Raja Wolve. Ia adalah pria yang pandai. Ia membuat kemahnya di lereng gunung yang terjal dan
tertutup hutan lebat.
Kekasaran dan kekejaman pria itu memuakkannya.
“Aku yakin nama lengkapmu Mara. Orang tuamu tepat. Engkau memang sepahit namamu.”
Altamyra tersenyum manis. “Jadi,” katanya lembut, “Engkau sudah puas?”
“Engkau ingin memulainya lagi, setan cilik?” Erland mencekal lengan Altamyra.
“Lepaskan aku,” desis Altamyra, “Aku tidak sudi disentuh manusia sekejam engkau.”
Erland mendekatkan wajahnya ke wajah Altamyra. Mata kelabunya menembus tajam mata biru cerah
Altamyra.
Altamyra membalasnya dengan tatapan yang sama tajamnya.
Tak seorang pun di antara mereka yang bergerak hingga akhirnya Erland melepaskan Altamyra.
“Engkau beruntung sekarang kita di luar,” desisnya lalu meninggalkan Altamyra.
“Aku lebih beruntung bila tak melihatmu selama-lamanya!” teriak Altamyra.
Erland terus berlalu tanpa menoleh.
“Dasar wanita!”
Fred mendengar gerutuan itu. “Adaapa?”
“Setan cilik itu benar-benar membuatku jengkel.”
Fred tersenyum. “Sudahlah, Erland. Engkau tidak perlu berpura-pura. Semua orang di sini tahu engkau
menyukainya.”
“Jangan bermimpi!” bantah Erland, “Gadis itu hanya bisa membuatku jengkel.”
“Benarkah itu?”
“Dia adalah setan cilik yang harus kuhindari,” kata Erland tegas.
“Baguslah bila demikian halnya,” kata Fred puas.
“Bagus?”
“Aku akan jujur padamu. Aku menyukainya. Ia adalah satu-satunya gadis yang paling menarik yang
pernah kutemui. Walau kata-katanya tajam, ia pandai dan cekatan.”
“Ia adalah iblis yang harus dihindari, Fred.”
“Ia adalah gadis cantik yang menarik,” bantah Fred, “Kalau engkau memang tidak menyukainya, jangan
menjelek-jelekannya. Masih banyak yang mau menjadi suaminya kalau engkau tidak mau.”
“Apa katamu!?”
“Hampir semua pria di sini tertarik pada Rara. Tetapi demi engkau, kami semua mundur. Engkau dan
Rara sangat cocok, tetapi karena engkau sendiri yang berkata membencinya, aku akan maju sebelum
disaingi yang lain. Aku berterima kasih engkau menjadikan aku orang pertama yang mengetahuinya.”
“Aku tidak percaya kalian semua telah terjerat olehnya,” seru Erland, “Mengapa kalian bisa sedemikian
bodoh?”
“Jangan berkata seperti itu, Erland. Semua orang di sini tahu engkau mencintainya. Tindakanmu, caramu
memandangnya telah menunjukkan cintamu. Hanya dengan dia engkau bisa bertengkar sehebat itu.
Hanya Rara yang mampu menghinamu tanpa membuatmu marah. Aku yakin akan berbeda halnya kalau
Cirra yang menghinamu.”
“Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura, Erland. Kami semua tidak buta dan tidak tuli. Pertengkaran hebatmu malam yang
lalu terdengar oleh kami semua. Walau kami tidak tahu apa arti kata yang diucapkan Rara, kami tahu ia
menghinamu.”
Erland diam saja.
“Jangan diam saja, Erland. Aku yakin engkau mengerti apa yang diucapkan Rara.”
“Engkau ingin tahu?”
“Tepat sekali!”
Erland terdiam sejenak lalu berkata, “Tabib, sembuhkan dirimu sendiri. Manusia yang satu adalah
serigala bagi manusia yang lain.”
“Kata-kata yang cukup bermakna,” komentar Fred.
“Tepatnya nasehat,” Erland membenarkan, “Bayangkan pelayan seperti dia menyuruhku memperbaiki
diri sendiri. Bahkan, memperingatkanku.”
“Ia memang tepat, Erland. Tak heran ia menjadi pelayan kesayangan keluarga Apaleah.”
Erland tidak menanggapi.
“Lihat saja hasil tindakannya. Baru dua minggu berlalu sejak ia dibebaskan. Tetapi ia sudah membuat
banyak perubahan. Wanita-wanita sekarang lebih mudah memintal benang. Anak-anak mendapat
pelajaran setiap hari. Bahkan, yang tua-tua pun diajarinya menulis dan membaca. Belum pernah aku
melihat gadis setekun dia.”
Erland tidak menanggapi. Tapi dalam hatinya ia mengakui kata-kata Fred. Berkat gadis itulah sekarang
kehidupan rakyatnya menjadi lebih baik.
“Erland…”
Rengekan itu membuat Erland berpaling. “Adaapa, Cirra?”
“Lihat ini!” rengek Cirra sambil menunjuk pipinya yang memerah.
“Adaapa dengan wajahmu, Cirra?” tanya Fred.
“Perempuan itu yang melakukannya. Ia menamparku.”
“Rara?” tanya Fred tak percaya.
“Ia memang keras kepala tetapi ia tidak mudah memukul orang apalagi menampar wanita,” bela Erland,
“Engkau pasti mengatakan sesuatu yang membuatnya marah.”
“Tidak,” bantah Cirra, “Aku hanya bertanya baik-baik padanya dan ia menamparku.”
“Aku tidak mempercayaimu,” kata Erland tajam.
“Tanyai saja dia,” saran Fred.
“Aku memang bermaksud menemuinya.”
“Beri dia pelajaran!” seru Cirra, “Aku akan senang sekali kalau engkau mengurungnya. Dasar wanita
tidak tahu terima kasih!”
“Sudah, Cirra,” Fred menghentikan.
Erland meninggalkan mereka tanpa berkata apa-apa.
Altamyra tetap meneruskan kesibukannya menyulam di atas sisa gaun sutranya. Ia mengetahui kehadiran
Erland tetapi tidak menghiraukannya.
“Menyingkirlah,” kata Altamyra tenang, “Engkau menghalangi matahari.”
“Kupikir engkau senang bisa terlindung dari terik matahari.”
Altamyra sedang tidak ingin berbasa-basi. “Engkau telah mendengar rengekannya, bukan? Kalau
engkau ke sini untuk bertanya mengapa aku menamparnya, lebih baik engkau bertanya padanya. Ia tahu
persis sebabnya.”
“Sialnya, aku lebih mempercayaimu.”
“Aku merasa tersanjung,” kata Altamyra dingin.
“Aku datang tanpa niat untuk membuatmu marah. Jadi, bekerja samalah denganku.”
“Engkau tahu aku tidak mau.”
“Engkau juga tahu aku bisa memaksamu melakukannya,” Erland mencengkeram Altamyra.
Altamyra menatap tajam Erland lalu berkata, “Baiklah. Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu.”
“Setelah mendengarnya, engkau bisa memutuskan sendiri siapa yang salah,” Altamyra memulai, “Cirra
datang dan menuduhku menggodamu. Katanya aku adalah wanita genit yang mencoba merampasmu
darinya. Dan, aku telah mencoba menerangkan tetapi ia terus menghinaku. Kita berdua tahu itu salah. Ia
bahkan menghina leluhurku dan membuat kesabaranku habis.”
“Aku heran mengapa engkau tidak membungkam mulut kekasihmu seperti engkau membungkamku.”
“Kekasihku?” tanya Erland heran, “Siapa yang mengatakannya padamu?”
“Bukan aku,” jawab Altamyra tenang, “Tapi dia.”
Erland menatap tajam Cirra di luar rumah.
“Kusarankan engkau menjelaskan padanya kalau kita saling membenci. Aku tidak suka terus
dicemburui.”
“Dia bukan kekasihku.”
“Terserah,” Altamyra bangkit, “Biarkan aku pergi. Aku bosan terus-menerus diganggu kalian.”
Erland membiarkan Altamyra pergi. Ia mempunyai urusan lain yang lebih penting daripada mengurusi
Altamyra.
Altamyra yakin Cirra akan merasakan kemarahan Erland. Diam-diam ia merasa kasihan padanya. Ia
yakin selain dirinya, tidak ada lagi yang berani melawan Erland.
Altamyra masuk lebih dalam ke hutan. Ia mencari-cari pohon rindang dan duduk di bawahnya.
Suasana sepi hutan membuat Altamyra tenang. Ia mengerjakan kembali pekerjaannya.
Menyulam di kain sutra yang halus adalah pekerjaan sulit. Tapi, sisa gaun ini sayang untuk dibuang.
Karena tebalnya lapisan gaun itu, mereka bisa membuat tali yang panjang dan masih menyisakan kain
yang cukup lebar.
Sisa kain itu ingin dipergunakan Altamyra sebagai taplak meja. Altamyra memberinya gambar alam yang
indah dan menyulamnya dengan benang pintalnya yang terang. Walau pekerjaan itu belum separuhnya
selesai, Altamyra dapat melihat hasilnya yang indah.
Tidak percuma ia dibesarkan di daerah yang wanita-wanitanya pandai menjahit, memintal, menenun, dan
berbagai pekerjaan jahit menjahit lainnya.
“Setan cilik!”
“Ouch!” jarum Altamyra lolos dari kain dan menusuk jarinya.“Kau membuatku terkejut,” katanya
menyalahkan.
“Apa yang kaulakukan di sini?”
“Menyepi,” jawab Altamyra, “Jangan khawatir aku tidak akan kabur. Aku tahu percuma kabur darimu.”
“Aku senang engkau mengerti hal itu. Tetapi, aku marah atas sikapmu.”
“Aku?” tanya Altamyra tak bersalah.
“Benar, engkau telah membuat kami semua cemas. Engkau tiba-tiba menghilang dan tidak muncul waktu
makan siang.”
“Makan siang sudah usai?”
“Apakah engkau bodoh atau linglung?” gerutu Erland, “Sekarang ini sudah hampir malam!”
Altamyra heran melihat langit yang mulai gelap.
“Sekarang engkau baru sadar?”
“Maafkan aku,” kata Altamyra.
Erland heran mendengar penyesalan yang tulus itu.
“Terima kasih engkau mau menjemputku. Aku tidak yakin bisa pulang sendiri malam-malam seperti ini.
Aku belum mengenal baik tempat ini.”
“Kupikir engkau tidak tahu berterima kasih.”
Kalau Erland bermaksud membuat Altamyra marah, ia telah gagal. Altamyra tidak tersinggung. Dengan
tenang ia berkata, “Aku membencimu tetapi aku tetap tahu terima kasih.”
“Aku merasa seperti disanjung.”
Altamyra beranjak bangkit. Erland diam mengawasi gadis itu memunguti barangnya satu per satu.
“Mari kita pulang.”
Erland mengikuti Altamyra. Sambil melihat punggung Altamyra, Erland berpikir mengapa gadis itu bisa
berubah sejauh ini. Sedikitpun ia tidak menebarkan benih-benih permusuhan, seperti biasanya.
Pancingannya pun dibalasnya dengan tenang.
Entah apa yang membuatnya menjadi lebih sabar. Kalau suasana hutan bisa mendinginkan kepala gadis
itu, ia akan membiarkannya sepanjang hari berada di dalam hutan. Ia sudah lelah bertengkar dengannya.
Mereka selalu bertengkar. Bahkan, untuk hal-hal yang kecil. Ketika Altamyra mengatakan keinginannya
untuk tidur di dalam tenda bersama orang banyak, Erland menentangnya. Ia tidak setuju Altamyra tidur di
luar.
Bahkan, ketika Altamyra memutuskan akan mengajari para orang tua membaca dan menulis, Erland
menentangnya. Kata Erland, Altamyra sudah cukup repot dan cukup membuatnya pusing dengan
perubahan-perubahan yang dilakukannya.
Tetapi, harus diakui Erland bahwa Altamyra sangat peka terhadap sekitarnya. Erland mempunyai
keinginan untuk memberi rakyatnya pelajaran, tetapi ia terlalu sibuk dengan perlawanannya.
Untuk itu ia menyuruh Cirra menjadi guru mereka. Erland tahu Cirra melakukan tugasnya dengan
setengah-setengah tetapi ia terlalu pusing untuk menegur Cirra. Altamyra tidak mengetahui hal itu. Yang
diketahuinya hanya mereka membutuhkan pendidikan dan ia segera melakukannya begitu dia bebas dari
selnya.
Altamyra memang patut dikagumi. Walau tangan dan kakinya terikat rapat, ia masih memperhatikan
sekelilingnya.
Mungkin Fred benar sikap itulah yang membuatnya menjadi pelayan kesayangan keluarga Apaleah.
Dan, kini menjadi kesayangan rakyatnya yang mulanya membencinya.
Altamyra tersandung sesuatu.
Erland cepat-cepat menangkap tubuh gadis itu sebelum ia jatuh terjerembab. “Ceroboh!” tudingnya.
“A…aku… aku,” Altamyra belum pulih dari kagetnya, “Aku tidak tahu di sini ada akar pohon.”
“Engkau memang harus diawasi ketat setiap hari.”
“Aku sudah tidak apa-apa sekarang. Engkau bisa melepaskanku.”
“Kurasa engkau salah.” Erland memunguti barang-barang Altamyra yang terjatuh tetapi sebelah
tangannya tetap memeluk pinggang Altamyra. “Kurasa aku harus di sampingmu terus kalau aku tidak
ingin direpotkanmu.”
“Aku yakin aku bisa menentukan arah jalanku sendiri.”
“Ya, ke arah jalan yang rusak. Lebih baik engkau mengalah padaku. Aku lebih mengenal tempat ini
daripada engkau.”
Altamyra tahu Erland benar. Ia tidak mencoba melawan perintahnya. Ia mengikuti pria itu.
Kedatangan mereka disambut hangat oleh mereka yang mencemaskan Altamyra. Mereka lega dan
senang melihat Altamyra baik-baik saja.
Altamyra melihat Cirra berdiri di ambang pintu dengan kesal. Dari raut wajahnya terlihat jelas Erland
telah memarahinya. Sekarang ia menjadi penuh dendam pada Altamyra.
Walaupun telah mengetahuinya, Altamyra tidak takut. Ia merasa tidak bersalah atas apa yang menimpa
Cirra. Dia sendiri yang membuat dirinya mengalami semua ini.
Altamyra pergi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian ia sudah berada di antara orang-orang
yang duduk menghadap api unggun.
Mereka saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Sementara yang satu bercerita, yang
lain mendengarkan dengan penuh perhatian. Bergantian mereka menceritakan pengalaman mereka
masing-masing.
Altamyra senang mendengarkan cerita mereka, tetapi ia selalu mengelak menceritakan masa lalunya.
“Aku tidak pandai bercerita.” Itulah yang selalu dikatakannya tiap kali tiba gilirannya.
Masa lalunya yang penuh penderitaan adalah satu di antara banyak hal yang ingin dilupakan Altamyra. Ia
tidak mau membagi duka masa lalunya dengan siapa pun. Ia ingin menyimpannya sebagai kenangannya
sendiri.
“Kali ini pun engkau tidak mau bercerita?” tanya Fred.
“Aku hanya dapat berharap kalian mengerti aku tidak ingin membagi masa laluku dengan siapa pun,”
kata Altamyra lembut.
“Di sini kita semua adalah teman,” Fred meraih tangan Altamyra, “Tidak ada rahasia di antara kita.”
“Itulah yang membuat aku senang tinggal di sini.”
“Apakah menjadi pelayan keluarga Apaleah tidak menyenangkanmu? Engkau pelayan kesayangan
mereka, bukan?”
“Andaikan aku adalah pelayan kesayangan mereka, seorang pelayan tetaplah pelayan. Ia harus tunduk
pada perintah majikannya. Aku adalah burung yang bebas dan tidak mau terikat. Semua itu membuatku
tersiksa bagai dikurung. Mereka mematahkan sayapku hingga aku tidak bisa terbang.”
Fred bergerak mendekati Altamyra. “Aku dapat membayangkan kesusahanmu.”
Altamyra tidak senang melihat Fred semakin mendekatinya.
“Mengapa tidak kauceritakan saja kesusahanmu itu?”
Baru kali ini Altamyra senang mendengar suara sinis itu. Suara itu membuat Fred melepaskan tangannya
dan bergerak menjauh.
Altamyra tidak melihat kapan Erland tiba, tetapi sekarang Erland sudah ada di sisinya.
“Akan kucoba,” kata Altamyra, “Walau aku tidak pandai bercerita.”
“Itulah yang kita nantikan!” seru Fred.
“Kalian tahu bagaimana perasaan seekor burung dalam sangkar?” Altamyra memulai ceritanya.
“Biasanya ia dapat terbang ke mana pun ia mau dan kini ia hanya bisa terbang dalam sangkarnya yang
sempit. Walaupun sangkarnya luas dan terbuat dari emas, ia tidak bahagia. Sebab ia telah terbiasa
terbang ke manapun ia mau. Ia bebas mencari dan melakukan apa yang disukainya.”
“Tetapi, kini ia hanya dapat duduk dalam sangkar. Ia hanya dapat melihat alamnya yang hijau tanpa
dapat terbang kesana. Ia hanya dapat membayangkan hutannya yang hijau rimbun dan sejuk. Kerjanya
hanya menanti tuannya memberinya apa yang tidak disukainya. Ia tidak mau melakukannya, tetapi demi
bertahan hidup ia memaksa dirinya sendiri untuk melakukannya.”
“Sering kali ia berpura-pura sekarat dengan harapan tuannya akan melepaskannya tapi tuannya terlanjur
sayang padanya. Setiap kali melihatnya kurang sehat, sang tuan segera mencarikan dokter terbaik untuk
mengobatinya. Maka, ia pun mencoba melakukan yang yang terbaik bagi tuannya agar ia segera
dilepaskan. Tapi,” Altamyra mendesah panjang.
“Ia salah lagi,” Altamyra sedih, “Tuannya menjadi semakin menyayanginya dan tidak mau
melepaskannya. Sekarang ia telah bebas dan ia sangat bahagia. Karena itu kukatakan pada kalian,
kebebasan itu sangat penting. Hanya dengan kebebasan kita bisa bahagia.”
“Hebat sekali!” Fred memberi Altamyra tepuk tangan. “Kalau engkau mengelak lagi dengan berkata
tidak pandai bercerita, aku akan menertawakanmu. Engkau sangat pandai bercerita. Engkau
mengumpamakan dirimu dengan burung dan membuat kami seperti melihat sendiri bagaimana kehidupan
sang burung yang tidak bahagia.”
“Terima kasih.” Altamyra merasa tidak enak mendengar pujian itu.
“Sudah cukup,” kata Erland tiba-tiba, “Sekarang waktunya engkau tidur.”
Altamyra terkejut Erland tiba-tiba menariknya. Untung saja lukanya sudah lama sembuh, kalau tidak
luka itu pasti sudah membuka lagi karena kekasaran Erland.
“Adaapa denganmu?” protes Altamyra.
“Sekarang waktunya engkau tidur,” jawab Erland dingin.
“Tapi aku tidak tidur di sini. Aku tidur di luarsana.”
“Mulai malam ini engkau tidur di kamarku.”
“Apa!?” pekik kaget Altamyra.
“Sudah kukatakan aku harus mengawasimu secara penuh,” kata Erland sesinis senyumannya.
“Tidak!” protes Altamyra, “Aku tidak mau!”
“Sayangku,” kata Erland berbahaya. Erland menatap Altamyra lekat-lekat. “Jangan mempersulit dirimu
sendiri.”
“Aku tidak mau tidur di tempatmu!” Altamyra balas menatap tajam.
Erland tersenyum kejam lalu mengangkat Altamyra.
“Turunkan aku!” ronta Altamyra. “Turunkan!”
Altamyra terus meronta-ronta dan memukuli dada Erland tetapi pria itu tetap melangkah pasti menuju
kamarnya.
“Aku membencimu,” desis Altamyra saat Erland meletakkannya di tempat tidur. “Sampai mati pun aku
tidak akan memaafkanmu!”
Erland tiba-tiba memeluk Altamyra.
Altamyra meronta kuat-kuat tetapi Erland juga memperkuat pelukannya hingga Altamyra merasa
dadanya sesak.
“Manusia kejam,” desis Altamyra, “Perbuatanmu sama buruknya dengan si Raja serigala itu. Engkau
tidak pantas menggantikannya.”
Altamyra tidak mempedulikan apa-apa lagi termasuk air mata yang mengalir di pipinya. “Bagaimana
engkau akan memperbaiki kehidupan rakyat kalau engkau sekejam dan sekasar ini?” desisnya penuh
kebencian dan kesedihan.
Tidak diduga Altamyra, Erland mencium air mata yang menuruni pipinya.
“Akan kutunjukkan padamu kalau aku bisa bersikap lembut,” kata Erland lembut, “Tapi itu pasti sulit.
Engkau, setan cilik, membuatku selalu ingin menyiksamu sampai mati.”
“Lebih baik aku mati daripada kausentuh,” desis Altamyra.
“Aku tidak akan membiarkannya terjadi,” kata Erland dengan nada menghibur.
Altamyra semakin membenci Erland. Kalau Erland tidak memeluknya kuat-kuat, ia pasti sudah
meledak-ledak. Matanya menatap Erland dengan api kemarahan yang berkobar-kobar.
Erland mencium bibir Altamyra dengan lembut lalu membaringkannya dengan lembut pula. “Tidurlah,”
katanya, “Aku akan tidur di lantai.”
Erland menyelimuti Altamyra lalu mengambil guling di sisi gadis itu.
Altamyra menarik selimutnya tinggi-tinggi saat tubuh Erland menyeberangi tubuhnya.
Erland tersenyum nakal dan berkata, “Engkau lebih cantik kalau diam seperti ini.” Erland mencium
Altamyra sekilas sebelum berbaring di lantai.
Wajah Altamyra merah padam. Seumur hidup baru kali ini dipuji cantik oleh seorang pria.
Altamyra merasa dirinya tolol. Karena pujian pria yang dibencinya saja, ia sudah seperti salah tingkah.
Jantungnya berdegup kencang melihat Erland berbaring di sisi kaki ranjang.
Altamyra senang melihat wajah tampan yang terpejam itu. Tetapi, ia membencinya saat wajah itu
memandangnya dengan sinis.
Altamyra tahu Erland pria yang berani dan baik. Kalau saja kebenciannya tidak ada, ia pasti telah
terpikat padanya. Tetapi, ia masih marah atas sikap Erland pada pengawal-pengawal itu.
Kemarahannya seperti anak kecil. Altamyra tahu hal itu tetapi ia tidak bisa berhenti membenci Erland.
Altamyra yakin Erland seperti dirinya. Ia juga tidak bisa berhenti membencinya. Kalau mereka
sama-sama mau melupakan kemarahan mereka yang tidak berarti, mereka bisa rukun.
Bila ingin kehidupannya di tempat ini lebih baik untuk hari-hari selanjutnya, Altamyra harus mau berusaha
melupakan kemarahannya yang tiada berujung.
Erland pusing.
Hari-hari belakangan ini semua yang dilakukannya tidak ada yang beres. Ia tidak dapat memanah
dengan tepat. Permainan pedangnya kacau.
Semua perhatiannya hilang. Semuanya tercurah untuk seorang gadis yang dapat mengobrak-abrik
ketenangannya. Setan cilik satu itu memang tidak bisa dilepaskan walau hanya sesaat. Selalu saja ada
yang mengekorinya.
Erland heran bagaimana gadis itu menarik perhatian para pria hingga ia selalu dikejar mereka seperti
lebah dan madu.
“Engkau memikirkan apa?”
Erland menatap Fred. “Aku tidak tahu.”
“Jadi, engkau mengakuinya?”
“Mengakui apa?”
Fred menyandarkan punggung di pohon dan berkata, “Engkau menyukai Rara.”
“Aku!?”
“Semua orang tahu engkau mencintai Rara,” kata Fred, “Malam engkau menarik Rara, engkau
menunjukkan kecemburuanmu.”
“Aku!?”
“Akui saja engkau cemburu. Semua yang ada disanatahu engkau cemburu padaku.”
“Apa yang semalam kalian mimpikan?”
“Kami bermimpi engkau dan Rara menikah.” Fred tersenyum nakal.
Erland mengibaskan tangannya sambil berkata, “Jangan terlalu banyak bermimpi.”
“Terserah kalau engkau tidak mau mengakuinya. Tapi, jangan katakan aku tidak memperingatimu, “kata
Fred, “Saat ini banyak yang nekat merebut Raramu. Aku khawatir kalau engkau tidak bergerak cepat,
engkau akan kehilangan dia untuk selamanya.”
“Untuk apa aku mengkhawatirkannya?”
“Terserah padamu,” kata Fred, “Saat ini beberapa anak muda berencana untuk melamar Rara.”
“Melamarnya?” Erland terlonjak kaget.
“Aku mendengarnya sendiri. Mereka akan mengajukannya siang ini.”
“Apakah mereka tidak dapat berpikir mereka masih terlalu kecil untuk menikah? Mereka masih
anak-anak!”
“Daripada engkau ribut di sini, lebih baik engkau menemui Raramu,” Fred memberi usul.
“Aku baru saja akan menemuinya,” Erland meloncat bangkit.
Fred tersenyum puas dan berseru, “Lamar dia sebelum didahului yang lain!”
Kata-kata itu menimbulkan ide di benak Erland. Mungkin itu jalan yang terbaik.
Mereka tidur dalam satu kamar telah menimbulkan banyak gosip. Pernikahannya dengan gadis itu akan
menghentikan gosip-gosip itu dan dapat memulihkan nama baik mereka. Dengan pernikahannya itu pula
ia menjadi lebih leluasa untuk mengawasi gadis itu.
Akhirnya Erland harus mengakui kecantikkan Altamyra. Sejak awal gadis itu telah membuat banyak hal
yang membuatnya takjub.
Mula-mula ia marah sambil menangis. Lalu ia terus menghinanya tanpa henti. Erland yakin tak ada pria
yang tahan mendengar rentetan hinaan itu selain dirinya. Hanya gadis itu saja yang mampu menahan sakit
dan lapar selama berhari-hari.
Erland yakin ia takkan dapat menemukan gadis lain yang seunik setan ciliknya. Setan ciliknya itu sama
sekali tidak mengenal rasa takut.
Melihat wajahnya yang cantik seperti boneka, orang takkan menduga hal itu. Matanya yang biru cerah
selalu menatap tajam. Rambut panjangnya yang keemasan selalu bersinar lembut.
Tak seorang pun yang tidak takut pada kemarahannya selain dia.
Rupanya gadis itu tidak hanya menarik untuknya saja. Semua orang tertarik dengan kepandaian dan
ketangkasannya.
Akhirnya Erland harus mengakui bahwa ia tertarik pada gadis itu dan mencintainya.
Fred benar kalau sekarang ia tidak segera bertindak, ia bisa kehilangan Rara untuk selama-lamanya.
Erland mempercepat langkahnya. Ia merasa harus menemukan Rara secepat mungkin sebelum ada yang
mendahuluinya.
Altamyra berlari-lari kecil sambil bersenandung. Ia merasa sangat gembira.
Hijaunya pepohonan ini mengingatkannya pada desa Marshwillow tempat ia dibesarkan. Ia merindukan
desanya yang hijau.
“Setan cilik!”
Altamyra jengkel. Erland merusak kegembiraannya untuk kesekian kalinya selama ini berada di tempat
ini.
“Adaapa?” tanya Altamyra acuh.
“Apa yang kaulakukan di sini?” selidik Erland.
“Khawatir aku kabur?” tanya Altamyra, “Jangan khawatir, aku tidak akan kabur. Masih banyak yang
harus kulakukan untuk rakyatmu.”
“Aku senang mendengarnya. Kalaupun engkau kabur, aku pasti bisa menemukanmu.”
“Aku yakin engkau akan.”
Erland menarik tangan Altamyra. “Berhentilah, aku ingin berbicara denganmu.”
“Apa lagi yang harus kita bicarakan?” tanya Altamyra. “Aku telah setuju untuk tidur di kamarmu. Aku
juga telah berjanji tidak akan kabur. Masih adakah yang kurang?”
“Apakah engkau tidak bisa bekerja sama denganku walau hanya sekali?”
“Tidak,” jawab Altamyra tegas, “Aku tidak bisa bekerja sama dengan orang yang kubenci.”
“Sebenarnya, apa yang membuatmu marah padaku?” tanya Erland. “Aku telah berulang kali minta maaf
padamu atas kekasaranku padamu. Apakah itu belum cukup?”
Altamyra membuang muka.
“Hanya engkau satu-satunya wanita yang bisa memendam marah lebih dari satu bulan.”
“Terima kasih,” kata Altamyra dengan tersenyum.
“Engkau mau memberitahuku?”
“Engkau sudah tahu mengapa aku tidak dapat berhenti membencimu,” kata Altamyra dengan tenang.
“Baiklah,” Erland mengalah, “Aku minta maaf atas semua kesalahan, kekasaran serta segala sikapku
yang tidak pantas padamu.” Erland menatap Altamyra, “Engkau puas?”
“Belum.”
Erland mengangkat tangannya dengan pasrah. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu terus membenciku.
Aku datang bukan untuk mencari pertengkaran baru. Aku datang untuk melamarmu.”
“Melamarku?” tanya Altamyra tak percaya.
“Aku bertanya maukah engkau menjadi istriku?” ulang Erland dengan tegas.
Altamyra memandangi Erland. “Engkau tidak sedang mabuk?”
“Tidak,” sergah Erland. “Aku sadar apa yang kukatakan.”
Altamyra menatap Erland lekat-lekat.
“Engkau bersedia?”
“Tidak!” sahut Altamyra tegas, “Aku tidak mau menikah denganmu!”
Erland menangkap lengan Altamyra. “Engkau harus,” desisnya.
“Tidak!” bantah Altamyra, “Engkau tidak dapat memaksaku!”
“Baiklah,” Erland mengalah. “Aku memberimu waktu sampai malam ini.”
“Hanya malam ini,” Erland menegaskan.
“Aku tetap tidak sudi!” seru Altamyra pada punggung Erland yang menjauh.
“Menikah dengannya?” kata Altamyra pada dirinya sendiri. “Sampai mati pun aku tak sudi.”
Kecuali kemarahannya yang belum sirna, Altamyra telah mengakui Erland adalah pahlawan. Ia
mengagumi keberaniannya. Tapi, perasaan Altamyra hanya sampai sejauh itu.
Kalau ia disuruh memilih antara menikah dengan Erland atau membiarkan Cirra merebut Erland, ia pasti
akan memilih membiarkan Cirra menikah dengan Erland. Ia mengagumi Erland tetapi tidak tertarik untuk
menikah dengannya.
Altamyra melupakan pinangan Erland. Apapun yang terjadi, ia tetap akan mengatakan “TIDAK!”
Dengan hati riang, ia kembali menari-nari di hutan. Di hutan itu ia mengenang kembali desa
Marshwillownya yang hijau. Ia benar-benar ingin kembali ke desanya sebelum ia dipaksa
meninggalkannya.
Altamyra terus bermain di hutan sampai siang.
Seperti biasa, di siang hari ia membantu para wanita memintal benang. Sore hari ia membantu mereka
menyiapkan makan malam.
Altamyra ingin makan malam bersama mereka, tetapi Erland tidak memperbolehkannya. Seusai
membersihkan diri dan membantu para wanita, Erland memaksanya naik ke kamar.Seperti Erland,ia
sudah lelah bertengkar.
Lebih baik terlebih untuk malam ini, Altamyra segera naik ke atas dan duduk diam di kamar sampai
pagi.
Tidak seperti biasanya malam itu Erland segera masuk ke kamar. Erland tidak segera menanyai
Altamyra. Ia menyibukkan diri di meja kerjanya.
Altamyra tidak mempedulikannya, ia duduk di pojok ranjang dan terus menyulam. Ia ingin segera
menyelesaikan taplaknya. Altamyra yakin malam ini juga taplaknya bisa selesai. Yang belum
diselesaikannya hanya awan-awan kecil dan burung-burung yang terbang di angkasa.
Tiba-tiba Altamyra merasa ada yang mengawasinya. Altamyra mengangkat kepalanya dan terkejut
melihat Erland tengah memperhatikannya.
“Kelihatannya engkau sibuk sekali.”
Altamyra meletakkan sulamannya. Ia tahu saatnya telah tiba.
Erland duduk di samping Altamyra. “Bagaimana?” tanyanya lembut.
“Dengan sangat menyesal,” kata Altamyra lambat-lambat, “Aku tetap tidak dapat menikah denganmu.”
Altamyra telah berkata tenang agar tidak membangkitkan kemarahan Erland tetapi pria itu marah juga.
“Apakah engkau tidak bisa berhenti membenciku? Sebenarnya apa dosaku padamu?”
“Engkau tahu sendiri,” balas Altamyra tidak mau kalah, “Aku yakin engkau tidak terlalu bodoh untuk
mengetahuinya.”
“Apakah engkau masih marah padaku karena aku membunuh orang itu?” Erland mencengkeram lengan
Altamyra.
“Engkau tahu sendiri.”
“Apakah engkau tidak punya pikiran lain selain itu?” tanya Erland tidak percaya. Kemudian dengan nada
yang lebih lembut ia melanjutkan, “Dalam peperangan, kita tidak peduli siapa yang bersalah siapa yang
tidak. Tidak ada hukum dalam peperangan. Begitu pula dalam perjuanganku melawan Raja Wolve.
Kalau kita tidak membunuh, kita yang akan dibunuh. Itulah hukum perang.”
Altamyra menatap Erland dengan tajam.
“Aku akan memberimu waktu lagi. Pikirkanlah kata-kataku ini. Besok pagi aku akan menanyaimu lagi,”
kata Erland dengan kelembutan yang membuat Altamyra heran. Tapi gadis itu tidak heran ketika Erland
menciumnya dengan lembut sebelum berkata, “Selamat malam.”
Altamyra tetap duduk meringkuk ketika Erland sudah membaringkan diri di sisi kaki ranjang.
Gara-gara apa yang dikatakan Erland, Altamyra tidak dapat tidur. Ia terus berpikir apakah yang
dikatakan Erland itu benar?
Adapepatah Latin yang menyebut tidak ada hukum dalam perang. Tapi, Altamyra tidak habis pikir
mengapa orang bisa membunuh semudah itu.
Apakah nyawa itu tidak berharga lagi dalam perang?
Mereka tahu bisa terbunuh, tapi mengapa mereka mau berkorban?
Mengapa demi perang orang mau mengorbankan segala-galanya?
Apakah keuntungan perang?
Perang hanya membuat ibu pertiwi bersimbah darah. Mayat-mayat bergelimpangan. Kalau hasil dari
peperangan itu adalah kemenangan, itu bagus. Tapi kalau kalah…
Apa gunanya mengorbankan nyawa kalau ada cara lain untuk mencapai tujuan?
Erland sendiri bisa menempuh jalan lain yang lebih aman untuk mencapai cita-citanya. Ia bisa menikahi
Prischa. Kalau Raja Wolve mati, Prischa akan naik tahta. Ia juga akan menjadi raja dengan sendirinya.
Altamyra yakin Erland dapat melakukannya. Ia adalah pria tampan yang menarik. Tak mungkin Prischa
tidak menyukainya.
Tapi…
Altamyra tidak mengerti jalan pikiran orang-orang ini. Ia dibesarkan di desa yang damai, adil, tentram,
dan makmur. Ia tahu ia tidak akan pernah dapat memahami jalan pikiran orang-orang di negara ini.
Altamyra tidak dapat tidur. Ia ingin ke bawah berkumpul dengan orang-orang di luarsana.
Melihat Erland yang tidur di dekatnya, Altamyra mengurungkan niatnya. Walau pria itu tidur nyenyak,
bukan berarti ia tidak tahu sekitarnya.
Pernah suatu malam Altamyra terjaga dari tidurnya. Altamyra tidak tahu apa yang membuatnya
terbangun. Samar-samar Altamyra mendengar suara-suara yang menakutkan dirinya. Altamyra tidak
berani membayangkan apa yang bersuara itu.
“Apa yang membuatmu terjaga?”
Altamyra lega mendengar suara lembut itu. “Aku tidak tahu,” katanya, “Aku seperti mendengar
suara-suara yang menakutkan.”
Erland berdiri dan memeriksa keadaan di dalam maupun di luar ruangan luas itu. Ia kembali pada
Altamyra sesudahnya.
“Tidak ada apa-apa,” katanya, “Mungkin engkau bermimpi.”
“Mungkin,” kata Altamyra ragu-ragu.
Erland duduk di sisi Altamyra. “Tidurlah kembali. Aku akan di sini sampai engkau tertidur.”
Altamyra merasakan Erland mengenggam tangannya erat-erat dan memberikan rasa aman padanya.
Altamyra tahu Erland tidak pernah benar-benar terlelap dalam tidurnya. Gerakan kecil darinya bisa
membuatnya curiga.
Saat ini malam sudah larut dan Altamyra tidak ingin mengganggu tidur Erland. Ia berbaring walau tidak
yakin bisa tidur.
Kata-kata Erland terus menghantui pikirannya. Pikirannya terus melayang jauh tanpa bisa membuatnya
tertidur.
Malam yang semakin larut membuat pikiran Altamyra semakin larut, semakin melayang jauh.
Altamyra tidak ingat kapan ia tertidur, tetapi saat ia terjaga, ruangan itu sudah terang.
Erland berdiri memandanginya sambil tersenyum. “Engkau tidur juga akhirnya. Kupikir engkau akan
terus terjaga sampai pagi.”
“Sang rembulan membiusku,” sahut Altamyra sekenanya.
“Basuhlah mukamu. Engkau tampak kusut sekali.”
Altamyra meninggalkan tempat tidur menuju jendela. “Engkau keberatan bila aku membantu mereka?”
“Lakukan apa yang kausuka.”
Altamyra segera merapikan tempat tidurnya lalu meninggalkan Erland dengan hati riang.
Erland tersenyum melihat kegembiraan gadis itu. Ia tidak nampak telah berpikir terus sepanjang malam.
Erland segera mengganti bajunya dan bergabung dengan rakyatnya untuk sarapan pagi. Ia berniat
mengulangi pertanyaannya setelah makan pagi.
Altamyra tidak nampak terbebani sepanjang pagi itu hingga Erland mengajaknya berbicara di dalam
hutan.
“Aku masih belum mengerti,” kata Altamyra sebelum Erland memulai.
“Apa yang belum kaumengerti?” tanya Erland dengan sabar.
“Mereka tahu bisa terbunuh dalam perang, mengapa mereka mau maju kemedanperang?”
“Karena cinta mereka,” jawab Erland, “Karena cinta dan kesetiaan mereka pada pimpinan mereka.
Sama seperti kita yang siap mengorbankan segalanya untuk tanah air kita. Kita melakukannya karena
apa? Kita melakukannya karena kita mencintai tanah air kita.”
Altamyra merenungkan kata-kata itu sebelum berkata, “Sekarang aku mengerti.”
“Lalu bagaimana jawabanmu?’
“Aku tetap menolaknya,” kata Altamyra tegas.
“Mengapa?” tanya Erland heran, “Apakah engkau masih membenciku?”
“Tidak. Sekarang aku dapat mengerti tindakanmu,” kata Altamyra, “Tapi aku tetap menolak menikah
denganmu. Alasanku adalah aku baru mengenalmu.”
“Itu bukan masalah,” kata Erland, “Setelah kita menikah, kita bisa berteman sampai kita saling
mengenal.”
“Maafkan aku,” kata Altamyra, “Aku tidak dapat menikah tanpa alasan yang jelas.”
“Engkau ingin tahu alasannya?” Erland terlihat tidak sabar lagi, “Baik, aku akan memberitahumu. Aku
menikahimu agar aku mendapat dukungan lebih dari rakyat.”
“Dukungan?”
“Untuk melawan Raja Wolve, aku membutuhkan setiap dukungan yang bisa kudapatkan. Dengan
menikahi pelayan kesayangan putri mahkota, aku yakin akan semakin banyak orang yang memihakku.”
“Apakah engkau tidak dapat memikirkan jalan lain selain perang?”
“Apakah ada jalan lain untuk menggulingkan Raja Wolve?”
“Engkau bisa menikahi Putri Prischa. Kalau ia naik tahta, engkau dengan sendirinya akan menjadi raja.”
“Kaupikir itu bisa?” ejek Erland, “Apa tidak pernah terpikir olehmu seorang putri mahkota tidak dapat
menentukan sendiri calon suaminya?”
Altamyra diam termenung.
“Hanya dengan perang saja Raja bisa kugulingkan. Dan, aku bisa memperoleh lebih banyak dukungan
dengan menikahimu.”
Altamyra tetap diam.
“Apakah engkau tidak berpikir pernikahan ini akan menyelamatkan rakyat dari sengsara? Dengan
dukungan yang besar, aku pasti bisa menggulingkan Raja Wolve,” kata Erland penuh semangat. “Engkau
dan aku memiliki cita-cita yang sama yaitu membuat rakyat sejahtera. Aku tidak salah bukan?”
Altamyra diam. Matanya memandang jauh.
Erland memberi gadis itu kesempatan untuk berpikir.
Altamyra tampak ragu-ragu sebelum akhirnya dengan tegas ia berkata, “Aku bersedia.”
“Bagus,” kata Erland puas. “Sekarang juga kita menikah.”
“Apa!?” tanya Altamyra terkejut.
“Aku sudah menyiapkan segalanya,” kata Erland. Erland menarik Altamyra menemui Kana.
Sepertinya Kana tahu apa tugasnya. Begitu melihat Erland membawa Altamyra, ia segera menyambut
gadis itu. Kana mengeluarkan gaun putih sederhana dari sebuah peti dan menyuruh Altamyra
mengenakannya. Sementara Altamyra merapikan gaunnya, Kana membersihkan cadar pengantin.
Altamyra heran bagaimana Erland bisa menyiapkan gaun pengantin secepat ini.
Ternyata Altamyra tidak perlu bertanya. Kana telah menceritakan semuanya sambil mendandani
Altamyra.
Orang tua Erland ternyata juga pemberontak. Merekalah yang mula-mula mendirikan benteng ini.
Selama bertahun-tahun mereka mengobarkan semangat rakyat untuk melawan pemerintah Raja Wolve
yang kejam. Sayang Raja Wolve berhasil menangkap mereka. Ia menjatuhkan hukuman mati pada
mereka.
Saat itu Erland baru dua belas tahun. Dan, sejak itu pula ia memulai pemberontakan terhadap Raja
Wolve. Ia menyempurnakan benteng yang dibangun orang tuanya. Untuk menghidupi rakyat yang tinggal
di sini, ia sering menyerbu pasukan kerajaan yang bertugas menarik pajak.
Tindakannya membuat rakyat mencintai dan menghormatinya. Tapi juga membuat Raja Wolve murka.
Raja memerintahkan prajuritnya menangkap Erland. Tapi, ia tidak pernah berhasil.
Mata-mata Erland banyak. Banyak yang mau memberitahunya bila ada yang Raja rencanakan untuk
menangkapnya.
Selama bertahun-tahun Erland menjadi buronan Raja tanpa pernah sekali pun tertangkap. Erland terus
menyempurnakan strateginya agar Raja kewalahan.
Semua orang membenci Raja Wolve. Raja tega memeras rakyatnya dengan bermacam-macam pajak
yang tinggi hanya untuk memperkaya dirinya sendiri. Ia bahkan tega membunuh siapa saja yang berani
mengatakan ‘tidak’ padanya.
Semua orang di Kerajaan Vandella berharap Raja Wolve segera mati dan Erland naik tahta. Mereka
tidak mengharapkan orang lain selain Erland.
Altamyra mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik ketika mengetahui gaun pengantin yang
dikenakannya adalah milik ibu Erland. Altamyra merasa terhormat bisa mengenakan gaun yang berharga
ini.
Kana memberinya serangkaian bunga hutan yang indah.
“Sayang di sini tidak ada bunga lili atau mawar yang akan melengkapi kecantikanmu.”
Altamyra tidak menanggapi. Ia membiarkan Kana membimbingnya ke ruang tengah tempat Erland telah
menantinya.
Erland tampak sangat tampan dalam jas hitamnya yang halus. Jasnya sehitam rambutnya yang disisir rapi.
“Engkau mirip pengantin jaman pertengahan,” bisik Erland ketika menggandeng Altamyra menghadap
Pastor.
Altamyra tidak tahu bagaimana Erland bisa menyiapkan segalanya secepat jalannya upacara pernikahan.
Altamyra juga tidak mengerti mengapa Erland seperti menyembunyikan perkawinan mereka. Kalau ia
memang membutuhkan tambahan dukungan, ia pasti akan mengundang orang banyak dalam upacara ini.
“Pangeran! Pangeran!”
Upacara terhenti karena panggilan yang penuh kecemasan itu.
Fred segera bertindak dengan membuka pintu. Ia berbicara sebentar dengan orang itu lalu membisikkan
sesuatu pada Erland.
“Maafkan saya, Bapa, tampaknya kita terpaksa menghentikan upacara ini untuk sejenak.”
“Silakan,” jawab Pastor itu.
Erland segera menemui orang di luar itu.
“Berhenti!” Cirra menghadang Altamyra, “Takkan kubiarkan engkau lolos!”
Altamyra membelokkan kudanya dan memacunya kuat-kuat menerobos hutan.
Cirra terkejut melihat kenekatan Altamyra. Ia segera berlari menemui Erland.
“Erland! Erland!” teriaknya.
“Pergilah, Cirra, aku sibuk,” kata Erland.
“Kali ini engkau harus mendengarkanku!” Cirra mulai merengek.
Erland terus menyibukkan diri.
“Wanita itu mata-mata!” seru Cirra,” Sekarang ia kabur!”
“Apa katamu?”
“Mata-mata itu kabur! Ia pasti memberitahu siasat kita pada pasukan kerajaan!”
“Apa!?” Erland terkejut.
“Pasti dia yang memberitahu pasukan tempat kita.”
Erland meninggalkan bawahan-bawahannya dan segera melompat ke atas kuda.
“Pangeran!” seru mereka.
“Teruskan penyerbuan tanpa aku!” perintah Erland.
Erland memacu kudanya secepat mungkin. Ia melihat Altamyra sekitar tiga puluh meter di depannya.
Gadis itu dengan lincah mengarahkan kudanya melewati ranting-ranting pohon. Tangannya yang satu
sibuk melindungi wajahnya dari debu dan tangannya yang lain memacu kudanya cepat-cepat.
“Setan cilik!” teriak Erland.
Altamyra terus memacu kudanya.
Erland berusaha memperpendek jarak mereka tapi tiap kali ia berhasil, jarak mereka kembali menjauh.
Erland geram melihat ketangkasan Altamyra dalam mengendalikan kudanya. Gadis itu seperti tahu apa
yang harus dilakukannya agar jarak mereka tetap jauh.
“Berhenti!” Angin membawa pergi teriakan Erland.
Samar-samar Altamyra dapat mendengar langkah kuda di belakangnya. Ia juga mendengar
teriakan-teriakan Erland, tapi ia tidak mau berhenti. Altamyra terus mempercepat kudanya sambil berdoa
ia tidak terlambat.
Hampir dua bulan Altamyra berada di tempat ini. Waktu itu sudah lebih dari cukup baginya untuk mengenali kawasan hutan ini. Ia tahu jalan terpendek untuk memutus laju kedua kubu itu sebelum mereka
bertemu.
Altamyra tidak mau ada perang. Ia membenci segala yang berbau perang.
Cepatnya laju kuda Altamyra membuat gelungan rambut gadis itu terurai. Walau rambut pirangnya
berkibar-kibar seperti gaunnya, Altamyra tak peduli. Ia hanya ingin segera tiba.
“Berhenti, setan cilik!”
Altamyra semakin mempercepat kudanya. Saat ini tidak ada lagi yang dipedulikannya selain mencegah
pecahnya perang antara kedua musuh ini.
Dari kejauhan Altamyra melihat kedua pasukan itu bergerak mendekat dengan cepat dari jarak sekitar
limaratus meter.
Dalam hati Altamyra terus berdoa ia bisa tiba sebelum terlambat.
Setelah melewati rimbunan pohon, Altamyra segera membelokkan kudanya ke arah pasukan kerajaan.
“Mundur!” teriak Altamyra sambil memberi tanda dengan tangannya.
Tiga puluh meter di belakang Altamyra, Erland mendengar gadis itu terus meneriakkan kata “Mundur”
sambil memberi tanda dengan lambaian tangannya.
Altamyra kesal melihat pasukan itu tidak juga berhenti bergerak. “AKU PERINTAHKAN TARIK
PASUKAN!” Altamyra berteriak sekuat tenaganya.
Erland memperlambat laju kudanya melihat pasukan kerajaan tiba-tiba berhenti bergerak. Tetapi,
Altamyra terus memacu kudanya ke arah pasukan kerajaan.
Dengan gerak tangannya, Erland memerintahkan pasukannya berhenti.
Dari tempatnya, Erland melihat Altamyra terus memacu kuda menerobos puluhan ribu pasukan kerajaan
itu. Pasukan yang terdepan segera berbelok mengikuti Altamyra.
Tak seorang pun di antara merekapernahmelihat para pasukan yang bergerak mundur dengan teratur
dan indah itu. Cara mundur mereka unik. Mirip segerombol penari yang berbelok secara teratur dari
depan hingga yang terakhir.
Dengan bubarnya pasukan kerajaan, Erland pun memerintahkan pasukannya untuk mundur.
“Ia pasti mata-mata!” komentar itu yang pertama kali terlontar dari mulut Cirra setelah mengetahui apa
yang terjadi.
“Tutup mulutmu, Cirra!” sergah Erland, “Jangan lupa, ia adalah pelayan kesayangan Prischa. Pasti
mereka datang untuk menyelamatkannya.”
“Tapi sekarang ia bersama mereka, bukan?” protes Cirra, “Ia pasti akan membocorkan tempat ini pada
mereka.”
“Dengar, Cirra,” Erland memperingati dengan tajam, “Ia tidak suka perang.”
“Dia…”
Fred segera menutup mulut Cirra. “Sebaiknya engkau diam saja, Cirra. Rara bukan gadis seperti itu. Ia
pasti melakukan semua ini untuk menghindari perang.”
“Pasti!” Fred menegaskan.
“Beraninya kalian,” geram Altamyra murka.
Gadis itu menatap tajam setiap orang di depannya. Ia seperti akan menelan mereka semua dengan
matanya.
Semua orang menunduk ketakutan. Tak seorang pun yang berani menatap Altamyra apalagi
menentangnya.
“Siapa yang menyuruh kalian melanggar perintahku!”
Tak seorang pun yang berani membuka mulut.
Altamyra menyilangkan tangan di depan dadanya dan menatap tajam satu per satu prajurit di
hadapannya. Ia menanti munculnya orang yang mengaku bertanggung jawab atas penyerbuan ini.
Tak seorang pun luput dari tatapan murka Altamyra dan tak seorang pun yang berani mengangkat
kepalanya.
“Ma… maafkan hamba, Paduka,” kata Ludwick ketakutan, “Ham… hamba y…yang me…merintahkan
mereka.”
“Beraninya engkau melanggar perintahku!” bentak Altamyra. “Aku memerintahkan kalian diam di tempat
sampai aku datang!”
“Saya mengaku bersalah, Paduka,” Ludwick berlutut di hadapan Altamyra, “Hamba siap menerima
hukuman.”
Altamyra menatap Ludwick dengan penuh kemurkaan.
“Sebelumnya saya ingin Anda mengetahui semua ini terjadi karena saya mengkhawatirkan keselamatan
Anda, Paduka. Saya menanti di Thamasha seperti yang Anda perintahkan. Tetapi, Anda berada disana
lebih lama dari yang Anda janjikan. Saya khawatir mereka melukai Anda. Karena itu, saya meminta Rasputin menyiapkan pasukan untuk menyerang mereka.”
Altamyra menghela napasnya. Pandangannya menjadi lembut. Altamyra berlutut di depan Ludwick.
“Oh, Ludwick…” kata Altamyra lembut sambil memeluk pria tua itu, “Maafkan aku.”
Ludwick terkejut. “Pa… Paduka, Anda tidak pantas melakukan ini.”
Altamyra tersenyum selembut pandangannya. Ia menarik berdiri Ludwick lalu berkata, “Lupakan semua
kepantasan itu.”
“Anda adalah Ratu kami dan kami adalah bawahan Anda.”
“Kata ‘Ratu’ itu hanya menunjukkan tugas, tidak lebih dari itu,” kata Altamyra tegas, “Ratu maupun
Raja tetap saja seorang manusia.”
“Paduka…”
Altamyra mengangkat tangan menghentikan Ludwick.
“Maafkan aku,” Altamyra mengumumkan penyesalannya dengan ketegasan yang lembut, “Seharusnya
aku tahu kalian mengkhawatirkan aku. Aku tidak pantas memarahi kalian.”
Kata-kata itu menegakkan kepala setiap orang.
“Aku mengakui kesalahanku dan aku berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,” kata Altamyra, “Karena
aku sudah tahu mengapa kalian melanggar perintahku, aku pun ingin kalian tahu mengapa aku
marah-marah. Aku mengkhawatirkan kalian juga. Aku tidak ingin seorang pun di antara kalian mati hanya
karena aku. Aku tahu bagaimana perasaan keluarga kalian bila kalian gugur karena aku. Cukup sekali
saja aku mengorbankan nyawa orang.”
“Keluarga yang mereka tinggalkan telah kami urus, Paduka,” lapor Rasputin, “Mayat-mayat mereka
juga telah kami kuburkan dengan layak.”
“Terima kasih, Rasputin.”
“Adalah tugas saya melayani Anda, Paduka,” Rasputin merendahkan diri.
“Kalian bisa bubar sekarang,” Altamyra menutup pertemuannya, “Karena aku sudah berada di sini, kita
bisa kembali ke Perenolde. Kalau tidak ada halangan, kita kembali sore ini, kalian setuju?”
Paraprajurit itu berbisik-bisik. Beberapa di antara mereka memberanikan diri berkata, “Setuju!” Segera
prajurit yang lain mengikuti.
“Setuju!” teriak mereka serempak.
Altamyra tersenyum. “Berarti sudah diputuskan,” katanya, “Kalian bisa melakukan yang lain sampai
saatnya tiba.”
Paraprajurit bersikap tegap dan secara serempak memberi hormat pada Altamyra kemudian mereka
bubar.
“Anda juga bisa beristirahat, Paduka.”
“Tidak, Ludwick. Banyak yang harus kukerjakan.”
“Anda akan membuat kami berada dalam kesulitan kalau Anda masih mengenakan gaun usang itu
setibanya Anda di Istana.”
Teringat pelayan tuanya yang setia, Altamyra tertawa. “Aku yakin Hannah telah memberimu ancaman.”
“Anda tahu persis, Paduka.”
“Baiklah, Rasputin. Aku tidak akan membuat engkau mengalami kesulitan.”
Ludwick memanggil seorang prajurit. “Suruh Sylta mempersiapkan segala sesuatu untuk Paduka.”
Prajurit itu membungkuk lalu pergi.
“Mari, Paduka,” kata Ludwick, “Silakan mengikuti saya.”
Rasputin dan Ludwick mengawal Altamyra ke tenda besar yang ada di tengah-tengah kumpulan tenda
itu.
Seorang wanita muda muncul dari dalam tenda untuk menyambut Altamyra.
“Selamat beristirahat, Paduka,” kata mereka bersamaan.
Altamyra tersenyum dan memasuki tenda.
“Dia mirip sekali dengan Paduka Raja Wolve.”
“Hanya dalam beberapa hal, Rasputin.”
-----0-----
Altamyra mendesah panjang.
Semuanya tepat seperti yang diduganya. Seperti dulu, mereka menjemputnya dengan segala sesuatu
yang lengkap dan mewah. Kereta kuda emas, gaun-gaun indah serta pelayan-pelayan. Semua disiapkan
khusus untuknya, Yang Mulia Paduka Ratu Kerajaan Vandella.
Siapa yang menyangka gadis miskin sepertinya tiba-tiba menjadi Ratu? Altamyra pun tidak pernah
menginginkannya apalagi memimpikannya.
Hal ini memang mustahil. Gadis yang hidupnya selalu kekurangan tiba-tiba diangkat menjadi Ratu sebuah
kerajaan besar. Tapi apa yang terjadi pada Altamyra adalah nyata. Sekarang Altamyra menjadi gadis
kaya. Melebihi kekayaan setiap orang di kerajaan ini.
Keajaiban ini terjadi padanya karena darah biru yang mengalir padanya. Darah biru yang mengalir
padanya sangat kental dan bercahaya.
Ibu maupun ayahnya bukan orang biasa. Mereka adalah Raja dan Ratu dari Kerajaan Vandella. Tapi
selama bertahun-tahun mereka hidup terpisah.
Dari cerita ibunya, Altamyra tahu betapa kejamnya ayahnya. Bahkan, kepada putranya sendiri ia tega.
Walaupun Allan, kakaknya masih tiga tahun, tetapi bila ia melakukan hal yang tak disukai Raja Wolve, ia
mendapat pukulan tak peduli sekecil apa hal itu.
Raja Wolve ingin Allan bersikap sempurna sebagaimana layaknya seorang Putra Mahkota. Sempurna
dalam tindakan maupun kata-kata. Tetapi, sempurna menurut caranya.
Ratu Reinny tidak berani bertindak apa-apa untuk melindungi putranya. Ia sendiri sering merasakan
pukulan Raja yang ringan tangan itu.
Dari lubuk hatinya yang terdalam, Ratu Reinny membenci Raja. Kalau bukan karena dijodohkan orang
tuanya, ia tidak akan menikahi Raja Wolve sekali pun ia adalah pria terakhir di dunia ini. Ratu tidak
berani menolak juga tidak berani kabur. Ia bukan wanita penakut tetapi ia tidak berani melawan demi
keselamatan keluarganya.
Bila ia melawan, Ratu tahu Raja akan menghancurkan keluarganya. Pria itu tidak akan segan-segan
melakukan segala tindakan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Ratu Reinny tahu suaminya
adalah iblis terkejam dari antara para raja iblis.
Demi orang tuanya pula ia terus menahan keinginannya untuk meninggalkan Istana Azzereath. Setelah
orang tuanya meninggal, Ratu semakin ingin pergi tetapi ia tidak melakukannya. Saat itu ia baru saja
melahirkan Allan dan ia tidak tega meninggalkannya.
Banyak pengorbanan yang diberikan Ratu kepada keluarganya. Demi Allan, satu-satunya orang yang
dicintainya setelah orang tuanya meninggal, Ratu bertahan di Istana dingin yang suram itu.
Bertahun-tahun kemudian Ratu melahirkan anak keduanya. Kali ini ia melahirkan seorang anak
perempuan yang cantik. Setelah melihat sendiri apa yang terjadi pada Allan, Ratu yakin Raja juga tidak
akan segan memukul anak perempuannya yang mungil.
Ratu dilanda kebimbangan antara meninggalkan Vandella untuk menyelamatkan Altamyra dan menetap
di Istana untuk menjaga Allan. Ia sangat mencintai kedua anaknya dan tidak tega meninggalkan seorang
pun di antara mereka.
Sekejam-kejamnya Raja Wolve, Ratu yakin ia takkan membunuh Putra Mahkotanya sendiri. Berpegang
pada keyakinan itu, Ratu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Vandella selama-lamanya.
Dengan berat hati, Ratu meninggalkan Allan di malam-malam buta bersama Altamyra yang masih bayi
dan pelayannya yang setia, Hannah.
Negara yang menjadi tujuan Ratu adalah Roma. Ratu tahu suaminya takkan berani menyerangkotasuci
Roma kecuali ia ingin dimusuhi Raja-raja Eropa. DisanaRaja Wolve tidak dapat menemukan mereka.
Pada tahun pertama pelarian mereka, mereka bisa hidup enak berkat perhiasan-perhiasan mahal Ratu.
Walaupun begitu mereka tidak hidup bermewah-mewah. Asalkan mereka bisa makan, itu sudah cukup.
Ratu tahu ia harus menghemat segala yang dimilikinya untuk putrinya yang masih kecil.
Berkat uang simpanan Ratu itulah Altamyra tumbuh menjadi gadis cantik yang selalu ceria. Hidupnya
tidak bergelimangan kemewahan tetapi bergelimangan kebahagiaan. Altamyra terus tumbuh tanpa
mengetahui siapa ayahnya dan siapa dirinya yang sebenarnya. Altamyra hanya tahu ia adalah anak desa.
Sering Altamyra menanyakan ayahnya tapi Ratu tidak mau memberitahu. Baik Ratu maupun Hannah
merahasiakan hal itu dari Altamyra. Mereka hanya menjawab pertanyaan Altamyra dengan berkata,
“Aku akan mengatakannya suatu saat nanti.”
Sering pula Altamyra melihat ibunya sedang melamun. Ia tampak sangat sedih merindukan seseorang.
Altamyra yang tidak tahu apa-apa sering bertanya, “Mengapa Mama sedih? Mama memikirkan Papa?”
Ratu selalu menjawab pertanyaan polos itu dengan tersenyum sedih.
Seiring dengan tumbuhnya Altamyra, pikiran gadis itu menjadi lebih dewasa. Altamyra pun mulai berpikir
ayahnya meninggalkan ibunya hingga sekarang ibunya selalu merindukannya. Sejak itu Altamyra tidak
pernah menanyakan ayahnya lagi. Sejak saat itu pula muncul kebenciannya pada ayah yang tak pernah
dilihatnya.
Tahun demi tahun terus berganti. Tak terasa sudah sembilan tahun Ratu meninggalkan Istana. Tetapi,
sejak mereka pergi hingga saat ini tidak pernah terdengar kabar Raja Wolve mencari mereka. Ratu
sangat lega karenanya. Kehidupan yang tenang dapat terus dijalaninya. Kecuali mengkhawatirkan Allan,
tidak ada lagi yang membuat Ratu cemas.
Natal tahun ke sembilan itu semua berubah. Ratu tiba-tiba jatuh sakit. Kehidupan yang penuh kerja
keras membuat tubuhnya sakit-sakitan. Sebagai orang yang sejak lahir hidup dalam kemewahan, Ratu
tidak terbiasa hidup sederhana bahkan serba kekurangan seperti ini.
Uang yang sengaja disimpan Ratu untuk masa depan Altamyra terpaksa digunakan untuk mengobati
Ratu. Ratu tidak setuju menggunakan uang simpanannya itu tetapi Hannah tetap menggunakannya. Kata
Hannah, uang bisa dicari tetapi nyawa tidak.
Altamyra yang tidak tahu menahu tentang uang simpanan ibunya, diam saja. Ia hanya bisa terus berdoa
dan menjaga ibunya.
Baik Ratu maupun Hannah tidak ingin pendidikan Altamyra terhenti karena masalah ini. Mereka pun
mendesak Altamyra agar tidak meninggalkan pelajarannya demi menjaga Ratu.
Sebagai anak yang tahu balas budi, Altamyra menurutinya. Ia tahu untuk bisa membesarkannya, ibunya
telah bekerja keras. Semasa ibunya masih sehat dulu, hampir tiap saat Altamyra melihat ibunya dan
Hannah menenun kain seperti orang-orang desa Marshwillow lainnya. Mereka menenun hingga larut
untuk membiayai hidup mereka terutama Altamyra yang sedang tumbuh.
Ratu ingin memberikan yang terbaik bagi putrinya. Ia ingin Altamyra tumbuh sehat seperti gadis lainnya.
Sejak saat itulah hidup mereka menjadi lebih sulit. Seluruh uang yang mereka miliki digunakan untuk
mengobati Ratu. Tetapi, kesehatan Ratu terus memburuk.
Hannah, pelayan ibunya yang setia bekerja lebih keras untuk mengobati Ratu dan membesarkan
Altamyra. Tidak lagi istirahat untuknya. Di saat mempunyai waktu luang, ia membantu para tetangga
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia telah bekerja dengan sangat keras tetapi uang yang
dihasilkannya tidak pernah cukup untuk hidup mereka.
Walaupun masih anak-anak, Altamyra mengetahui kesulitan yang dialami keluarganya. Di balik
kesibukan belajarnya, ia sering membantu Hannah memintal dan menenun.
Altamyra juga tahu uang hasil kerja keras mereka tidak cukup untuk membeli semua kebutuhan mereka.
Altamyra meminta Hannah menggunakan semua uang itu untuk menyembuhkan ibunya.
“Demi kesembuhan Mama, aku mau mengorbankan apa saja.”
Itulah yang selalu dikatakannya pada Hannah.
Hannah sendiri juga mau melakukan apa saja demi kesembuhan Ratu tetapi ia juga mempunyai
kewajiban untuk membesarkan Altamyra.
Altamyra terus mendesak Hannah hingga wanita itu tidak mampu melawan keinginannya lagi.
Walaupun kesehatan Ratu terus memburuk, mereka tidak berhenti berusaha. Mereka terus menahan
lapar untuk membeli obat bagi Ratu. Mereka terus berusaha memberikan makanan yang terbaik untuk
Ratu.
Ratu tidak pernah tahu untuk dirinya, Hannah sering meminjam uang pada tetangga.
Penduduk desa Marshwillow tidak ada yang kaya, tetapi mereka tetap mau membantu. Ratu dan
Hannah adalah orang asing di tempat itu tetapi mereka telah dianggap penduduk sebagai bagian dari desa
Marshwillow. Demikian pula Altamyra yang tumbuh besar disana.
Perjuangan Ratu menghadapi penyakitnya akhirnya berakhir pada suatu musim gugur yang dingin.
Setelah selama dua tahun bergelut dengan penyakitnya, Ratu menghembuskan nafas terakhirnya di suatu
pagi yang hujan lebat.
Seperti kehilangan anggota keluarga mereka, seluruh penduduk desa Marshwillow bersedih atas
kepergian Ratu. Berita kematian Ratu yang tersebar cepat di desa kecil itu mengundang penduduk untuk
membantu pemakaman Ratu.
Hingga ia mati, Ratu tidak pernah mengatakan siapakah dirinya yang sebenarnya. Baik Altamyra maupun
penduduk Marshwillow mengenal Ratu sebagai seorang wanita lembut yang bernama Reinny.
Setelah pemakaman ibunya, Altamyra baru mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.
Untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu padanya, Ratu telah menulissuratwasiat dan menitipkannya pada
Hannah.Suratitu hanya boleh diberikan pada Altamyra bila ia telah meninggal. Dalamsuratitu, Ratu
mengatakan segala sesuatu yang selama ini dirahasiakannya dari Altamyra.
Mulanya Altamyra tidak percaya ia adalah Putri Kerajaan. Setelah mendengar cerita Hannah, barulah ia
percaya. Hal itu tidak membuatnya sombong, melainkan membuatnya makin rendah hati. Kebenciannya
pada ayahnya yang sudah tumbuh kian menjadi-jadi.
Seperti ibunya, Altamyra tidak berkeinginan untuk kembali ke Vandella. Walaupun ingin bertemu Allan,
Altamyra tetap bersikeras untuk tinggal di Marshwillow yang dicintainya.
Hannah tidak bisa berbuat apa-apa untuk memaksa Altamyra pulang. Altamyra adalah majikan dan Putri
Kerajaan tanah airnya.
Walaupun tahu hidupnya akan lebih terjamin bila ia kembali pada ayahnya, Altamyra memilih tinggal di
sisi pusara ibunya.
Altamyra tidak pernah merasa dirinya adalah seorang Putri. Ia adalah gadis desa. Ia dibesarkan sebagai
seorang gadis desa yang hidupnya serba kesulitan, bukan sebagai Putri.
Setelah mengetahui rahasia itu, Altamyra mulai menduga ibunya sering melamun bukan memikirkan
ayahnya tetapi memikirkan Allan yang berada dalam cengkeraman ayahnya. Altamyra tahu ibunya
dengan sangat berat hati meninggalkan kakaknya dalam kekejian ayahnya. Altamyra juga tahu bagaimana
tindakan ayahnya pada Allan hingga membuat ibunya terpaksa meninggalkan Allan untuk
menyelamatkannya.
Kebencian yang mendalam pada ayah yang kejam, membuat Altamyra semakin ingin melupakan jati
dirinya. Ia tak peduli apakah ia seorang putri atau bukan. Ia hanya tahu ia adalah gadis desa.
Waktu terus berjalan. Altamyra melupakan rahasia itu. Dalam pikiran maupun dalam tingkah lakunya, ia
tidak pernah lagi mengingat maupun teringat akan siapa dirinya. Altamyra sudah benar-benar melupakan
hal itu ketika Dewey, Menteri Luar Negeri Vandella muncul.
Saat itu Altamyra sedang menanti Hannah yang pergi berbelanja. Sambil menanti, ia menyibukkan diri
dengan menyulam. Di tengah kesibukannya itulah tiba-tiba pintu diketuk orang.
“Tidak mungkin Hannah yang datang,” pikir Altamyra, “Ia tidak perlu mengetuk pintu kalau ingin
masuk.”
Altamyra menuju pintu sambil bertanya-tanya siapa yang datang. Sejak ibunya dikubur, hampir tidak ada
lagi penduduk Marshwillow yang mengunjungi mereka. Penduduk tahu dengan segala keterbatasan yang
ada, mereka tidak dapat menjamu tamu. Penduduk tidak ingin merepotkan Hannah maupun Altamyra.
Altamyra terpana melihat seorang pria setengah baya berdiri di ambang pintu dengan bajunya yang indah
mengkilat. Ia diapit dua pria lain yang lebih muda dan lebih sederhana pakaiannya.
Altamyra melihat mereka semua dari atas ke bawah. Pria yang di tengah mengenakan jas yang rapi
sedang yang di tepi mengenakan baju prajurit dengan warna biru untuk atasannya dan putih untuk
celananya.
Mereka membuat Altamyra bersikap waspada. Altamyra tidak tahu siapa mereka, tetapi mereka telah
menimbulkan kecurigaannya.
“Anda mencari siapa, Tuan?”
“Saya Dewey, Menteri Luar Negeri Kerajaan Vandella. Saya datang untuk menjemput Yang Mulia
Paduka Ratu Reinny dan Yang Mulia Tuan Puteri Altamyra.”
Buku-buku jari tangan Altamyra memutih mendengarnya. Gadis itu membusungkan dadanya dan
menatap pria di depannya. “Mereka tidak ada di sini,” katanya tegas.
Walaupun Raja Wolve mengirim jemputan untuk mereka, Altamyra takkan mau kembali. Ibunya telah
bersusah payah untuk dapat berada di sini. Dan, sebagai anak berbakti, Altamyra takkan membuat usaha
ibunya menjadi sia-sia.
“Mata-mata kami memberitahu mereka berdua tinggal di sini,” kata Dewey keheranan.
“Sayang sekali, Tuan, mereka tidak ada di sini.”
“Ya, sayang sekali,” Dewey tampak sangat sedih, “Mungkin mereka sudah pindah atau mata-mata kami
yang salah.”
“Mungkin saja,” Altamyra menyetujui.
“Terima kasih, Nona. Maaf kami telah menganggu Anda.”
Altamyra yakin mereka akan kembali ke Vandella dengan tangan kosong apabila saat itu Hannah tidak
muncul.
Sejak ibunya masuk Istana, Hannah dan Dewey berkenalan. Hannah tidak mungkin melupakan Dewey.
Dewey juga tidak mungkin melupakan pelayan ibunya itu.
“Apa kabar, Tuan Dewey?” sapa Hannah, “Lama kita tidak bertemu.”
“Hannah?” tanya Dewey tak percaya, “Engkau tinggal di sini?”
“Tentu saja,” jawab Hannah tanpa menyadari kesalahannya, “Sejak meninggalkan Vandella, aku tinggal
di tempat ini.”
“Berarti Paduka Ratu dan Tuan Puteri ada di sini,” gumam Dewey. Tiba-tiba pria itu berbalik dan
menatap Altamyra lekat-lekat.
Altamyra tetap bersikap tenang.
Dewey mencermati tiap lekuk wajah Altamyra. Semakin dilihat, semakin tampak kemiripannya dengan
Ratu Reinny sewaktu ia masih muda. Hanya saja mata biru gadis ini lebih cerah dan rambutnya lebih
bersinar cerah. Selain itu, ia benar-benar seperti gambaran diri Ratu di waktu muda.
Dewey memandang Hannah dengan penuh pertanyaan di matanya.
“Benar, ia adalah…” Hannah tidak jadi melanjutkan kata-katanya. Matanya bertemu dengan wajah
Altamyra yang menyuruhnya menutup mulut.
Sayangnya, Dewey sudah dapat menebak siapa gadis yang membukakan pintu itu.
Altamyra yang sudah menebak hal itu, segera menyingkir ke dalam rumah. Ia menyadari kemiripannya
dengan ibunya. Tak perlu orang lain untuk mengatakan mereka mirip. Altamyra tak mau mendengar siapa
dirinya yang sesungguhnya.
Dewey bingung melihat kepergian gadis itu.
Hannah merasa bersalah atas kejadian itu. “Silakan masuk, Tuan. Saya ingin mengetahui apa yang
membuat Anda datang ke sini.”
Dewey memandangi keadaan di dalam rumah kecil itu. Ruangan-ruangannya sangat kecil dan hampir
kosong. Tidak nampak sofa-sofa yang indah, lukisan-lukisan. Semuanya tidak mencerminkangayahidup
keluarga kerajaan tetapi mencerminkan kehidupan orang miskin yang penuh penderitaan.
Dinding-dinding kayunya tampak lapuk dan disanasini mulai tumbuh lumut. Atapnya lebih mengenaskan
lagi. Atapnya tampak sangat lemah dan sewaktu-waktu siap runtuh.
Tak pernah disangka Dewey kehidupan Ratu dan Putri kerajaannya sedemikian buruknya. Mereka
benar-benar melarat seperti layaknya orang miskin.
“Silakan duduk, Tuan,” kata Hannah, “Maaf tempat kami kotor.”
Dewey mendengar deritan kursi kayunya ketika ia duduk. Dewey melihat sekeliling seperti mencari
seseorang. “Di mana Paduka Ratu?”
Hannah menunduk sedih. “Ia meninggallimatahun lalu.”
“Oh,” itulah yang pertama kali terloncat dari mulut Dewey. “Aku turut berduka cita.”
“Terima kasih, Tuan.”
“Sejak itu engkau sendiri yang membesarkan Tuan Puteri?” Dewey tiba-tiba bertanya.
Hannah tersenyum. “Tepatnya tidak.” Melihat wajah heran Dewey, Hannah melanjutkan, “Nona tidak
membiarkan dirinya merepotkan orang lain. Ia ikut berusaha untuk menghidupi keluarga kecil kami ini.”
Dewey terpekur menatap lantai kayu di kakinya.
“Apa yang membuat Anda datang?”
“Berita duka juga,” jawab Dewey.
“Berita duka?”
“Yang Mulia Paduka Raja Wolve telah meninggal.”
“Apa!?” Hannah terkejut, “Kapan itu terjadi?”
“Berbulan-bulan lalu. Kira-kira tujuh sampai delapan bulan lalu.”
“Oh…” gumam Hannah. “Aku sama sekali tidak menyangkanya.”
“Kami semua juga tidak pernah menduga Paduka pergi secepat ini. Sebulan sebelum beliau meninggal, ia
sakit. Kami semua itu hanya sakit biasa. Tapi, siapa menduga Tuhan berkata lain.”
“Tentunya sekarang tahta kerajaan sedang kosong,” komentar Hannah tanpa pikir panjang. Tiba-tiba
Hannah teringat akan Allan. Ia baru saja akan membetulkan kata-katanya ketika Dewey berkata,
“Karena itulah kami datang ke sini.”
Hannah keheranan. “Bukankah ada Pangeran Allan?”
“Sayang sekali Pangeran juga sudah meninggal.”
“Apa!?” Hannah terkejut. “Pangeranmalang, ia masih terlalu muda untuk mati.”
“Ya, sayang sekali,” Dewey setuju.
“Saya khawatir Anda tidak berhasil, Tuan.”
“Maksudmu?”
“Nona… ehm… maksudku Tuan Puteri tidak mau kembali ke Vandella. Seperti ibunya, sedikit pun ia
tidak ingin kembali ke Vandella. Ia membenci Raja Wolve.”
Dewey sedih mendengarnya. “Kau harus membantuku, Hannah. Hanya engkau yang paling dekat
dengannya. Bujuklah dia.”
“Saya rasa percuma, Tuan,” kata Hannah, “Maaf saya tidak bisa membantu.”
“Engkau harus bisa membantuku.”
“Saya benar-benar tidak bisa, Tuan Dewey.”
“Kau harus.”
“Aku menolak!”
Dewey terkejut. Altamyra tiba-tiba muncul di ruangan itu. Gadis itu seperti sudah mendengar semuanya.
“Maafkan aku,” kata Altamyra, “Aku tidak bermaksud mendengar pembicaraan kalian. Tetapi, rumah
ini kecil dan di mana pun aku berada, aku dapat mendengar pembicaraan kalian.”
“Saya mohon kembalilah ke Vandella, Yang Mulia. Rakyat Vandella membutuhkan Anda.”
“Jangan memohon padaku. Aku takkan mengubah jawabanku,” kata Altamyra tegas.
“Rakyat Vandella sedang menderita, Yang Mulia. Saat ini mereka membutuhkan bantuan Anda. Hanya
Anda yang bisa menyelamatkan mereka dari penderitaan ini.”
“Salahkan serigala itu!” Altamyra bosan dibujuk, “Salahkan kekejamannya hingga tega membunuh putra
kandungnya sendiri.”
“Pangeran Allan meninggal bukan karena dibunuh Paduka. Ia yang membunuh dirinya sendiri,” kata
Dewey, “Ia bunuh diri.”
“Allan bunuh diri karena serigala itu, bukan?”
“Mengapa?” tanya Altamyra keheranan, “Tidak mungkin serigala itu tidak menunjuk pewarisnya yang
baru setelah Allan meninggal.”
“Andaikan saja itu terjadi, Yang Mulia,” Dewey menyesal, “Hingga beliau meninggal, ia tidak pernah
menunjuk penggantinya. Di Vandella ada isu yang tersebar Putri Prischa, anak tunggal keluarga Apaleah
yang mempunyai hubungan dekat dengan Raja, akan naik tahta bila Paduka meninggal. Hal itu benar bila
Anda tidak ada.”
“Bersikaplah seperti aku telah meninggal.”
“Itu adalah tradisi, Yang Mulia. Kami tidak berani menentangnya. Rakyat Vandella pasti memberontak
bila kami melanggar tradisi ini. Karena itulah hingga hari ini kami belum mengumumkan kematian Paduka.
Kami tidak ingin terjadi perebutan kekuasaan. Kami juga tidak ingin membuat pemberontak kerajaan
melakukan kudeta.”
“Pemberontak?” Hannah tertarik pada cerita Dewey.
“Sebenarnya sejak dulu sudah ada gerakan pemberontakan terhadap Raja tapi gerakan itu baru kentara
tak lama setelah kalian pergi. Pemimpin pemberontak itu telah menjadi pahlawan rakyat Vandella yang
miskin dan menderita. Kami yakin demi pahlawan mereka itu, mereka sanggup mengorbankan apa saja
terlebih setelah mengetahui Paduka telah meninggal. Kami menghindari hal itu. Kami tidak ingin terjadi
perang antara pasukan kerajaan dengan rakyat.”
“Angkatlah sang pahlawan menjadi raja dan semua masalah selesai,” usul Altamyra, “Rakyat takkan
marah karenanya.”
“Sudah kami jelaskan, Yang Mulia, tradisi membuat kami tidak bisa berbuat lain. Selama Anda masih
ada, tidak ada yang berhak menduduki tahta kerajaan.”
“Apakah Anda tidak ingin pulang ke Vandella, Nona?” Hannah akhirnya ikut membujuk, “Walaupun
Anda hanya tinggal sehari di Vandella, Anda tetap lahir di Vandella. Dalam diri Anda mengalir darah
Raja Wolve. Saya yakin Ratu pun sebenarnya ingin kembali ke Vandella, tanah airnya.”
Altamyra menangkap maksud lain di balik pernyataan itu. Dengan lembut ia berkata, “Kembalilah ke
Vandella bila engkau ingin, Hannah. Aku tetap tinggal di sini.”
“Saya telah berjanji pada Ratu untuk tidak meninggalkan Anda.”
“Kalau begitu aku memerintahkanmu untuk kembali ke Vandella.”
“Saya tidak dapat meninggalkan Anda, Nona. Bila Anda tinggal di sini, saya tidak mau kembali. Sekali
pun Anda memaksa, saya tetap akan tinggal di sisi Anda untuk melayani Anda.”
“Kau harus, Hannah. Aku tahu engkau selalu merindukan keluargamu,kotatempat engkau dilahirkan.
Engkau selalu merindukan Vandella.”
“Hannah benar, Paduka. Anda harus kembali ke Vandella. Hanya Anda yang bisa menjadi Raja kecuali
Anda turun tahta dan menyerahkannya pada orang lain.”
Altamyra diam merenung kemudian ia berkata, “Baiklah. Aku ikut kalian.”
Setelah mendapat keputusan akhir Altamyra, Dewey segera mengirim utusan untuk memberitahu para
Menteri Vandella. Ia meminta mereka menyiapkan segala perlengkapan untuk penobatan Altamyra.
Di sebuah desa kecil di tepi perbatasan Vandella, Ludwick, Menteri Dalam Negeri Vandella telah
menantinya untuk upacara penobatan.
Upacara penobatan itu berlangsung sederhana. Uskup Vandella yang menobatkan Altamyra dengan
Dewey dan Ludwick sebagai saksinya.
Saat itu yang ada di dalam benak Altamya adalah kembali ke Vandella untuk mengumumkan kematian
ayahnya, menyatakan diri sebagai raja baru lalu turun tahta dan menyerahkannya pada Prischa. Terakhir,
kembali ke Roma.
Altamyra sama sekali tidak punya niat untuk mengunjungi markas para pemberontak itu. Bahkan, ia
tidak tahu akan mereka melalui tempat itu.
Saat akan melalui Lasdorf, kawasan pemberontak, pasukan pengawal Altamyra memperketat
penjagaan. Kecurigaan Altamyra timbul dan ia memaksa kedua menteri itu mengatakan apa yang terjadi.
Hingga kini Altamyra tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba memutuskan untuk mengunjungi benteng
pemberontak itu.
Setelah mengetahui yang sebenarnya, Altamyra mengirim Dewey beserta Hannah kembali ke Istana
Azzereath. Sementara itu Ludwick dimintanya untuk menantinya di Thamasha.
Mereka berdua tidak setuju pada rencananya. Tetapi, di Vandella titah Raja adalah titah yang tidak
dapat dilawan. Altamyra meyakinkan mereka dengan menjelaskan rencananya.
Saat itu hampir bersamaan dengan kembalinya Prischa dari perjalanannya ke luar negeri. Altamyra
memanfaatkan kesempatan itu.
Seorang prajurit diperintahkannya untuk menyebar isu itu. Beberapa hari kemudian Altamyra melewati
sarang musuh. Sesuai dengan perhitungannya, para pemberontak itu menculiknya.
Satu-satunya yang salah dalam perhitungan Altamyra adalah waktu. Altamyra meminta Ludwick
memberinya waktu satu bulan untuk mengetahui kehidupan pemberontak itu sebelum ia memulai
pemerintahannya.
Ternyata waktu yang digunakan Altamyra lebih dari satu bulan bahkan hampir dua bulan.
Altamyra memang berniat memperpanjang masa tinggalnya di benteng itu dengan membuat mereka
menduga ia adalah pelayan Prischa. Ia berharap perpanjangan waktu itu bisa membuat mereka
mempercayainya dan mau bercerita banyak padanya. Tetapi, Altamyra tidak berniat membuat
pasukannya khawatir.
“Sekarang semuanya telah berubah.”
Itulah yang dikatakan Altamyra pada dirinya sendiri saat melihat bayangannya di cermin.
Sementara ia duduk diam, pelayan-pelayan sibuk menata rambutnya.Adayang khusus bagian
menggelung, ada yang khusus memberi hiasan, ada pula yang khusus menyisiri. Altamyra dibuat pusing
karenanya.
Satu-satunya yang bisa dilakukannya hanya duduk diam sampai mereka selesai mendandaninya.
Altamyra benar-benar lega ketika akhirnya mereka selesai.
“Bawa masuk makan siang untuk Paduka,” Sylta memberi perintah pada pelayan-pelayan lainnya.
“Kurasa aku tidak akan makan siang, Sylta.”
“Seperti keinginan Anda, Paduka.”
Altamyra menangkap kekecewaan di wajah Sylta. Altamyra ingat Hannah selalu kecewa bila ia menolak
memakan apa yang ia siapkan untuknya.
“Tunggu!” Altamyra cepat-cepat mencegah. Dengan tersenyum, ia melanjutkan, “Aku tidak akan
membuat usaha kalian sia-sia. Jadi, aku akan makan. Tetapi, aku tidak ingin sendirian. Tolong panggilkan
Ludwick dan Rasputin untuk menemaniku.”
Walau ia tidak menampakkannya, Altamyra tahu Sylta merasa senang. Terlihat dari nada suaranya
ketika ia menjawab, “Baik, Paduka!”
Sylta segera menyuruh pelayan-pelayan itu berangkat dan ia sendiri pergi untuk memanggil kedua
Menteri itu.
Altamyra mendesah. Tenda yang disiapkan untuknya benar-benar besar. Seratus orang masuk ke dalam
tenda ini, takkan membuat sesak suasana di dalam tenda. Benar-benar tenda seorang Raja.
Altamyra duduk di kursi di tengah tenda. Ia diam merenung sampai Sylta datang melapor,
“Tuan Ludwick dan Tuan Rasputin telah tiba, Paduka.”
“Persilakan mereka untuk masuk.”
“Hamba datang menghadap,” kata kedua orang itu sambil membungkuk hormat.
“Duduklah,” kata Altamyra, “Temani aku makan.”
Mereka duduk dan pelayan-pelayan mulai berdatangan dengan bermacam-macam makanan yang lezat.
Selama makan siang itu Altamyra tidak banyak berbicara. Ia terus memusatkan perhatiannya pada
pikirannya. Sikapnya itu membuat Ludwick dan Rasputin was-was.
Altamyra menyadarinya. “Adaapa?” tanyanya, “Kalian sudah makan siang?”
“Belum, Paduka,” jawab mereka ketakutan.
Altamyra tersenyum. “Aku meminta kalian menemaniku bukan untuk memberi hukuman pada kalian.
Aku selalu merasa harus menghabiskan semua ini bila aku makan sendirian. Ayahku tidak pernah
mengajak kalian makan bersama. Aku benar?”
Mereka diam ketakutan.
“Hanya satu yang dapat kukatakan kepada kalian,” Altamyra melanjutkan dengan tegas, “Aku bukan
ayahku dan aku membenci segala sikapnya.”
Pelayan membawakan hidangan terakhir.
Altamyra menggerakkan tangannya untuk menyatakan ia tidak mau.
Pelayan itu melayani Ludwick dan Rasputin lalu meninggalkan tenda.
“Aku tidak akan memaksa kalian untuk mempercayaiku,” Altamyra mengambil gelasnya yang berisi air
jeruk dan meminumnya dengan tenang.
Pelayan-pelayan segera membersihkan meja seusai mereka selesai dengan makan siang mereka.
Altamyra menuju meja rias dan mencari-cari sesuatu di lacinya.
Kedua menteri itu memandangi Altamyra dengan penuh ingin tahu.
Altamyra menulis sesuatu pada selembar kertas lalu kembali pada kedua menterinya.
“Rasputin, kuperintahkan engkau membawa pulang pasukanmu sore ini. Bawa pula kereta kudaku dan
para pelayan.”
Mereka terkejut tetapi Altamyra tidak memberi mereka kesempatan untuk membantah.
“Dari sini ke Perenolde membutuhkan waktu berapa lama?”
“Paling cepat satu minggu, Paduka.”
“Bukan tiga hari?”
“Dengan kecepatan tinggi, waktu itu bisa tercapai, Paduka. Tetapi kita tidak bisa secepat itu dengan
Anda bersama kami. Kami harus berhati-hati dalam setiap langkah kami demi keselamatan Anda.”
Altamyra berpikir keras. “Aku ingin kalian berdua kembali ke Perenolde sore ini juga. Ludwick,
kuperintahkan engkau untuk menyebar titahku ini pada para Menteri.”
Sementara Ludwick membaca kertas itu, Altamyra melanjutkan, “Aku ingin engkau mempersiapkan
rapat di Istana tepat minggu depan. Aku ingin kalian berdua juga membuat laporan atas apa yang kalian
kerjakan selama ini. Mulai dari ayahku sakit hingga saat ini.”
“Bagaimana dengan Anda, Paduka?” Rasputin memberanikan diri untuk bertanya.
“Tinggalkan seekor kuda untukku dan empat prajurit terbaikmu, Rasputin. Aku akan segera berangkat
setelah kalian pergi. Satu tugas lagi untukmu, Ludwick, aku ingin engkau memberitahu Hannah bahwa
aku baik-baik saja dan aku akan segera tiba.”
“Maafkan saya, Paduka, tetapi saya tidak menyetujui usul Anda. Rencana ini terlalu berbahaya. Kami
mengkhawatirkan keselamatan Anda.”
“Apakah engkau kira dengan sekompi pasukan, aku akan selamat?” tanya Altamyra.
“Tidak, Rasputin. Sebuah kereta emas telah menarik perhatian apalagi dengan banyak pasukan. Engkau
juga harus ingat aku baru saja meninggalkan Lasdorf. Tentunya saat ini mereka sedang mengawasi kita
dan bersiap-siap untuk menculikku kembali. Aku telah mengetahui persembunyian mereka. Bagi mereka,
aku terlalu berbahaya untuk dilepas di tengah-tengah kalian.”
Rasputin ingin mengatakan sesuatu tetapi Altamyra mendahuluinya,
“Jangan menyarankan aku untuk menyerang mereka. Aku tidak akan pernah menyerang mereka.
Mereka berjuang untuk kemakmuran mereka. Bukan untuk menggulingkan pemerintah. Di samping itu,
saat ini yang terpenting adalah menyelesaikan masalah pergantian tahta ini.”
Mereka diam memikirkan rencana Altamyra.
Altamyra tidak memberi mereka kesempatan untuk berpikir terlalu lama. “Hari mulai siang. Kembalilah
kalian untuk beristirahat. Pukullimasore nanti kembalilah kalian ke Perenolde. Dan, bila kalian masih
mengkhawatirkan keselamatanku, tinggalkan empat jendral terbaikmu, Rasputin.”
Kedua menteri itu terbiasa untuk tidak membantah titah Raja. “Kami mengerti, Paduka,” kata mereka.
Sekali lagi mereka membungkuk hormat dan meninggalkan tenda Altamyra.
Sylta masuk tak lama setelah kepergian kedua pria itu.
“Sore ini kembalilah ke Perenolde bersama pasukan yang lain,” kata Altamyra, “Katakan pada Hannah
untuk tidak mencemaskanku. Aku akan segera tiba.”
“Anda tidak pulang bersama kami, Paduka?”
“Aku akan pulang setelah kalian berangkat.”
“Biarlah saya ikut dengan Anda, Paduka. Saya ingin terus melayani Anda.”
“Engkau akan melakukannya, Sylta. Tapi tidak saat ini. Banyak yang ingin kulakukan sepanjang
perjalanan pulang nanti. Aku ingin engkau kembali ke Azzereath.”
“Keinginan Anda adalah tugas bagi saya, Paduka.”
Altamyra mengeluh. Semua orang tidak ada yang berani membantahnya. Mereka semua takut padanya.
Kalau ada yang salah di mata mereka, mereka hanya berani bertanya. lalu diam lagi setelah mendapat
jawaban. Untuk mengatakan tidak setuju pun mereka takut dan didahului kata ‘maaf’.
Rambut panjangnya tersembunyi di balik topi hitamnya. Rambutnya yang terjuntai keluar tertimpa sinar
matahari sore dan bersinar indah seperti perhiasan yang tak ternilai harganya.
Wajah cantiknya bersinar ceria. Matanya memandang lembut. Senyum manis tersungging di wajahnya
yang berseri.
Gadis itu berdiri tegak dan menampakkan wibawanya sebagai seorang Ratu.
“Kalian membuatku geli,” kata Altamyra, “Apakah kalian berpikir aku sebesar gajah hingga kalian
terkejut ketika aku tiba-tiba menjadi tidak lebih besar dari semut? Hidup makmur seperti ini dapat
membuat aku bertambah gemuk tetapi waktu dua bulan lebih belum cukup untuk membuatku tampak
subur seperti gajah.”
“Sudahlah,” Altamyra menghentikan tawa gelinya, “Segeralah kembali ke Perenolde sebelum hari gelap.
Jangan buat keluarga kalian menanti dengan cemas lebih lama lagi.”
“Kami berangkat, Paduka.”
Altamyra melambaikan tangannya sampai mereka jauh.
“Kita juga harus segera berbenah dan kembali ke Perenolde.”
“Baik, Paduka.”
Keempat pasukan terbaik yang ditinggalkan Rasputin untuk mengawalnya, mulai membongkar tenda
Altamyra.
Segala perabot yang ada di dalam tenda itu telah dibawa kembali pasukan tadi. Sekarang yang tertinggal
hanya sebuah tenda kosong.
Gaun-gaun Altamyra juga telah dibawa pulang semua. Altamyralah yang memerintahkan hal itu. Ia
menolak membawa baju ganti karena itu akan merepotkan rencananya.
Hari mulai gelap ketika Altamyra menaiki kuda hitam yang ditinggalkan untuknya.
“Ke mana kita akan pergi, Paduka?” tanya Jenderal Duane.
“Kita akan meninggalkan tempat ini,” kata Altamyra, “Semakin larut kita melewati daerah pemberontak,
semakin baik. Malam-malam seperti ini mereka tidak akan mengenali kita.”
“Kami mengerti, Paduka.”
Segera dua orang menempatkan diri di kanan kiri Altamyra dan yang lain mengekor di belakang
Altamyra.
Seperti perhitungan Altamyra, suasana sekitar Lasdorf sangat sepi. Tak tampak seorang pun hingga
mereka berada jauh dari tempat itu.
Melihat hari semakin larut, Altamyra berkata, “Kita harus cepat-cepat mencapaikotaterdekat.”
“Jidoor terletak di sekitar tempat ini, Paduka,” kata Jenderal Hermit, “Kita bisa mencapainya dalamlima
belas menit.”
“Kita kesana,” Altamyra memutuskan, “Tunjukkan jalannya padaku, Hermit.”
Hermit memimpin mereka ke Jidoor.
Dikotakecil itu Altamyra memutuskan akan tinggal untuk malam ini.Kotakecil ini tidak mempunyai
penginapan mewah, tapi Altamyra tidak mengeluh. Ia tahu ia tidak bisa mengharapkan kemewahan dari
kehidupan rakyatnya yang menderita.
Hermit memesan tiga kamar yang berjajar untuk mereka. Kamar Altamyra di tengah dan kedua kamar
lain untuk mereka.
Malah sudah larut ketika mereka tiba di penginapan. Altamyra tidak ingin membuat para Jenderal yang
mengawalnya lelah. Ia tahu tugas mereka berat. Ia pun segera masuk kamarnya seusai makan malam.
Pagi setelah makan pagi, mereka melanjutkan perjalanan.
Setelah melihat kehidupan rakyat Lasdorf, Altamyra tidak terkejut melihat kehidupan di Jidoor. Rakyat
tampak letih dan lemah. Mereka seperti sudah berhari-hari tidak makan. Hanya mereka yang cerdik yang
bisa bertahan dalam situasi seperti ini.
Altamyra melihat sendiri bagaimana orang kaya di Jidoor menolak membantu rakyat yang lain. Bagi
mereka, mengumpulkan uang sepenny adalah sangat sulit. Terlalu berharga uang satu penny untuk
diberikan pada orang miskin.
Hari ini mereka kaya, tetapi belum tentu dengan hari esok. Kekayaan di negara ini tidak pernah terjamin.
Raja yang serakah itu selalu merebutnya dengan kejam.
Altamyra ingin menyumbangkan uang yang dimilikinya pada mereka, tetapi ia tidak melakukannya.
Altamyra tahu ia hanya akan menarik perhatian bila ia melakukannya.
Saat ini setiap orang sibuk mencari kekayaan sendiri untuk dapat membayar pajak. Semua tahu tidak
membayar pajak berarti melawan Raja. Hukumannya adalah masuk penjara. Bahkan, bisa saja hukuman
mati.
Situasi Vandella saat ini benar-benar kacau. Semua saling menekan dan saling bersaing dalam
mengumpulkan uang. Tidak ada lagi yang peduli pada sesama mereka.
Altamyra mendesah panjang.
“Apakah ada yang salah, Paduka?” tanya Duane cemas.
“Kehidupan rakyat benar-benar parah,” jawab Altamyra, “Semuanya lebih buruk dari bayanganku.
Rakyat ini benar-benar membutuhkan raja yang baik.”
“Saya menyarankan kita segera kembali ke Perenolde secepatnya, Paduka.”
“Bilaengkau bermaksud mengatakan semakin cepat aku mengambil alih pemerintahan semakin baik,
Nazer,” kata Altamyra, “Aku sependapat denganmu.”
Walaupun Altamyra telah berkata seperti itu, ia tetap memacu kudanya dengan lambat. Setiap kali
memasuki daerah pemukiman, ia berjalan lambat. Tetapi, ia memacu kudanya dengan kencang di jalan
antara duakota.
Keempat Jenderal itu tampak senang mengawal Altamyra. Gadis itu tidak banyak menuntut seperti
layaknya seorang Ratu. Ia lebih banyak mempelajari sekitarnya.
Mereka tiba di Perenolde dua hari lebih cepat dari perhitungan Altamyra.
Ketika memasuki Perenolde, Altamyra tidak melihat perbedaankotaini dengan kota-kota lainnya. Tetapi,
ketika ia semakin dalam beradadi Perenolde,iamulai melihat ciri ibukota. Gedung-gedung tinggi berjulang
tetapi tidak dapat menyaingi istana megah yang menjulang ke langit.
Sepuluh mil di luar Perenolde, Altamyra dapat melihat megahnya Istana Azzereath. Dan, semakin dekat
semakin indah Azzereath.
Sangat disayangkan oleh Altamyra di sekeliling istana megah ini terdapat kehidupan yang
memprihatinkan. Istana ini berdiri angkuh menatap kehidupan di luar dirinya yang penuh penderitaan.
“Tak lama lagi semua akan berubah,” Altamyra meyakinkan dirinya sendiri.
Setelah melihat sendiri penderitaan rakyatnya, Altamyra mengubah rencananya. Ia mengerti ia tidak
dapat dengan mudah mengalihkan tahta pada orang lain seperti mainan. Ia harus memperbaiki kesalahan
ayahnya. Walau ia membenci ayahnya, sebagai keturunannya ia merasa harus mewakili serigala itu
meminta maaf.
Pintu gerbang istana yang menjulang tinggi tertutup rapat seperti tidak mau menerima kehadiran orang
lain. Dua prajurit berdiri tegak menjaga pintu gerbang.
“Buka pintu!” perintah Jenderal Duane.
Kedua prajurit itu membuka pintu gerbang dan dengan penuh ingin tahu memperhatikan Altamyra yang
dikawal keempat Jenderal terbaik Vandella.
Altamyra tersenyum ramah dan berkata, “Terima kasih.” Kemudian ia memacu kudanya memasuki
halaman Istana yang luas.
Karena kedatangan Altamyra dua hari lebih cepat dari yang direncanakan, tidak ada pesta penyambutan
untuknya. Altamyra tidak peduli akan hal itu.
Gadis itu menghentikan kudanya di tangga masuk.
Seumur hidup Altamyra tidak pernah membayangkan akan tinggal di bangunan setinggi dan semegah ini.
Istana Azzereath lebih megah dari yang Altamyra bayangkan tetapi juga lebih dingin dari bayangan
Altamyra.
Altamyra turun dari kudanya dan menapaki tangga menuju pintu masuk.
“Tahan!” dua prajurit menghadang jalan Altamyra dengan tombak mereka yang runcing. “Siapa kau?
Mau apa masuk ke sini?”
Altamyra tersenyum. Mereka tidak mengetahui siapa dirinya.
“Apa yang kalian lakukan?” Jenderal Nazer memarahi mereka, “Mengapa kalian menghadang jalan
Paduka?”
“Mereka tidak mengenaliku, Nazer,” Altamyra mengingatkan, “Ini pertama kalinya aku menginjakkan
kaki di Azzereath.”
“Tapi mereka tidak berhak menghadang jalan Anda, Paduka.”
“Apakah kalian akan mengenaliku kalau aku tiba-tiba muncul tanpa memberitahu kalian siapa aku?”
“Tentu saja tidak, Paduka,” jawab Jenderal Hermit.
“Jadi,” kata Altamyra, “Kalian tidak boleh memarahi mereka.”
“Kami mengerti, Paduka,” sahut mereka.
“Ijinkan saya memperkenalkan diri pada Anda, Tuan-tuan,” kata Altamyra, “Nama saya Altamyra. Saya
datang dari desa Marshwillow, Roma.”
Kedua prajurit itu terkejut mendengar nama ‘Altamyra’. mereka cepat-cepat berlutut dan berkata,
“Maafkan kelancangan kami, Paduka. Kami patut dihukum.”
“Berdirilah. Jangan mudah mengatakan patut dihukum,” Altamyra menasehati, “Belum tentu setiap
kesalahan adalah kesalahan kalian. Seperti kali ini, kalian sama sekali tidak bersalah. Kalian hanya tidak
mengenaliku.”
“Terima kasih atas kebaikan Anda, Paduka.” Mereka pun berdiri.
“Aku menyerah,” kata Altamyra, “Aku tidak tahu bagaimana lagi membuat kalian berhenti bersikap
sekaku ini.”
“Sejujurnya, Paduka, Andalah yang harus merubah pandangan Anda,” kata Jenderal Werner tanpa rasa
takut.
Keempat Jenderal itu telah mengenal watak Altamyra dalam perjalanan pulang ini. Mereka yang terus
mengawal Altamyra tahu Altamyra tidak mudah marah. Gadis itu mengharapkan orang-orang tidak terlalu
memujanya walau ia adalah seorang Ratu.
“Aku?”
“Anda adalah Ratu. Sudah sepantasnya kami menyanjung Anda,” jawab Hermit.
Altamyra mengeluh panjang dan melangkah masuk.
Tindakan pertama yang dilakukan Altamyra setelah ia berada di dalam Istana adalah melepas topinya.
Altamyra merapikan rambutnya dengan tangannya.
“Benar-benar istana orang serakah,” gumam Altamyra.
Semua yang ada di dalam Istana bersinar cerah. Semuanya terbuat dari bahan-bahan terbaik. Tak satu
pun yang tampak buruk. Semuanya bersinar angkuh.
“Selamat datang, Paduka.”
Altamyra menatap Ludwick dengan heran. “Bukankah engkau seharusnya menyusun laporan?”
“Saya telah menyuruh orang lain untuk mengerjakannya selama saya mengatur penyambutan Anda di
sini.”
“Tetapi sekarang itu tidak perlu lagi,” sambung Altamyra.
“Anda datang lebih cepat dari yang dijadwalkan. Bagaimana perjalanan Anda, Paduka?”
“Semua lancar. Tidak ada gangguan sedikit pun. Bagaimana dengan perjalananmu?”
“Ketika melewati Lasdorf, kami melihat beberapa orang mengawasi kami tetapi mereka membiarkan
kami terus berlalu.”
“Tepat seperti harapanku,” sahut Altamyra, “Sekarang kita harus menyelesaikan tugas pertamaku.”
“Paduka!”
Altamyra tidak terkejut melihat Hannah berlari ke arahnya. Wanita tua itu menubruk dan memeluknya.
Altamyra mengrenyit kesakitan merasakan kuatnya pelukan wanita gemuk itu. Ia merasa seperti akan
diremukkan Hannah.
“Anda membuat saya cemas. Sudah dua bulan Anda berada di Lasdorf. Saya khawatir mereka
mencelakakan Anda.”
“Sekarang aku ada di sini, bukan?”
“Ya, tapi Anda terus membuat saya cemas hari-hari terakhir ini. Saya takut setengah mati ketika Tuan
Ludwick mengatakan Anda kembali dikawal empat Jenderal.”
“Jangan terlalu khawatir, Hannah. Aku baik-baik saja. Selama perjalananku, tidak ada yang
menggangguku.”
“Anda harus beristirahat. Anda pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh ini.”
“Tidak, Hannah. Aku harus menyelesaikan sesuatu dulu.”
“Sesuatu apa?” Hannah tidak senang dibantah.
“Pengumuman kematian ayahku,” jawab Altamyra dengan tersenyum. Kemudian pada Ludwick ia
berkata, “Aku melihat kita mempunyai gedung Parlemen tapi aku tak melihat orang-orangnya. Ke mana
perginya mereka?”
“Mereka ada tetapi selama Raja Wolve berkuasa, mereka tidak berfungsi. Paduka Raja Wolve
menghentikan semua kegiatan mereka. Paduka menolak semua bantahan terhadap perintah-perintah dan
keputusan-keputusannya.”
“Aku ingin engkau memanggil mereka kembali, Ludwick. Buatkan janjiku dengan mereka untuk besok
pada saat makan malam. Aku ingin atas nama Raja Wolve. Sebarkan pada para anggota dewan untuk
hadir pada acara makan malam di Gedung Parlemen bersama Raja Wolve.”
“Baik, Paduka.”
“Aku menekankan untuk tidak menyebut namaku. Biarlah esok aku yang akan memberitahu mereka apa
yang telah terjadi selama ini.”
“Apakah itu tidak terlalu berlebihan, Paduka?”
“Tidak, Ludwick. Aku tahu ayahku tidak pernah bersedia makan malam dengan bawahannya. Kalau ia
tiba-tiba mengatakan akan makan malam dengan anggota dewan di Gedung Parlemen, aku yakin
perhatian banyak orang akan terpancing. Akan banyak koran yang mencatat kejadian itu nanti dan aku
tidak perlu membuang waktu untuk menyebarkan hal ini di seluruh Vandella.”
“Hamba mengerti, Paduka.”
“Saya tidak setuju!” bantah Hannah, “Anda baru tiba tetapi sudah akan bekerja. Kapan Anda
beristirahat?”
“Hari ini sampai besok malam,” jawab Altamyra.
“Itu tidak cukup! Anda terlalu lelah.”
“Tolong jangan membantahku, Hannah. Aku harus segera mengumumkan kabar kematian ayahku.
Semakin cepat semakin baik.”
“Tapi…”
Altamyra mengangkat tangannya menghentikan bicara Hannah. “Sebarkan sekarang juga, Ludwick.”
“Baik, Paduka.”
Altamyra menarik tangan Hannah dan berkata, “Tunjukkan padaku di mana tempat tidurku.” Melihat
Hannah ingin berkata sesuatu, Altamyra mendahului, “Apakah engkau tidak ingin melayaniku?”
“Itu adalah hal yang paling saya inginkan di dunia ini.”
Altamyra tersenyum geli dan terus mengikuti langkah pelayan tuanya yang setia sekaligus ibu asuhnya itu.
Suasana di Gedung Parlemen ramai.
Di dalam orang-orang sibuk membicarakan kejadian tak terduga ini. Di luar para wartawan bersiap-siap
untuk meliput kejadian ini dari awal sampai akhir.
Semua orang ingin tahu mengapa Raja Wolve tiba-tiba menyatakan diri setelah sekian lama tak pernah
muncul. Apalagi Raja Wolve muncul di Gedung Parlemen yang dibencinya dan hendak makan malam
dengan orang-orang yang direndahkannya.
Hal luar biasa ini segera tersebar cepat di Perenolde dan memancing keingintahuan warga.
Semua ingin tahu Raja Wolve muncul di Parlemen untuk apa.Adayang menduga ia datang untuk
membubarkan Parlemen.Adapula yang menduga ia akan mengumumkan Prischa sebagai pewaris
tahtanya.
Banyak anggota dewan yang berdiri di depan Gedung menanti kedatangan Raja Wolve. Mereka
menanti dengan cemas.
Dari jauh tampak kereta emas mendekat. Kereta itu berhenti tepat di depan pintu.
Prajurit-prajurit pengawal Raja segera turun dari kudanya. Seorang di antara mereka membuka pintu
dan seorang lain mengulurkan tangan untuk membantu Raja turun.
Sebuah tangan kecil yang terbungkus kain sutra putih terulur dari dalam. Tangan itu menyambut uluran
tangan prajurit itu. Kemudian dari dalam kereta muncul seorang gadis.
Orang-orang berbisik-bisik melihat gadis itu. Semua ingin tahu siapa dia. Semua bertanya-tanya
mengapa Raja Wolve membawanya. Pertanyaan itu hilang ketika gadis itu berdiri di samping kereta.
Semua yang ada disanamenatap gadis itu dengan penuh ingin tahu. Mereka tidak mengenal gadis itu
tetapi mereka mengenali mahkota yang dikenakan gadis itu. Mereka mengenali jubah kebesaran Raja
yang dikenakan gadis itu.
Altamyra tersenyum ramah pada orang di hadapannya lalu melangkah masuk.
Anggota dewan sampai lupa menyambut Altamyra karena herannya.
Merasakan suasana sekitarnya, Altamyra tersenyum. Ia telah memutuskan akan mengatakan segalanya
di dalam.
“Selamat datang, Paduka,” Ludwick yang telah lama menanti, menyambut Altamyra.
“Semua sudah siap?”
“Sesuai perintah Anda, Paduka. Semua anggota dewan telah hadir.”
Ludwick mengantar Altamyra ke tempat yang telah disiapkan untuk gadis itu.
“Paduka, apakah Anda akan terus membiarkan mereka kebingungan seperti ini?”
“Tidak, Ludwick. Tetapi aku akan membiarkan mereka berpikir dulu.”
Ludwick menarik kursi untuk Altamyra.
“Terima kasih, Ludwick.”
Seperti perkataannya, Altamyra membiarkan semua orang bertanya-tanya selama makan malam itu. Ia
mengajak bicara orang-orang di sekitarnya tetapi tidak menyebut siapa dirinya.
Walau kebingungan, mereka menjawab tiap pertanyaan Altamyra. Altamyra tidak menanyakan masalah
kerajaan ataupun rakyat Vandella. Ia bertanya tentang kehidupan mereka sendiri, tentang keluarga
mereka.
Altamyra ingin menjalin hubungan baik dengan mereka sebelum ia mengumumkan siapa dirinya.
Sikap Altamyra menimbulkan suasana aneh di gedung itu. Orang-orang bertanya-tanya siapakah dia
dengan penuh ingin tahu, tetapi keramahan Altamyra membuat mereka ikut terbawa dalam suasana
hangat.
Altamyra berbicara dengan santainya seperti mereka semua adalah temannya. Bahkan, Altamyra
sesekali mengajak mereka bergurau.
Keramahan Altamyra lambat laun mencairkan suasana keheranan orang-orang itu. Ia membuat mereka
melupakan keingintahuan mereka dengan pesonanya.
Ludwick tersenyum melihat suasana hangat itu. “Tampaknya Vandella akan mengalami kecerahan,”
katanya pada dirinya sendiri.
Sebagai keturunan langsung raja yang teramat kejam, keramahan Altamyra sangat mengejutkan. Sedikit
pun tidak nampak bahwa ia adalah putri Raja Wolve yang selama ini ditakuti rakyat dan keluarganya
sendiri.
Sebagai orang yang dibesarkan di pedesaan pun, Altamyra tetap mengejutkan. Gadis itu seperti terbiasa
dengan kerumunan orang banyak seperti ini. Kalau orang melihatnya yang penuh wibawa seperti ini,
takkan ada yang percaya ia dibesarkan di sebuah desa kecil di pinggirankota.
Hingga makan malam usai, Altamyra tak menyebutkan apa-apa tentang dirinya.
Ludwick bergegas bangkit untuk membantu Altamyra berdiri dan mengantar gadis itu hingga di pintu
masuk.
Seorang prajurit telah membuka pintu kereta dan bersiap-siap untuk membantu Altamyra.
Tiba-tiba Altamyra berhenti dan berbalik.
“Maafkan saya,” katanya menyesal, “Saya lupa memberitahu Anda berita duka yang penting. Raja
Wolve telah meninggal sepuluh bulan yang lalu dan ia secara diam-diam telah dimakamkan.”
Suasana menjadi ramai karena pemberitahuan Altamyra itu.
“Sebagai wakilnya, saya mewakilinya meminta maaf atas semua yang dilakukannya semasa ia hidup.”
“Siapakah Anda, Nona?” seorang pria bertanya pada Altamyra.
Altamyra mengenali pria itu. Ia pernah melihatnya di benteng Erland.
“Nama saya Altamyra,anak kedua sekaligus putri tunggal Paduka Raja Wolve dan Paduka Ratu Reinny,
Ratu Kerajaan Vandella yang baru,” jawab Altamyra tegas, “Penobatan saya dilaksanakan oleh Uskup
Vandella serta disaksikan oleh Ludwick dan Dewey sebagai wakil dari seluruh masyarakat Vandelladan
luar kerajaan.”
Altamyra merasakan suasana tegang di sekitarnya. Ia tersenyum lembut dan berkata, “Terima kasih atas
makan malam yang menyenangkan ini. Saya berharap kita mempunyai kesempatan lagi di lain waktu.”
Seorang prajurit membantu Altamyra naik kereta. Kemudian kereta melaju kembali ke Istana Azzereath
yang megah.
Altamyra tahu ia telah membuat mereka semua terkejut. Ia lega karena telah mengumumkan kabar
kematian ayahnya dan menyatakan diri sebagai Ratu.
Kedua orang tuanya hidup terpisah. Setelah mereka meninggal pun, mereka terpisah.
Pagi ini Altamyra telah mengunjungi makam ayahnya dan Allan untuk menunjukkan baktinya pada
keluarganya. Altamyra pergi berdua dengan Hannah dengan dikawal beberapa prajurit.
Tak seorang pun yang memperhatikan mereka saat itu. Tetapi setelah malam ini, Altamyra akan menjadi
pusat perhatian. Altamyra menyadari hal itu.
Kereta berhenti di depan tangga masuk.
Lagi-lagi seorang pengawal Altamyra mengulurkan tangan untuk membantu gadis itu. Dalam sehari ini
Altamyra telah terbiasa dengan hal itu dan ia tidak banyak mengomentarinya.
Altamyra memasuki Istana yang selalu cemerlang setiap saat.
“Anda sudah datang, Paduka?”
Altamyra hanya berpaling sebentar lalu kembali menatap lukisan di depannya.
“Siapa yang Anda pandangi, Paduka?”
“Allan, Hannah,” jawab Altamyra.
“Pangeran Allan sangat tampan. Saya senang terus memandangnya.”
“Engkau benar, Hannah. Tetapi ia juga sangat menderita,” kata Altamyra sedih.
“Bagaimana perjamuannya?” Hannah mengalihkan pembicaraan.
“Lancar seperti yang kuharapkan.”
“Besok pasti mereka terkejut.”
“Tidak perlu menunggu besok untuk membuat setiap orang tahu akan berita besar ini. Aku yakin tengah
malam nanti hampir semua orang tahu apa yang telah terjadi.”
“Anda terlalu melebih-lebihkan, Paduka.”
“Tidak, Hannah. Percayalah padaku.” Altamyra meyakinkan, “Peristiwa ini akan menjadi berita besar di
koran.”
Altamyra melanjutkan perjalanannya ke kamar.
Kamar tidur utama yang ditempati Altamyra sangat megah. Tempat tidurnya luas dan empuk.
Langit-langitnya tinggi dengan jendela-jendela yang tinggi dan pintu besar. Permadani merah terhampar di
seluruh ruangan itu dan menimbulkan suara bergemerisik tiap kali Altamyra melangkah.
Sepuluh pelayan telah bersiap-siap di dalam kamar untuk melayani Altamyra.
Melihat kedatangan Altamyra, mereka segera mendatangi gadis itu.Adayang menyiapkan gaun tidur
Altamyra.Adayang membantu Altamyra melepaskan jubahnya.Adayang mengambil mahkota dari kepala
Altamyra.
Altamyra benar-benar seorang Ratu saat ini. Cukup dengan kata-kata, semua keinginannya terkabulkan.
Usai melayani Altamyra, pelayan-pelayan itu meninggalkan kamar.
Altamyra memandang langit-langit kamarnya dan membayangkan reaksi rakyat esok. Altamyra dapat
membayangkan wajah-wajah terkejut rakyatnya tetapi ia tidak dapat membayangkan tindakan Erland
bila ia mengetahui hal ini.
Erland tidak hanya terkejut tetapi juga murka. Altamyra telah menipu pria itu dan pria itu paling tidak
suka ditipu.
Setelah selama satu bulan lebih tidur sekamar dengan Erland, Altamyra merasa kesepian di kamar yang
besar ini. Ia telah terbiasa dengan ucapan selamat tidur Erland.
Altamyra menghapus segala kenangan itu dari benaknya. Sekarang bukan saatnya ia memikirkan dirinya
sendiri. Banyak yang harus dilakukannya esok hari. Tugas-tugas telah menantinya.
“Tidak buruk,” gumam Altamyra. Gadis itu tersenyum melihat sederet tulisan besar di halaman pertama
koran. “Sang Putri telah kembali. Aku suka judul ini.”
“Anda telah membuat setiap orang terkejut, Paduka.”
“Aku sependapat denganmu, Sylta. Sayangnya, mereka terlalu menyanjungku. Lihatlah apa yang mereka
tulis.”
Altamyra membacasuratkabar keras-keras.
SANG PUTRI TELAH KEMBALI
Putri Altamyra yang menghilang bertahun-tahun lalu telah kembali. Untuk pertama kali beliau
menyatakan diri di Gedung Parlemen setelah sebelumnya membuat para anggota dewan bertanya-tanya.
Dalam kesempatan itu pula Putri Altamyra mengumumkan kematian Raja Wolve. Putri juga menyatakan
diri sebagai Ratu Vandella yang baru, menggantikan ayahnya.
Warga Vandella berduka cita atas kepergian Raja Wolve yang arif. Segenap warga berdoa untuknya.
Dalam kesempatan in pula warga mengucapkan selamat pada Putri Altamyra atas penobatan dirinya.
Semoga Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra dianugerahi umur panjang untuk memerintah negeri ini.
Ratu Altamyra yang tampil dengan pesonanya, memikat setiap anggota dewan dan semua orang yang
ada di Gedung Parlemen. Dengan keanggunan dan wibawanya, Ratu membuat semua orang
mengaguminya.
Suasana hangat yang tercipta di Gedung Parlemen menunjukkan keramahan Yang Mulia Paduka Ratu
Altamyra. Ratu cantik yang memikat ini tampaknya akan membawa rakyat Vandella pada kemakmuran.
Dengan pendidikan yang diperolehnya di kota suci Vatikan, Ratu akan membawa rakyat pada
kehidupan yang lebih baik. Kepandaian Ratu Altamyra tidak diragukan lagi.
Sangat disayangkan Paduka Ratu Reinny, ibunda Ratu Altamyra, telah meninggal dunia dikotasuci
Vatikan. Ratu yang setia itu telah meninggalkan ktia selama-lamanya. Tetapi, kita yakin Raja dan Ratu
akan senantiasa melindungi kerajaan Vandella. Dengan putri mereka yang cantik sebagai Ratu, Vandella
akan mengalami masa-masa kejayaan.
Altamyra tertawa geli. “Tidakkan itu berlebihan, Sylta? Mereka memuja-mujaku seperti aku adalah
dewi.”
“Mereka tidak berlebihan, Paduka. Anda cantik seperti yang dikatakan dalam koran.”
“Engkau jangan terbawa mereka, Sylta.”
“Saya bersungguh-sungguh, Paduka,” Sylta meyakinkan, “Tak seorangpun di kerajaan ini yang
mempunyai mata biru secerah mata Anda ataupun rambut yang bersinar keemasan seperti Anda.”
“Sayangnya, Sylta,” Altamyra menyesali, “Kalian terlalu memujaku. Lihat saja koran ini. Bagiku ini
bukan berita tetapi acara penyanjungan. Koran ini sama sekali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya
terjadi. Mereka tidak menyebutkan bagaimana aku membuat tiap orang kebingungan, ketakutan, dan
perasaan lain karena sikapku. Mereka terus menyanjungku dan ayahku.”
Altamyra mendesah panjang.
“Kalian benar-benar tidak bebas selama pemerintahan ayahku. Tidak hanya rakyat yang tertindas, tetapi
juga koran. Koran yang seharusnya mengatakan yang sebenarnya, jadi tidak berguna. Koran-koran
hanya bisa memuat berita-berita palsu dan sanjungan-sanjungan terhadap rajanya. Sebenarnya kalian
bersorak atas kematian serigala itu, tapi kalian mengatakan berduka. Kalian was-was terhadapku dan
takut aku sama seperti serigala itu, tetapi kalian mengatakan Vandella akan mengalami kejayaan di
bawah pemerintahanku.”
“Kalian benar-benar takut padaku,” Altamyra berkata dengan sedih. “Kalian memutuskan segalanya
dengan cepat hanya untuk menyanjungku dan membuatku gembira. Kalian tidak akan pernah percaya
kalau aku membenci serigala itu dari lubuk hatiku yang terdalam.”
“Kami percaya, Paduka,” kata Sylta, “Sebelum Anda tiba di sini, Hannah telah bercerita banyak tentang
Anda. Ia menceritakan pula bagaimana Anda dengan tegas menolak kembali ke Kerajaan ayah Anda.
Anda tidak mau kembali kekuasaan orang yang dibenci Anda sekali pun orang itu telah meninggal.
Tetapi, demi kami, rakyat Vandella, Anda bersedia kembali.”
Altamyra tersenyum tetapi matanya bersinar sedih. Gadis itu berjalan ke jendela dan memandang seluruh
wilayah kerajaannya yang terhampar di depannya.
“Andaikan kalian semua percaya padaku.”
“Kami mempercayai Anda, Paduka.”
Altamyra tiba-tiba berbalik. “Aku tahu, Sylta. Bila tidak, engkau takkan berani menyanggahku.”
Sylta tersenyum. “Kami tahu Anda tidak sama dengan ayah Anda.”
“Serigala itu,” gumam Altamyra, “Ia telah menjadi lembar hitam Kerajaan Vandella.”
Tiba-tiba pintu diketuk seseorang.
Sylta segera membuka pintu.
“Lapor, Paduka,” seorang prajurit masuk, “Duke Apaleah datang menemui Anda untuk mengucapkan
selamat atas pengangkatan diri Anda menjadi Ratu Vandella.”
Altamyra menatap kedua orang di hadapannya dan berkata, “Pagi ini akan menjadi pagi yang
melelahkan bagiku.”
“Saya akan meminta Duke kembali bila Anda keberatan, Paduka,” kata prajurit itu.
“Terima kasih atas kesediaanmu, tapi kurasa aku harus menemuinya katakan padaku di mana ia dan
putrinya berada?”
“Bagaimana Anda tahu, Paduka?” pertanyaan itu terlompat begitu saja dari mulut prajurit yang
keheranan itu. Saat itu juga ia menyadari kelancangannya, ia cepat-cepat berkata, “Maafkan ke…”
“Putrinya adalah mantan pewaris tahta,” jawab Altamyra, “Tetapi itu kalau aku tidak ada. Mereka tentu
datang berdua untuk mendapatkan perhatian dariku.”
Altamyra segera berlalu sebelum prajurit itu melanjutkan kata-katanya yang sengaja dipotong Altamyra.
Prajurit itu menatap Sylta dengan bingung.
“Pergilah!” kata Sylta, “Antar Paduka.”
Prajurit itu bergegas menyusul Altamyra.
“Jangan mudah merasa bersalah hanya karena tidak sengaja bertanya tanpa disuruh,” Altamyra memberi
nasehat dengan lembut, “Bertanya bukan hal yang patut dimasukkan dalam daftar kesalahan. Mengerti?”
“Hamba mengerti, Paduka.”
Altamyra tersenyum.
Prajurit segera membukakan pintu Ruang Tamu ketika melihat Altamyra mendekat.
Dua orang yang duduk di dalam seger berdiri untuk menyambut kedatangan Altamyra.
“Selamat pagi, Duke Apaleah, Lady Prischa. Apa yang membuat datang sepagi ini.”
“Kami datang untuk mengucapkan selamat atas pengangkatan diri Anda, Paduka.”
“Terima kasih, Duke. Anda bersedia datang sepagi ini hanya untuk mengatakan hal sekecil ini.”
“Kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk mengucapkan selamat pada Anda, Paduka,” kata
Prischa.
Altamyra tahu sesungguhnya Prischa merasa enggan untuk menemuinya. Prischa merasa Altamyra
merebut tahtanya.
“Aku merasa tersanjung, Lady Prsicha. Aku juga telah menyesal telah merebut tahtamu.”
Prischa terkejut. Ia cepat-cepat berkata, “Anda sama sekali…”
“Tidak, Prischa,” potong Altamyra, “Semua orang tahu engkaulah yang akan naik tahta bila Raja Wolve
meninggal. Tentu sudah banyak yang kalian korbankan untuk mempersiapkan hal ini.”
Duke tertawa. “Anda sangat terbuka, Paduka.”
“Aku menyukai kejujuran, Duke. Bagiku kejujuran lebih berharga daripada pujian yang tinggi,” Altamyra
menegaskan.
“Tentu, Paduka. Di dunia ini apa yang dapat mengalahkan kejujuran?”
“Tidak ada, Duke. Kita semua mengetahuinya,” kata Altamyra, “Sangat disayangkan kerajaan ini lama
terpuruk dalam kepura-puraan.”
“Anda terlalu melebihkan, Paduka.”
“Aku tidak tahu apa-apa tentang kerajaan ini, tapi aku tidak buta untuk mengetahuinya,” Altamyra
mengingatkan dengan lembut.
“Ayah saya benar, Paduka. Anda terlalu melebih-lebihkan.”
Altamyra menatap lekat-lekat kedua orang itu lalu ia tersenyum. “Seharusnya aku menyadarinya dari
tadi. Sebagai ayah dan anak kalian sangat mirip, membuatku iri.”
Pandangan Altamyra menembus mata hijau kedua orang itu. Raut wajah mereka tidak terlalu
menyenangkan untuk dipandang. Mata mereka bersinar licik dan seperti ingin selalu berpura-pura.
Keduanya terdiam.
“Bagi kalian, aku adalah orang asing di tempat ini. Tetapi, jangan melupakan siapa aku. Aku lahir di sini
sebagai keturunan serigala yang kalian takuti itu. Mungkin aku buta tentang kerajaan ini, tapi aku bisa
menjadi seperti ayahku. Dalam tubuhku mengalir darahnya, jangan lupa itu.”
“Tentu tidak, Paduka,” sahut Prischa ketakutan, “Anda tidak buta sama sekali tentang Vandella. Saya
yakin Anda akan membawa Vandella pada kejayaannya.”
Altamyra menatap Prischa lekat-lekat. Ia tahu wanita itu lebih tua darinya tetapi tidak lebih tegas
darinya. Kalau Altamyra menjadi Prischa, ia pasti tidak akan ketakutan hanya karena sedikit diperingati
gadis yang jauh lebih muda darinya.
Pintu diketuk seseorang kemudian seorang prajurit muncul.
“Maaf menganggu Anda, Paduka,” kata prajurit itu, “Saya hendak melaporkan bahwa para Menteri
telah tiba.”
“Terima kasih. Tolong katakan pada mereka, aku akan segera datang.”
“Baik, Paduka.”
“Maafkan saya, Duke Apaleah, Lady Prischa. Saya tidak bisa menemani Anda lebih lama lagi.”
“Kami mengerti, Paduka. Lagipula kami juga hendak pamit.”
“Saya berharap kita mempunyai kesempatan untuk bertemu lagi, Duke.”
“Saya juga berharap, Paduka.”
Altamyra tersenyum melihat kepergian mereka lalu ia meninggalkan Ruang Tamu dan bergegas menemui
para Menterinya.
Semua menteri telah duduk di meja perundingan. Mereka berbincang-bincang sambil menanti
kedatangan Altamyra. Mereka semua terdiam ketika Altamyra memasuki Ruang Rapat dan cepat-cepat
bangkit.
Altamyra menuju kursi tingginya di salah satu ujung meja kotak itu.
“Selamat pagi, Tuan-tuan,” sapa Altamyra, “Maafkan keterlambatan saya.”
“Selamat pagi, Paduka.”
“Silakan duduk,” kata Altamyra, “Kita akan segera memulai rapat pertama kita ini. Sebagai
perkenalanku dengan kalian, aku takkan menyebut siapa aku dan bagaimana asal usulku. Aku yakin
kalian telah mengetahuinya. Aku hanya akan mengatakan rencana-rencanaku di awal pemerintahanku
ini.”
“Seperti yang kita ketahui, kehidupan rakyat sangat menderita. Itulah yang pertama-tama akan kita
ubah. Aku ingin memajukan kemakmuran rakyat sebelum melangkah lebih jauh. Untuk itu aku ingin
membeli bahan-bahan kebutuhan hidup sebanyak-banyaknya untuk dibagikan kepada rakyat. Apakah
ada yang tidak setuju?”
“Maafkan kelancangan saya, Paduka. Menurut perhitungan saya, kas kita tidak cukup untuk melakukan
itu.”
“Tidak, Mardick. Lihatlah Istana ini. Apa yang ada di dalamnya lebih dari cukup untuk meningkatkan
kehidupan rakyat."
“Penduduk Vandella sangat banyak, Paduka. Kas kita terus menipis karena kurangnya pajak yang
masuk. Bila ditambah beban pembelian itu, saya khawatir kas kita akan kosong. Anda harus
memperhitungkan hal itu, Paduka,” Mardick bersikeras, “Dana kita tidak cukup untuk membeli
barang-barang kebutuhan untuk dibagikan pada rakyat. Kita bisa jatuh miskin karenanya.”
“Tidak mungkin! Kemarin aku telah menghitung jumlah uang yang kita miliki cukup untuk membiayai
hidup rakyat. Bahkan, lebih dari yang kuminta!” ujar Ratu.
“Tapi…”
“Cukup!” potong Altamyra tajam, “Jangan mencoba membantahku! Aku tahu ayahku tidak mungkin
menghamburkan uangnya. Ia lebih suka menimbun kekayaan daripada berfoya-foya.”
“Daulat, Paduka,” Menteri Keuangan itu membela pendapatnya.
“Penjaga!” Ratu cantik itu sudah tidak menahan diri, “Jaga dia! Tanpa ijin dariku, ia tidak boleh
meninggalkan istana ini!”
“Baik, Paduka.” Dua prajurit yang berjaga-jaga di dalam Ruang Rapat segera memegang erat-erat
tangan Mardick. Mardick berusaha melawan. Kedua prajurit itu terpaksa memunting tangan Mardick ke
belakang punggungnya.
“Jangan karena aku tidak dibesarkan di sini, engkau menyangka aku tidak tahu apa-apa tentang ayahku.
Ayahku orang yang kikir,” Ratu mengingatkan. Lalu dengan lembut ia berkata, “Siapkan kamar. Mardick
akan menginap di sini untuk waktu yang lama.”
“Baik, Paduka.”
Mardick memucat ketakutan.
“Anda tidak boleh melakukan itu, Paduka.”
“Simpan pendapatmu itu, Ludwick. Sekarang lebih baik engkau mengumpulkan semua ahli keuangan di
kerajaan ini.”
Ludwick memandang heran, namun ia tetap berkata, “Baik, Paduka.”
“Aku berharap sebelum dua minggu mendatang semua telah berkumpul di sini.”
“Baik, Paduka.”
Setelah Ludwick pergi, Altamyra berkata, “Bawa Mardick ke kamarnya. Kurasa ia butuh banyak
istirahat sampai aku selesai dengannya.”
“Dan untukmu, Mardick, kuperingatkan untuk tidak mengirim kabar apa pun pada keluargamu. Aku
ingin mereka semua ada ketika hartamu kuperiksa. Aku ingin tahu sebesar apa uang negara yang kaucuri
selama dua puluh satu tahun engkau menjadi Menteri Keuangan,”Altamyramendekati pria itu dan berkata
pelan tapi tajam.
Prajurit-prajurit itu memberi hormat pada Altamyra sebelum meninggalkan ruangan luas yang dipenuhi
oleh seluruh menteri.
Altamyra menghadap menteri-menterinya yang lain. “Maafkan atas gangguan tadi. Aku harap kalian
mengerti aku tidak ingin menjelaskan apa pun sampai kecurigaanku terbukti. Kusarankan kalian tidak
memikirkannya sebab aku akan memberi kalian tugas berat. Sebelum aku melanjutkan, aku perlu
menegaskan tindakanku tadi agar kalian tidak khawatir ketika menyelesaikan tugasku.”
“Aku tidak akan menahan kalian,” kata Altamyra tegas, “Dan, sampai semua terbukti, aku ingin kalian
merahasiakan hal ini dari orang lain.”
Altamyra tersenyum manis dan berkata lembut, “Kalian mengerti?”
Mereka membalas senyuman itu dengan tulus tanpa rasa takut sedikitpun. “Kami mengerti, Yang Mulia
Paduka Ratu Altamyra,” kata mereka serempak.
Altamyra kembali duduk di kursinya yang tinggi, menghadap menteri-menteri yang melihatnya. Altamyra
menengakkan punggung dan berkata tegas,
“Kalian tahu aku berniat merubah pemerintahan otokrasi ayahku. Sebagai langkah awal, aku ingin
merubah semua peraturan yang dibuat semasa pemerintahan ayahku. Masing-masing dari kalian
kuperintahkan membentuk sebuah badan dengan kalian sebagai kepalanya. Badan ini bertugas
menuliskan semua peraturan yang ada dalam lembaga kalian masing-masing dan merubah semua
peraturan yang membebankan rakyat. Dalam hal ini aku menegaskan aku berbeda dengan ayahku.”
Ratu tersenyum lembut. “Kalian tidak perlu khawatir aku akan menghukum kalian. Aku tahu kalian tidak
mengenal dan tidak mempercayaiku. Aku meyakinkan kalian untuk memegang kata-kataku ini.”
“Kami percaya pada Anda, Paduka,” kata mereka hampir bersamaan.
“Terima kasih,” Altamyra tersenyum manis, “Aku percaya kalian juga menginginkan perbaikan bagi
kerajaan ini. Aku percaya kalian akan memilih orang yang benar-benar sesuai dengan bidang yang kalian
tangani dan benar-benar ingin memperbaiki negara ini. Tanpa perlu melaporkan siapa saja yang kalian
masukkan dalam badan-badan itu, aku percaya kalian dapat menyelesaikan tugas ini kurang dari satu
bulan.”
“Kami akan berusaha sebaik-baiknya, Paduka.”
Altamyra mengangguk. “Aku ingin laporan terperinci mulai dari peraturan lama hingga peraturan baru
yang kalian buat.”
“Baik, Paduka.”
Altamyra bangkit diikuti para menteri itu. “Sebelum kalian mulai mengerjakan perintahku, aku berpesan
kalian tidak perlu ragu untuk menemuiku bila kalian mengalami kesulitan.”
“Kami mengerti, Paduka.”
Menteri-menteri itu membungkuk hormat sebelum meninggalkan Ruang Rapat.
Altamyra mengawasi kepergian mereka hingga orang terakhir. Altamyra pergi ke jendela yang
menghadap gerbang keluar Istana, tapi yang dilihatnya bukan kereta-kereta yang membawa pergi
menteri-menterinya. Altamyra melihat wilayah kerajaannya yang luas yang perlu pertolongannya.
Gadis itu menghela nafas membayangkan orang-orang yang menderita di luarsanakarena kekejaman
ayahnya. Ia sendiri telah melihatnya. Mata kepalanya sendiri telah melihat anak-anak yang kurus, orang
tua yang sakit-sakitan, kaum pria yang kelelahan bekerja, kaum wanita yang menangis. Mereka semua
merintih sedih dan kelaparan.
Banyak yang harus dilakukannya untuk memperbaiki semua ini.
Altamyra kembali duduk di kursinya. Dibukanya sebuah laporan kerja di hadapannya.
Altamyra mendesah panjang melihat laporan yang dibuat dengan rasa takut itu. Tiap tulisan menyiratkan
perasaan takut akan kesalahan.
Mereka semua takut. Takut ia sama seperti ayahnya.
“Paduka!”
Altamyra mengangkat kepala dari pekerjaannya.
Ludwick memandang ruangan kosong itu dengan heran.
“Mereka telah pergi melakukan tugas mereka,” kata Altamyra, “Aku juga akan memberimu tugas yang
sama. Aku ingin engkau membentuk sebuah badan. Pimpin badan itu memeriksa semua peraturan lama
dan merubah peraturan lama yang membebani rakyat. Kalau diperlukan peraturan baru, buatlah. Aku
ingin laporan terinci paling lambat satu bulan mendatang.”
“Hamba mengerti, Paduka.”
“Sebelum kau pergi, aku ingin memberimu tambahan tugas.”
“Hamba siap melaksanakannya, Paduka.”
Altamyra tersenyum. “Aku ingin semua ahli keuangan itu tinggal di sini.”
“Hamba mengerti, Paduka.”
Ludwick membungkuk hormat lalu pergi.
Altamyra menumpuk laporan-laporan di hadapannya menjadi satu. Dibawanya tumpukan kertas itu
meninggalkan Ruang Rapat.
Prajurit di luar terkejut melihat kehadirannya.
“Ijinkan saya untuk membantu Anda, Paduka,” seorang dari mereka berkata.
“Terima kasih.”
Prajurit itu mengambil alih tumpukan kertas yang hampir menutupi wajah Altamyra.
Kepada prajurit yang lain, Altamyra berkata lembut tapi tegas, “Tolong kau panggilkan Briat, Kepala
Rumah Tangga Istana untukku. Aku menunggu di Ruang Kerja.”
“Baik, Paduka.”
Setelah prajurit itu beranjak pergi, Altamyra pun pergi ke Ruang Kerja.
Tengah ia sibuk memeriksa lembaran-lembaran tugasnya, Briat datang.
“Hamba datang menghadap, Paduka.”
“Duduklah, Briat.”
Setelah Briat duduk di hadapannya, Altamyra baru berkata, “Mulai hari ini, Istana akan dipenuhi orang.
Semua ahli keuangan di negeri ini kukumpulkan di sini. Aku ingin engkau mengatur tempat untuk mereka.
Tempatkan mereka hanya di lantai dua. Bila perlu satu kamar untuk dua orang. Aku yakin kamar-kamar
yang luas ini cukup untuk lebih dari satu orang.”
“Anda benar, Paduka. Kamar-kamar di Istana sangat luas. Demikian pula tempat tidurnya. Takkan ada
masalah bila dua orang tinggal di satu kamar.”
“Mengenai teman sekamar itu, aku ingin orang yang berasal dari tempat sama ditempatkan dalam satu
kamar. Aku tidak mau tamu-tamuku merasa tidak nyaman di sini,” Altamyra menegaskan.
“Baik, Paduka,” kata Briat sambil mengangguk.
“Kalau memang sudah tidak cukup, tempatkan mereka di lantai empat.”
“Di lantai empat, Paduka?” tanya Briat heran, “Bukankah itu berarti mereka akan terpencar?”
“Aku ingin lantai satu dan lantai tiga dibiarkan seperti itu. Lantai dua dengan kamarnya yang mencapai
dua ratus kamar akan cukup untuk mereka.”
Briat berpikir keras.
“Untuk sementara waktu ini biarkan mereka makan di Ruang Makan. Selanjutnya, bila jumlah mereka
telah banyak, siapkan di Hall lantai dua.”
Briat hanya memandang wajah cantik Ratunya itu. “Apakah mungkin jumlah mereka mencapai empat
ratus orang?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Altamyra mengerti apa yang ada di pikiran pria tua itu. Ayahnya adalah seorang Raja yang curang. Ia
selalu melebih-lebihkan jumlah pajak yang harus dibayar seseorang. Karena ia tidak ingin ada yang tahu
kecurangannya, ia menghancurkan masa depan ahli keuangan di negeri ini dan membuat tak seorang pun
ingin menjadi ahli keuangan.
Tapi Altamyra juga tahu masih banyak ahli keuangan di kerajaan ini.
“Bila telah ada yang datang, jangan lupa untuk mendatanya,” Altamyra melanjutkan, “Satu tambahan
tugas lagi. Tempatkan Mardick di salah satu kamar di lantai tiga dan aku ingin penjagaannya diperketat.”
“Hamba akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, Paduka.”
Altamyra tersenyum puas.
Seperti yang telah diramalkan Altamyra sendiri, hari-hari berikutnya menjadi hari yang panjang dan
melelahkan baginya.
Sepanjang hari ia duduk di meja kerjanya untuk mempelajari laporan ke dua puluh menterinya. Laporan
dari awal mereka menjabat sampai saat ini lebih tebal dari bayangan Altamyra. Tetapi ia tidak mengeluh.
Altamyra mensyukuri kesibukannya itu. Dengan kesibukannya, ia dapat melupakan Erland dan malam
hari ia sudah terlalu lelah untuk mengenang Erland.
Seperti Altamyra, semua Menteri juga sibuk, kesibukan para Menteri yang luar biasa ini menarik
perhatian para kuli koran.
Siapa yang tidak tertarik oleh para Menteri yang tiba-tiba mengacak-acak kantor mereka untuk
membuka undang-undang lama?
Siapa yang tidak ingin tahu melihat ke dua puluh kantor itu beserta karyawan-karyawannya bersidang
terus tanpa henti?
Tindakan Altamyra membuat warga Vandella bertanya-tanya khususnya warga Perenolde. Seperti
belum puas membangkitkan keheranan rakyatnya, Altamyra membuat kejutan lagi dengan
pengumumannya.
Semua koran memuat titah Altamyra dengan huruf besar-besar dan diletakkan di halaman depan. Bunyi
titahnya:
Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra mengundang semua ahli keuangan Kerajaan Vandella untuk datang
ke Istana Azzereath. Paduka Ratu akan mengadakan pemilihan untuk mengambil seorang ahli keuangan
terbaik yang akan menjadi penasehatnya.Paraahli keuangan yang berminat harap segera menuju Istana
Azzereath untuk segera mendaftarkan diri. Paduka Ratu hanya memberi waktu kurang dari satu minggu
untuk mereka yang tinggal di sekitar Perenolde dan satu setengah minggu untuk mereka yang tinggal di
luar radius 400 mil dari Perenolde.
Semua orang sibuk membicarakan kedua titah Altamyra di rapat pertamanya. Koran-koran menyoroti
kedua titah itu.
Tanpa mereka sadari, keingintahuan mereka yang besar membuat mereka menulis lebih banyak dan
lebih berani daripada sebelumnya. Koran-koran mulai dapat menjawab keingintahuan rakyat.
Sebagai orang yang pertama menyadarinya, Altamyra gembira. Ia tersenyum senang melihat koran telah
berani berpendapat. Mereka berani menulis:Apa yang sebenarnya direncanakan oleh Ratu?
Altamyra yakin mereka tidak menyadari keberadaan kalimat itu. Kalimat yang pada masa pemerintahan
ayahnya dianggap tidak mempercayai Raja. Tetapi setelah koran dicetak dan mereka membacanya,
mereka pasti menyadari kalimat yang dulu bisa menyebabkan hukuman pancung itu.
Sebelum ada yang menemuinya untuk minta maaf, Altamyra segera menyebar ucapan selamat pada
koran-koran.
“Koran Anda bagus sekali isinya. Saya senang atas kemajuan ini. Teruslah berkembang dengan bebas!
Jadilah koran yang benar-benar dapat memberi informasi pada rakyat.”
Demikian kata-kata yang Altamyra tulis pada surat-suratnya.
Menjelang siang hari, kata-kata yang penuh dukungan itu telah tersebar di semua penerbitan koran.
Kedatangan surat itu mula-mula menakutkan para pemilik penerbitan koran, tetapi mereka bersorak
sorai setelah membaca isinya yang penuh dukungan dan kepuasan. Mereka merasa seperti mendapat
sinar kehidupan baru dalam kerja mereka memberi informasi pada rakyat.
Di hari-hari selanjutnya, Altamyra yakin ia bisa tersenyum puas ketika membaca koran. Ia tidak perlu
lagi merasa muak membaca koran yang isinya tidak berguna.
Baru dua hal hasil rapat pertama Altamyra dengan Menteri-menterinya, yang diketahui rakyat. Bila
mereka tahu Altamyra mengurung Menteri Keuangan di Istananya, rakyat pasti akan menjadi semakin
ramai.
Hingga hari ketiga keberadaan Mardick di Istana, tak seorang pun yang tahu. Keluarga Mardick sendiri
tidak tahu apa-apa.
Untuk menenangkan keluarga Mardick, Altamyra mengirim Briat ke rumah Mardick. Melalui Briat,
Altamyra mengatakan saat ini Mardick diperlukan di Istana dan untuk beberapa waktu ia tidak dapat
menghubungi keluarganya.
Keluarga Mardick mempercayainya dan tidak ambil pusing walau sudah lama tidak ada kabar dari
Mardick. Semua percaya Altamyra membutuhkan bantuan Mardick untuk menghitung kas negara.
Tak seorang pun di luar Istana yang tahu Altamyra menghitung sendiri uang yang dimiliki Vandella.
Untuk melakukan pekerjaan itu, Altamyra meminta seluruh penghuni Istana menulis macam-macam pajak
yang dibebankan ayahnya berikut jumlahnya.
Untuk menghilangkan kecurigaan rakyat akibat hilangnya Mardick, Altamyra memerintahkan Orwell,
wakil Menteri Keuangan, menggantikan tugas-tugas Mardick. Kepadanya Altamyra tidak menjelaskan
apa-apa tentang keberadaan Mardick di Azzereath. Ia hanya meminta Orwell melakukan pekerjaan yang
sama seperti menter-menteri lainnya.
Begitu sibuknya Altamyra hingga ia sering melalaikan dirinya sendiri. Tidak ada lagi waktu istirahat
untuknya.
Langkah besar yang diambil Altamyra di awal pemerintahannya ini mengguncang warga Vandella. Mulai
dari Perenolde hingga ke daerah perbatasan. Mereka yang dulu tidak tertarik untuk mengetahui apa yang
dilakukan rajanya menjadi terbangkitkan untuk mengikuti perkembangan suasana ibukota.
Guncangan ini sampai pula di tempat Erland dan menjadi yang paling besar.
Suatu pagi yang serah terdengar suara kuda mendekat beserta teriakan, “Pangeran! Pangeran!”
“Ada apa, Giorgio?” tanya Erland, “Apakah engkau sudah mengetahui bagaimana keadaannya?”
“Gawat, Pangeran. Benar-benar gawat.”
Erland segera menarik Giorgio ke kamarnya.
Fred yang mendengar pembicaraan singkat itu mengikuti Erland.
Erland menutup pintu kamarnya rapat-rapat lalu berkata, “Ceritakan apa yang kaudapatkan di sana?”
“Gadis itu, Pangeran,” Giorgio berkata antara takjub dan takut, “Gadis itu…”
“Cepat katakan, kenapa dia,” Erland tidak sabar lagi.
“Ia adalah Ratu Vandella.”
Baik Erland maupun Fred terhenyak kaget. Mereka menatap Giorgio dengan tak percaya.
“Kau yakin?” tanya Erland.
“Ia adalah Yang Mulia Paduka Ratu Kerajaan Vandella, Pangeran,” Giorgio meyakinkan, “Hamba
sendiri yang mendengar ia berkata seperti itu di Gedung Parlemen.”
Giorgio segera menceritakan apa yang terjadi selama ia berada di Perenolde. Ia menceritakan
bagaimana ia menyamar menjadi wartawan demi mendapatkan informasi untuk Erland.
“Saat itu saya berpikir Anda pasti senang kalau saya memberi Anda informasi apa yang dilakukan Raja
Wolve di Gedung Parlemen setelah sekian lama menghilang. Saya tidak menduga akan bertemu Rara di
sana. Mulanya saya tidak percaya ia adalah Rara tapi ia sangat mirip dengan Rara. Akhirnya saya
bertanya padanya siapa dia. Dengan tegas ia menjawab, ‘ Saya Altamyra, Ratu Kerajaan Vandella’.”
“Kurang ajar,” geram Erland, “Setan cilik itu telah menipuku.”
“Altamyra…” gumam Fred, “Aku merasa pernah mendengar nama itu.”
“Ia adalah putri Raja Wolve yang dibawa pergi Ratu Reinny bertahun-tahun lalu,” Giorgio memberitahu.
“Benar!” seru Fred, “Aku ingat dulu Ratu Reinny membawa pergi putrinya yang baru lahir dan membuat
Vandella gempar kecuali Raja Wolve. Rupanya ia telah mencari putrinya sebelum ia mati dan
berjaga-jaga agar tidak terjadi perebutan tahta. Cukup beralasan mengapa ia tidak pernah
mengumumkan Prischa sebagai pewaris tahta.”
“Saya rasa tidak. Menurut isu yang beredar di Perenolde, hingga Raja Wolve meninggal, ia tidak pernah
memerintahkan pencarian terhadap putrinya. Para menterilah yang mencari mereka.”
“Menteri yang setia,” ejek Erland, “Aku heran mengapa mereka baru mengumumkan hal ini setelah
sepuluh bulan serigala itu mati.”
“Karena mereka mengalami kesulitan dalam menemukan tempat tinggal Ratu, Pangeran. Ratu
menghilang tanpa jejak.”
“Benar-benar budak yang setia,” ejek Erland, “Aku heran mengapa mereka mau menahan berita
kematian serigala itu sampai sang Putri kembali?”
“Saya tidak tahu tentang itu, Pangeran.”
“Kejadian itu terjadi enam belas tahun yang lalu, berarti…” Tiba-tiba Fred berseru takjub, “Gadis itu
masih sangat muda!”
“Setan cilik itu masih anak-anak,” Erland membetulkan.
“Aku tak percaya sekarang kita mempunyai Ratu semuda itu.”
“Ratu muda yang bodoh. Apa yang bisa dilakukan oleh anak-anak sepertinya?”
“Banyak, Pangeran,” jawab Giorgio, “Ketika saya hendak kembali ke sini, terdengar kabar Ratu
memanggil semua menterinya. Saya pikir Anda akan tertarik untuk mengetahui apa rencana Ratu. Karena
itu saya menunda kepulangan saya.”
“Ratu memanggil semua menterinya untuk memerintahkan mereka membongkar semua peraturan lama.
Ratu ingin membuat peraturan baru. Ratu juga menyebarkan pengumuman panggilan terhadap semua ahli
keuangan Vandella. Ratu meminta mereka datang ke Azzereath karena ia akan memilih ahli keuangan
terbaik.”
“Gebrakan yang mengejutkan,” ejek Erland.
“Benar, Paduka,” sahut Giorgio, “Ratu membuat seluruh Perenolde gempar. Koran-koranpun menjadi
berani untuk mengupasnya. Lihatlah ini.”
Erland membaca kalimat yang ditunjuk Giorgio dan berkomentar, “Berani juga mereka meragukan
kemampuan keturunan serigala itu.”
“Itu belum apa-apa dibandingkan dengan koran-koran ini, Pangeran. Saya dengar Ratu memberi
dukungan pada tiap koran untuk terus berkembang.”
“Rencana licik apalagi yang dibuatnya? Ia memang licik. Harus kuakui ia cukup cerdik dalam
mendapatkan simpati rakyat,” kata Erland sinis.
“Beristirahatlah dulu, Giorgio. Lalu kembalilah ke Perenolde dan terus kabari aku apa yang terjadi.
Jangan katakan hal ini pada yang lain. Aku tak ingin mereka khawatir Ratu sial itu menyerbu kita
sewaktu-waktu.”
“Saya kita dalam waktu dekat ini, hal itu tidak akan terjadi. Saat ini Ratu sibuk dengan kas negara.
Bahkan, ia meminta Mardick tinggal di Istana.”
“Aku tetap ingin engkau tutup mulut, Giorgio,” kata Erland tegas.
“Baik, Pangeran.”
“Beristirahatlah lalu segera kembali ke Perenolde.”
Giorgio segera meninggalkan kamar Erland.
“Biacaramu terlalu sinis, Erland. Mengapa engkau mencurigai dia? Belum tentu ia selicik dugaanmu.
Mungkin saja setelah melihat apa yang terjadi di sini, ia ingin memperbaiki pemerintahan ayahnya.”
“Aku percaya pada diriku sendiri. Aku tidak mungkin salah,” Erland murka, “Ia pasti menyesal bila
bertemu denganku. Aku akan membuatnya menyesal telah menipuku dan rakyatku. Aku ingin sekali
membunuhnya.”
“Ia tidak sepenuhnya membohongi kita. Setidaknya ia masih memberikan nama aslinya.”
Erland tidak tertarik untuk mendengarnya, tapi Fred tetap melanjutkan.
“Ia menyuruh kita memanggilnya Rara. Panggilan itu dari namanya, Altamyra. Nama yang menyenangkan
untuk didengar seperti mengandung sinar bintang yang cerah.”
“Berhentilah menyebut-nyebutnya. Aku muak mendengarnya!”
“Engkau boleh marah, Erland. Tapi engkau tidak bisa membohongiku.”
“Cukup!” bentak Erland.
Fred hanya mengangkat bahunya. Ia tahu Erland benar- benar murka saat ini. Ia juga tahu takkan ada
yang berani mengusik Erland dalam hari-hari belakangan ini termasuk Cirra.
Sejak Rara kembali bersama para pasukan itu, Erland sangat cemas. Ia mengirim pasukan untuk
mengintai pasukan kerajaan dan mencari kesempatan untuk menculik Rara kembali.
Setelah tidak berhasil merebut Rara, Erland mengirim Giorgio untuk mencari tahu keberadaan Rara.
Orang yang paling bersorak dengan hilangnya Rara adalah Cirra. Wanita itu seperti mendapatkan
kembali kesempatan untuk berdua dengan Erland.
Cirra semakin berani. Bahkan, ia meminta Erland mengajaknya tidur di kamarnya seperti yang ia lakukan
pada Rara. Erland dengan dingin menolaknya.
Suasana di Vandella tengah berubah. Demikian pula suasana hati Erland. Tapi, tidak suasana rakyat
Lasdorf.
Meskipun mereka membaca koran yang menyerukan perubahan yang dilakukan Altamyra, mereka tidak
akan tahu Altamyra adalah gadis yang sama dengan Rara. Rakyat kecil ini baru akan gempar bila tahu
gadis yang dulu mereka puja adalah Ratu Vandella.
Tujuh ratus mil dari tempat itu Altamyra tetap meneruskan kesibukannya. Siang malam ia terus terlihat di
Ruang Kerjanya dengan tumpukan kertas yang tinggi.
Terlalu banyak yang harus dilakukannya hingga ia sering melupakan waktu. Setiap kali hari menjadi
gelap, Altamyra berkata, “Waktuku cepat berlalu.”
Waktu yang terus berganti dengan cepat, mendorong Altamyra untuk bekerja lebih cepat lagi. Lebih
banyak yang diselesaikan Altamyra, semakin puas hatinya.
Kesibukan yang ada di Azzereath tidak hanya terjadi pada Altamyra saja. Seluruh pelayan Istana ikut
disibukkan oleh kedatangan para ahli keuangan yang datang memenuhi panggilan Altamyra.
Orang yang pertama kali terkejut dengan banyaknya ahli keuangan yang datang adalah Briat. Saat ia
mencatat nama ke lima puluh, ia segera menemui Altamyra.
“Luar biasa, Paduka,” serunya tak percaya, “Lihatlah ini. Ini nama ke lima puluh yang saya catat.”
Altamyra tertawa geli. “Berilah dia hadiah, Briat, sebagai penghargaan menjadi orang ke lima puluh.”
“Anda seperti akan mengadakan perlombaan, Paduka.”
“Engkaulah yang membuatnya seperti itu, Briat,” Altamyra tersenyum geli, “Aku berjanji minggu depan
engkau akan lebih terkejut.”
“Anda benar, Paduka, mereka masih banyak.”
“Aku sudah mengatakannya padamu,” Altamyra mengingatkan dengan lembut, “Lebih baik sekarang
engkau kembali ke bawah. Aku yakin sudah banyak yang menanti engkau memasukkan nama mereka
dalam daftar peserta lombamu.”
Melihat wajah Briat yang seperti anak kecil yang sedang marah, Altamyra tertawa geli. “Pergilah
menemui para peserta lombamu sebelum mereka membatalkan niatnya untuk mengikuti lombamu.”
Briat tersenyum ketika ia membungkuk. Ia masih tersenyum ketika kembali ke Hall.
Altamyra tersenyum melihat kepergian Briat lalu kembali menekuni pekerjaannya. Membaca laporan
telah diselesaikannya berhari-hari lalu. Sekarang yang menjadi pekerjaannya adalah menyusun hal-hal
yang harus segera dilakukannya setelah membaca laporan kedua puluh menterinya serta membuat
keputusan-keputusan baru.
Segala hal baik yang terlintas dalam pikirannya segera ditulisnya dan dipisah-pisahkannya. Sangat
banyak hal yang terlintas dalam pikiran Altamyra hingga ia bingung mana yang harus dilakukannya lebih
dulu.
Di tengah-tengah kesibukannya, Altamyra masih menyempatkan diri untuk menyelesaikan masalah
Mardick dan menerima menteri-menterinya yang datang untuk menanyakan sarannya.
Sejak mengurung Mardick di salah satu kamar Istana, Altamyra tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Namun, dari prajurit yang menjaga kamar tempat Mardick berada, ia mengetahui Mardick gelisah
menanti hasil pemeriksaan Altamyra terhadap dirinya.
Ketika hari terakhir yang ditentukan tiba, Altamyra memanggil Ludwick ke Istana. Dari hasil pendataan
Briat, Altamyra mengetahui jumlah orang yang datang.
Pagi hari setelah makan pagi, Altamyra meminta Briat menyuruh pelayan menyiapkan kertas dan pena di
Ruang Rapat.
Pelayan-pelayan Istana segera melaksanakan perintah Altamyra itu. Mereka tidak mau kalah dengan
Altamyra yang juga sibuk menyiapkan segala-galanya untuk pertemuannya yang pertama dengan semua
ahli keuangan Vandella itu.
Kesibukan di dalam Istana yang terjadi sejak pagi itu membuat para tamu Altamyra tahu saat pemilihan
telah tiba. Mereka pun sibuk mempersiapkan diri.
Menjelang siang, pelayan telah menyiapkan segalanya seperti perintah Altamyra.
Briat memanggil seluruh tamu Istana itu ke Ruang Rapat tempat Altamyra dan Ludwick telah menanti.
Sambil menunggu mereka semua berkumpul, Altamyra berbincang-bincang dengan beberapa orang.
Ketika semua telah berkumpul, Altamyra tetap berbincang-bincang.
Ludwick juga menyibukkan diri dengan bercakap-cakap dengan mereka. Ia telah diberitahu Altamyra
untuk membiarkan mereka menunggu.
“Aku ingin tahu sampai di mana batas kesabaran mereka,” kata Altamyra sebelum seorang pun
memasuki Ruang Rapat.
Setelah hampir setengah jam menanti, orang banyak itu mulai gelisah. Mereka mulai mengkhawatirkan
rencana Ratu mereka.
“Di mana Paduka Ratu, Ludwick?”
“Sejak tadi kami menanti di sini.”
“Beliau sudah ada di sini sebelum kalian datang,” Ludwick berkata sambil melihat seorang gadis muda
yang tengah berbicara dengan seorang pria tua.
“Dia!?” Mereka terkejut ketika melihat Altamyra.
Kemudian mereka mendekati Altamyra dan berlutut, “Maafkan kami, Paduka Ratu. Kami tidak
menyapa Anda sebagaimana mestinya.”
Dalam waktu singkat semua yang hadir ikut berlutut dan memohon maaf.
Altamyra tersenyum ramah dan berkata, “Berdirilah kalian semua. Masih banyak yang harus dilakukan
daripada mempermasalahkan sopan santun.”
“Baik, Paduka,” kata mereka serempak. Dengan hampir bersamaan, mereka berdiri.
“Dari kalian yang ada di sini, aku ingin memilih beberapa orang yang benar-benar ahli dalam hal
pembukuan uang,” Altamyra menegaskan, “Sebagai pemilihan pertama, aku akan memberi pertanyaan
mudah. Jawabannya tidak perlu dikatakan, tetapi tulis di kertas dan berikan pada Ludwick. Kalian
mengerti?”
“Kami mengerti, Paduka.”
“Pertanyaannya adalah bila kalian mempunyai uang lebih banyak dari impian kalian, apa yang akan
kalian lakukan? Kutunggu jawabannya dalam lima menit.”
Altamyra menuju kursi tingginya di ujung meja rapat dan melihat orang-orang yang mulai menulis
jawaban mereka.
Tak lama kemudian, Ludwick menyerahkan tumpukan kertas jawaban itu pada Altamyra.
“Terima kasih, Ludwcik.”
Altamyra mulai melihat lembar teratas. Gadis itu hanya melihat sebentar lalu menyingkirkannya. Ia
mengambil lembar yang lain dan segera menyingkirkannya.
Ludwick tidak terkejut maupun heran dengan kerja Altamyra yang cepat. Gadis itu memang tangkas.
Dalam satu minggu, ia sudah membuat banyak perubahan yang dilakukan raja lain dalam sepuluh tahun.
Dalam waktu singkat di hadapan Altamyra telah ada dua tumpuk kertas. Altamyra mendesah panjang
ketika menyerahkan setumpuk kepada Ludwick.
“Mereka tidak berhasil.”
Altamyra kecewa melihat tumpukan kertas itu.
Ludwick melihat jawaban itu lalu dengan heran ia menatap Altamyra.
“Aku membutuhkan orang yang selalu tanggap dengan perubahan bukan yang mengikuti masa lalu,”
Altamyra menjelaskan, “Sayang, beberapa dari mereka masih mengira aku sama dengan ayahku. Sudah
banyak koran yang menuliskan keinginanku, tapi mereka tidak tahu. Aku sengaja tidak mengatakannya
pada mereka untuk melihat siapa yang selalu mengikuti perubahan jaman.”
Ludwick mengerti keinginan Altamyra.
Tumpukan kertas yang diberikan Altamyra itu pada intinya mengatakan, “Aku akan memberikan uangku
pada Raja agar ia senang.” Sedang tumpukan yang lain intinya berisi, “Aku akan menggunakannya untuk
memperbaiki kehidupan rakyat.”
Ludwick mengumumkan hasil pemilihan pertama.
Setelah semua yang gagal pergi, Altamyra berdiri dengan tumpukan kertas baru.
“Pertanyaan yang kedua adalah kalian harus menyelesaikan hitungan ini,” Altamyra berkata tegas.
Ludwick mengambil kertas itu dari Altamyra dan membagikannya.
Sekagi Ludwick membagikan soal kedua, Altamyra berkata, “Silakan menggunakan meja rapat. Aku
hanya memberi waktu lima belas menit untuk hitungan mudah itu. Kumpulkan pada Kincaid.”
Ludwick mendekati Altamyra. “Soal telah saya bagikan, Paduka.”
“Sekarang ikutlah denganku. Banyak yang harus kita selesaikan.”
Altamyra menuju meja yang baru dipindahkan ke sudut ruangan itu pagi tadi. Di meja itu tampak
setumpuk kertas berisi hitungan.
Ludwick duduk di depan Altamyra.
“Periksalah ini. Apakah benar ini semua pajak yang ditarik ayahku?”
Selagi Ludwick memeriksa, Altamyra mengawasi orang-orang yang sibuk menghitung itu.
Ludwick mengangkat kepala dari kertas itu.
“Selain pajak tanah, pajak pendapatan, apakah ayahku juga menarik pajak hasil panen, pajak barang,
pajak rumah, pajak ternak, pajak kendaraan, dan semua macam pajak yang ada di situ?”
“Benar, Paduka.”
Beberapa orang yang telah selesai memberikan hasil perhitungan mereka pada Kepala Keamanan Istana
yang mengawasi mereka.
“Bolehkan saya mengajukan pertanyaan, Paduka?”
“Silakan.”
“Mengapa Anda membuat soal yang berbeda-beda?”
“Aku ingin tahu kemampuan mereka yang sebenarnya. Aku membutuhkan orang yang dapat bekerja
cepat dan teliti.”
“Waktu telah habis!” Kincaid mengumumkan, “Anda dipersilakan beristirahat di kamar Anda
masing-masing.”
Semua berdiri. Beberapa mengeluh panjang. Yang lain tersenyum senang. Ada juga yang berbisik-bisik.
Suasana sepi Ruang Rapat menjadi riuh.
“Seperti anak-anak sekolah yang sedang ujian,” gumam Ludwick.
“Aku membuatnya seperti itu,” sahut Altamyra dengan senyum manisnya.
Kincaid mendekat. “Semua jawaban telah saya kumpulkan, Paduka.”
“Terima kasih, Kincaid. Maukah engkau membawakannya ke Ruang Kerjaku?”
“Dengan senang hati, Paduka.”
“Mari kita berangkat, Ludwick,” Altamyra mengambil tumpukan tugasnya.
“Ijinkan saya membantu Anda, Paduka,” Ludwick mengulurkan tangan.
“Terima kasih, Ludwick,” Altamyra menyerahkan bawaannya.
Altamyra meninggalkan Ruang Rapat dikawal kedua orang itu,
Penjaga pintu membukakan pintu untuk mereka.
Kincaid dan Ludwick meletakkan kertas-kertas itu di meja.
“Aku tidak ingin merepotkanmu, Kincaid, tapi aku ingin meja kecil di Ruang Rapat itu dikembalikan ke
tempat asalnya.”
“Keinginan Anda adalah tugas bagi saya,” Kincaid membungkuk hormat dan meninggalkan tempat itu.
“Menteri Luar Negeri datang menghadap, Paduka.”
“Suruh dia masuk.”
“Hamba datang memenuhi panggilan Anda, Paduka,” Dewey membungkuk hormat.
“Engkau datang tepat waktu, Dewey. Kemarilah dan bantu kami memeriksa jawaban-jawaban ini.”
“Baik, Paduka.”
Dewey duduk di samping Ludwick.
Altamyra menyerahkan kepada mereka masing-masing selembar kertas. “Ini adalah jawaban untuk
semua soal ini. Perhatikan baik-baik soalnya. Ada lima belas jenis soal di sini.”
“Kami akan berhati-hati, Paduka.”
Ketiganya segera tenggelam dalam kesibukan mereka. Di antara mereka bertiga, Altamyralah yang
paling cepat. Gadis itu membuat semua soal itu. Gadis itu pula yang membuat jawabannya. Ia telah ingat
semua jawaban, semua angka yang berderet-deret itu.
Selama hari-hari terakhir ini Altamyra terbiasa bekerja cepat. Tak heran ia menjadi tangkas dalam segala
hal namun penuh perhitungan.
Dari8454 orang yang telah tiba, 157 orang yang lolos dalam pemilihan pertama. Dari pemilihan kedua,
yang lolos hanya 36 orang.
Altamyra memandang kertas yang berisi jawaban yang benar itu.
“Biarkan mereka menanti,” kata Altamyra, “Besok baru kita umumkan. Sampai saat itu tiba, jangan
mengatakan hasilnya pada siapa pun.”
“Kami mengerti, Paduka.”
“Mendekatlah!”
Ludwick dan Dewey berdiri di samping Altamyra.
“Ini adalah hasil perhitungan kasarku,” Altamyra mengangkat selembar kertas, “Kuingin kalian
memberitahu mana yang salah, mana yang terlewat.”
“Ini, Paduka,” Ludwick menunjuk sederet angka, “Jumlah yang ditarik lebih besar dari ini.”
Altamyra menghitung kembali hasil perhitungannya. Baik Ludwick maupun Dewey tidak henti-hentinya
memberi bantuan pada gadis itu. Tiap ada yang salah, mereka tak ragu untuk memberitahu. Mereka juga
tidak segan memuji pekerjaan Altamyra.
Altamyra juga dengan senang hati menerima pendapat kedua menterinya.
“Sudah saatnya beristirahat!”
Altamyra terkejut melihat pelayan tuanya yang setia membawa nampan penuh berisi makanan. “Apa
yang kaulakukan di sini, Hannah?” Altamyra memandang seorang wanita, “Brenda, bukankah aku
memberimu tugas untuk mencegahnya bekerja?”
“Maafkan saya, Paduka Ratu, tapi saya pikir Hannah benar. Telah seharian Anda bekerja bahkan Anda
sampai melewatkan waktu makan siang. Sekarang terlalu terlambat untuk makan, tetapi tidak untuk
waktu minum teh.”
Altamyra hanya menghela nafas. “Letakkan saja di meja lalu antar Hannah kembali ke kamarnya.”
“Anda harus beristirahat, Paduka,” Hannah menasehati, “Sepanjang minggu ini saya melihat Anda
bekerja terlalu keras. Kalau Anda jatuh sakit, siapa yang akan melakukan perbaikan hidup rakyat.”
“Selain itu saya tidak suka berdiam diri,” Hannah mengingatkan.
Altamyra diam memandang wajah keriput pelayan tua itu. Dalam benak gadis itu telah muncul gagasan
baru.
Rakyat membutuhkan bantuannya saat ini juga. Bukan nanti bukan juga esok, tapi sekarang. Segala
perubahan yang dilakukannya membutuhkan waktu lama untuk benar-benar berjalan. Saat ini detik ini
pula rakyat mengharapkan batuan.
“Brenda,” kata Altamyra tegas, “Panggil Kincaid, Briat juga Liplannd saat ini juga.”
“Baik, Paduka,” Brenda beranjak pergi.
“Apa yang akan Anda lakukan?” tanya Hannah keheranan.
“Memberimu pekerjaan,” jawab Altamyra tenang, “Sekarang engkau duduk saja menanti mereka.”
Altamyra berpaling pada kedua menteri di kanan kirinya itu, “Mari kita lanjutkan,” katanya.
Tak lama kemudian Brenda datang dengan ketiga pria itu.
“Kami datang menghadap, Paduka,” mereka melapor.
“Liplannd, Briat, Kincaid, aku punya tugas untuk kalian,” Altamyra memulai, “Liplannd, ajak
pelayan-pelayan Istana membantu Hannah membongkar semua gaun-gaunku juga gaun ibuku dan
memilih yang baik untuk diberikan pada rakyat.”
Hannah terkejut tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk membantah.
“Hannah, pimpin pelayan-pelayan Istana memilih gaun-gaunku itu lalu bawa ke Hall lantai pertama. Briat,
siapkan beberapa kereta kuda untuk membawa gaun-gaun itu. Dan engkau Kincaid, bawa prajuritmu
untuk membagikan gaun-gaun itu pada rakyat. Ajak juga para pelayan, kalau engkau kekurangan orang.
Untukmu, Brenda, bantu Hannah dan cegah ia ikut mengangkat kopor-kopor itu.”
“Paduka!” Hannah menyahut, “Saya tidak setuju! Gaun-gaun itu menyimpan banyak kenangan. Kalau
semua disumbangkan, apa yang tersisa?”
“Aku tahu apa yang kaupikirkan,” Altamyra berkata lembut, “Mama pasti mengerti keinginanku ini. Ia
pasti senang gaun-gaunnya berguna untuk rakyat. Aku juga akan senang sekali kalau milikku dapat
membantu rakyat yang menderita. Ini adalah langkah kecil yang dapat kulakukan saat ini selagi yang
besar masih direncanakan.”
“Aku ingin bangsawan-bangsawan lain dan mereka yang kaya membantu rakyat. Tapi, yang lebih dulu
melakukannya harus aku, mereka akan mengikutiku. Aku takkan melarang bila kalian ikut membantu.
Bantuan yang sangat kecil tetapi penuh keikhlasan akan sangat berarti daripada bantuan besar yang
hampa.”
“Kincaid, bila engkau sampai di kota, umumkan pada rakyat yang mampu untuk ikut menyumbang dan
pada yang tidak mampu untuk mau datang ke Istana mengambil bantuan. Briat, kalau engkau selesai
menyiapkan kereta, aturlah Hall menjadi dua bagian. Satu untuk penerimaan bantuan dan satu untuk
pemberian bantuan. Mulai besok Hall dibuka untuk umum dan kalian tetap berkeliling menyalurkan
bantuan, tapi tidak di sini melainkan di kota-kota lain. Mungkin di kota-kota lain juga perlu pengumuman,
aku akan membuatnya.”
Altamyra mengambil secartik kertas dan mulai menulis.
“Kincaid,” panggil Altamyra seusai menandatangani pengumumannya, “Ini untuk dibacakan di ibukota
dan ini di kota-kota lain. Ingat, aku hanya membuat dua. Bila ada pengumuman yang lain, cari dan
periksa. Aku tidak mau hal ini digunakan oleh orang-orang tamak untuk mengumpulkan harta.”
“Baik, Paduka.”
Melihat kelima orang itu masih tidak bergerak, Altamyra berkata, “Apa yang kalian tunggu?”
“Kami akan melakukan tugas sebaik-baiknya, Paduka,” kata mereka serempak sambil membungkuk.
Altamyra melihat kedua menterinya bergantian. “Hannah benar, kita butuh istirahat.” Altamyra berdiri
dan menuju sofa di depan meja kerjanya itu. Altamyra menuang teh dan memberikannya pada Ludwick
dan Dewey.
“Terima kasih, Paduka.”
Altamyra tersenyum, “Katakanlah padaku bagaimana kehidupan rakyat selama ini sejauh yang kalian
ketahui.”
“Rakyat hidup menderita, Paduka. Raja menarik pajak terlalu banyak dan terlalu besar. Sulit bagi rakyat
miskin untuk bertahan hidup, banyak orang yang kelaparan di desa-desa. Di di kota, hanya mereka yang
kaya yang mampu bertahan hidup. Bangsawan tidak lagi mengalami masa kejayaan. Pajak terlalu tinggi.”
“Sulit untuk menjadi kaya,” Dewey menambahkan, “Lebih mudah untuk jatuh miskin. Pajak
perdagangan pun sangat tinggi.”
“Tak ada yang berani menentang Raja. Siapa yang tidak mau membayar pajak akan dipenjara. Raja
juga tidak segan-segan membunuh orang yang tidak disukainya. Penjara dipenuhi orang-orang yang
menangis menderita. Janda-janda meratapi anak-anaknya. Anak-anak kelaparan.”
“Untuk semua itu sudah berakhir,” kata Dewey bersemangat, “Anda hadir di sini sebagai bidadari kami.
Anda memberikan banyak kebahagiaan. Anda menghidupkan suasana suram ini dan kerajaan yang
menderita ini. Banyak anugerah yang Anda berikan tapi Andalah anugerah terbesar kami.”
“Terima kasih, Dewey. Aku senang mendengarnya. Aku berharap semua orang juga berpikiran seperti
itu. Sayangnya, banyak yang takut dan membenciku.”
“Kami tidak membenci Anda, Paduka,” hibur Ludwick, “Suatu saat nanti rakyat akan mengetahui
ketulusan Anda dan mereka akan mencintai Anda.”
Altamyra tersenyum lalu bangkit. “Aku tidak bisa duduk-duduk saja di sini. Aku ingin membantu
mereka. Kalau kalian lelah, kalian boleh beristirahat. Aku tidak mengharapkan kalian ikut denganku.”
Ludwick dan Dewey berpandang-pandangan.
“Bagaimana menurutmu?”
“Bagaimana lagi, Dewey? Paduka gadis yang tangkas. Ia bekerja tanpa henti tapi tak terlihat lelah.
Apakah kita harus kalah?”
“Baik! Kita ikut Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra.”
Mereka segera mengejar Altamyra yang telah berada di Hall dan bersiap-siap naik wagon ke kota.
“Kami tidak setuju!”
Altamyra keheranan melihat orang-orang yang dengan tegas menolaknya. “Mengapa tidak?” tanyanya
heran, “Tidak ada yang salah bila aku ikut kalian.”
“Keselamatan Anda terancam, Paduka,” ujar Kincaid, “Kita akan bertemu langsung dengan rakyat.
Kemungkinan adanya pemberontak di antara mereka sangat besar. Bila rakyat mengetahui Anda
bersama kami, mereka mungkin akan menjadi tidak teratur. Saat itu kami akan kesulitan melindungi
Anda. Walaupun seluruh pasukan Istana dikerahkan untuk menjaga Anda, kami tidak dapat melawan
rakyat banyak. Selain itu Anda pasti melarang kami mencelakakan rakyat.”
Altamyra tersenyum. “Aku mengerti kekhawatiranmu, Kincaid. Mereka tidak akan tahu aku ada di
antara kalian. Mereka belum bertemu denganku dan hari ini adalah pertama kalinya kita akan
menyalurkan bantuan. Tak seorangpun yang mengetahuinya selain kita karena aku baru saja
memutuskannya.”
“Kincaid benar, Paduka. Perhatian kami nanti akan lebih tertuju pada rakyat daripada untuk Anda.”
“Aku tahu, Ludwick. Aku telah memikirkannya.”
“Biarkan kami sendiri yang melakukannya, Paduka. Kami bisa melakukannya.”
“Aku percaya padamu, Briat.” Altamyra diam berpikir lalu ia tersenyum. “Aku tahu bagaimana agar
kalian tidak khawatir. Tunggulah aku di sini.”
Altamyra berlari ke dalam.
Orang-orang yang ditinggalkan gadis itu berpandangan-pandangan dengan heran.
Hannah dan para pelayan wanita masih sibuk membongkar gaun-gaun Altamyra di ruang ganti kamar
gadis itu. Mereka tak menyadari kedatangan Altamyra.
“Tunggu sebentar!” cegah Altamyra.
“Ada apa, Paduka?” tanya Hannah heran.
“Tidak ada apa-apa, Hannah. Aku hanya ingin mengambil gaun ibuku yang kaupegang itu.”
Hannah menyerahkan gaun itu dengan keheranan. “Untuk apa gaun ini, Paduka?”
Altamyra membentangkan gaun itu di depannya. “Engkau akan tahu, Hannah.” Lalu gadis itu menghilang
ke kamar tidurnya.
Altamyra tersenyum puas ketika melihat dirinya di cermin. Gaun hijau tua itu sudah kuno dan
membuatnya tampak puritan. Dan, tak ada yang mengenalinya sebagai Ratu Vandella. Siapa yang akan
menyangka gadis dalam baju kuno ini adalah seorang Ratu?
“Aku tak ingin menyia-nyiakan pekerjaan kalian, tapi ini akan membuatku semakin mirip gadis desa yang
kuno,” gumam Altamyra ketika ia melepas gelungan rambutnya yang berhiaskan muntiara-muntiara murni
yang berkilauan.
Rambut keemasan yang panjang itu tergerai hingga hampir mencapai lutut Altamyra. Sejak ibunya
meninggal, Altamyra terus memanjangkan rambutnya. Rambut kesayangannya itu menyimpan
kenangan-kenangan indah saat ibunya masih hidup.
Ketika menyisir rambutnya, Altamyra teringat ibunya yang suka membelai rambutnya dengan penuh
kasih sayang. Tanpa disadarinya, Altamyra menitikkan air mata.
“Sekarang aku menduduki tahta kerajaan ini, Mama. Aku berjanji akan memperbaiki semua kesalahan
serigala itu,” janji Altamyra.
Dihapusnya air matanya lalu ia segera kembali ke Hall.
Semua yang sibuk memindahkan barang ke wagon, keheranan melihat Altamyra.
“Aku mirip gadis desa?” tanya Altamyra sambil tersenyum.
Mereka hanya bisa menatap Altamyra lekat-lekat. Dengan gaun hijau tuanya yang sudah kusam itu,
Altamyra tidak nampak seperti seorang ratu. Gaun polos itu terbuat dari kain katun biasa dengan
lengannya yang panjang dan kerahnya yang menutup rapat leher Altamyra yang indah. Dengan rambut
panjang yang tergerai, Altamyra mirip gadis perawan jaman kuno.
“Tampaknya kita harus mengalah, Kincaid.”
“Anda benar, Tuan Dewey.”
Altamyra tersenyum puas. “Mana kereta yang sudah siap?”
“Kereta ini yang hampir siap untuk diberangkatkan, Paduka,” jawab Briat, “Kami menanti bingkisan
terakhir. Itu dia datang!”
Pelayan memasukkan sebungkus gaun terakhir ke dalam wagon.
“Ayo kita berangkat!” Altamyra memanggil Ludwick dan Dewey. Lalu ia menerima uluran tangan dua
prajurit di dalam wagon.
Dewey menatap Kincaid. “Engkau yang kami andalkan.”
“Jangan khawatir, saya tidak akan pergi dari sisi Paduka.”
Kusir kuda segera membawa wagon meninggalkan Azzereath setelah semua naik.
Semua yang ada di dalam kereta mencemaskan keselamatan Altamyra. Hanya gadis itu sendiri yang
tidak tampak cemas. Gadis itu tampak gembira.
Senyum gembiranya berubah menjadi senyum ramah ketika kereta berhenti di sebuah pemukiman
miskin.
Penduduk tempat itu keheranan melihat datangnya wagon besar itu dan mereka lebih keheranan ketika
seorang prajurit berseru,
“Kami datang membawa bantuan untuk kalian. Bila kalian mau, antrilah di sini.”
Penduduk berbisik-bisik.
Altamyra segera bertindak. Sebelum ada yang menyadari tindakannya, ia meloncat turun. Gadis itu
membawa sesuatu dalam keranjang dan berjalan mendekati orang tua yang tengah berbaring lemah di
depan rumah reyot.
Orang-orang yang di dalam wagon terkejut. Mereka berteriak, “Pa…” Tiba-tiba mereka menutup mulut
rapat-rapat. Mereka sadar kata-kata yang biasa mereka sebut untuk memanggil Altamyra itu bisa
membuat celaka gadis itu.
Kincaid melompat turun dan segera mengejar Altamyra.
Altamyra berlutut di sisi orang tua itu. Ia mengeluarkan makanan yang ada di dalam keranjang dan
memberikannya sambil berkata, “Terimalah, Tuan. Saya membawanya untuk Anda. Jangan membiarkan
Anda dan keluarga Anda kelaparan.”
Altamyra melihat anak-anak kecil yang kurus kering di sisi pria tua itu. Ia tersenyum ramah pada mereka
dan berkata, “Saya yakin kalian mau mencoba kue-kue yang lezat ini.”
Anak-anak kecil itu tanpa ragu mengambil sendiri apa yang ada di keranjang Altamyra. Mereka terlalu
lapar untuk memikirkan siapa Altamyra dan mengapa ia datang membawa makanan.
Pria tua itu tidak tahan melihat anak-anaknya makan selahap itu. Ia mengulurkan tangan mengambil roti
yang diulurkan Altamyra padanya.
Melihatmereka makan dengan lahap, Altamyra tersenyum senang. Penduduk lain yang juga kelaparan
tidak dapat menahan air liur mereka. Perut mereka merengek minta makan melihat teman-teman mereka
makan dengan lahap. Mereka segera menyerbu Altamyra.
Kincaid segera melindungi Altamyra. “Kalian bisa mengambil makanan sebanyak-banyaknya di kereta!”
Orang banyak itu beralih ke kereta.
“Paduka membuktikan perbuatan lebih berguna daripada kata-kata,” kata Ludwick lalu ia melompat
turun diikuti prajurit lain.
Dalam waktu singkat mereka sibuk menurunkan makanan dari kereta untuk diberikan pada warga.
Mereka sibuk mengatasi tangan banyak yang terulur itu. Beberapa orang berusaha masuk ke kereta
untuk mengambil sendiri makanan dan membuat prajurit kebingungan.
“Tenang! Semua pasti mendapatkan!”
Teriakan-teriakan itu terdengar di sekitar kereta.
Altamyra melihat kereta yang dikerumuni orang yang sedang berebutan itu. Ia berdiri dan berjalan ke
sana untuk membantu mereka.
Kincaid segera menyusul gadis itu untuk melindunginya dari kerumunan orang banyak. Kincaid turut
membantu menurunkan barang-barang dan membagikannya pada orang-orang.
Karena semua mencegah ia turun tangan, Altamyra hanya bisa duduk di antara orang-orang itu dan
berbincang-bincang dengan mereka. Sambil berbincang-bincang, Altamyra memberikan obat-obatan
kepada mereka yang membutuhkan. Gadis itu juga tidak segan merawat mereka yang terluka.
Kincaid yang berjanji untuk terus berada di sisi Altamyra, mengambilkan segala yang diperlukan gadis
itu.
“Anda pusing?” tanya Altamyra penuh perhatian, “Sejak tadi saya melihat Anda terus memegang dahi.”
“Tidak, Nona.”
Altamyra tersenyum. “Kincaid, tolong kau carikan obat untuk Tuan ini.”
“Baik, Nona.”
Altamyra merasa pria itu terus menatapnya tetapi ia tidak mempedulikannya. Dalam hari-hari terakhir ini,
Altamyra sudah biasa menjadi pusat perhatian. Gadis itu meneruskan kesibukannya menjadi dokter untuk
orang-orang miskin itu.
Pria itu terus berusaha mengenali Altamyra. Ia merasa pernah bertemu gadis itu. Di suatu waktu dan di
suatu tempat. Ia terus berpikir keras.
“Anda membuat saya khawatir, Tuan. Apakah Anda sakit? Kalau Anda merasa tidak sehat, silakan
mengatakannya. Saya akan mencari dokter untuk Anda.”
Pria itu terus menatap Altamyra. Mata biru yang penuh perhatian itu mengingatkannya pada seseorang.
Seseorang yang dengan tegas berkata…
“Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra!” seru pria itu, “Tidak salah lagi. Anda pasti Paduka Ratu. Saya
pernah melihat Anda di Gedung Parlemen ketika Anda mengumumkan kematian Raja Wolve.”
Altamyra terkejut. Mungkinkah pria itu adalah salah satu wartawan yang dulu mengikui jalannya kegiatan
di Gedung Parlemen.
Tetapi, Kincaid lebih terkejut lagi. Ia cepat-cepat menghampiri Altamyra dan membantu gadis itu berdiri.
Orang-orang berpandang-pandangan tak percaya.
“Anda pasti Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” kata pria itu percaya diri.
“Sebaiknya kita segera kembali, Paduka,” bisik Kincaid.
Altamyra tersenyum manis pada pria itu lalu mengikuti Kincaid ke kereta.
Melihat keributan itu, pasukan segera bersiap-siap kembali ke Azzereath.
“Paduka! Paduka!”
Orang-orang itu berseru memanggil Altamyra dan berusaha mendekati gadis itu. Namun, pasukan segera
menghadang mereka.
“Paduka! Paduka!” Orang-orang itu melambai-lambaikan tangan kepada Altamyra. “Paduka, terima
kasih! Terima kasih atas kebaikan hati Anda!”
“Mari, Paduka,” Ludwick dan Dewey dengan tidak sabar mengulurkan tangannya.
Pasukan yang sedikit itu mulai tidak sanggup menghadapi rakyat yang terus memaksa mendekati
Altamyra.
“Kita kembali ke Istana Azzereath!” seru Kincaid.
Segera pasukan itu melompat ke kereta. Kusir kuda melajukan kereta dengan kencang.
“Terima kasih, Paduka! Terima kasih!”
Dari dalam kereta, Altamyra melihat mereka berlutut di tanah dan menyembah-nyembah sambil terus
meneriakkan ucapan terima kasih mereka. Hingga mereka jauh pun suara-suara itu masih terdengar.
“Maafkan aku,” kata Altamyra, “Aku tidak bermaksud membuat kalian kewalahan.”
“Sudah menjadi tugas kami untuk melindungi Anda, Paduka,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Aku senang mempunyai orang-orang sesetia kalian. Kalian selalu menjaga dan melindungiku. Aku
takkan melupakan hal ini.”
“Anda terlalu berlebihan, Paduka. Tugas kami adalah terus menjaga dan melindungi Anda,” kata
Kincaid.
Altamyra hanya tersenyum.
Tak lama kemudian kereta berhenti di depan pintu Istana. Dua orang prajurit sudah bersiap untuk
membantu Altamyra.
“Bagaimana perjalanan Anda, Paduka?” sambut Briat.
“Baru kali ini aku harus lari dari orang banyak karena ketahuan,” kata Altamyra menahan geli, “Aku
merasa seperti pencuri.”
“Benarkah itu?” tanya Briat tidak percaya.
“Benar, Briat. Kami tidak menyangka ada yang mengenali Paduka di sana. Kami telah memilih tempat
yang cukup jauh dari Istana,” Ludwick menerangkan.
“Saya bersyukur Anda baik-baik saja, Paduka.”
“Jangan memberitahu Hannah. Aku tidak ingin dia khawatir.”
“Tentu, Paduka. Ketika mengetahui Anda pergi, ia sangat cemas.”
“Aku akan menemuinya agar ia tidak cemas lagi.”
Altamyra berlari ke kamarnya.
“Paduka! Mengapa Anda melakukan tindakan berbahaya seperti itu?”
Serbuan yang didapatnya ketika ia tiba, membuat Altamyra tersenyum, “Aku harus melakukannya,
Hannah. Engkau tidak perlu cemas. Aku pergi dengan beberapa prajurit.”
Hannah tidak dapat berbuat apa-apa. “Brenda, ambilkan baju ganti untuk Paduka!” perintahnya.
Altamyra tidak membantah sedikitpun ketika para pelayan sibuk membantunya mengganti gaun. Mereka
menyiapkan air mandi yang hangat dan wangi untuknya. Mereka pula yang mengenakan gaun sutra lain
yang indah pada dirinya dan menghiasi rambut panjangnya dengan manik-manik yang indah.
Hingga mereka selesai dengan dirinya, Altamyra diam berpikr.
“Terima kasih, Hannah,” Altamyra bersiap pergi lagi setelah rambutnya selesai disisir rapi.
“Anda mau ke mana lagi?”
“Jangan khawatir. Aku ingin menemui Ludwick.”
“Anda harus beristirahat. Anda sudah terlalu lama bekerja.”
Altamyra beranjak ke pintu sebelum dicegah Hannah. “Selamat tinggal,” katanya ketika membuka pintu.
“Jangan lupa untuk makan malam!”
Altamyra tersenyum mendengar seruan itu, “Kali ini aku takkan lupa, Hannah,” katanya perlahan sambil
menuju Hall.
Briat masih sibuk mengatur Hall ketika Altamyra datang.
“Di mana Ludwick dan Dewey serta Kincaid?”
“Kincaid pergi ke pusat kota untuk mengumumkan titah Anda sedangkan Tuan Ludwick dan Tuan
Dewey saya minta untuk beristirahat. Apakah Anda memerlukan mereka, Paduka? Saya akan memanggil
mereka untuk Anda.”
“Tidak perlu, Briat. Biarkan mereka beristirahat. Suruhlah seorang prajurit untuk menemuiku di Ruang
Kerjaku.”
“Baik, Paduka.”
Altamyra kembali ke Ruang Kerjanya dan menulis sesuatu pada secarik kertas.
“Hamba datang memenuhi panggilan Anda, Paduka.”
Altamyra menghampiri prajurit itu. “Antarkan surat ini pada Menteri Keamanan.”
“Baik, Paduka.”
Setelah prajurit itu pergi, Altamyra menemui penjaga pintu Ruang Kerjanya. “Salah satu dari kalian,
panggilkan Liplannd untukku.”
“Baik, Paduka.”
Sesaat kemudian Liplannd sudah menghadap Altamyra.
“Apakah semua ahli keuangan itu masih ada di sini?”
“Tidak, Paduka. Siang tadi beberapa di antara mereka meninggalkan Istana.”
“Bila malam ini mereka makan di Ruang Makan cukup?”
Liplannd berpikir sebentar lalu berkata, “Cukup, Paduka.”
“Siapkan makan malam di sana. Aku akan makan bersama mereka.”
“Baik, Paduka.”
“Bila Ludwick dan Dewey masih di sini, aku ingin mereka turut bersamaku.”
“Saya akan memberitahu mereka, Paduka.”
Altamyra kembali menekuni pekerjaannya membuat keputusan baru untuk memperbaiki kehidupan
rakyat.
Ketika hari mulai gelap, seorang pelayan datang untuk menutup jendela-jendela dan menghidupkan lilin.
Ia tahu kesibukan Altamyra, karena itu ia tidak mengusik gadis itu.
Hingga hari menjadi gelap, Altamyra masih sibuk di ruangannya dengan tumpukan tebal laporan para
menterinya dan surat-surat keputusannya.
“Makan malam sudah disiapkan, Paduka.”
Altamyra mengangkat kepalanya. “Aku akan segera ke sana.”
Pelayan itu membungkuk dan pergi.
Altamyra merapikan meja kerjanya. Lalu meraih secarik kertas dan pergi ke Ruang Makan.
“Selamat malam, Paduka.”
“Selamat malam, Ludwick, Dewey.”
“Anda akan mengumumkannya sekarang, Paduka?”
“Benar. Aku tidak dapat menunda hal ini lebih lama lagi, Dewey. Aku akan mengatakannya seusai
makan malam.”
“Saya melihat Anda bekerja terlalu keras, Paduka. Beristirahatlah demi kesehatan Anda. Bila Anda
sakit, siapa yang akan memperbaiki kehidupan rakyat?”
Altamyra tersenyum. “Engkau mirip Hannah, Ludwick.” Sebelum pria itu menanggapi, Altamyra berkata,
“Bagaimana perkembangan tugas yang kuberikan pada kalian?”
“Saya hampir selesai, Paduka. Kami telah menyusun semuanya. Sekarang kami sedang memeriksa ulang
semuanya.”
“Karena undang-undang kami berhubungan dengan negara lain, kami sedikit mengalami hambatan
karena hampir semua keputusan itu masih dilaksanakan. Tetapi, kami telah menghubungi negara-negara
tersebut dan meminta mereka tetap mau bekerja sama dengan kita bila keputusan baru itu dilaksanakan.
Mereka mengetahui perubahan yang terjadi di kerajaan ktia dan mereka mendukung Anda sepenuhnya.
Kami sedang membuat laporannya.”
“Aku berharap menteri-menteri lain juga hampir selesai.”
“Mereka juga hampir selesai, Paduka,” kata Ludwick dengan tersenyum, “Kami terpengaruh oleh
semangat Anda. Kami ingin memberikan yang terbaik untuk Anda.”
“Tidak, Ludwick. Kalian bisa melakukan tugas besar ini dengan cepat karena sejak dulu kalian tahu
mana yang salah dan mana yang harus diubah. Sejak dulu kalian telah mempunyai gambaran tentang
peraturan yang lebih baik, tetapi kalian tidak berani mengatakannya. Sekarang kalian mengingatnya
kembali dan menyempurnakannya.”
Tidak seorang pun dari mereka yang bisa membantah Altamyra karena saat itu mereka sudah tiba di
Ruang Makan. Prajurit membuka pintu dan mengumumkan kedatangan Altamyra.
Mereka segera berdiri dan berkata, “Selamat malam, Paduka Ratu Altamyra.”
“Selamat malam,” balas Altamyra, “Silakan duduk, Tuan-tuan.”
Selama makan malam berlangsung, Altamyra tidak menyebutkan siapa saja yang telah berhasil melalui
penyeleksian keduanya. Ia mengajak mereka membicarakan hal selain itu.
Setelah pelayan membawa pergi hidangan penutup, Altamyra berkata,
“Dalam kesempatan ini saya akan mengumumkan nama-nama mereka yang telah lolos pemilihan kedua.”
“Ijinkan saya untuk menggantikan Anda, Paduka.”
“Silakan.” Altamyra kembali duduk.
Ludwick berdiri dan mulai menyebut satu per satu nama yang tertera di kertas.
Sesaat Ruang Makan menjadi ramai setelah Ludwick selesai membaca nama-nama itu. Altamyra
menanti ruangan menjadi sepi sebelum ia berkata,
“Selamat pada kalian yang berhasil. Bagi yang belum berhasil, jangan putus asa. Berusahalah terus.
Mereka yang nama-namanya disebutkan Ludwick, aku tunggu di Ruang Pertemuan besok setelah makan
pagi.”
Altamyra beranjak bangkit. “Selamat malam, Tuan-tuan.”
Ludwick dan Dewey segera mengikuti Altamyra.
“Paduka, Anda akan bekerja lagi?”
“Kalian tidak perlu mencemaskanku,” Altamyra menerangkan, “Aku ingin malam ini kalian menginap di
sini tetapi bila kalian merindukan keluarga kalian, aku tidak melarang. Selamat malam.”
Altamyra membuka pintu Ruang Kerja dan menghilang di baliknya.
Ludwick dan Dewey hanya dapat berpandang-pandangan sambil mengangkat bahu.
Altamyra mirip ayahnya bila sedang bekerja. Mereka bekerja siang malam tanpa henti dan tanpa kenal
lelah.
Mereka tidak tahu Altamyra melakukannya di samping untuk rakyatnya juga untuk mencegah dirinya
memikirkan Erland.
Setelah makan pagi usai, Altamyra berada di Ruang Pertemuan. Tak lama ia menanti ke 36 ahli
keuangan itu datang.
“Selamat pagi,” sapa Altamyra.
“Selamat pagi, Paduka Ratu.”
“Silakan duduk. Kita akan segera memulai rapat kecil kita.”
Mereka duduk mengitari meja panjang.
Altamyra menatap mereka semua dan memulai rapat.
“Saya memilih kalian bukan tidak berdasar. Saya percaya pada kemampuan kalian. Itulah sebabnya
saya memilih kalian. Kalian, yang terpilih, akan saya beri tugas. Kalian saat ini bukan lagi sebagai saingan
tetapi sebagai satu kelompok orang yang bekerja sama.”
“Tugas kalian adalah menghitung jumlah pemasukan dan pengeluaran selama 20 tahun terakhir ini. Di
hadapan saya ini telah tercantum macam-macam pajak berikut besarnya dan jumlah penduduk selama
kurun waktu 20 tahun terakhir.”
“Untuk melakukan tugas ini, aku ingin kalian tetap tinggal di Istana. Agar keluarga kalian tidak cemas,
tulislah surat pada mereka dan berikan pada pelayan. Mereka akan mengumpulkan surat-surat kalian dan
mengantarnya.”
“Untuk kelancaran tugas ini, aku mempersilakan kalian menggunakan ruangan ini sebagai tempat kerja
kalian. Sebelum kalian memulainya, aku ingin menegaskan kalian bekerja sebagai satu kesatuan. Sebuah
kesatuan pasti memiliki pemimpin. Oleh karena itu, aku menunjuk Toed menjadi pemimpin kalian. Ada
yang tidak setuju?”
“Kami setuju, Paduka.”
“Kalian bisa memulai tugas kalian sekarang. Bila kalian mengalami kesulitan, jangan ragu untuk bertanya
padaku.”
“Kami mengerti, Paduka.”
Altamyra meninggalkan Ruang Pertemuan dan segera menuju Ruang Kerja.
“Kalian berdua masuklah, aku mempunyai tugas untuk kalian.”
Kedua prajurit penjaga pintu Ruang Kerja itu mengikuti Altamyra.
Altamyra mengeluarkan dua tumpuk kertas dari lacinya.
“Masing-masing dari kalian kuperintahkan menyebar sepuluh surat. Tunggulah sebentar jawaban para
Menteri itu. Bila tugas ini sudah selesai, segeralah kembali.”
Mereka menerima surat-surat itu lalu berkata, “Hamba akan melakukan tugas sebaik-baiknya.”
Kedua prajurit itu baru saja pergi ketika seorang pelayan muncul.
“Kepala Penjara Vandella datang menghadap, Paduka.”
“Suruh dia masuk.”
Kepala Penjara itu membungkuk dan berkata, “Selamat pagi, Paduka Ratu. Saya datang membawa
nama-nama penghuni penjara di seluruh Vandella seperti yang Anda minta.”
Pria kurus ceking itu menyerahkan berkas-berkas yang dibawanya.
“Duduklah,” kata Altamyra, “Aku akan mempelajarinya sebentar.”
Altamyra membalik-balik kertas itu.
“Saya sudah mengelompokkan antara yang dipenjara karena melanggar hukum dan yang dipenjara
karena tidak membayar pajak maupun yang menentang Paduka Raja Wolve.”
Altamyra tidak terkejut melihat yang dipenjara karena melanggar hukum lebih sedikit dari yang tidak
bersalah. Ia sudah dapat menduganya sebelum menerima laporan ini.
Altamyra bersyukur nama-nama itu dipisahkan pada lembar yang berbeda sehingga bisa menghemat
waktunya. Ia segera membagi-bagi berkas-berkas itu menjadi dua kelompok, bersalah dan tidak
bersalah.
“Nama-nama ini sudah kaukelompokkan berdasarkan tempat mereka dipenjara?”
“Sudah, Paduka. Setiap tahun Paduka Raja Wolve meminta laporan penghuni penjara dari
masing-masing penjara yang sudah dikelompokkan seperti itu. Saya hanya perlu menyatukan mereka dan
menyerahkannya pada Anda.”
“Ternyata serigala itu ada baiknya juga,” Altamyra berkata pada dirinya sendiri.
“Aku menugaskanmu berkeliling tiap penjara dan membacakan titahku ini,” Altamyra mengeluarkan
selembar kertas dari lacinya yang sudah ditandatanganinya.
Kepala Penjara itu melihat isinya yang berbunyi:
Atas titah dari Ratu Kerajaan Vandella, nama-nama yang tersebut di bawah ini mulai saat ini dinyatakan
tidak bersalah. Oleh karena itu, mereka dibebaskan dari penjara dan semua yang menjadi milik mereka
dikembalikan.
“Nama yang harus kausebutkan adalah nama yang ada di kertas ini. Bila engkau menyelesaikan tugasmu
di satu penjara, segera kirim daftar namanya kepadaku.”
“Baik, Paduka.”
“Satu hal yang tidak boleh kaulakukan adalah mewakilkan tugas ini pada orang lain. Aku percaya
engkau dapat melaksanakannya dengan baik.”
“Saya akan berusaha menjalankan titah Anda sebaik-baiknya, Paduka.”
Altamyra tersenyum puas melihat kepergian pria itu. Satu tugas lagi telah dilakukannya. Sekarang ia
menanti kabar dari Menteri-menterinya sebelum menjalankan setumpuk keputusan yang sudah dibuatnya.
Menjelang sore, kedua prajurit yang diutus Altamyra datang. Mereka menyerahkan surat balasan para
Menteri itu pada Altamyra.
Altamyra tersenyum puas setelah membaca surat-surat balasan itu. Para Menterinya hampir
menyelesaikan tugas mereka dan itu artinya Altamyra bisa segera mengadakan rapat.
Dua hari setelah pengumuman titah Altamyra, Hall Istana mulai ramai. Bangsawan-bangsawan mulai
berdatangan untuk menyerahkan bantuan mereka. Orang-orang kaya pun tak mau ketinggalan.
Altamyra menyadari ini semua berkat koran yang dengan gencar mengabarkan dirinya yang menyamar
menjadi gadis desa untuk memberi bantuan sendiri pada rakyat. Sayangnya, menurut Altamyra,
koran-koran itu terlalu memujinya. Karena dalam koran dikatakan ia mau melupakan kedudukannya
demi menyuapkan nasi pada orang tua yang lumpuh.
Walaupun begitu, Altamyra berterima kasih pada mereka. Berkat mereka penyebaran kegiatan amalnya
menjadi cepat.
Bantuan sudah banyak yang terkumpul di Hall. Prajurit-prajurit Vandella terus mengantarkan bantuan ke
kota-kota di seluruh Vandella. Bahkan, penduduk Perenolde turut membantu mengantarkan bantuan ke
daerah-daerah di luar Perenolde.
“Ratu Altamyra Menggerakkan Mega Bantuan untuk Rakyat Vandella.” Demikian judul salah satu
koran.
Sekali lagi Altamyra membuat gempar rakyatnya. Tak seorang pun dari rakyat Vandella yang menduga
Ratu mereka yang keturunan langsung Raja Wolve yang kejam, sebaik ini. Ratu telah menunjukkan
ketulusannya dengan membuang harga dirinya sebagai Ratu saat ia mengunjungi pemukiman penduduk
miskin pada hari pertama ia menyalurkan bantuan.
Rakyat juga mengetahui Altamyra telah mengeluarkan mereka yang tak bersalah dari penjara. Banyak di
antara mereka yang keheranan ketika dibebaskan. Ketika mereka tahu apa yang terjadi, mereka sangat
bersyukur pada Tuhan yang mengirim Ratu sebaik Altamyra pada mereka.
Dalam waktu kurang dari dua minggu pemerintahannya, Altamyra membuat rakyat menganggapnya
sebagai anugerah yang luar biasa. Ia yang semula ditakuti kini menjadi pujaan tiap orang. Rakyat memuja
dan menyanjungnya.
Walaupun begitu, Altamyra tak melihat adanya seseorang yang datang ke Istana untuk mengambil
bantuan. Tempat penerimaan bantuan sangat ramai, tapi tempat pengambilannya sangat sepi.
“Mereka tidak berani masuk?” tanya Altamyra heran.
“Benar, Paduka. Tampaknya mereka takut Anda mempunyai rencana tertentu. Perlukah kami
membujuk mereka?”
“Jangan,” Altamyra cepat-cepat mencegah. “Aku khawatir mereka semakin curiga bila kau melakukan
itu.”
“Apakah yang harus kami perbuat, Paduka?”
Altamyra mengawasi kerumunan orang jauh di depan gerbang Istana. Mereka sejak tadi hanya
menggerombol di sana. Tidak maju juga tidak mundur. Jumlah mereka terus bertambah, tapi tidak
keberanian mereka.
“Baiklah,” kata Altamyra tiba-tiba, “Aku yang akan menanganinya sendiri.”
“Jangan, Paduka,” cegah Kincaid.
“Percayakan padaku, Kincaid. Sekarang perintahkan prajurit membukagerbang belakang. Aku akan
tiba di sana dalam waktu lima menit.”
-----0-----
“Mengapa kalian berkumpul di sini?”
“Kami ingin masuk ke sana, tapi kami tidak berani.”
“Ya, aku mengerti perasaan kalian. Aku pun demikian ketika pertama kali diundang oleh Ratu. Di sana
aku disambut dengan baik.”
“Anda lebih kaya dari kami, Nona,” seseorang menyelentuk, “Paduka Raja sangat benci pada kami,
orang miskin karena kami tidak pernah mampu membayar pajak. Apalagi putrinya. Siapa tahu ia
mengundang kami semua untuk dibunuh?”
Altamyra tidak menanggapi. Ia berjalan ke tempat ia menyembunyikan bola. Di sana, ia pura-pura
tersandung bola itu.
“Bola sialan!” umpat Altamyra, “Siapa yang meletakannya di sini?”
Beberapa anak yang mendengar umpatan itu mendekati Altamyra.
Dalam hati Altamyra tersenyum senang tapi di luar, ia tetap menahan amarah. Altamyra mengambil bola
itu dan melemparnya sekuat tenaga ke arah gerbang istana seraya berkata, “Pergi jauh dan jangan
mengangguku lagi.”
Lagi-lagi dalam hati Altamyra tersenyum senang karena rencananya berhasil. Anak-anak itu berlari
mengejar bola yang terus menggelinding ke gerbang Istana. Altamyra pura-pura terkejut melihatnya.
“Gawat!” serunya.
“Lihat! Ini semua kesalahanmu. Apa yang harus kami lakukan kalau mereka dibunuh?” Orang-orang itu
menyalahkan Altamyra.
“Tenang,” kata Altamyra tenang, “Aku akan menolong mereka. Para prajurit itu patuh padaku.”
Altamyra berjalan ke gerbang Istana sementara itu orang-orang di belakangnya mengikuti di jarak yang
cukup jauh.
Bola menggelinding terus hingga memasuki halaman Istana. Anak-anak kecil itu terus mengejar tapi
mereka dihadang penjaga pintu gerbang. Orang tua mereka berteriak panik di belakang Altamyra.
“Biarkan mereka masuk!” seru Altamyra.
Penjaga pintu gerbang mengijinkan mereka masuk.
“Mengapa engkau membiarkan mereka masuk?” Orang-orang itu menuntut Altamyra.
“Jangan khawatir, aku yakin mereka baik-baik saja.”
“Kalau terjadi sesuatu pada mereka, engkau harus bertanggung jawab!”
“Tentu saja,” jawab Altamyra tenang.
Saat itu pula anak-anak tadi muncul. Mereka tampak senang. Mulut mereka penuh dengan makanan.
Teman-teman mereka yang lain mendekat melihat hal itu. Mereka bercakap-cakap lalu bersama-sama
masuk ke Istana.
Para orang tua yang panik itu segera mencegah anak mereka hingga tanpa sadar mereka juga telah
memasuki Istana.
Altamyra masuk dengan tersenyum. “Anak-anak berani memasuki Istana, mengapa kita tidak?”
Orang-orang itu terkejut saat menyadari mereka telah berada di halaman Istana. Mereka hendak keluar
tapi saat itu pula muncul pelayan-pelayan Istana dari segala penjuru.
“Jangan takut,” kata Altamyra lembut, “Aku akan melindungi kalian. Aku menjamin keselamatan kalian.”
Altamyra tetap tersenyum lembut ketika melihat wajah takut mereka. Ia terus berjalan memasuki Istana.
“Selamat datang,” sambut penjaga pintu sambil membuka pintu utama lebar-lebar.
Orang-orang itu terheran-heran melihat di Hall telah disiapkan berbagai macam makanan yang
lezat-lezat.
Anak-anak yang tidak punya kekhawatiran apa-apa, melesat ke meja makan dan menyantap semua
yang ada.
Sekelompok orang mendekati anak-anak itu dan mencegah mereka makan lebih banyak lagi. “Jangan
dimakan! Siapa tahu ini beracun,” kata mereka.
Altamyra mendekati sebuah meja dan mengambil sepotong biskuit. Ia memakannya lalu berkata, “Ini
enak sekali. Tidak mungkin ada racunnya.”
Beberapa orang terpengaruh tindakan Altamyra. Mereka mulai mengambil makanan walau dengan
takut-takut. Melihat teman-teman mereka makan dengan lahap, yang lain menyusul. Orang-orang miskin
yang selalu kelaparan itu melupakan segalanya. Saat itu yang penting bagi mereka adalah mengisi perut
mereka yang berbunyi.
Makanan terus berpindah dengan cepat, tapi yang ada di hadapan mereka tidak kunjung habis.
Pelayan-pelayan Istana terus membawakan makanan dan sesekali berkata sopan, “Silakan makan.”
Altamyra senang melihat pemandangan di depannya. Akhirnya para fakir miskin itu dapat
mengenyangkan perut mereka.
“Anda tidak makan, Nona?”
“Tidak, Tuan. Silakan Anda melanjutkan, saya sudah kenyang. Ini semua disiapkan khusus untuk
kalian.”
“Tidak apa-apa, Nona. Makanan ini masih banyak. Ia terus mengalir seperti sungai,” celetuk yang lain.
“Sungai yang nikmat dan mengenyangkan,” timpal yang lain.
Altamyra tersenyum.
“Paduka!”
“Ada apa, Kincaid?”
“Para menteri sudah tiba, Paduka.”
“Baiklah, aku mengerti. Tolong temani para tamu kita sementara aku menemui mereka.”
“Baik, Paduka.”
“Maafkan saya, saudara-saudara. Saya tidak dapat menemani kalian lebih lama lagi. Ada yang harus
saya lakukan.”
Orang-orang itu menatap Altamyra lekat-lekat.
Altamyra tersenyum dan sambil mengangguk kecil, ia meninggalkan Hall.
“D… dia…”
“Gadis itu Ratu Altamyra.”
“Aku tidak percaya!”
“Ratu sendiri yang mengajak kita masuk! Aku tidak percaya!”
“Aku merasa bersalah telah mencurigainya.”
“Ia sama sekali tidak marah telah kita tuding seperti itu. Itu artinya ia benar-benar bermaksud baik.”
Suasana Hall menjadi ramai.
Kincaid tersenyum geli mendengar apa yang dibicarakan mereka.
“Memang tak seorang pun menduga ia adalah Ratu,” gumamnya.
Bukan karena Altamyra tidak pantas menjadi Ratu, orang-orang sukar mengenalinya sebagai Ratu.
Altamyra mewarisi ketegasan dan wibawa ayahnya. Tetapi, ia juga mewarisi sifat lembut ibunya. Sifat
lembut itu lebih nampak pada dirinya dan dengan raut wajahnya yang masih sangat muda, semua orang
mengira ia adalah gadis cantik yang lembut seperti seorang bidadari.
Kedudukannya di Kerajaan Vandella ini sangat tinggi. Ia adalah pemimpin dari kerajaan ini dan demi
dia, semua orang mau melakukan apa saja. Kepadanya semua nasib rakyat ini terletak.
Tetapi, tingkahnya tidak menunjukkan kedudukannya. Ia lebih banyak berkelakuan seperti gadis pada
usianya yang selalu gembira. Di balik itu semua, Altamyra menyimpan kekuatan yang luar biasa.
Kekuatan menentukan yang baik dan yang salah.
Kekuatan mengambil keputusan yang tepat.
Kekuatan memberi perintah.
Kekuatan bertindak tegas.
Kekuatan yang menunjukkan ia adalah seorang Ratu yang tegas dan penuh wibawa serta bijaksana.
Kekuatan itulah yang selalu dia tampakkan saat memberi titah pada orang lain.
Kekuatan itu pula yang membuat semua orang mau memberi lebih dari yang diminta gadis itu.
“Selamat pagi, Tuan-tuan,” kata Altamyra sambil tersenyum ramah, “Maaf saya membuat Anda
menunggu.”
Menteri-menteri itu berdiri. “Selamat pagi Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” balas mereka.
Altamyra duduk di kursi tingginya dan berkata,
“Aku senang kalian bisa menyelesaikan tugas yang kuberikan dua minggu lebih cepat dari waktu yang
kuberikan. Hari ini aku meminta kalian datang untuk melaporkan hasil kerja kalian dan untuk
membicarakan beberapa hal.”
“Agar segalanya lebih cepat, aku meminta kalian menyerahkan laporan kalian padaku sekarang juga.
Tidak perlu berdiri, berikan saja pada orang di samping kalian.”
Dalam waktu singkat berkas-berkas laporan itu berjalan dari satu tangan ke tangan lain hingga tiba di
tangan Altamyra.
Altamyra menumpuk laporan-laporan yang masing-masing tebalnya hampir tiga sentimeter itu. Kemudian
ia berkata,
“Aku akan mempelajari laporan-laporan ini sebelum membicarakannya dengan kalian. Sekarang yang
akan kita bicarakan adalah keputusan-keputusan yang telah kubuat tapi belum kulaksanakan. Aku ingin
meminta pendapat kalian tentang hal ini.”
Altamyra mengambil lembar teratas dari kertas-kertas yang dibawanya ketika memasuki Ruang Rapat
tadi.
“Ada banyak yang ingin kubicarakan dengan kalian. Yang pertama akan kita bicarakan adalah mengenai
Mardick.”
Altamyra melihat Orwell.
“Sudah saatnya engkau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada atasanmu itu, Orwell. Sebelumnya
aku memintamu untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun termasuk keluarga Mardick.”
“Hamba mengerti, Paduka.”
Altamyra tersenyum puas sebelum melanjutkan, “Mardick tidak membantuku seperti yang dikatakan
koran-koran. Ia kutahan di sini atas tindakannya yang melanggar hukum. Kecurigaanku telah terbukti.
Aku telah menghitung kekayaannya yang seharusnya dan membandingkannya dengan kekayaan yang
dimilikinya. Hasilnya adalah ia mencuri uang negara selama ia menjabat sebagai Menteri Keuangan.”
Menteri-menteri berbisik membicarakan pengumuman Altamyra.
Siapa yang menyangka Menteri kesayangan Raja Wolve itu mencuri uang negara? Selama pemerintahan
Raja Wolve, Mardick selalu membuat Raja senang. Ia selalu tepat waktu menyetor pajak. Ia adalah
tangan kanan Raja yang sekejam Raja Wolve sendiri dalam menarik pajak.
“Aku tidak akan membuka sidang sebelum para ahli keuangan membuktikannya. Dalam waktu dekat ini
Toed akan memberikan hasil perhitungannya. Saat itu akan terbukti jumlah uang yang selama ini telah
dicuri Mardick. Sampai saat itu tiba, aku tetap ingin kalian merahasiakan hal ini.”
“Kami mengerti, Paduka.”
“Masalah lain yang ingin kubicarakan adalah mengenai keputusan-keputusanku. Aku telah
mengelompokannya sesuai dengan bidang kalian masing-masing.”
Altamyra berdiri untuk membagikan surat-surat keputusannya.
“Bacalah dan beritahu aku bila ada yang tidak kalian setujui.”
Sementara mereka membacanya, Altamyra kembali ke kursinya dan berkata, “Keputusan-keputusanku
ini sangat erat dengan bidang kalian masing-masing dan undang-undang yang kalian perbaharui itu. Aku
sengaja menunda pelaksanannya untuk disesuaikan dengan Undang-undang yang baru. Bila kalian telah
setuju dan merasa tidak ada yang perlu diperbaiki, segera lakukan hal itu.”
“Permisi, Paduka. Ada yang ingin saya tanyakan.”
“Silakan, Orwell.”
“Anda menurunkan pajak hingga tingkat terendah. Apakah hal ini tidak akan mengurangi pendapatan
kita?”
“Pasti akan mengurangi pemasukan kita. Hal itu tidak perlu diragukan lagi. Tetapi, aku telah menghitung
semuanya. Uang yang kita miliki saat ini sangat cukup untuk membiayai segala pengeluaran kita dalam
beberapa tahun ke depan. Ingatlah, Orwell, ayahku menarik pajak yang sangat tinggi selama lima puluh
tiga tahun ia memerintah dan ia sangat kikir dalam membelanjakannya.”
“Anda mengatakan uang negara dicuri Mardick. Bukankah itu…”
“Aku akan membuat Mardick mengembalikan sebesar yang ia curi pada rakyat. Kalian tidak perlu
merisaukan hal ini. Mardick cukup pintar untuk mengetahui ketelitian ayahku. Ia tidak mencuri apa yang
harus dia berikan pada ayahku tapi ia mencuri dari rakyat sendiri. Dengan kekuasaannya sebagai Menteri
Keuangan yang bertanggung jawab atas segala penarikan pajak, Mardick meminta sedikit lebih banyak
dari yang ditetapkan ayahku, yaitu sekitar seperdua puluh bagian. Kelebihannya itu adalah untuknya dan
agar ayahku tidak marah bila mengetahuinya, ia memberikan sebagian kecil dari kelebihan itu.”
“Apakah uang yang kita miliki cukup untuk membeli bahan baku dari luar negeri dan memberi bantuan
pada rakyat untuk mengembangkan industri?” tanya Noah khawatir.
Altamyra menatap Menteri Ekonominya itu.
“Sebelum aku memutuskan hal itu, Noah, aku telah memperhitungkan segalanya. Aku telah membuat
perhitungan kasar atas uang yang kita miliki. Aku juga telah membuat uraian pengeluaran yang akan
timbul karena keputusan-keputusanku itu.”
Altamyra mengangkat seberkas dokumen. “Inilah perhitungan kasarku. Kepastian yang lebih tepat akan
keluar setelah Toed dan para ahli keuangan lainnya selesai dengan tugas mereka. Kalian hanya perlu
melakukan tugas di tangan kalian itu. Jangan mengkhawatirkan dananya. Kekayaan kita cukup untuksemua itu.”
“Sungguh sangat disayangkan Raja saja yang semakin kaya di negeri ini sedangkan rakyat semakin
miskin. Aku akan merubah semua itu. Aku, dengan dukungan kalian, akan memperbaiki keadaan ini,”
kata Altamyra bersungguh-sungguh.
“Setelah semua pembaharuan ini dilaksanakan, aku yakin lima tahun lagi rakyat sudah makmur. Saat itu
kita secara bertahap akan menaikkan pajak untuk memperbesar pemasukan kita. Jangan membebani
rakyat dengan pajak-pajak yang tinggi selama masa perbaikan ini. Kita harus menyesuaikan pajak
dengan keadaan rakyat. Pajak bukan untuk Raja tapi untuk rakyat,” Altamyra menegaskan.
“Saya mengerti, Paduka. Saya akan segera mengumumkan keputusan Anda tentang perpajakan ini.”
Altamyra mengangguk puas. “Untuk kedamaian rakyat ini pula aku akan memperbaiki hubungan dengan
para pemberontak itu.”
Semua mengerti terlonjak kaget tapi Altamyra tetap melanjutkan,
“Setelah masalah-masalah pembaharuan ini selesai, aku akan mengundang pemimpinnya ke sini. Dan,
hingga saat itu tiba, aku ingin peperangan dengan mereka dihentikan. Aku berharap minggu depan aku
telah menyelesaikan pekerjaanku mempelajari Undang-undang yang kalian buat ini dan
mengesahkannya.”
“Saya tidak setuju, Paduka!” Rasputin mengangkat tangannya, “Para pemberontak itu tidak menyukai
Raja Wolve. Saya khawatir mereka tidak menyukai Anda pula. Pemimpin mereka mungkin akan
menggunakan undangan itu untuk membunuh Anda.”
Dalam hati Altamyra percaya hal itu bisa terjadi tapi ia berkata,
“Aku berada di antara mereka hampir dua bulan, Rasputin. Aku tahu mereka berjuang demi
kemakmuran rakyat. Mereka membenci ayahku atas kekejamannya. Bila mereka juga membenciku itu
adalah wajar. Aku adalah putri serigala yang mereka benci. Tetapi, pemimpin mereka pandai. Ia pasti
tahu apa dampaknya bila ia membunuhku. Ia pasti mengerti hal itu.”
“Rasputin benar, Paduka. Bila kekhawatiran itu terjadi, bagaimana nasib kami rakyat Vandella? Siapa
yang akan melanjutkan perbaikan ini?” kata yang lain hampir bersamaan.
“Bila kita memutuskan terus berperang dengan mereka, apa kata rakyat?” tanya Altamyra tegas.
Semua terdiam.
“Dalam masa-masa pembaharuan ini, jangan mengeluarkan biaya yang tidak berguna seperti untuk
perang. Apa yang kita dapatkan dengan perang? Tujuan kita dan pemberontak itu sama, menciptakan
kehidupan yang adil dan makmur. Aku tidak akan mengorbankan rakyat untuk perang bodoh ini.”
“Paduka…”
“Aku mengerti kekhawatiran kalian. Tapi, untuk kali ini aku tidak ingin dibantah,” Altamyra menegaskan,
“Aku tahu apa yang kulakukan. Dan, aku tahu mereka pasti tahu apa yang telah kita lakukan untuk
memperbaiki keadaan yang kacau ini. Pemimpin mereka juga tidak akan membunuhku tanpa alasan
kuat.”
“Anda harus memperhitungkan semuanya masak-masak, Paduka,” Rasputin mengingatkan.
“Telah kulakukan, Rasputin. Aku tidak akan menarik keputusanku ini walau kalian tidak setuju. Bila
memang mereka membunuhku, biarlah itu terjadi. Apa artinya sebuah nyawa ini dibandingkan mereka
yang menderita?”
Sebelum ada yang membantahnya lagi, Altamyra cepat-cepat melanjutkan, “Bila tidak ada lagi
pertanyaan, kalian bisa mengatakan segala yang terlupakan olehku dalam keputusan itu.”
Para menteri mendesah panjang. Dalam hal ketegasan, Altamyra seperti ayahnya, membuat orang lain
tahu ia bersungguh-sungguh.
“Satu tugas lagi untuk kalian semua, aku ingin kita membina hubungan baik dengan semua negara lain.
Kita membutuhkan dukungan luar negeri dalam masa-masa ini.”
“Kami mengerti, Paduka.”
“Silakan mengatakan apa yang terlupakan olehku.”
Semua termenung melihat kertas-kertas di hadapan mereka. Altamyra pun tidak mau duduk berdiam
diri. Gadis itu mengambil seberkas laporan dan mempelajarinya.
Lama ia menanti, tapi tidak ada yang mengangkat tangan untuk melaporkan apa yang terlupakan
olehnya.
“Mengapa kalian diam saja?” tanya Altamyra heran.
“Saya merasa tidak ada yang perlu diperbaiki maupun ditambahkan, Paduka,” kata Ludwick jujur.
“Bagi saya, semuanya telah Anda putuskan tanpa ada yang terlewat.”
“Saya pun merasa seperti itu, Paduka.”
“Yang lain?”
“Tidak ada, Paduka.”
“Baiklah, rapat kita hari ini selesai. Aku akan membutuhkan kalian bila aku telah membaca semua
laporan kalian. Aku akan selalu terbuka untuk menerima pertanyaan kalian.”
Altamyra berdiri diikuti menteri-menterinya.
“Selamat siang.”
“Selamat siang, Paduka Ratu.”
Altamyra meninggalkan ruangan itu diikuti para menteri. Kepada prajurit yang menjaga pintu, Altamyra
berkata, “Tolong kalian letakkan tumpukan berkas itu di Ruang Kerja.”
“Baik, Paduka.”
Altamyra kembali ke Hall. Ia melihat orang banyak itu tampak gembira. Mereka mendapatkan makanan
dan barang-barang lain yang selama ini tidak pernah mereka mimpikan.
Terlihat kerumunan wanita yang sibuk memilih gaun dan kerumunan anak-anak yang memilih mainan.
Perbedaan hidup Raja Wolve dan rakyat Vandella benar-benar tampak jelas.
Badan mereka yang kotor dan kebersihan Istana Azzereath yang selalu gemerlap. Baju mereka yang
compang-camping dengan benda-benda Istana yang mewah.
Semuanya menggambarkan dengan jelas ketimpangan yang ada.
Diam-diam Altamyra meninggalkan Hall. Ia merasa tindakannya tepat. Ia tidak bisa menyerahkan tahta
pada orang lain sebelum ia memperbaiki kesalahan ayahnya. Tetapi ia tidak bisa bersantai-santai dalam
hal ini.
-----0-----
“Lihat ini!”
Erland hanya membuang wajah. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan Fred.
“Ratu Altamyra turun dari tempatnya yang tinggi untuk mengusap wajah rakyat. Ini judul berita utama
koran lima hari yang lalu. Lihatlah ini pula Ratu mengumumkan pada rakyat untuk mau mengambil sendiri
bantuan di Istana Azzereath dan untuk mereka yang kaya, Ratu meminta mereka untuk turut
menyumbang.”
Erland mengacuhkannya.
Fred meneruskan membaca koran.
Letak Lasdorf yang tersembunyi membuat daerah ini selalu ketinggalan berita. Koran yang datang selalu
koran beberapa hari yang lalu.
Seluruh rakyat Erland sudah tahu apa saja yang dilakukan Altamyra dan mereka sukar mempercayainya.
Tapi, mereka tidak tahu Altamyra adalah Rara.
Sejak Giorgio melaporkan hasil pengintaiannya, Fred selalu memuji-muji Altamyra di hadapan Erland.
Berlainan dengan Erland, Fred mempercayai segala maksud baik Altamyra. ia menyukai segala yang
dilakukan gadis itu untuk Altamyra.
“Lihat ini!” lagi-lagi Fred berseru tak percaya, “Ratu menyumbangkan gaun-gaunnya! Aku tak percaya
Ratu sekaya dia memberikan gaun-gaun terbaiknya untuk rakyat.”
Erland bosan. Dalam hari-hari terakhir ini Fred benar-benar membuatnya muak dan bosan.
“Tindakannya ini menunjukkan niatnya yang benar-benar tulus,” komentar Fred, “Aku ingin tahu apa yang disidangkannya dengan para Menteri hari ini. Giorgio mengabarkan mereka bersidang hari ini,
bukan?”
Erland mengangguk malas.
“Dia gadis yang luar biasa. Ia pasti akan membawa kita pada kemakmuran,” Fred berkata mantap.
“Erland, engkau akan meneruskan pemberontakanmu?”
“Sementara ini aku akan diam melihat keadaan. Aku yakin tak lama lagi ia akan menunjukkan taringnya
yang sesungguhnya.”
“Dan engkau akan mulai peperangan lagi,” tebak Fred.
“Tepat!” sahut Erland tegas.
“Aku tidak mengerti, Erland. Mengapa engkau tidak bisa mempercayainya? Paduka Ratu telah
menunjukkan niat baiknya dan engkau tetap tidak mempercayainya.”
“Paduka Ratu?” Erland mengejek, “Sejak kapan engkau menghormatinya sebagai Ratu?”
“Sejak aku mempercayainya,” jawab Fred dengan tersenyum.
Erland mendengus kesal. “Dia tidak pantas kauhormati setinggi itu. Percayalah padaku, ia adalah serigala
berbulu domba.”
“Ia memperbaiki pemerintahan ayahnya. Apakah ia akan memperbaiki hubungan pemerintah
denganmu?” Fred bertanya-tanya pada dirinya sendiri. “Kalau ia mengajakmu berdamai, engkau mau
menerimanya?”
“Aku akan membunuhnya,” geram Erland, “Sekarang hentikan omong kosongmu itu. Aku benar-benar
muak mendengarnya!”
Fred mengangkat bahunya dengan pasrah.
“Aku bosan, Erland. Tidak bisakah engkau membiarkan aku membaca dengan tenang?” gerutu Fred,
“Setiap kali aku membaca koran, engkau selalu memulai ejekan-ejekanmu itu. Kalau engkau cemburu
pada Ratu Altamyra, katakan saja. Kita harus mengakui sekarang ia lebih terkenal daripada engkau.”
“Aku tidak akan cemburu padanya.”
“Terserah engkau,” Fred tidak peduli.
Keadaan telah berubah banyak dalam hari-hari terakhir ini di seluruh wilayah Vandella juga pada diri
Fred dan Erland.
Kalau dulu Erland yang bosan mendengar Fred memuji Altamyra, sekarang Fredlah yang bosan
mendengar hinaan-hinaan Erland.
Keputusan-keputusan Altamyra terus memperbaiki keadaan rakyat dan membuat rakyat mulai
mempercayai serta mencintainya. Tetapi, kecurigaan Erland tidak juga berkurang.
Fred tidak tahu apa yang membuat pria itu sekeras ini. Biasanya, Erlandlah yang paling mudah berubah
mengikuti suasana. Sekarang ia tegar seperti batu dengan keputusannya.
“Kalau cinta sudah ditipu, beginilah akibatnya,” kata Fred pada dirinya sendiri dan terus membaca.
Dalam pekan-pekan terakhir sejak Altamyra memulai pemerintahannya, koran-koran terus menyoroti
dirinya. Koran-koran tanpa ragu mengupas semua tindakannya yang selalu mengejutkan rakyat.
Tidak ada lagi yang menyamakan Altamyra dengan ayahnya. Semua tahu Altamyra berbeda dengan
ayahnya. Ia setegas ayahnya tetapi selembut bidadari.
Kedudukannya yang tinggi serta paras wajahnya yang cantik dan didukung usianya yang masih muda,
membuat para bangsawan pria berusaha mendekatinya.
“Sebaiknya engkau berhenti membencinya atau kau akan kehilangan dia selama-lamanya, Erland. Ketika
aku pergi ke Thamasha, aku mendengar orang-orang berkata, ‘Ratu adalah gadis yang sangat menarik.
Andai dia bukan seorang Ratu, aku pasti melamarnya.’ Kau akan sangat menyesal bila itu terjadi.
Apalagi bukan hanya rakyat Vandella yang mengatakannya.”
“Aku tidak akan menyesali pernikahannya,” kata Erland tegas.
“Sungguh?”
“Aku berbicara dengan seluruh kemantapanku.”
“Aku lega mendengarnya. Aku juga tertarik padanya. Sekarang aku tidak perlu mengkhawatirkan
apa-apa untuk menikahinya.”
“Mengapa harus khawatir?”
“Kau hampir menikahinya,” kata Fred pasrah. Tiba-tiba pria itu melonjak kaget, “Kalau pernikahanmu
tidak diganggu, engkau telah menikah dengan Ratu! Dan, engkau sekarang telah menjadi Raja Vandella!”
“Aku beruntung tidak menikahi setan cilik itu,” sahut Erland dingin.
Fred mengangkat bahunya. “Terserah padamu, tapi jangan marah kalau aku menikahinya.”
“Aku turut bahagia karenanya,” kata Erland dingin.
Fred mengacuhkannya dan kembali membaca hingga ia menemukan berita yang menarik.
Selalu, setiap ia menemukan berita yang menarik, ia selalu berseru, “Lihat ini!” Dan Erland menyahutinya
dengan seribu macam hinaan.
Sejak ditinggalkan Altamyra, keadaan di Lasdorf banyak berubah seperti keadaan Vandella umumnya.
Berkat peninggalan Altamyra, kehidupan rakyat Lasdorf lebih makmur. Terlihat dengan semakin
besarnya penghasilan rakyat dalam satu hari. Membaca bukan lagi hambatan bagi mereka.
Dengan berubahnya sistem pemerintahan Vandella, untuk sementara waktu Erland menyibukkan diri
dengan melakukan apa yang harus dilakukannya sejak dulu dan sudah dimulai Altamyra.
Erland menjadi guru bagi rakyatnya. Setiap hari ia meluangkan waktu untuk mereka di samping
mengolok Altamyra di hadapan Fred.
Sering Fred berpikir apakah rakyat Lasdorf menyetujui sikap Erland bila mereka tahu Ratu Altamyra
adalah Rara. Tetapi, berulang kali ia berpikir itu tidak mungkin terjadi. Erland takkan membiarkan
rakyatnya tahu siapa Ratu mereka.
“Pangeran! Pangeran!”
Erland berdiri mendengar seruan panik itu dan menuju jendela. Ia melihat ke bawah dengan cemas.
Seseorang berlari menuju bangunan tempat ia berada dan beberapa meter di belakangnya seseorang di
atas kuda digiring mendekat oleh pasukannya.
Erland segera menemui mereka.
“Pangeran!”
“Apa yang terjadi, Jemmy?”
“Ada utusan Ratu Altamyra!” kata Jemmy setengah tak percaya, “Ia datang membawa bendera
perdamaian.”
Erland melihat pria tua di atas kuda yang dalam keadaan terikat. Tangannya menggenggam bendera
putih, tanda menyerah itu.
“Hamba diutus Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra untuk menemui Anda, Pangeran.”
Erland mendengus puas. Akhirnya gadis itu akan melakukan sesuatu terhadapnya. Dan ia ingin tahu
rencana licik apa yang sedang direncanakan setan cilik itu.
“Bawa dia masuk,” perintah Erland.
“Pangeran!”seru Jemmy cemas.
“Aku dapat menanganinya sendiri,” kata Erland tegas.
Orang-orang yang mengawal Ludwick menurunkan pria itu dari atas kuda dan membawanya ke ruang
utama.
“Tinggalkan kami berdua!”
“Baik, Pangeran.”
Sepeninggal mereka, Erland melepaskan ikatan Ludwick.
“Terima kasih, Pangeran.”
“Apa yang ingin kausampaikan?” tanya Erland sinis.
Ludwick tidak terkejut menerima sambutan dingin itu. Altamyra telah memperingatinya sebelum melepas
kepergiannya.
“Ratu ingin mengundang Anda untuk datang ke Istana Azzereath untuk berdamai.”
Melihat pandangan Erland tetap sinis, Ludwick melanjutkan, “Ratu sangat menyesal tidak dapat datang
sendiri ke sini. Banyak hal yang harus diselesaikannya. Hari ini beliau membuka sidang untuk Mardick.”
“Mardick?” tanya Erland heran.
“Ratu sangat luar biasa! Dalam waktu singkat, ia tahu Mardick telah mencuri uang rakyat. Perhitungan
Ratu sendiri dengan perhitungan para ahli keuangan tidak jauh berbeda. Hari ini Ratu menggelar
persidangannya bersama para Menteri.”
Erland memandang Ludwick dengan sinis.
“Khusus hamba, hamba mendapat tugas untuk menjemput Anda. Ratu berkata sayalah wakilnya yang
paling tinggi di dalam Kerajaan Vandella. Ratu menghormati Anda namun ia tidak dapat menemui Anda
sendiri.”
“Sebenarnya apa yang direncanakan Ratumu? Ingin menarik perhatian rakyat dengan menghukum
menteri kesayangan ayahnya?”
Ludwick menghela nafas. Altamyra juga telah memperingatinya tentang pandangan sinis Erland
terhadapnya.
“Ratu berencana untuk mengubah kerajaan ini. Ia ingin membuang semua peninggalan ayahnya dan
menggantinya dengan yang baik. Termasuk memperbaiki hubungan pemerintah dengan Anda.”
“Katakan padanya aku menolak.”
“Ratu telah menduganya,” kata Ludwick.
Erland membuang muka dengan angkuh.
“Ia tidak memaksa Anda bila Anda menolak,” kata Ludwick jujur, “Tetapi, saya memohon Anda sudi
datang ke Azzereath.”
“Anjing yang setia,” ejek Erland.
Ludwick bersikap seperti tidak mendengarnya.
“Saya minta maaf atas kejadianbeberapabulan lalu. Ratu tidak memerintahkan kami untuk menyerang
tempat ini. Ia tidak tahu penyerangan itu. Ratu memerintahkan kami untuk bertahan di Thamasha sampai
beliau datang. Sayalah yang memerintahkannya. Saya melakukan itu karena saya menghawatirkan
keselamatan Ratu. Ratu tidak berniat untuk memperpanjang permusuhan kerajaan dengan Anda.”
Erland tidak menanggapi.
“Saya mohon, Pangeran. Ratu bisa jatuh sakit bila ia memaksakan diri datang ke Lasdorf. Saat ini ia
sangat lelah. Setiap saat ia terus bekerja tanpa mau berhenti. Tidak seorangpun yang bisa
menghentikannya.”
“Kaupikir aku bisa?”
“Anda juga tidak dapat, Pangeran,” Ludwick mengakui, “Tapi Anda sudi datang ke Azzereath, kami
sangat berterima kasih.”
“Sebagai gadis yang dibesarkan di desa miskin, Ratu tahu bagaimana kesulitan rakyat Vandella. Ia
berkeinginan untuk memperbaiki semua itu. Dalam diri Ratu terdapat sifat keras Raja Wolve. Ia selalu
berkata, ‘Aku tidak akan berhenti sebelum semuanya selesai. Banyak yang harus dilakukan.’ Ratu ingin
segera menyelesaikan segalanya dan tanpa ia sadari, ia telah merusak tubuhnya. Ratu masih terlalu muda
untuk mengerti hal itu.”
“Kami semua mengkhawatirkan kesehatan Ratu bila ia harus menempuh perjalanan panjang ini. Ratu
tidak ingin memaksa Anda untuk datang ke Azzereath tapi kami memohon pada Anda. Tak seorang pun
di Azzereath bisa membayangkan apa yang terjadi bila Ratu tiba-tiba sakit. Saat ini adalah masa paling
sulit dan Ratu sangat dibutuhkan Vandella.”
“Betapa setianya kalian pada keturunan serigala itu.”
Ludwick tidak tersinggung mendengar kata-kata sinis itu. “Ratu Altamyra lebih menyerupai ibunya
daripada ayahnya. Anda mungkin tidak percaya, tetapi ini benar. Ratu Altamyra sangat membenci
ayahnya. Ia tidak mau memerintah Vandella yang merupakan warisan ayahnya. Tapi, ia tetap
melakukannya demi rakyat Vandella. Kami tahu Ratu mencintai rakyat dan kami pun mencintai Ratu.”
Erland diam membisu.
Ludwick putus asa melihat pandangan angkuh pria itu. “Paduka Ratu benar, ia tidak bisa dipaksa,”
pikirnya sedih.
“Aku ikut,” Erland pada akhirnya memutuskan, “Aku ingin tahu apa yang direncanakan setan cilik itu
terhadapku.”
-----0-----
“Menteri Dalam Negeri sudah tiba, Paduka.”
“Bawa dia menghadapku.”
Prajurit itu kembali keluar. Tetapi, Altamyra terus memandang halaman Istana.
Akhir-akhir ini Istana menjadi semakin ramai karena kehadiran para tunawisma itu. Setiap hari selalu ada
yang pulang dan pergi. Yang menginap di Hall pun tidak sedikit.
Mereka senang tinggal di Istana. Orang-orang Istana pun selalu menerima mereka dengan ramah. Segala
kebutuhan mereka tersedia di sini.
Altamyra telah membuat Istana Azzereath yang selama ini ditakuti, menjadi tempat yang paling
menyenangkan untuk ditinggali. Sebagai Ratupun, ia bertindak sebagai tuan rumah yang ramah.
Halaman Istana kini tidak hanya indah tetapi juga menawan dengan banyaknya anak-anak yang bermain
di sana. Orang-orang pun dengan bebas bersenda gurau di halaman Istana.
Istana Azzereath yang dingin kini menjadi Istana yang selau ceria. Canda tawa kini selalu menghiasi
kehidupan Istana.
“Hamba datang menghadap, Paduka,” kata Ludwick seraya membungkuk, “Saya menjemput Pangeran
Erland sesuai keinginan Anda. Saya mengaku bersalah, Paduka, karena saya tidak berhasil membujuk
Pangeran untuk beristirahat sebelum menemui Anda.”
“Tidak apa-apa, Ludwick. Sekarang engkau bisa meninggalkan kami berdua.”
Altamyra tetap tidak bergerak setelah kepergian Ludwick. Matanya terus menatap halaman Istana.
Erland diam memandangi rambut Altamyra. Rambut itu tampak lebih bersinar keemasan. Rambut emas
itu tergerai menutupi pinggang Altamyra yang kecil. Tubuhnya yang terbungkus gaun ungu cerah tampak
ramping.
Gadis itu terus memandang ke depan dengan menyilangkan tangan di depan dadanya. Tidak sepatah
katapun yang diucapkannya.
Altamyra tahu sebelum sebelum menghadapi Erland, ia harus benar-benar mempersiapkan dirinya.
Pembicaraannya dengan Erland takkan semudah rapat dengan para Menteri. Mengingat
kejadian-kejadian di masa lalu, pembicaraan ini akan menjadi semakin sulit.
Altamyra menguatkan dirinya sebelum akhirnya ia menatap Erland. Altamyra senang bisa bertemu orang
yang selalu dipikirkannya itu. Tapi, ia membuang jauh-jauh perasaan rindunya.
“Terima kasih Anda sudi datang ke tempat ini. Dalam kesempatan ini pula saya minta maaf karena telah
menipu Anda dan rakyat Lasdorf,” kata Altamyra sopan.
“Katakan apa yang sebenarnya kaurencanakan?” balas Erland tajam.
“Saya berencana mengajak Anda berdamai.”
“Berdamai,” cemooh Erland.
“Saya tahu Anda tidak akan mempercayainya tapi saya ingin Anda tahu saya ingin memperbaiki
kehidupan rakyat Vandella. Untuk itu, saya mempunyai dua tawaran untuk Anda.”
“Tawaran berdamai?”
Altamyra mengacuhkan kata-kata yang penuh ejekan itu. “Anda ingin meneruskan pernikahan kita atau
tidak?”
Erland terdiam mendengar tawaran yang tidak diduganya itu.
Altamyra sedih melihat raut wajah dingin Erland. Gadis itu segera memunggungi Erland untuk mencegah
pria itu melihat kesedihannya.
Altamyra menutup matanya ketika berkata, “Semua telah diputuskan.”
Sebelum bertanya pada Erland, Altamyra sudah mengetahui jawaban Erland. Erland membenci ayahnya
dan takkan sudi menikah dengannya.
Kali ini Altamyra menatap Erland dengan tenang.
“Tinggallah di sini untuk beberapa hari sampai semuanya selesai. Sebelum Anda menduduki tahta, saya
akan merapikan Istana ini. Saat ini Castil Quarlt'arth sedang ditata ulang untuk tempat penampungan para
tunawisma. Sebelum akhir minggu ini segala kegiatan di Hall akan dipindahkan ke sana.”
“Castil Quarlt'arth?” tanya Erland tak percaya.
Altamyra tidak ingin menjelaskan banyak tentang rencananya dengan kastil peristirahatan ayahnya yang
megah.
“Semuanya akan beres sebelum penobatan Anda.”
Altamyra menepuk tangannya dua kali lalu prajurit yang menjaga pintu masuk.
“Tolong antarkan Pangeran Erland ke kamarnya.”
“Baik, Paduka,” kata prajurit itu lalu pada Erland ia berkata, “Mari, Pangeran.”
“Silakan beristirahat. Anda pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh,” kata Altamyra sebelum
membalikkan badan.
Erland melihat punggung Altamyra dan pergi meninggalkan ruangan itu.
Tidak banyak yang mereka bicarakan. Mereka lebih banyak bersikap seperti dua orang asing.
Erland tak menduga semua kata-kata Altamyra. Gadis itu berbeda dengan gadis di Lasdorf.
Altamyra kini lebih cantik dan juga lebih anggun serta berwibawa. Ia bukan lagi gadis yang selalu
mengajaknya bertengkar.
“Saya sangat senang dapat bertemu Anda, Pangeran. Saya tidak pernah menyangka akan bertemu Anda
di Istana. Sudah sejak dulu saya ingin bertemu Anda.”
“Apakah aku setenar itu?” tanya Erland dingin.
“Benar, Pangeran. Paduka Ratu sering mengatakan kekagumannya pada Anda. Ia merasa bangga
Vandella mempunyai pahlawan seberani Anda.”
Erland tidak mempercayai apa yang didengarnya.
“Paduka Ratu mengatakan ingin mengajak Anda bekerja sama untuk membangun kembali Vandella.
Beliau yakin Anda pasti tahu segala hal yang baik untuk Vandella. Tapi, kami berkata Ratu juga pantas
memimpin Vandella. Anda berdua pantas untuk menjadi pemimpin Vandella.”
Prajurit itu tiba-tiba menutup mulutnya. “Maafkan saya, Pangeran. Akhir-akhir ini kami semua terbiasa
bersikap terbuka.”
“Paduka Ratu menyuruh kami bersikap jujur. Ia selalu berkata kesopanan kami padanya hanya untuk
menunjukkan hormat kami padanya. Dan, ia tidak berhak mengurung kebebasan kami dalam bentuk apa
pun. Ratu selalu menekankan hal itu pada kami. Ia tidak ingin terlalu disanjung tetapi kami selalu
memujanya. Karena itu, di sini kami bisa akrab dengan Ratu dan pada saat yang bersamaan kami juga
menghormatinya.”
“Banyak yang dilakukan Ratu untuk mengakrabkan diri dengan kami semua. Setiap hari Ratu bekerja
tanpa henti terutama pada hari-hari pertama dulu. Setelah Ratu membuka Istana untuk umum, setiap hari
Minggu Ratu menghentikan semua kegiatan di Istana. Setiap hari Minggu kami mengadakan pesta
sederhana di halaman. Saat itu Ratu tidak menginginkan penghormatan padanya dalam bentuk apapun.
Saat itu Ratu ingin dianggap sebagai rakyat biasa.”
“Saya berharap Anda tinggal di sini sampai hari Minggu. Kami akan senang sekali bila Anda mau. Kami
semua selalu berharap dapat bertemu Anda.”
Erland tidak menanggapi.
Prajurit itu berhenti di sebuah pintu dan membukanya. “Inilah kamar Anda, Pangeran. Kamar teman
Anda tepat di sebelah kamar ini. Selamat beristirahat, Pangeran. Paduka Ratu ingin Anda menganggap
Istana sebagai rumah Anda.”
Prajurit itu membungkuk lalu pergi.
Erland memasuki kamarnya dengan enggan.
Banyak hal yang menghantui pikirannya. Ia tidak ingin menemui Fred seperti janjinya sebelum menemui
Altamyra. Saat ini ia ingin menyendiri.
Erland tidak heran Fred tidak mencarinya. Ia yakin pria itu sedang tidur nyenyak di sebelahnya. Sesaat
setelah kereta mereka memenuhi Istana, ia sudah menguap lebar-lebar.
Altamyra benar-benar berbeda. Tapi gadis itu masih tetap penuh misteri. Seperti dulu, di mata birunya
yang cerah, tersimpan banyak rencana. Entah apa yang direncanakannya kali ini tapi Erland tetap akan
mewaspadai gadis itu.
Mungkin sekarang ia tidak menunjukkannya, tapi Erland yakin suatu saat nanti gadis itu akan
menunjukkannya. Suatu saat nanti pasti Altamyra menunjukkannya.
Teringat kembali akan Altamyra, Erland mengutuki dirinya. Ia tidak dapat memungkiri keinginannya
untuk menarik gadis itu ke pelukannya dan menciumnya sampai ia puas. Erland benci. Ia masih
merindukan gadis serigala itu sedangkan itu adalah hal yang paling ingin dibunuhnya.
Erland mengutuki Altamyra yang menimbulkan kesan dingin di antara mereka. Kalau gadis itu
menebarkan sikap permusuhannya, ia takkan seperti ini. Perasaannya tidak akan kacau oleh keinginan
untuk menghancurkan sikap dingin dan menjaga jarak itu.
Rencana yang apa yang disusun Altamyra untuknya? Apapun itu, ia tidak akan berhasil. Kalau Altamyra
mengira ia dapat memperalat dirinya, ia salah. Terutama kalau ia ingin mengangkatnya sebagai Raja untuk
menarik perhatian rakyat.
Timbul kembali keinginan Erland untuk mencekik gadis yang telah menipunya itu.
Pada pertemuan mereka yang baru saja berlalu, Erland melupakan keinginannya karena sikap Altamyra
yang tidak diduganya. Pada pertemuan kedua mereka, Erland yakin ia harus mengendalikan diri agar
tidak mencekik leher cantik itu.
Dan, saat itu Altamyra harus berhati-hati padanya.
Sore hari seorang pelayan datang menemui Erland.
“Paduka Ratu ingin Anda hadir dalam pertemuan di Ruang Hijau.”
“Pertemuan apa?”
“Pertemuan dengan masyarakat.”
Erland keheranan.
“Setiap sore selama satu jam, Paduka meluangkan waktu untuk bertemu masyarakat. Dalam jamuan
minum teh itu, Paduka mendengarkan masalah-masalah rakyat. Banyak yang datang dari jauh untuk
mengeluh pada Paduka Ratu. Sekarangpun Paduka Ratu sudah berada di antara mereka.”
Pelayan pria itu membantu Erland mempersiapkan diri lalu mengantarnya ke Ruang Hijau.
Ketika Erland tiba di sana, Altamyra sedang duduk di sebuah kursi tinggi sambil memangku kedua
tangannya. Ia tampak sangat cantik dengan senyum manis yang tersungging di wajahnya yang ceria.
Rambutnya yang digelung tinggi, membuat gadis itu tampak lebih dewasa.
Erland jengkel ketika ia menyadari tidak ada gadis yang lebih anggun daripada Altamyra saat ini.
Gaun yang dikenakannya sangat sederhana. Gadis itu juga tidak mengenakan hiasan rambut. Altamyra
seperti ingin menyesuaikan diri dengan tamu-tamunya.
Sikap ramah dan terbuka Altamyra membuat suasana di dalam ruangan itu hangat. Tidak ada kesan
rakyat menghadap Ratunya. Yang terkesan hanya suasana hangat yang penuh kekeluargaan.
Sebagai tuan rumah, Altamyra sangat ramah. Tanpa mempedulikan kedudukannya, ia mau melayani
tamu-tamunya.
“Pangeran Erland sudah datang, Paduka.”
Semua menoleh pada Erland.
Altamyra tersenyum dan berkata, “Selamat datang, Pangeran. Kami tengah membicarakan Anda. Mari,
silakan duduk.”
Altamyra berdiri dan memberi tempat untuk Erland. Altamyra merasakan pandangan dingin Erland
ketika ia menuangkan teh untuknya.
“Silakan duduk di sini, Paduka.” Mereka yang duduk di kursi panjang saling berdempetan untuk
memberi Altamyra tempat.
“Terima kasih.”
Altamyra baru saja duduk berdesak-desakan ketika orang-orang itu mulai berbicara dengan Erland.
Dalam pertemuan kali ini Altamyra hanya menjadi pendengar. Ia pendengar yang baik. Tidak
mengatapan apa-apa tetapi menyimpan banyak hal dalam pikirannya.
Dalam hatinya, Altamyra tersenyum. Ia bahagia atas keputusannya yang baginya paling baik.
Erland tidak menyadari kursi yang sekarang didudukinya adalah kursi untuk Raja Vandella. Altamyra
tidak tahu apa yang akan dikatakan pria itu bila ia mengetahuinya. Yang Altamyra ketahui saat ini adalah
keputusannya tepat.
Dengan penuh perhatian Erland mendengarkan kata-kata rakyat dan menanggapinya dengan bijaksana.
Pria itu selalu tahu apa yang harus dikatakannya atas pertanyaan-pertanyaan mereka.
Altamyra tidak mau terlalu memperhatikan Erland. Ia tidak mau Erland berpikir buruk tentangnya.
Altamyra ingin semuanya berlangsung dengan baik tanpa ganjalan di hati pada saatnya.
Apapun alasan Erland dulu memaksa menikah dengannya, Altamyra tidak mau mempedulikannya lagi.
Memikirkannya hanya membuat hati terasa makin sakit.
Dulu Erland ingin memanfaatkannya untuk menggalang kekuatan melawan ayahnya. Sekarang Altamyra
senang. Tidak perlu ada perang untuk mengganti pemerintahan otoriter ayahnya.
Aneh!
Semua ini aneh!
Ketika berada di Lasdorf, Altamyra merasa gila karena kebenciannya yang mendalam pada Erland. Kini
Altamyra merasa gila karena cintanya yang mendalam pada Erland.
Apa yang dikatakan orang-orang memang benar. Batas antara benci dan cinta tidak sampai setipis
kertas.
Tapi apa yang dapat dilakukan Altamyra terhadap perasannya itu? Altamyra tahu sejak awal Erland
ingin memanfaatkannya. Dan, setelah tahu ia adalah putri orang yang telah membunuh orang tuanya, ia
takkan memaafkannya. Altamyra tahu Erland membencinya.
Kebencian Erland pada Altamyra berbeda dengan kebencian Altamyra pada Erland. Altamyra tahu pria
itu benar-benar membencinya hingga terasa pada seluruh cara dia ketika melihat dan berbicara
dengannya.
Tidak ada gunanya mempertahankan permusuhan ini.
Tepat satu jam Altamyra berada di Ruang Hijau, gadis itu berdiri.
“Maafkan saya. Saya tidak bisa menemani Anda lebih lama lagi. Bila kalian ingin, silakan melanjutkan
tanpa saya.”
Erland mengawasi kepergian Altamyra tanpa berbicara apa-apa.
Dari pelayan yang melayaninya tadi, Erland tahu Altamyra selalu sibuk. Tiada hentinya ia berada di
Ruang Kerja.
Di malam hari saat semua orang tidur, Altamyra masih terjaga. Lewat tengah malam gadis itu baru
beranjak dari meja kerjanya. Sebelum memasuki ruang tidurnya, Altamyra masih mengelilingi Hall untuk
memeriksa keadaan rakyat yang tidur di sana.
Pelayan itu berkata, “Kami sering menyebut Ratu sebagai Bidadari Malam. Tiap malam Anda akan
melihat Ratu membawa lilin kecil dan berkeliling Hall.”
Erland tidak mengerti mengapa malam ini ia tidak bisa tidur. Pikirannya melayang-layang dan matanya
sukar tertutup.
Samar-samar Erland mendengar langkah-langkah ringan.
Erland mencari mantel di lemari dan menuju Hall.
Di ujung lorong, Erland melihat Altamyra tengah menyelimuti seseorang. Hampir tiap langkah, gadis itu
berhenti untuk membenahi selimut banyak orang itu.
Tanpa disadarinya, Erland tersenyum melihat pemandangan itu.
Seorang Ratu yang kedudukannya sangat tinggi dan penuh gemerlapan, turun untuk memberikan
kasihnya pada rakyat.
Erland terus berdiri di ujung lorong sampai Altamyra menuju ke arahnya.
“Anda belum tidur?” tanya Altamyra keheranan.
“Aku tidak bisa tidur,” jawab Erland, “Mengapa engkau belum tidur?”
“Banyak yang harus diselesaikan.”
“Sudah banyak yang kauselesaikan. Apa yang kurang?”
Altamyra tersenyum.
“Rencanamu itu…”
“Kita telah sepakat dalam hal itu,” potong Altamyra. “Saya akan menyerahkan tahta pada Anda.”
“Bagaimana denganmu?”
“Jangan mengkhawatirkan saya. Masih banyak yang dapat saya lakukan.”
“Bagaimana dengan pernikahan kita?”
Altamyra menghela napas dan terus berjalan. “Pernikahan kitahanya hampirresmi secara agama.
Andaikan kita menyelesaikan pemberkatan pernikahan dan mengakhirinya dengan penandatanganan
surat pernikahan…”
“Tapi itu juga tidak akan membuat pernikahan kita resmi secara hukum. Nama yang ada bukan nama
saya. Tak ada yang mengetahui pernikahan itu selain kita, Fred serta Kana. Saya yakin hanya Fred yang
tahu saya adalah Rara.”
“Engkau mencintaiku?”
Tiba-tiba Altamyra berhenti dan menatap Erland lekat-lekat.
Erland tidak tahu bagaimana menjawabnya. Ia sendiri terkejut dengan pertanyaan itu.
“Saat ini yang paling saya cintai adalah rakyat.” Altamyra melangkahkan kakinya.
Erland segera mengikuti Altamyra. “Kalau aku menjadi Raja, bagaimana denganmu?”
“Saya rasa kita telah membicarakan hal itu,” jawab Altamyra.
“Bagaimana dengan rakyat?”
“Rakyat mencintai Anda. Mereka pasti senang bila Anda memerintah mereka. Saya telah membuka
jalan bagi Anda untuk memulai pemerintahan. Anda tidak perlu mencemaskan apa pun.”
“Engkau telah membuka jalan tetapi apakah yang kulakukan akan sama dengan yang kaurencanakan?”
“Para Menteri akan membantu Anda. Mereka tahu apa yang saya inginkan. Mereka telah bersumpah
pada saya akan terus memberikan yang terbaik bagi Vandella.”
Erland terdiam.
Semua telah diatur Altamyra sedemikian rapi hingga tidak mungkin dibatalkan lagi. Altamyra telah
memperhitungkan segalanya. Segala kekurangan rencananya telah ditutupnya dengan rapat hingga tak
ada yang bisa merusaknya.
Altamyra berhenti dan membuka pintu.
“Selamat malam, Pangeran.Erland kebingungan.
“Ini kamar Anda, Pangeran,” Altamyra mengingatkan dengan tersenyum geli.
“Semoga Anda dapat tidur nyenyak.” Altamyra berbalik dan melangkah pergi.
“Altamyra!” Erland menarik tangan gadis itu. Erland menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
Tindakannya itu membuat Altamyra cemas. Ia takut api lilin di tangannya mengenai baju Erland.
Erland menatap lekat-lekat wajah cantik Altamyra. Ia tidak akan menemukan wajah secantik dan
semanis ini di manapun. Dengan lembut, ia mencium bibir Altamyra kemudian menghilang di balik pintu.
Altamyra terpaku.
Jantungnya berdebar sangat kencang. Seluruh darah di tubuhnya seperti menggelegar. Wajahnya terasa
panas.
Altamyra merasa seperti demam.
Berminggu-minggu ia merindukan kehangatan dan rasa aman di dalam pelukan Erland. Tetapi, ia tidak
berani memimpikannya.
Altamyra tahu bila Erland memeluk atau menciumnya, ia akan semakin sukar meninggalkan pria itu.
Sedangkan demi rakyat Vandella, ia harus menjauh dari Erland.
Altamyra tahu apa yang harus segera dilakukannya. Ia akan meminta Ludwick membantunya.
Hari-hari berikutnya akan menjadi saat yang paling sulit bagi Altamyra.
Erland mengawasi Altamyra.
Seperti yang pernah dikatakan padanya, pada hari Minggu Altamyra menghentikan semua
kesibukannya. Sejak pagi gadis itu sudah tampak di halaman dengan gaunnya yang sederhana.
Pada hari-hari biasa, Altamyra menghabiskan banyak waktunya di Ruang Kerja. Mereka jarang
bertemu. Hanya pada saat makan pagi dan waktu minum teh, mereka bertemu.
Fred yang keheranan karena tidak melihat Altamyra pada saat makan siang, pernah bertanya, “Mengapa
Paduka Ratu tidak makan bersama kami? Apakah ia hanya bisa makan pagi bersama kami?”
“Tidak, Tuan,” jawab pelayan, “Paduka Ratu selalu mengatakan sebentar bila kami panggil. Dan,
akhirnya Paduka lupa untuk makan. Sekarang kami langsung mengirim makan siang Paduka ke Ruang
Kerja dan Paduka tidak akan lupa untuk makan.”
Erland diam saja. Ia tahu bila Altamyra sibuk, ia akan melupakan segala-galanya.
Melihat kesibukan Altamyra, Erland tetap tidak mempercayai gadis itu. Ia yakin ada rencana lain di balik
semua ini. Sikap Altamyra juga semakin memperkuat dugaannya.
Gadis itu selalu menjauh tiap melihatnya. Ia seperti menjaga jarak antara mereka sambil membangun
benteng yang tebal. Sikapnya itu seperti takut Erland membongkar rencananya.
Setiap malam ia selalu mendengar langkah-langkah kaki Altamyra ketika melewati kamarnya. Tapi sejak
malam itu, Erland tidak pernah dengan sengaja menemui Altamyra lagi.
Erland merasa murka tiap kali melihat gadis itu. Ia yakin Altamyra menyerahkan tahta padanya untuk
mendapatkan perhatian rakyat dan juga untuk memanfaatkannya.
Semua menteri setia pada Altamyra. Apa yang kelak dikatakan Erland tidak akan mereka lakukan.
Altamyra dengan bantuan para menterinya yang setia, membuatnya menjadi raja boneka. Mereka akan
memanfaatkannya untuk memeras rakyat.
Bila rakyat membencinya, Altamyra akan muncul lagi. Dengan segala tindakannya saat ini, rakyat pasti
mengelu-elukan kemunculannya. Setelah itu, Altamyra akan menyingkirkannya dan menindas rakyat
Vandella seperti yang dilakukan ayahnya.
Altamyra sangat cerdik. Ia tahu bahaya terbesar adalah cinta rakyat pada Erland. Karena itu, ia
membuat rakyat membenci Erland sebelum ia menunjukkan wajah di balik bulu dombanya.
Erland mengakui kecerdasan Altamyra, tapi ia takkan membuat gadis itu berhasil.
Satu-satunya orang di antara mereka yang setiap saat semakin mengagumi Altamyra adalah Fred.
Hampir setiap saat Fred memuji Altamyra.
Erland menyesal membawanya sebagai teman.
Ketika Erland memberitahu Altamyra akan menyerahkan tahta padanya, Fred berkomentar, “Ratu tahu
engkau pantas menjadi Raja Vandella.”
Pendapat itu tidak berubah walau Erland telah mengatakan siasat Altamyra yang sebenarnya.
Selalu, setiap melihat Altamyra, Erland mengawasi gadis itu. Pagi ini pun ia tidak melepaskan pandangan
dari Altamyra.
Hari Minggu, semua kesibukan terpusat di halaman Istana. Istana sendiri sangat sepi.
Orang-orang yang biasanya berada di Hall, telah dipindahkan Altamyra ke Castil Quarlt'arth sejak
kemarin.
Seperti yang dikatakan Altamyra pada Erland, hari Sabtu Hall lantai pertama bersih. Semua kesibukan
yang biasanya ada di Hall, dipindahkan ke Castil Quarlt'arth dalam sehari itu.
Ketika pemindahan dilakukan, warga Perenolde yang pertama kali gempar. Hari ini, seluruh rakyat
Vandella gempar.
Rakyat Vandella tahu Castil Quarlt'arth adalah kastil kesayangan Raja Wolve. Castil itu dibangun Raja
Wolve sebagai hadiah pernikahannya untuk Ratu Reinny.
Castil Quarlt'arth berada di tepi sebuah danau besar dengan pemandangan yang indah. Seindah kastil itu
sendiri dan segala perabot mewah di dalamnya.
Setelah Ratu Reinny menghilang, Raja Wolve sering mengunjungi kastil itu. Pangeran Allan tinggal di
kastil itu selama berbulan-bulan dalam satu tahun.
Pada awalnya, Altamyra ingin memberikan kastil itu pada rakyat. Setelah ia memikirkannya
masak-masak, ia tidak melanjutkannya.
Altamyra tahu rakyat akan menjadi malas bila ia selalu memberi mereka. Altamyra tidak ingin rakyat
Vandella seperti itu. Ia hanya ingin membantu rakyat dalam tahun-tahun pertama masa perbaikan ini.
Saat ini pemukiman untuk rakyat miskin tengah dibangun. Pemukiman itu dibangun di dekat daerah yang
subur untuk pertanian.
Sebelum tahun depan, pondok-pondok sederhana itu akan selesai. Mereka yang saat ini tinggal di Castil
Quarlt'arth akan dipindahkan ke sana. Di tempat baru itu, mereka harus berusaha untuk hidup sendiri.
Sedangkan rakyat lain yang telah mempunyai rumah, diberi bantuan untuk memperbaiki rumahnya.
Bantuan itu tidak hanya berasal dari Istana Azzereath saja. Banyak warga Vandella yang turut memberi
bantuan. Bantuan dari negara lain juga terus mengalir.
Untuk mengawasi penyaluran bantuan, Altamyra membentuk badan khusus. Anggotanya ia pilih setelah
mendapat saran-saran dari orang di sekitarnya. Setiap hari ia mendapatkan laporan dari mereka.
Satu bulan lebih sudah Altamyra menjadi Ratu yang memerintah Vandella. Banyak yang telah berubah
dalam masa yang singkat itu.
Kehidupan rakyat mengalami kemajuan. Banyak penduduk yang mulai terangkat dari kemiskinan.
Rumah-rumah yang tidak layak huni mulai berkurang. Setiap hari banyak rumah yang selesai diperbaiki.
Pemukiman yang dibuat Altamyra juga telah menunjukkan hasil. Banyak pondok-pondok baru yang
selesai dan ditempati penduduk.
Semua itu karena kerja keras rakyat Vandella. Altamyra membuat keputusan dan mereka
melaksanakannya dengan giat. Mereka sangat mendukung segala tindakan Altamyra dan berusaha
memberikan yang terbaik bagi ratu cantik itu.
Pajak yang rendah membuat rakyat dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Lahan-lahan
pertanian yang dulu terbengkalai, mulai terawat lagi.
Para tahanan yang dibebaskan Altamyra, telah melanjutkan pekerjaan mereka.
Kota-kota mulai berseri. Wajah-wajah lelah dan kelaparan telah hilang. Sebagai gantinya, terlihat
wajah-wajah cerita dan suasana kota yang ramai.
Sebulan lalu perekonomian Vandella terhenti. Semua uang yang ada di masyarakat terus mengalir ke
Istana dan tidak kembali lagi ke masyarakat. Sekarang uang terus berputar.
Seperti yang pernah dikatakan Altamyra pada para menterinya, uang kerajaan lebih dari cukup untuk
membenahi kehidupan rakyat.
Dalam satu tahun, Raja Wolve mampu mengumpulkan uang bermilyar-milyar dan mengeluarkannya
kurang dari satu juta. Bila dihitung dalam Poundsterling – mata uang yang saat itu paling mahal –
pendapatan murni Vandella dalam satu tahun lebih dari 398 milyar. Jumlah itu sangat besar dan cukup
untuk mendanai hidup rakyat Vandella yang lebih dari 78 juta dalam satu bulan.
Raja Wolve telah memerintah Vandella dengan kekejamannya selama 53 tahun. Uang yang
dikumpulkannya sangat banyak. Semua itu tersimpan dalam Bank Vandella.
Jumlah uang yang sangat besar itu cukup untuk mendanai kehidupan rakyat Vandella selama lebih dari
lima tahun tanpa membuat Istana bangkrut.
Tetapi, Altamyra takkan melakukannya. Ia membantu rakyat untuk bangkit dari kemiskinan ini. Setelah
itu mereka harus berusaha sendiri untuk hidup.
Ia telah membuka jalan untuk rakyatnya dalam mencapai kemakmuran. Keputusan-keputusannya dan
undang-undang yang dibuatnya tidak lagi sekejam dulu. Mereka lebih lunak tetapi tetap tegas.
Pemukiman yang dibangunnyapun dapat meningkatkan kemakmuran Vandella.
Rumah-rumah itu dibangunnya di atas lahan yang berpotensi. Lahan yang selama pemerintahan Raja
Wolve tidak pernah disentuh.
Dalam waktu satu bulan, Altamyra membuat perubahan yang dilakukan raja lain dalam waktu sepuluh
tahun. Altamyra membuat kagum para menterinya. Dalam waktu satu bulanpula Altamyra terus membuat
Vandella gempar. Setiap hari selalu ada berita yang membuat Vandella gempar.
Seperti ketika koran menuliskan apa yang sebenarnya terjadi pada Mardick. Tak seorangpun menduga
Mardick, menteri yang paling dicintai Raja Wolve telah mencuri uang negara.
Sidang Altamyra dengan para menterinya, memutuskan Mardick dipenjara. Mengingat jasa-jasanya
pada Vandella selama dua puluh satu menjadi Menteri Keuangan, Altamyra memberinya keringanan.
Mardick tetap dipenjara tetapi tidak selama yang diusulkan Hakim Agung Vandella.
Altamyra memecat Mardick dari jabatannya dan memenjarakan pria itu di penjara Perenolde selama
lima tahun.
Sementara itu keluarga Mardick diperintahkan Altamyra untuk mengembalikan apa yang mereka curi
dari rakyat. Rakyat telah menderita karena kekejaman Raja Wolve. Dan, Mardick memperberat
penderitaan rakyat dengan ketamakannya.
Sebagai pengganti Mardick, Altamyra atas usul menteri-menterinya, mengangkat Toed menjadi Menteri
Keuangan yang baru.
Sejak minggu lalu, saat Altamyra membuka sidang terhadap Mardick, keluarga Mardick terus
melakukan titah Altamyra. Mereka mengembalikan harta mereka pada rakyat. Mereka banyak
menyalurkan bantuan.
Sejak saat itu, tidak ada lagi yang mengungkit masalah Mardick. Semua telah melupakannya sebab
masih banyak kejutan Altamyra yang lain. Seperti pemindahan para tunawisma dan segala kesibukan Hall
ke Castil Quarlt'arth.
Kepada Danilo, Menteri Kependudukan yang bertugas mengawasi pembangunan pemukiman baru,
Altamyra memerintahkan selalu melaporkan perkembangan pembangunan itu. Tiap ada pondok yang
selesai, Altamyra menyuruhnya segera melapor agar bisa segera ditempati.
Hari Minggu ini adalah hari istimewa. Hari ini dalam pesta di Istana, tidak hanya ada Ratu Vandella tapi
juga pahlawan Vandella. Sejak pagi halaman Istana dipenuhi orang-orang.
Sepintas penjagaan Istana terlihat longgar. Tetapi, penjagaan diperketat. Istana ditutup rapat-rapat dan
pasukan Istana berjaga-jaga di halaman dengan mengenakan baju biasa. Di sisi Altamyra pun selalu ada
beberapa pelayan yang selain membantunya juga melindunginya.
Atas titah Altamyra, sarapan pagi mereka buat di halaman.
Ketika Altamyra sibuk membantu pelayan membuat sarapan, Erland menghadapi banyak pemujanya.
Tetapi, matanya terus menatap Altamyra.
Erland melihat Fred mendekati Altamyra. Mereka berbincang-bincang dengan akrab. Altamyra tampak
berseri ketika berbicara dengan pria itu. Ia tertawa riang bersama Fred.
Kecemburuan membakar hati Erland. Ia tidak mau melihat pria lain di dekat Altamyra. Tetapi, ia juga
tidak mau mendekati gadis itu.
Hari ini Altamyra membaurkan diri dengan rakyat. Mereka yang tidak mengenalinya, tidak akan tahu ia
adalah Ratu Vandella.
Dengan berjalannya waktu, orang-orang yang datang semakin banyak. Hari ini tidak hanya rakyat yang
berdatangan tapi juga para Menteri dan bangsawan-bangsawan. Semua berdatangan ke Istana untuk
menyambut keberadaan Erland di Istana.
Hari ini yang menjadi pusat perhatian adalah Erland.
Altamyra tersenyum senang melihat Erland dengan tangkas menanggapi setiap pertanyaan rakyat.
“Semoga hari ini tidak hujan.”
“Aku pun berharap demikian,” sahut Altamyra, “Pergantian musim selalu membuatku khawatir.”
“Pergantian musim panas selalu menjengkelkan saya.”
Altamyra tertawa geli. “Aku akan selalu ingat ketika engkau baru menjemur baju-baju dan hujan deras
tiba-tiba turun.”
“Saat itu adalah saat yang paling menyebalkan,” Hannah menekankan.
“Melihat langit yang cerah seperti ini, kupikir hari akan cerah.”
“Aku setuju denganmu, Brenda,” sahut Sylta.
“Andai hujan turun, apakah Istana mampu menampung orang sebanyak ini?”
“Dapat, Fred,” jawab Altamyra, “Benarkan itu, Briat?”
“Tentu, Paduka. Istana sangat luas.”
“Untuk kali ini aku bersyukur pada ketamakan serigala itu. Bila bukan karenanya, kita tidak akan dapat
berkumpul di sini. Hari ini jumlah yang hadir jauh lebih banyak dari biasanya.”
“Mereka ingin berjumpa dengan Anda dan Pangeran Erland.”
“Anda berdua dipuja-puja rakyat.”
Tiba-tiba Fred menyahut, “Mengapa kalian tidak menikah?”
Altamyra menatap Fred lalu melihat Erland yang duduk jauh di seberang.
“Benar, Paduka. Anda mencintai rakyat dan Pangeran juga ingin memberikan yang terbaik untuk rakyat.
Anda berdua pasti akan menjadi pasangan yang cocok.”
Altamyra tersenyum melihat Hannah. “Kau benar, Hannah.” Sebelum wanita itu bersorak atas
jawabannya, Altamyra melanjutkan, “Tetapi, kalian tahu apa yang kuinginkan.”
Orang-orang di sekeliling Altamyra kecewa ketika bersama-sama mengatakan kalimat yang sering
diucapkan Altamyra. “Anda tidak akan memperhatikan diri Anda sebelum rakyat makmur.”
Altamyra tersenyum. “Kalian telah mengetahuinya.”
“Paduka, saat ini kehidupan rakyat Vandella mulai mengalami perbaikan. Anda bisa memikirkan diri
Anda.”
Altamyra menatap orang-orang itu. “Mengapa aku merasa kalian seperti seorang ibu yang membujuk
anaknya untuk menikah?”
“Kami melakukan ini untuk kebaikan Anda, Paduka.”
“Apakah Anda mencintai Pangeran?”
Altamyra terkejut. “Bagaimana kalian punya pikiran seperti itu?”
“Jangan berkata seperti itu. Kami, pelayan Istana, tahu kedatangan Anda terlambat dua bulan karena
Anda tinggal di Lasdorf.”
Altamyra tidak menyahuti orang-orang yang berusaha membujuknya itu.
Di kejauhan Erland tidak melepaskan pandangan dari Altamyra. Gadis itu selalu bersinar di manapun ia berada. Tak seorang pun yang memiliki rambut seemas Altamyra. Tak seorangpun semenawan, seanggun
Altamyra.
Tak heran bila ia dikerumuni banyak orang. Mereka mendengarkan apa kata Altamyra dengan penuh
perhatian.
Di antara mereka seperti tidak ada batas antara Ratu dan bawahannya. Mereka seperti sekelompok
rakyat yang sibuk berbincang-bincang.
“Siapa yang Anda lihat, Pangeran?” tanya Nazer.
“Sejak tadi Anda tidak memperhatikan kami,” timpal Hermit.
“Anda belum menjawab pertanyaan terakhir kami.”
“Maaf, apa pertanyaan kalian tadi?”
“Kami bertanya bagaimana cara Anda menyerang lalu menghilang? Kami tidak pernah dapat menangkap
Anda. Kami tidak pernah dapat menduga kapan dan di mana Anda muncul. Anda selalu muncul tiba-tiba
dan menghilang tiba-tiba,” ulang Jenderal Hermit.
“Anda muncul seperti hantu,” tambah Jenderal Duane.
Erland tidak mendengarkan mereka. Perhatiannya terpusat lagi pada Altamyra.
Jenderal Nazer mengikuti pandangan Erland. Ia tersenyum ketika tahu apa yang membuat Erland tidak
menaruh perhatian pada percakapan mereka.
Ratu adalah gadis cantik yang selalu dikerumuni orang. Tua muda, pria wanita, semua ada di sekeliling
Ratu yang menawan itu.
Sedangkan Erland dikelilingi jenderal-jenderal Vandella yang ingin mengetahui siasat perang pria itu.
Siasat perang Erland telah lama membuat mereka kewalahan dan kagum. Sekarang mereka mempunyai
kesempatan untuk menanyakannya. Tapi, Erland tidak memperhatikan.
“Paduka Ratu!” seru Nazer.
Altamyra memandang ke arah asalnya suara itu.
“Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra, datanglah ke sini. Kami ingin berbicara dengan Anda.”
Altamyra bangkit. “Berhentilah menjadi ibu,” katanya sambil tersenyum. Lalu ia meninggalkan
kerumunan orang itu.
“Paduka Ratu!” Kali ini yang memanggil bukan hanya Nazer. Semua yang di sekeliling Erland memanggil
gadis itu.
“Aku datang. Aku datang,” kata Altamyra. Altamyra tidak tahu apa yang membuat para pejabat militer
Vandella itu tidak sabar menantinya. Ia berlari mendekati mereka.
Sebuah panah melesat cepat dan berhenti di dada Altamyra.
Semua orang berteriak terkejut. “Paduka Ratu!!”
Kincaid segera melompat menangkap tubuh Altamyra. “Paduka! Paduka Ratu!” panggilnya cemas.
Tangan Altamyra bergetar ketika ia memegang panah di dadanya. Bibirnya bergetar ketika ia tersenyum.
Altamyra seperti ingin mengucapkan sesuatu.
“Tangkap orang itu!” seru para Jenderal panik.
Tanpa diperintah orang-orang di halaman Istana telah bergerak untuk menangkap orang yang melepas
panah itu.
“K…Kin…c…ca…i…d… j…ja…n…ng…a…n… m…me…” Altamyra jatuh pingsan sebelum
menyelesaikan kata-katanya.
“Paduka!” seru Kincaid.
“Panggil dokter! Cepat panggil dokter!” seru Briat.
“Siapkan kamar Paduka!”
“Bawa Paduka ke kamarnya!”
Teriakan-teriakan panik memenuhi halaman Istana. Semua kebingungan, terkejut, dan khawatir. Semua
berlari ke dalam Istana. Semua panik.
Kincaid segera membopong tubuh Altamyra dan berlari ke kamar gadis itu.
Erland diam terpaku di tempatnya. Ia melihat Altamyra menatapnya ketika panah itu menancap di
dadanya. Ia melihat mata gadis itu bersinar meminta bantuannya sebelum jatuh. Erland terkejut dengan
kejadian sesaat yang merubah suasana hari Minggu ini.
Dokter datang ketika Kincaid baru membaringkan Altamyra di tempat tidur.
Pelayan-pelayan Istana berlari-lari mengantar dokter ke Kamar Tidur Utama. Mereka menarik dokter
itu ke lantai tiga tempat Altamyra berbaring.
Lorong depan kamar Altamyra dipenuhi orang. Di dalam kamar gadis itu juga banyak pelayan wanita.
Semua mengkhawatirkan keselamatan Altamyra.
Satu jam lebih dokter berada di dalam sebelum akhirnya ia keluar.
“Bagaimana keadaan Paduka?” sambut mereka.
“Panah itu menancap tidak terlalu dalam. Dalam waktu singkat, Paduka akan membaik.”
Jawaban itu sedikit melegakan orang-orang itu.
Setelah kepergian dokter, Kincaid memerintahkan pasukan mengawasi Istana secara ketat. Rakyat dimintanya untuk pulang. Pintu gerbang Istana ditutup rapat setelahnya.
Kincaid khawatir orang yang mau membunuh Altamyra datang.
Pria yang terlihat memanah Altamyra, telah ditahan di penjara bawah tanah Istana. Ia menanti keadaan
Altamyra.
Para menteri dan jenderal berkumpul di dalam Kamar Tidur Utama. Mereka percaya Altamyra dapat
sembuh. Semua orang percaya.
“A… apa… yang kalian lakukan di sini?”
Semua terkejut mendengar suara lemah itu.
“Terima kasih, Tuhan. Anda sudah sadar,” pinta Hannah.
“Bagaimana keadaan Anda, Paduka?”
“Aku merasa lemah, Kincaid. Dadaku terasa sakit setiap kali aku berbicara.”
“Dokter mengatakan ujung panah itu menggores paru-paru Anda. Ia menyarankan Anda banyak
beristirahat,” Hannah memberitahu.
“Saya mengaku bersalah, Paduka. Saya tidak dapat menjalankan tugas dengan baik. Saya patut
dihukum.”
“Ini bukan kesalahanmu, Kincaid. Kejadian ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Entah mengapa pada
hari istimewa ini semua terjadi.”
Semua orang berpandang-pandangan.
Nafas Altamyra tersenggal-senggal. Ia seperti kehilangan semua kekuatannya.
“Anda harus beristirahat, Paduka,” kata Hannah.
Altamyra tersenyum lemah. “Kau harus berterima kasih padanya, Kincaid. Kalau bukan karenanya, aku
tidak akan mau beristirahat seperti ini.”
“Jangan terlalu banyak berbicara, Paduka. Anda akan memperparah luka Anda.”
Altamyra tersenyum melihat menteri-menterinya.
“Keluarlah kalian. Biarkan Paduka beristirahat,” kata Hannah.
“Selamat beristirahat, Paduka,” kata mereka.
Mereka meninggalkan Kamar Tidur Utama dan berkumpul di Ruang Rapat.
“Apakah menurutmu Pangeran yang melakukannya?”
“Tidak mungkin, Rasputin.”
“Mungkin saja, Ludwick. Sejak Pangeran masuk Istana, ia dan Paduka Ratu seperti saling menjauhi.
Paduka Ratu berkata ingin mengajak Pangeran berdamai, tapi sejak Pangeran memasuki Istana, mereka
tidak pernah berunding.”
“Mengapa kejadian ini muncul saat Pangeran ada?”
“Mengapa hari-hari yang lalu tidak pernah terjadi?”
“Bila Pangeran ingin membunuh Paduka Ratu, ia tentu sudah melakukannya sejak lama. Ia takkan
melakukannya saat Ratu berada di antara orang banyak. Kalau aku adalah Pangeran, aku akan
membunuhnya saat aku berdua dengan Ratu.”
“Kalau berdua, Ratu tidak akan mendapatkan pertolongan,” timpal Ludwick.
“Bila bukan Pangeran, siapa yang ingin membunuh Ratu? Siapa yang membenci Ratu?”
Mereka saling menatap dengan bingung.
“Menurut saya, kita harus memeriksa orang ini dan menanti keputusan Ratu.”
“Aku setuju denganmu, Kincaid. Tapi menurutku kita tidak perlu menanti Ratu pulih. Masalah ini adalah
masalah gawat. Ratu pasti mengerti.”
“Kalau Ratu mengetahui masalah ini, ia pasti tidak akan berdiam diri. Ia akan memperburuk
keadaannya.”
“Hingga Ratu pulih, kita harus memperketat penjagaan Istana.”
“Mulai saat ini saya akan selalu berada di sisi Paduka,” janji Kincaid.
-----0-----
Altamyra terjaga.
Altamyra tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Hari beranjak malam ketika Hannah memberinya
obat dan menyuruhnya tidur. Sekarang matahari telah menerangi ruang tidurnya.
“Jadi, apa yang sekarang mereka lakukan?”
Altamyra menajamkan pendengarannya.
“Hari ini para Menteri membuka sidang. Mereka akan mengadilinya. Mereka juga mengikutsertakan
Pangeran untuk membuktikan keterlibatan Pangeran.”
“Menurutmu, Kincaid, apakah Pangeran terlibat dengan usaha pembunuhan ini?”
Altamyra terbelalak kaget mendengarnya. Ia meninggalkan tempat tidurnya.
Altamyra membuka pintu yang menghubungkan ruang duduk dan ruang tidur kamarnya. Ia berlari
menuju pintu depan.
“Paduka Ratu!” Hannah terlonjak kaget. “Anda mau ke mana?”
Altamyra menghilang di balik pintu.
“Cepat kejar dia!” teriak Sylta panik.
Kincaid melompat dan segera mengejar Altamyra.
Altamyra memegang dadanya yang terasa sakit. Nafasnya tersenggal-senggal tapi ia tidak berhenti.
Siapa pun orang itu, Altamyra ingin menolongnya. Altamyra melihat orang itu sebelum ia jatuh. Ia melihat
kepanikan di wajahnya. Rasa panik itu tidak akan muncul pada seorang pembunuh.
Altamyra yakin ada orang yang menyuruhnya. Para menterinya tidak akan mempedulikan hal itu. Siapa
yang disuruh dan siapa yang menyuruh tidak akan mereka pedulikan.
Altamyra terus berlari sambil berpegangan pada tembok hingga ia tiba di Ruang Tahta.
“HENTIKAN!”
Semua yang ada di dalam Ruang Tahta membelalak kaget melihat Altamyra.
Altamyra melihat seorang pria yang terikat di tengah ruangan.
“Beraninya kalian melakukan sesuatu di luar sepengetahuanku!”
“Paduka!” seru Kincaid cemas.
Nafas Altamyra tersenggal-senggal ketika ia memasuki ruangan. Badannya limbung. Wajahnya pucat
pasi.
Kincaid mendekati Altamyra tapi gadis itu menepis tangannya.
“Maafkan kami, Paduka. Kami tidak ingin merepotkan Anda.”
“Bebaskan dia!”
“Paduka!” Menteri-menteri itu terkejut, “Ia berusaha membunuh Anda.”
“Aku perintahkan lepaskan dia!” seruan Altamyra memenuhi ruangan.
Semua menatap Altamyra.
Altamyra murka melihat tidak ada yang bergerak.
“Dia tidak bersalah! Dia tidak diperintah oleh Erland untuk membunuhku! Bagaimana kalian pantas disebut menteri bila tidak dapat melihat kebenaran!?”
Para prajurit segera membuka ikatan orang itu.
“Pergilah,” kata Altamyra lembut pada orang itu.
Pria itu melihat Altamyra dengan ketakutan.
Sekali lagi Altamyra berkata lembut, “Cepat pergilah.”
Pria itu berdiri dan berlari menuju pintu. Prajurit segera menghadang pintu.
“Cukup!” bentak Altamyra murka, “Biarkan dia pergi!”
Prajurit-prajurit itu memandang para menteri.
“BIARKAN DIA PERGI!” seru Altamyra dengan seluruh kekuatannya.
Tiba-tiba Altamyra batuk.
Semua terkejut melihat Altamyra memuntahkan darah merah segar.
“Paduka Ratu…”
Altamyra menutup mulutnya dan berusaha menghentikan batuknya yang semakin parah. Tiba-tiba gadis
itu jatuh. Darah membasahi gaunnya dan menodai rambutnya yang keemasan. Tangannya yang
berlumuran darah, membuat lantai menjadi merah.
Altamyra melihat pria itu masih berada di Ruang Tahta. Altamyra menahan badannya dengan kedua
tangannya yang bergetar hebat.
Pandangan Altamyra melembut ketika berkata, “Pe…per…r…g…i…lah…
Kee…l…ua…rr…g…am……mmu p…pa…st…i… m…menn…ce…mma…ska…nnmu….”
Pria itu dengan ketakutan berlari menuju pintu.
Kincaid mendekati Altamyra.
“B…bi…a…r…r…ka…n… d…di…a… p…pper…g…i…”
“Tentu, Paduka.”
Altamyra jatuh pingsan di pelukan Kincaid.
Rasputin segera bertindak. “Cepat ikuti pria itu. Ia akan membawa kita pada majikannya.”
Kincaid mengangkat Altamyra. “Aku akan membawa Paduka ke kamarnya.”
“Panggil dokter.”
Erland mematung. Sepatah katapun tidak terlontar dari mulutnya. Ia diam melihat Altamyra dibopong pergi.
Tak lama kemudian dokter datang. Ia memberi Altamyra obat penenang sebelum meninggalkan Istana
Azzereath.
Sepanjang hari itu Altamyra terus tertidur. Ia baru bangun keesokan harinya.
Sinar matahari yang menyilaukan membuatnya memejamkan mata untuk sesaat. Setelah beberapa saat
Altamyra terbiasa dengan sinar yang menyilaukan itu.
Altamyra melihat Sylta memasuki ruang tidurnya.
“Sylta…”
“Anda sudah bangun, Paduka?” Sylta mendekati Altamyra.
“Hari apa ini? Sekarang pukul berapa?”
“Hari ini hari Selasa dan saat ini sudah pukul sembilan pagi.”
“Aku harus ke Ruang Rapat.”
“Jangan melakukan itu, Paduka!” seru Sylta kaget, “Dokter berpesan Anda harus berada di tempat tidur
sampai Anda benar-benar pulih.”
Seruan kaget Sylta membuat Hannah datang. “Ada apa?”
“Paduka ingin ke Ruang Rapat,” Sylta melaporkan.
“Hari ini aku ada rapat dengan para menteri,” Altamyra memberitahu.
“Dokter menegaskan Anda tidak boleh meninggalkan tempat tidur, Paduka,” kata Hannah, “Tindakan
Anda kemarin membuat goresan luka di paru-paru Anda membesar. Nyawa Anda berada dalam bahaya
bila Anda bertindak seperti kemarin. Dokter menekankan kami untuk mencegah Anda berbicara banyak
dan berbuat banyak. Ia khawatir semua itu akan memparah luka di paru-paru Anda.”
“Aku pun merasa sangat lelah bila engkau menentangku, Hannah,” kata Altamyra lemah.
“Tidak seorang pun yang akan hadir, Paduka,” kata Hannah, “Mereka tahu Anda terlalu lemah untuk
rapat.”
Altamyra tersenyum misterius. “Kemarin malam saat aku terjaga, aku memerintahkan prajurit untuk
memberitahu mereka bahwa rapat hari ini tetap berjalan.”
“Anda harus ingat kata dokter, Paduka.”
“Hari ini aku tidak akan berbicara. Rapat hari ini aku akan mendengarkan.”
“Biarlah Pangeran menggantikan Anda.”
“Harus aku yang memimpin rapat kali ini,” Altamyra menyingkap selimutnya.
Sylta cepat-cepat membantu Altamyra.
Hannah mengambilkan mantel gadis itu. “Tidak ada yang bisa mencegah Anda,” katanya ketika
mengenakan mantel itu pada Altamyra.
Altamyra tersenyum.
“Kincaid!” panggil Hannah.
Altamyra memandang Hannah dengan heran.
“Ada apa?”
“Gendong Paduka ke Ruang Rapat.” Hannah tersenyum pada Altamyra, “Anda tidak harus berjalan
untuk ke sana.”
Altamyra tertawa geli. Tiba-tiba ia mulai batuk.
“Paduka,” kata Sylta cemas sambil menepuk punggung Altamyra.
Nafas Altamyra tersenggal-senggal setelahnya.
“Anda benar-benar dapat melakukannya?” tanya Sylta cemas, “Mengapa Anda tidak menyuruh Kincaid
meminta mereka kembali?”
Altamyra tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan lemah. Kemudian menatap Kincaid.
Kincaid segera mendekat. “Maafkan saya, Paduka.”
Altamyra melingkarkan lengannya di leher pria tengah baya itu.
“Kurasa aku harus mengganti jabatanmu, Kincaid. Mulai hari ini aku mengganti kedudukanmu dari
Kepala Pengawal Istana menjadi Pembopong pribadiku.”
Kincaid tersenyum lalu ia membawa Altamyra meninggalkan Kamar Tidur Utama.
Hannah menatap cemas kepergian mereka tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Beberapa saat kemudian Altamyra telah duduk di kursi tingginya di Ruang Rapat. Altamyra duduk
menanti kedatangan para menteri.
Beberapa saat kemudian terdengar keributan di luar Ruang Rapat.
“Undang mereka untuk masuk,” kata Altamyra lemah.
“Baik, Paduka.”
Kincaid segera keluar.
“Apakah Paduka Ratu sanggup memimpin rapat?”
“Aku masih ingat kemarin beliau tampak sangat pucat dan lemah.”
“Apakah baik bila rapat tetap berlangsung?”
“Paduka Ratu telah menanti Anda di dalam.”
Para Menteri itu terkejut.
Kincaid membuka pintu lebar-lebar.
Seorang gadis dalam mantel coklatnya duduk di kursi tinggi. Ia tersenyum lemah pada mereka.
Wajahnya yang pucat tidak menghilangkan kecantikkannya.
“Selamat siang,” sapa Altamyra lemah.
“Selamat siang, Paduka,” balas mereka.
Mereka menatap Altamyra dengan cemas. Tubuh kecil yang duduk di kursi itu tampak lemah. Wajah
pucat Altamyra mengkhawatirkan mereka. Nafasnya terlihat pendek. Ia seperti kesulitan untuk
menghirup udara.
“Silakan kalian memulai laporan kalian,” kata Altamyra lemah.
Kincaid memandang semua menteri itu dan berharap mereka mengerti apa yang harus dilakukan.
Mereka mengetahui keadaan Altamyra yang lemah. Tanpa membuang waktu, mereka segera
melaporkan pelaksanaan semua keputusan Altamyra dan undang-undang baru. Bergantian mereka
berdiri dan membacakan laporan mereka.
Altamyra mendengarkan dengan penuh perhatian.
Duduk dan mendengarkan dengan penuh perhatian, membuatnya merasa sangat lelah. Altamyra tidak
menyukai keadaannya yang lemah seperti ini. Tubuhnya hanya menghambat kegiatannya yang banyak.
Kincaid melihat nafas Altamyra semakin pendek. Gadis itu tersenggal-senggal dan wajahnya semakin
pucat. Keringat dingin bercucuran di dahinya.
Para Menteri juga melihatnya. Mereka menatap Altamyra dengan cemas.
“Anda baik-baik saja, Paduka?” tanya mereka cemas.
Altamyra menggelengkan kepalanya dengan lemah. Ia merasa terlalu lemah untuk berbicara.
“Sebaiknya Anda beristirahat demi kesehatan Anda.”
“Biarlah rapat ini dihentikan sampai di sini. Kami tidak akan bisa mencurahkan seluruh perhatian kami
pada rapat ini bila Anda seperti ini. Jangan sampai keadaan Anda menjadi semakin parah karena rapat
ini.”
“Rakyat Vandella membutuhkan Anda, Paduka. Anda harus memperhatikan kesehatan Anda.”
“Kesehatan Anda di atas segala-galanya.”
“Rapat ini bisa kita lanjutkan bila keadaan Anda telah membaik.”
Altamyra terharu ketika memandang para menterinya.
“Mereka benar, Paduka. Sebaiknya Anda kembali ke kamar Anda,” kata Kincaid.
Altamyra mengulurkan tangannya dan Kincaid menyambutnya dengan menggendong Altamyra.
“Masalah kemarin…”
“Jangan khawatir, Paduka,” sahut Rasputin, “Kami telah melakukan penyelidikan. Hari ini kami akan
membuka sidang untuk memeriksa kejadian hari Minggu itu.”
“Anda tidak perlu turun tangan,” tambah Danilo, “Pangeran Erland bisa menggantikan Anda dalam
persidangan itu.”
“Benar,” sahut Noah, “Pangeran pasti bisa.”
“Pangeran Erland mendorong kami untuk segera menyelesaikan masalah ini,” sambung Rasputin.
“Ia ingin segera menangkap orang di balik usaha pembunuhan terhadap Anda ini,” Ludwick
menekankan.
Altamyra tersenyum. Ia tahu Erland pasti akan melakukannya. Bukan karena mengkhawatirkannya tetapi
karena ingin membersihkan nama dari tuduhan itu. Dan kesadaran itu membuat hatinya sakit.
“Kami pasti akan melaporkan hasil persidangan itu pada Anda,” Rasputin menegaskan.
Altamyra tersenyum lembut pada mereka seperti matanya yang bersinar penuh kerinduan. “Kalian sangat
memperhatikan aku. Kalian selalu mengerjakan tugas dengan baik. Aku sangat senang mempunyai
menteri seperti kalian. Aku takkan melupakan kalian.”
Altamyra mengangkat kepalanya dan berkata, “Antarkan aku, Kincaid.”
“Baik, Paduka.”
Kincaid membawa Altamyra meninggalkan Ruang Rapat.
“Mengapa aku merasa Paduka Ratu seperti akan meninggalkan kita untuk selama-lamanya?”
“Jangan berbicara seperti itu, Danilo!” hardik Noah.
Dewey berkata, “Kita semua tidak ingin Paduka Ratu pergi.”
“Paduka Ratu juga tidak akan meninggalkan kita,” kata Toed.
“Jangan berpikir yang aneh-aneh,” potong Rasputin, “Kita harus segera melanjutkan pemeriksaan dan
membuka persidangan.”
Altamyra sudah sangat lemah ketika Kincaid membaringkannya di tempat tidur.
Hannah segera menghilang bersama Sylta tetapi tak lama kemudian mereka muncul bersama senampan
makanan.
Seperti seorang bayi, Altamyra membiarkan makanan terus disuapkan ke mulutnya. Altamyra merasa
terlalu lemah untuk melawan. Ia sangat lelah dan ingin segera beristirahat.
Hannah menyuapkan makanan hingga pada suapan yang terakhir.
Sylta segera menyediakan obat Altamyra setelahnya. Ia mengangkat tubuh lemah Altamyra dan berkata,
“Minumlah, Paduka. Setelah itu Anda harus tidur.”
Altamyra meminum obatnya tanpa berkata apa-apa.
Sylta kembali membaringkannya. Wanita itu merapikan selimutnya lalu merapikan kembali meja di
samping tempat tidur Altamyra dari piring-piring.
“Tidurlah yang nyenyak. Kami ada di ruang duduk bila Anda membutuhkan kami,” kata Hannah.
Dengan pandangan matanya, Altamyra tersenyum melihat kepergian mereka.
Belum lama Altamyra terbaring, dokter datang.
Altamyra membuka matanya mendengar langkah-langkah kaki di dekatnya dan suara orang berbicara.
Seorang pria berjenggot putih tersenyum padanya.
“Bagaimana keadaanku?”
“Dengan sangat menyesal, saya mengatakan keadaan Anda tidak membaik sejak kemarin. Pelayan
Anda memberitahu tadi pagi Anda menghadiri rapat. Itu adalah tindakan yang dapat membahayakan
Anda.”
Altamyra tersenyum lemah. “Kalau bukan aku, siapa yang dapat melakukannya?”
“Saya tahu Anda adalah gadis yang tangkas. Anda tidak pernah bisa dibuat diam, bukan?”
“Anda telah mengetahuinya.”
“Saya pikir satu-satunya yang bisa membuat Anda diam adalah memberi obat tidur pada Anda.”
“Kupikir obat tidur juga tidak bermanfaat banyak. Aku tidak pernah tidur selama yang diharapkan
setelah minum obat tidur. Anda bisa menanyakannya pada Hannah.”
“Pelayan Anda telah memberitahu saya kalau kemarin malam Anda terjaga dan memulai kesibukan
Anda. Ia terpaksa memberi Anda obat tidur lebih banyak agar Anda benar-benar tidur sampai pagi.
Sepertinya saya harus memperbesar dosisnya.”
“Apakah Anda yakin bisa berhasil?” tanya Altamyra, “Terlalu banyak yang harus saya lakukan hingga alam bawah sadar saya pun tahu saya tidak bisa tidur terlalu lama.”
“Anda harus banyak beristirahat, Paduka,” Dokter mengingatkan. “Celaka!” seru Dokter kaget.
Altamyra kebingungan.
“Berbicara dengan Anda sangat menyenangkan tetapi saya tidak boleh mengajak Anda terlalu banyak
berbicara. Anda harus banyak menghemat nafas Anda sampai luka di paru-paru Anda sembuh.”
Altamyra tersenyum.
“Selamat beristirahat, Paduka. Besok saya akan kembali untuk memeriksa keadaan Anda.”
“Terima kasih, Dokter.”
Pria tua itu segera meninggalkan Altamyra sendirian di kamarnya.
Altamyra tidak kembali tidur seperti saran Dokter. Ia menanti kedatangan Kincaid yang telah berjanji
akan segera memberitahunya hasil pemeriksaan para Menteri.
Seusai pelayan membersihkan Altamyra dan mengganti perbannya, Kincaid datang menghadap.
“Bagaimana persidangannya?” tanya Altamyra.
“Persidangan berjalan dengan lancar, Paduka. Pangeran Erland yang memimpin sidang itu,” Kincaid
memulai laporannya, “Sebenarnya setelah Anda melepaskan pria itu, Rasputin menyuruh prajurit
mengikuti pria itu.”
“Menurut Rasputin, pria itu akan segera menemui orang yang menyuruhnya setelah meninggalkan Istana.
Dugaan Rasputin benar. Pria itu tidak segera pulang tetapi menemui tuannya.”
“Setelah mendapat laporan prajurit, Rasputin segera memerintahkan penangkapan keluarga Apaleah.”
Altamyra terkejut tetapi ia tidak berkata apa-apa.
“Dalam sidang tadi, pria itu mengakui ia melakukannya karena diperintah Duke Apaleah. Duke mulanya
tidak mengakui perbuatannya itu. Tetapi, Pangeran Erland berhasil membuat putrinya mengaku. Pangeran
mencabut gelar Duke Apaleah dan memenjarakan mereka di penjara Perenolde. Baru saja kemenakan
Duke diangkat menjadi Duke Apaleah yang baru.”
“Pria itu?”
“Pangeran mengatakan pria itu juga bersalah karena telah mau melakukan perbuatan yang melanggar
hukum. Anda tidak perlu khawatir, Paduka. Pangeran memberinya keringanan. Ia tidak dipenjara selama
Duke Apaleah dan Putri Prischa.”
“Terima kasih, Kincaid. Engkau tidak lupa memberitahuku.”
“Saya tidak akan melupakan janji saya pada Anda, Paduka.”
“Aku ingin engkau berjanji lagi padaku.”
“Hamba siap melakukan apa pun untuk Anda, Paduka.”
Altamyra tersenyum. “Aku senang mempunyai prajurit seperti engkau. Azzereath patut berbangga atas
kesetiaanmu.”
Kincaid ingin mengatakan sesuatu tetapi Altamyra mendahului.
“Aku ingin engkau mengantarkan sebuah surat pada Ludwick hari ini juga.” Altamyra mengulurkan
tangan ke meja di samping tempat tidurnya. Ia mengambil surat yang baru ditulisnya dan menyerahkannya
pada Kincaid.
“Berjanjilah surat itu akan tiba di tangan Ludwick malam ini juga.”
“Hamba akan melakukan tugas sebaik-baiknya.”
Altamyra menutup matanya. “Aku lelah, Kincaid. Aku ingin beristirahat.”
“Hamba mengerti, Paduka. Hamba tidak akan menganggu Anda lagi. Selamat beristirahat.”
Altamyra mengawasi kepergian Kincaid.
Altamyra tidak pernah menyangka Duke Apaleah dan putrinya akan merencanakan pembunuhan
terhadapnya.
“Rupanya aku terlalu sibuk hingga melupakan mereka,” katanya pada dirinya sendiri.
Prischa adalah Ratu Vandella bila ia tidak ada. Ambisi Duke Apaleah untuk menjadikan putrinya sebagai
Ratu Vandella telah terlihat ketika mereka bertemu.
Di mata Duke, Altamyra yang dibesarkan di desa terpencil, tidak pantas menjadi Ratu Vandella.
Prischa, putrinya yang telah mendapatkan pendidikan terbaik di negeri ini yang pantas memerintah
kerajaan ini.
Duke Apaleah sangat cerdik. Ia memanfaatkan keberadaan Erland di Istana Azzereath. Ia ingin Erland
yang dipersalahkan dalam usaha pembunuhan ini. Ia berhasil andaikata Altamyra tidak segera bertindak.
Sayangnya, Altamyra telah mempercayai Erland dan ia mencintai pria itu. Altamyra takkan membiarkan
orang-orang menuduh Erland tanpa bukti yang kuat.
Rakyat Vandella tahu antara Erland dan Altamyra terdapat permusuhan yang kental. Permusuhan itu
adalah peninggalan Raja Wolve.
Semua mata akan tertuju pada Erland bila Altamyra terbunuh saat pria itu ada di Istana. Apalagi saat itu
Altamyra tengah berlari menuju Erland.
Semua itu terkesan Erland sengaja memanggil Altamyra untuk menjauhkannya dari kerumunan orang
banyak. Dan, ketika Altamyra sedang berlari, panah dilepaskan.
Rencana yang sangat sempurna. Dengan kematian Altamyra, Prischa akan menjadi Ratu Vandella. Dan,
Duke akan tersenyum sangat puas. Sekali bertindak, ia membuang dua penghalang besarnya, Altamyra dan Erland, dan memenuhi impiannya, menjadikan putrinya sebagai Ratu Vandella.
Tidak akan ada orang yang berani melawan setelah Erland – pahlawan yang paling dipuja rakyat
Vandella – dihukum mati.
Altamyra merasa lega. Hasil persidangan telah keluar. Semua yang bersalah telah mendapat ganjarannya.
Tidak ada saat yang paling melegakan Altamyra selain saat ini. Semua tugasnya telah usai dan ia bisa
pergi dengan tenang.
13
“YANG MULIA PADUKA RATU ALTAMYRA MENGHILANG!” seru para Menteri kaget.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Dewey panik. “Uskup Agung telah datang. Beberapa saat lagi ia
akan tiba di Katedral Kerasithui.”
Menteri-menteri itu berpandang-pandangan dengan cemas.
“Bagaimana Ratu menghilang?” tanya Rasputin.
“Saya tidak tahu,” jawab Kincaid, “Kemarin malam saya masih berbicara dengannya. Beberapa pelayan
juga sempat berbicara dengan Paduka Ratu sebelum Ratu tidur.”
“Apakah ia tidak diculik?” tanya Noah.
“Tidak,” jawab Kincaid, “Sejak hari Minggu saya memperketat penjagaan di Istana khususnya di
Kamar Tidur Utama.”
“Kau yakin?”
“Saya sangat yakin.”
“Bagaimana mungkin Ratu bisa menghilang? Apakah kalian telah mencarinya di seluruh Istana? Mungkin
saja Paduka Ratu berada di suatu tempat di Istana ini.”
“Mulai pagi tadi kami terus mencari di seluruh pelosok Istana, tetapi hingga kini kami tidak
menemukannya.”
“Apakah tidak ada yang melihat kepergian Ratu?”
“Tidak.”
“Apakah mungkin seseorang pergi tanpa meninggalkan jejak?”
Dewey semakin panik. “Bagaimana ini? Beberapa saat lagi Bapa Paus akan tiba di sini.”
“Apakah kita harus menundanya?”
“Tidak,” sahut Dewey, “Kita tidak bisa. Demi permintaan Ratu Altamyra, Bapa Paus telah
menyempatkan diri untuk datang. Tidak mungkin kita membatalkannya.”
“Kita tidak bisa membatalkan acara ini,” sambung Toed, “Para undangan sudah tiba dan semuanya telah
dipersiapkan dengan matang.”
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Dewey panik.
Ruang di belakang altar Katedral Kerasithui menjadi ramai.
“Jangan khawatir!”
Semua memandang Ludwick yang terengah-engah di ambang pintu.
“Maaf aku terlambat. Aku baru saja berangkat ke sini ketika aku teringat aku harus ke Istana mengambil
surat pernyataan Paduka Ratu.”
“Ratu menghilang, Ludwick,” Noah memberitahu dengan panik.
Ludwick terkejut.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tidak bisa membatalkan rencana ini.”
“Jangan panik, Dewey,” kata Ludwick, “Paduka Ratu telah memintaku menggantikannya dalam acara
ini.”
Semua menatap tajam Ludwick. “Kau tahu di mana Ratu berada?”
“Tidak,” jawab Ludwick, “Ratu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menyuruhku menggantikannya
dalam acara ini. Ketika membacanya, aku pikir Ratu benar. Ia terlalu lemah untuk hadir dalam acara ini
tetapi ia tidak bisa membatalkannya. Sedikitpun aku tidak berpikir Ratu akan menghilang.”
“Apa yang harus kita katakan pada Bapa Paus?”
“Menurutku, sebaiknya kita mengatakan Ratu sakit sehingga ia tidak dapat memberikan pernyataan
turun tahtanya ini.”
“Turun tahta?” seru semua yang ada di ruang kecil itu terkejut.
“Kalian belum tahu?” tanya Ludwick heran.
“Hanya engkau saja yang tahu?” Mereka balas bertanya.
“Aku pikir Ratu telah memberitahu rencananya ini pada kalian.”
“Apa yang Ratu rencanakan?” tanya mereka tidak sabar.
“Ratu ingin Pangeran Erland menggantikannya memerintah Vandella. Ratu berkata Pangeran Erland lebih
pantas daripada dia. Ratu tidak mengetahui Vandella sebaik Pangeran. Pangeran dibesarkan di Vandella
sedangkan Ratu di luar negeri. Bagi Ratu, daerah-daerah Vandella sangat asing.”
“Bagaimana Ratu bisa berpikir seperti itu?”
“Membantahnya sekarang tidak ada gunanya lagi,” kata Ludwick sedih, “Aku telah mencoba
menghentikan Ratu tetapi ia tetap melanjutkannya. Ia sendiri yang mengirim surat pada Bapa Paus untuk
datang ke sini dan menobatkan Pangeran menjadi Raja Vandella. Ratu pula yang menyebarkan undangan
pada kerajaan-kerajaan lain dan pada bangsawan-bangsawan Vandella.”
“Aku yakin Ratu tidak memberitahu rencananya ini pada mereka kecuali pada Sri Paus.”
“Ratu suka memberi kejutan,” Ludwick sependapat.
“Bapa Paus telah tiba,” lapor seorang prajurit.
Menteri-menteri itu terlonjak kaget. Mereka cepat-cepat keluar dari pintu belakang untuk menyambut
Bapa Paus.
“Saya mewakili Paduka Ratu meminta maaf,” kata Dewey, “Saat ini Ratu sakit sehingga ia tidak dapat
menyambut Anda.”
Bapa Paus tersenyum penuh kasih. “Saya mengerti. Semoga Ratumu segera sembuh.”
Dewey mengantar Bapa Paus ke dalam Katedral.
Sebelum Bapa Paus memulai upacara penobatan Erland, Ludwick membacakan surat pernyataan turun
tahta Altamyra.
Hari ini dalam kesempatan ini, saya, Altamyra menyatakan diri turun tahta. Untuk selanjutnya,
pemerintahan Vandella akan dipegang oleh Pangeran Erland, pria yang saya ketahui akan membawa
Vandella ke arah perbaikan yang lebih baik daripada saya, orang asing di Vandella. Dengan segala
hormat, saya mengucapkan terima kasih atas dukungan Anda semua selama pemerintahan saya. Saya
berharap Anda terus mendukung kerajaan Vandella. Semoga Pangeran Erland dapat membawa Vandella
pada kehidupan yang lebih baik.
“Demikian pernyataan Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” Ludwick mengakhiri.
Suara riuh memenuhi Katedral Kerasithui. Semua orang terkejut mendengar pernyataan itu. Semua
orang tidak menyangka.
Kedudukan Altamyra sebagai Ratu Vandella sangat kuat. Rakyat tidak mengharapkan Altamyra turun
tahta. Rakyat mendukungnya dan mencintainya.
Rakyat Vandella telah melupakan kenyataan bahwa Altamyra adalah putri Raja yang mereka benci.
Mereka hanya tahu Altamyra adalah ratu mereka, bidadari mereka yang cantik dan penuh kasih.
Altamyra adalah ratu yang selalu bersinar di hati rakyat Vandella.
Uskup Agung segera memulai upacara penobatan Erland.
Semua orang terdiam hingga Uskup Agung memasangkan mahkota Kerajaan Vandella yang gemerlapan
di kepala Erland.
Sebagai pengganti Altamyra, Ludwick memasangkan jubah kebesaran Raja pada pria itu.
“Mulai saat ini kami, rakyat Vandella mengakui Anda sebagai Raja kami, pemimpin kami,” kata
Ludwick.
Semua orang memberi selamat pada Erland. Semua berpikir Erland bahagia karena keinginannya untuk
memerintah Vandella telah tercapai.
Tapi tak seorang pun yang tahu perasaan Erland.
Sejak mendengar berita menghilangnya Altamyra, hatinya terus bergolak cemas. Ia bingung atas semua
yang terjadi. Ia tidak tahu lagi apa yang direncanakan Altamyra.
Altamyra seperti tidak ingin menunjukkan bahwa ia memberikan tahta pada Erland. Altamyra ingin
rakyat tahu Erland mendapatkan tahta Vandella karena perjuangannya. Altamyra tidak ingin membuat
pandangan rakyat terhadap Erland turun karena ialah yang memasangkan jubah kebesaran Raja pada
pria itu.
Setelah melihat sendiri bagaimana Altamyra berusaha menyelamatkan orang yang telah memanahnya,
Erland melihat Altamyra sungguh-sungguh mencintai rakyatnya. Saat itu Erland akhirnya tahu Altamyra
berbeda dengan apa yang dibayangkannya.
Keyakinannya itu diperkuat dengan berita yang muncul di koran-koran keesokan harinya.
Semua koran secara besar-besaran menceritakan kehidupan Altamyra sebelum menjadi Ratu Vandella.
Mereka menuliskan bagaimana Altamyra menolak pulang ke Vandella walaupun itu demi menjadi Ratu
yang membuat hidupnya lebih bahagia daripada hidup penuh kesulitan di desa Marshwillow.
Hannah telah bercerita banyak pada koran-koran bagaimana Altamyra membenci ayahnya hingga ingin
melupakan jati dirinya sebagai Putri Kerajaan.
Bila boleh memilih, Altamyra pasti memilih menjadi rakyat biasa. Namun, demi rakyat Vandella yang
menderita, gadis itu kembali.
Keinginannya untuk hidup sebagai rakyat biasa sangat kuat. Setelah memperbaiki semuanya, ia
memberikan tahta pada orang yang menurutnya pantas. Tetapi, Altamyra tidak menyadari dirinya sendiri
pantas memerintah Vandella.
Dengan pendidikannya sebagai anak desa terpencil, Altamyra membuat semua orang kagum padanya.
Menteri-menteri telah lama mengagumi Altamyra dan mereka terus mengagumi gadis itu hingga kini.
Kekaguman dunia pada Altamyra yang pandai sangat besar. Semua tidak percaya Altamyra dibesarkan
di desa kecil tetapi Hannah, sang pelayan membuat mereka percaya. Hannah adalah saksi kehidupan
Altamyra yang penuh kesusahan di masa lalu.
Altamyra menghilang seperti angin tetapi semua orang tetap mengenangnya. Dunia mengenangnya
sebagai Ratu muda yang sangat cantik. Rakyat Vandella mengenang Altamyra sebagai bidadari cantik
yang memberikan banyak anugerah kepada mereka.
Bidadari itu akan terus tersimpan di dalam hati rakyat.
Kepergian Altamyra yang tanpa jejak membuat rakyat berpikir gadis itu benar-benar seorang bidadari.
Setelah menyelesaikan tugasnya, ia kembali ke tempatnya. Ia meninggalkan Hannah di tempat kelahiran
wanita itu.
Erland tidak mau mempercayai semua itu. Ia yakin Altamyra masih ada di dunia ini di suatu tempat.
Entah di mana pun itu. Gadis itu masih ada.
Mengingat kondisinya yang sangat lemah, Erland yakin gadis itu tidak jauh.
Siang hari seusai penobatannya, seorang pelayan mengantarkan surat padanya.
“Ada surat untuk Anda, Paduka.”
Erland membukanya tanpa banyak berbicara.
Saya mengucapkan selamat atas penobatan Anda, Pangeran. Saya percaya Anda akan menjadi Raja
yang baik bagi Kerajaan ini.
Altamyra
“Altamyra!” kata Erland terkejut. “Di mana dia?”
“Hamba tidak tahu, Pangeran.”
“Surat ini,” Erland mengibaskan surat di tangannya, “Bagaimana surat ini bisa sampai padamu? Altamyra
yang memberikannya padamu?”
“Benar, Paduka Ratu yang memberikan surat itu pada saya.”
“Engkau orang terakhir yang melihat Altamyra,” kata Erland, “Engkau pasti tahu ke mana dia pergi!”
“Tidak, Paduka. Paduka Ratu Altamyra memanggil saya beberapa saat sebelum para pelayan datang.
Beliau meminta saya menyerahkan surat ini pada Anda setelah Anda pulang dari Katedral Kerasithui.”
Erland sedih. Satu-satunya orang yang dikiranya dapat menjadi petunjuk di mana Altamyra berada,
ternyata bukan orang terakhir yang melihat Altamyra. Orang terakhir yang melihat Altamyra adalah
pelayan-pelayan gadis itu.
Hingga hari ini mereka mengatakan mereka terus berada di sisi Altamyra hingga gadis itu tertidur.
Setelah itu tidak ada lagi yang melihat Altamyra.
Kemunculan Altamyra mengejutkan Vandella. Kepergiannya pun mengejutkan. Semasa ia memerintah,
ia juga membuat banyak kejutan. Altamyra adalah gadis yang senang memberi kejutan.
Cara Altamyra masuk ke dalam kehidupan Erland mengejutkan. Caranya keluar dari kehidupan Erland
juga mengejutkan.
Semakin mengingat keadaannya yang lemah, semakin ingin Erland menemukan Altamyra.
Erland yakin Altamyra belum jauh dari Istana Azzereath. Ia telah memerintahkan seluruh pelosok
Perenolde diperiksa. Tetapi, hasilnya nihil.
Tidak seorang pun melihat Altamyra.
Pernah suatu kali Erland memergoki Briat menolak seorang tamu.
“Mengapa engkau menolaknya, Briat?” tanya Erland murka, “Engkau tidak berhak melakukan itu.
Akulah yang memutuskan akan menerimanya atau tidak.”
“Maafkan saya, Paduka,” kata Briat, “Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra memberi saya wewenang
untuk menolak segala bentuk lamaran terhadapnya.”
Erland terkejut.
“Seminggu setelah Ratu memerintah, banyak surat lamaran yang datang. Banyak juga utusan yang datang
hendak melamar Paduka Ratu, tetapi Paduka Ratu menolak semuanya. Paduka Ratu berkata, ia tidak
bisa menikah dengan siapapun sebelum rakyat Vandella makmur. Beliau meminta saya mengatakan itu
pada mereka sebagai jawabannya.”
Erland semakin ingin menemukan Altamyra. Erland tidak ingin pria lain mendapatkan Altamyra. Ia tidak
dapat hidup bila tahu ia tidak dapat memiliki gadis itu.
Sekarang Erland merasa menyesal. Andai dulu ia tidak segera memutuskan untuk menyambut serangan
pasukan kerajaan, sekarang Altamyra adalah istrinya yang resmi baik secara hukum maupun agama.
Altamyra salah bila mengatakan pernikahan mereka tetap tidak resmi secara hukum bila mereka telah
menandatangani surat pernikahan. Hukum tahu siapa yang dinikahi Erland. Semua orang tahu. Tidak
akan ada yang peduli nama apa yang tertera di surat pernikahan mereka. Mereka adalah suami istri!
Bila saat itu Erland tidak memutuskan untuk menikahi Altamyra secara diam-diam, kini semua orang di
Lasdorf juga di luar Lasdorf tahu Altamyra adalah istrinya. Dan, tak seorang pun berusaha mendapatkan
gadis itu.
Sekarang gadis itu berada di tempat yang jauh darinya. Erland tidak bisa menjaga Altamyra dari pria lain
yang berusaha merebutnya. Erland tidak dapat terus berada di sisi Altamyra.
Akhirnya Fred tersenyum puas melihat kegalauan hati Erland.
“Aku telah berulang kali memperingatimu tetapi engkau tidak mau mendengarkan. Engkau memilih
membunuh Ratu daripada mengakui engkau masih mencintainya,” kata Fred pada suatu saat.
Erland benar-benar mati kutu sekarang. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hidupnya seperti neraka karena
kepergian Altamyra. Ia tidak bisa melupakan Altamyra. Ia tidak akan pernah bisa melupakan setan
ciliknya yang cantik itu.
Seluruh yang ada di dalam Istana ini membuatnya kembali teringat pada Altamyra.
Di Kamar Tidur Utama yang kini menjadi tempat tidurnya, selalu tercium wangi Altamyra. Wangi yang
sama yang tercium di kamarnya setelah Altamyra kembali pada pasukannya.
Setiap Erland berbaring di ranjang, ia selalu mencium wangi Altamyra dan merindukan Altamyra.
Erland tidak tahu mengapa Altamyra tega meninggalkannya dengan cara seperti ini. Mengapa Altamyra
tega membuat seluruh rakyat yang dicintainya mengkhawatirkannya.
Hingga dua bulan kepergiannya, semua orang masih mengingatnya.
Sering Erland mendengar pelayan-pelayan berkata, “Aku merasa Istana sangat sepi. Andai Paduka Ratu
ada di sini…”
Erland pun mengharapkan Altamyra ada di sisinya.
Sekarang Erland benar-benar menyesal. Ketika Altamyra terbaring lemah di kamarnya, ia tidak pernah
mengunjungi gadis itu. Ia bersikap acuh ketika gadis itu jatuh pingsan di Ruang Tahta dengan berlumuran
darah. Ia diam saja ketika Altamyra tampak sangat menderita karena panah yang menancap di dadanya.
Andai ia mau membuang kemurkaannya… keangkuhannya…
Terlambat sudah untuk menyadari. Erland merasa benar-benar bodoh. Ia terlalu marah hingga buta akan
segalanya. Ia marah karena telah jatuh cinta pada putri orang yang telah membunuh orang tuanya. Ia
marah karena Altamyra telah menipunya.
Melihat pencarian selama dua bulan tidak menghasilkan apa-apa, Hannah meminta dikirim ke desa
Marshwillow. Hannah yakin Altamyra kembali ke desa itu. Ia masih ingat kata-kata Altamyra sebelum
meninggalkan desa itu.
“Aku akan kembali ke tempat ini suatu saat nanti. Aku tidak akan meninggalkan Mama terlalu lama.”
Hannah percaya Altamyra kembali ke desa Marshwillow untuk menemani Ratu Reinny yang
dimakamkan di sana.
Erland mengijinkan wanita itu pergi bersama beberapa pelayan. Ia berharap Hannah menemukan
Altamyra di sana.
Sebulan setelah kepergiannya, Hannah kembali dengan lesu.
Altamyra tidak ada di desa Marshwillow. Penduduk desa berkata setelah mereka pergi dengan kereta
emas tujuh bulan lalu, Altamyra tidak pernah kembali. Bahkan, mereka bertanya bagaimana keadaan
gadis itu.
Hilang sudah satu kemungkinan.
Erland tidak tahu lagi di mana Altamyra berada.
Andai ia berada di Castil Quarlt'arth untuk menemani rakyatnya, pelayan di sana pasti telah melaporkan.
Andai ia tinggal di antara rakyat, pasti terdengar beritanya.
Altamyra adalah gadis yang menarik dan selalu bersinar terang. Ia adalah bintang di antara lautan
manusia. Di mana pun ia berada, ia pasti akan membawa anugerahnya yang mengejutkan.
Vandella sangat luas. Vandella mempunyai banyak kota dan desa. Banyak tempat yang harus didatangi
untuk menemukan Altamyra.
Berkat Altamyra, Vandella mengalami banyak kemajuan. Pemerintahan Erland terasa lebih tenang
daripada pemerintahan Altamyra. Perubahan-perubahan yang harus dilakukan, telah diselesaikan
Altamyra hanya dalam satu bulan pemerintahannya.
Sekarang Erland tidak sesibuk Altamyra. Setiap hari ia hanya duduk menanti laporan dari seluruh
pejabat Vandella.
Altamyra telah mengatur semuanya serapi mungkin hingga tidak ada yang harus diperbaiki Erland.
“Ratu sangat pandai. Semua yang dilakukannya tidak ada yang salah. Sedikitpun tidak ada kesalahan.
Tidak ada tindakannya yang perlu diperbaiki. Semuanya sempurna,” kata Ludwick padanya.
Erland sependapat dengan Ludwick.
Altamyra meninggalkan berkas-berkas perubahan yang dilakukan selama sebulan. Erland tidak perlu
bertanya pada orang lain mengenai sebulan pemerintahan gadis itu. Altamyra menuliskan semuanya
dengan rapi dan jelas.
Tidak ada yang kurang pada semua tindakan Altamyra. Semuanya rapi dan sempurna.
“Kepergiannya pun sempurna,” gumam Erland pada suatu saat.
Erland merasa putus asa untuk menemukan Altamyra. Semua daerah di kerajaan ini telah diperiksa
tetapi Altamyra tidak ada di antara mereka.
Erland khawatir Altamyra pergi ke luar negeri bersama pria lain. Erland tidak dapat membayangkan
kemungkinan terburuk yang ditakutinya itu. Kemungkinan terburuk lainnya yang pernah terlintas di pikiran
Erland adalah Altamyra meninggal setelah meninggalkan Istana.
Dengan tubuh yang sangat lemah seperti itu dan dengan luka di paru-paru, bagaimana Altamyra dapat
bertahan di udara yang buruk ini.
Pergantian musim panas ke musim gugur di Vandella bukanlah cuaca yang bersahabat. Di saat terang,
hujan bisa tiba-tiba turun dengan deras. Udara siang hari sangat menyengat dan udara malam dingin
membekukan tulang.
Di manapun Altamyra berada, Erland yakin gadis itu tahu bagaimana kegalauan rakyat Vandella.
Bagaimana rakyat Vandella merindukan bidadari mereka yang penuh cinta kasih.
“Akhirnya kita sampai juga,” kata Fred lega, “Enam bulan meninggalkan tempat ini, rasanya seperti
meninggalkannya selama setahun.”
Erland tidak berkata apa-apa.
Tujuh bulan telah berlalu sejak kepergian Altamyra yang mengejutkan. Belum pernah Erland merasakan tujuh bulanberlaluselama ini. Satu hari terasa bagai neraka yang menyiksanya. Ia selalu merasakan
Altamyra berada di sekitarnya tetapi gadis itu tidak ada. Hanya wangi tubuhnya yang terus tercium di
seluruh pelosok Istana Azzereath terutama di Kamar Tidur Utama.
“Selamat datang, Paduka,” sambut rakyat Lasdorf.
“Anda pergi baru tujuh bulan tetapi terasa bertahun-tahun bagi kami,” kata Jemmy, “Kami turut senang
akhirnya Anda berhasil mendapatkan apa yang Anda inginkan.”
“Terima kasih,” kata Erland tetapi hatinya berteriak, “Aku belum mendapatkan apa yang kuinginkan.
Aku kehilangan dia.”
“Tempat ini telah banyak berubah dari yang kuingat,” kata Fred.
“Tentu saja,” sahut Kana, “Sejak engkau menemani Pangeran ke Istana Azzereath, engkau tidak pernah
kembali walaupun untuk menengok kami. Sekarang engkau menjadi sombong. Karena tinggal di Istana
yang mewah, engkau tidak mau kembali ke tempat yang terpencil ini.”
“Aku juga ingin kembali sejak dulu tetapi aku harus menemani Pangeran,” jawab Fred, “Banyak yang
harus diselesaikan sebelum kami bisa ke sini.”
“Bukankah semua telah diselesaikan Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra?” tanya Kana keheranan.
“Engkau benar, Kana,” jawab Erland, “Tetapi aku masih mempunyai banyak tugas.”
“Tugas seorang raja selalu menumpuk,” Fred menjelaskan.
“Bagaimana keadaan kalian? Aku melihat kehidupan kalian semakin membaik. Aku sudah melihat
pondok-pondok kayu di sekitar rumahku.”
“Kehidupan kami terus membaik sejak Rara memberi kami mesin pintal dan sejak Yang Mulia Paduka
Ratu Altamyra memperbaiki kerajaan ini,” jawab Jemmy.
Erland tersenyum.
Penduduk Lasdorf yang dulu paling membenci Raja Wolve, masih mengingat putri serigala itu. Bahkan,
mereka selalu menyebutnya dengan gelarnya yang lengkap, Yang Mulia Paduka Ratu. Pasti mereka akan
semakin menyanjung Altamyra bila mereka tahu Yang Mulia Paduka Ratu mereka adalah Rara dan Rara
adalah Yang Mulia Paduka Ratu mereka.
“Sejak Anda meninggalkan kami, telah banyak perubahan yang terjadi di sini.”
“Aku telah melihatnya, Giorgio. Aku senang kehidupan kalian menjadi lebih baik.”
Pohon-pohon mulai menghijau. Dedaunan mulai terbangun dari tidurnya yang panjang selama musim
dingin. Beberapa tetes salju yang belum mencair di awal musim semi, tampak bersinar tertimpa sinar
matahari.
Udara yang sejuk mengelilingi tempat ini. Kabut putih tipis menyelimuti hutan tetapi tidak menghalangi
tiap orang untuk melihat apa yang tersembunyi di balik kabut itu.
Erland melihat tenda-tenda lapuk yang dulu mengelilingi rumah peninggalan orang tuanya telah
berkurang. Sebagai gantinya, telah muncul pondok-pondok kayu kecil. Asap dari pondok itu terus
membumbung tinggi ke angkasa.
Erland merindukan saat-saat bersama Altamyra di tempat ini. Walau mereka sering bertengkar, Erland
menyukai dan sangat menikmatinya.
Tiba-tiba Erland bertanya, “Mengapa kalian tidak turun gunung? Dulu kalian tinggal di sini untuk
menghindari kekejaman Raja Wolve. Sekarang Vandella telah membaik. Mengapa kalian tetap
mengucilkan diri di sini?”
“Banyak di antara kami yang tinggal di sini selama bertahun-tahun bersama orang tua Anda. Banyak di
antara kami yang lahir dan dibesarkan di tempat ini. Bagi kami, tempat ini adalah tanah air kami. Di sini
tersimpan kenangan kami.”
Di sini tersimpan pula kenangan Erland bersama Altamyra.
“Apakah rumahku juga berubah?” tanya Erland.
Erland memasuki rumah yang telah lama ditinggalkannya.
“Sudah kukatakan hanya aku yang bisa melakukannya. Mengapa kalian tidak percaya?”
Erland terpaku mendengar suara itu. Suara itu…
“Biar aku yang mengerjakannya.”
Erland berlari ke belakang rumahnya.
Seorang gadis duduk di kursi. Tubuhnya terbalut gaun nila yang tebal. Selimut yang tebal menutupi
kakinya. Ujung-ujung selimut seperti berlomba dengan ujung gaunnya. Rambutnya yang keemasan
menutupi wajahnya yang menunduk pada sulaman di tangannya.
Tangannya dengan terampil menyulam. Beberapa gadis duduk di sekelilingnya dan memperhatikannya
dengan cermat.
Seperti menyadari sedang diperhatikan, gadis itu mengangkat kepalanya. Ia tidak tampak terkejut
melihat Erland dan rombongannya. Dengan senyum manis, ia berkata, “Selamat siang.”
“YANG MULIA PADUKA RATU ALTAMYRA!!!” pekik Ludwick terkejut.
Semua orang di tempat itu terkejut.
“Rara adalah…,” kata Kana tak percaya.
“Rara adalah Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” Jemmy meneruskan dengan takjub.
“Dia…dia…Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra?” tanya Cirra tak percaya.
Erland terus menatap Altamyra lekat-lekat.
Altamyra tidak mempedulikan suasana sekelilingnya. “Bagaimana keadaan keluargamu, Ludwick?”
“Mereka baik-baik saja, Paduka. Kami semua baik-baik saja.”
“Sampaikan salamku pada mereka.”
“Tentu, Paduka.”
Kana melihat pandangan Erland terpaku pada Altamyra. “Sebaiknya kita pergi,” katanya tiba-tiba,
“Rara… eh… Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra harus beristirahat. Sekarang sudah waktunya dia
tidur.”
Fred segera menangkap maksud Kana. “Ayo pergi,” usirnya, “Banyak yang harus kita tunjukkan pada
para Menteri ini. Mereka tentu ingin tahu bagaimana kehidupan kita selama pemerintahan Raja Wolve.”
Para Menteri pun merasakan suasana di antara Erland dan Altamyra. Tanpa menunggu disuruh dua kali,
mereka segera pergi.
Fred tahu Cirra takkan mau meninggalkan Erland berduaan dengan Altamyra. Ia segera menarik pergi
wanita itu.
Erland mendekati Altamyra. “Apa yang kaulakukan di sini?” ia bertanya dengan suara dinginnya.
“Mengikuti nasehat dokter,” jawab Altamyra tenang, “Bagaimana pemerintahanmu?”
“Semua lancar seperti yang kaukatakan. Para Menteri menuruti semua kata-kataku.”
Erland terus menatap Altamyra lekat-lekat.
Jantung Altamyra berdebar-debar melihat cara Erland memandangnya. Matanya terlihat lega. Pria itu
seperti telah kehilangan semua beban hidupnya.
Mereka membisu dan saling menatap.
Tiba-tiba Erland memeluk Altamyra kuat-kuat hingga gadis itu merasa dadanya sakit. “Engkau membuat
dadaku sakit, Erland.”
“Engkau patut mendapatkannya setelah membuat seluruh Vandella khawatir terutama aku.”
“Kana akan marah bila lukaku terbuka kembali.”
Teringat luka di dada gadis itu, Erland melonggarkan pelukannya tetapi tidak melepaskan gadis itu.
“Bagaimana lukamu?”
“Lukaku telah lama sembuh.”
Erland menatap Altamyra penuh curiga.
“Engkau tidak percaya?” tanya Altamyra, “Engkau ingin melihatnya?”
Tiba-tiba wajah Altamyra memerah menyadari apa yang diucapkannya. Ia akan seperti gadis murahan
bila membuka tubuhnya walau untuk menunjukkan lukanya yang telah sembuh.
“Engkau tidak boleh melihatnya,” Altamyra memperbaiki ucapannya, “Engkau harus mempercayaiku.”
Erland tertawa geli melihat wajah yang memerah itu. “Mengapa tidak?” godanya.
“Karena itu tidak sopan,” Altamyra menjawab tegas.
“Tak kusangka kau masih mengerti adat, setan cilik.”
“Kau!?” suara Altamyra meninggi. “Apakah kau datang untuk mencari pertengkaran baru?”
Erland tersenyum nakal.
Altamyra menghela nafas. “Sudahlah. Aku tidak ingin merusak masa-masa tenangku.”
“Secara agama, aku adalah suamimu. Engkau ingat?”
Seketika Altamyra murung.
Erland mendekap Altamyra semakin dekat dengan tubuhnya. “Engkau membuatku sangat cemas. Tidak
pernah aku secemas ini dalam hidupku.”
“Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak mengkhawatirkan aku.”
“Engkau terluka ketika engkau pergi, Altamyra,” Erland mengingatkan. “Bagaimana engkau bisa sampai
ke sini?”
“Dengan kereta,” jawab Altamyra singkat.
Erland melihat bayang-bayang sekelompok orang di samping rumah. Ia mengangkat Altamyra.
“Apa yang kaulakukan?” tanya Altamyra panik.
“Aku pernah mengatakan padamu tempat yang paling aman untuk berbicara adalah di kamarku,” bisik
Erland di telinga gadis itu.
Altamyra melingkarkan tangannya di leher Erland tanpa berkata apa-apa.
Erland membaringkan Altamyra di tempat tidur lalu melihat sekeliling ruangan. “Engkau tidur di tempat
ini?”
“Kana yang menyuruhku. Katanya, aku bisa semakin gawat kalau tidur di luar sana. Ia juga berkata
engkau tidak akan marah karena istrimu tidur di sini.”
Erland menutup matanya. “Di sini tercium wangimu.”
“Wangi?”
Erland membaringkan diri di sisi Altamyra dan menarik tubuh gadis itu merapat.
“Erland…,”protes Altamyra terhenti oleh ciuman lembut Erland.
“Sudah sejak lama aku ingin seperti ini,” Erland tersenyum tanpa merasa bersalah, “Aku selalu ingin
memelukmu sepanjang malam dan mencium wangi tubuhmu yang segar.”
Altamyra diam membisu.
“Di Kamar Tidur Utama selalu tercium wangimu. Tiap kali aku berbaring di ranjang, aku selalu teringat
padamu. Aku selalu mencemaskanmu, Altamyra.”
“Aku telah mengatakan padamu untuk tidak mencemaskanmu,” Altamyra mengulangi.
“Siapa yang tidak cemas ketika engkau pergi tiba-tiba dengan keadaan seperti itu!? Engkau pergi tanpa
memberitahu siapapun. Engkau menghilang bersama angin.”
“Tidak,” bantah Altamyra.
Erland menatap Altamyra lekat-lekat. Matanya bersinar tidak percaya.
“Aku memberitahu Ludwick kalau aku akan pergi untuk memulihkan kesehatanku.”
“Pantas saja,” gumam Erland. “Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?”
Altamyra kebingungan.
“Semua orang bingung dan cemas ketika engkau pergi, tetapi Ludwick tetap terlihat tenang. Ia sering
menasehatiku untuk tidak mengkhawatirkan apa pun.” Erland menjelaskan.
“Ia sudah tahu tetapi ia diam saja,” geram Erland tiba-tiba. “Apakah ia tidak dapat melihat kecemasan
rakyat? Kecemasanku!?”
“Ia tidak bersalah,” bela Altamyra, “Aku menyuruhnya untuk tutup mulut.”
“Seharusnya aku tahu kalian bersekongkol untuk menipuku,” Erland menenggelamkan wajahnya di
rambut Altamyra, “Engkau membuatku hampir gila karena mencemaskan kesehatanmu.”
Erland membelai rambut Altamyra. Dari gerakannya, suaranya terlihat ia merasa lega dan bahagia karena
dapat memeluk Altamyra kembali.
“Aku khawatir engkau tidak dapat bertahan dalam cuaca yang buruk ini. Hannah mengatakan engkau
pernah bersumpah akan kembali ke Marshwillow tak lama setelah engkau pergi ke Vandella. Ia mengira engkau kembali ke sana tetapi ia tidak menemukanmu. Penduduk mengatakan tidak pernah melihatmu
sejak engkau meninggalkan tempat itu.”
“Aku berencana untuk kembali ke Marshwillow.”
“Kau gila!” pekik Erland, “Apakah engkau tidak memikirkan kesehatanmu!? Saat itu engkau sekarat.”
“Aku tahu kejamnya laut di musim gugur. Aku tahu aku tidak dapat bertahan bila memaksa kembali ke
Marshwillow. Karena itu aku memutuskan pergi ke Lasdorf. Aku berencana memulihkan kesehatanku di
sini. Setelah itu aku akan pergi ke Marshwillow.”
“Apakah engkau tidak dapat berpikir lagi, gadis bodoh?” tanya Erland heran, “Apakah engkau tidak
tahu bagaimana kondisimu saat itu? Engkau tidak sanggup untuk berjalan selangkahpun. Aku melihatmu
digendong Kincaid.”
“Saat itu aku tidak sanggup, tetapi sekarang aku sanggup. Engkau ingin tahu?” Altamyra beranjak
bangkit.
“Tidak,” Erland menarik tubuh Altamyra. “Saat ini aku ingin tahu bagaimana engkau bisa sampai ke sini
dan tanpa seorangpun yang melihat kepergianmu. Engkau tidak tidur saat pelayan meninggalkanmu?”
“Tidak,” kata Altamyra, “Mereka memberiku obat tidur seperti pesan dokter. Obat tidur bisa
membuatku tenang tetapi tidak selama yang diharapkan. Aku selalu terjaga di tengah malam. Malam itu
aku segera berkemas dan meninggalkan Istana. Tidak seorangpun yang dapat melihatku karena aku pergi
dengan mengenakan mantel hitam. Aku meninggalkan Istana melalui pintu belakang.”
“Pintu belakang?”
“Azzereath mempunyai pintu belakang. Pintu itu selalu tertutup dan hanya digunakan pada keadaan
darurat. Pintu itu tidak pernah dijaga oleh prajurit.”
“Sekarang aku mengerti bagaimana engkau bisa pergi tanpa meninggalkan jejak.”
Altamyra melanjutkan ceritanya, “Setelah itu aku menuju Perenolde. Di sana aku menyewa kereta
kuda.”
“Engkau sungguh tidak bisa dimaafkan, Altamyra. Engkau tahu tubuhmu lemah tetapi engkau
memaksakan diri untuk berjalan ke Perenolde,” gumam Erland, “Aku bersyukur jarak Azzereath dan
Perenolde tidak jauh.”
“Engkau tidak perlu khawatir. Aku berjalan pelan-pelan sehingga aku tidak terlalu menyakiti dadaku.”
Tiba-tiba Erland teringat sesuatu. “Kereta kuda hanya bisa mengantarmu ke Thamasha. Bagaimana
engkau ke tempat ini? Engkau…”
“Kau terlalu mengkhawatirkan aku,” Altamyramenjelaskan dengan lembut, “Aku meminta kusir
mengantarku hingga di tepi hutan. Di sana, pasukanmu melihatku. Mereka melihat keadaanku dan segera
membawaku ke sini.”
Altamyra tidak akan lupa bagaimana pasukan Erland cepat-cepat mendatanginya ketika ia turun dari
kereta dengan dipapah kusir kereta. Mereka tampak sangat cemas melihat tubuhnya yang limbung dan hampir jatuh. Tanpa banyak bertanya, seorang dari mereka menggendongnya membawanya ke Lasdorf.
Sedangkan yang lain segera kembali untuk menyiapkan tempat tidur.
Semua wanita segera menyambut kedatangannya. Semua orang mencemaskan keadaannya yang sangat
lemah.
Nafasnya tersenggal-senggal. Wajahnya putih pucat dan tubuhnya demam.
“Cepat bawa dia ke kamar Pangeran!” seru Kana.
Beberapa wanita segera melepaskan mantelnya dan menyelimutinya dengan selimut tebal yang hangat.
Beberapa wanita yang lain sibuk mengompres dahinya.
Altamyra terlalu lemah untuk membuka matanya. Ia memandang wajah-wajah cemas itu melalui celah
kedua matanya.
Tiba-tiba Altamyra merasa tubuhnya diangkat dan suatu cairan yang pahit dimasukkan ke mulutnya.
Altamyra tidak melawan, ia meminumnya walau ia tidak menyukai rasanya yang sangat pahit.
Wanita itu membaringkannya kembali setelahnya. “Tidurlah. Besok engkau pasti merasa lebih baik.”
Melalui celah matanya, Altamyra memandang wajah Kana lalu jatuh tertidur.
“Aku sangat berterima kasih pada Kana,” kata Altamyra, “Aku tidak tahu ia pandai meramu obat.
Berkat obat-obatannya, lukaku sembuh dan kesehatanku membaik.”
“Sejak dulu Kana memang pandai meramu obat. Ia menjadi tabib di sini,” Erland menjelaskan.
“Ia telah menyelamatkanku. Aku tidak akan bisa melupakan tindakannya.”
“Bagaimanapun juga, aku tetap mencemaskanmu.”
“Engkau mencemaskanku dari Cirra?” selidik Altamyra. “Engkau tidak perlu mengkhawatirkan wanita
itu. Sejak aku tiba di sini, Kana memperlakukanku dengan istimewa. Ia selalu menjagaku dari terutama
Cirra. Setiap kali Cirra mendekatiku, ia segera mengusir wanita itu. Setiap saat ia selalu berada di sisiku
untuk mencegah aku melakukan hal-hal yang dapat membuat lukaku semakin parah.”
Altamyra tersenyum geli teringat sikap Kana yang melebihi Hannah. “Ia hanya mengijinkan aku
menyulam. Sepanjang musim dingin, ia mengurungku di kamar. Ia menghidupkan perapian dan
memberiku baju yang sangat tebal. Ia menyelimutiku dengan selimut yang tebal pula. Setiap saat orang
banyak berkumpul di kamarku dan membuat aku merasa kepanasan.”
“Ia berusaha membuatmu selalu merasa hangat.”
“Aku tahu,” kata Altamyra, “Setelah musim dingin selesai, tiap pagi ia membawaku ke bawah. Ia
mengatakan udara pagi yang segar baik untuk paru-paruku. Ia sangat menjagaku. Berkat dia, lukaku
benar-benar sembuh. Paru-paruku telah sembuh. Sekarang aku dalam masa pemulihan.”
“Siapa yang menggendongmu?”
Altamyra tidak mengerti pertanyaan Erland.
“Saat itu engkau tidak sanggup berjalan,” Erland mengingatkan.
“Tidak,” bantah Altamyra, “Aku sanggup berjalan tetapi aku tidak dapat berjalan jauh. Baru beberapa
langkah, nafasku telah tersenggal-senggal.”
“Siapa yang menggendongmu!?” Erland mengulangi pertanyaannya dengan memaksa.
Erland tidak mau Altamyra dekat dengan pria lain. Ketika melihat Kincaid menggendong Altamyra, ia
tidak cemburu. Kincaid terlalu tua untuk Altamyra, tetapi di sini?
“Giorgio yang menggendongku. Kana menyuruhnya selalu membantuku untuk pergi dari satu tempat ke
tempat lain. Selain Giorgio, Kana tidak mengijinkan pria lain mendekatiku. Bagi Kana, aku adalah istrimu
dan ia menjagaku dari pria lain yang berusaha merebutku darimu.”
Erland lega mendengarnya. Ia merasa beruntung telah memilih Kana sebagai penggiring wanita Altamyra.
“Kana mengatakan sekarang waktunya engkau tidur,” Erland tiba-tiba bangkit.
“Setiap hari pada saat ini, Kana memberiku obat dan menyuruhku tidur.”
“Di mana obatnya?”
Altamyra tidak mengerti permintaan pria itu, tetapi ia tetap menjawab pertanyaan itu. “Kana
meletakkannya di meja kerjamu.”
Erland menuju meja itu kemudian kembali ke sisi Altamyra dengan obat di tangannya. Erland membantu
Altamyra duduk lalu menyuapkan obat itu. Erland membaringkan Altamyra sebelum meletakkan gelas di
meja kerja.
Altamyra kebingungan melihat sikap Erland.
Erland berbaring di sisi Altamyra dan memeluk gadis itu.
Altamyra terkejut. “Erland!”
Lagi-lagi Erland menghentikan protes Altamyra dengan ciuman lembutnya. “Tidurlah,” katanya setengah
berbisik.
Obat yang dibuat Kana untuk Altamyra, selalu membuat gadis itu mengantuk. Dalam waktu singkat ia
telah jatuh tertidur.
Altamyra bahagia. Tangan-tangan kekar Erland terasa terus melingkari tubuhnya. Dada pria itu terasa
hangat dan membuatnya terasa sangat tenang. Altamyra yakin ia bisa tidur lama dalam pelukan pria itu.
Ketika Giorgio memberitahu Erland akan datang, Altamyra tahu pria itu akan terkejut melihatnya.
Tetapi, ia tidak menduga Erland akan memeluknya seperti ini.
Sejak meninggalkan Istana, Altamyra tidak berharap dapat bertemu Erland lagi. Ia yakin Erland akan
menemukan wanita lain yang akan dicintainya sepanjang hidupnya. Di Istana banyak berkeliaran
wanita-wanita cantik. Tamu-tamu wanita yang cantik juga banyak.
Hidup Erland di Azzereath dikelilingi oleh kemewahan dan wanita-wanita cantik. Pria itu akan cepat
melupakannya dan pernikahan mereka yang aneh. Hingga kini Altamyra sering bingung apakah ia sudah
menjadi istri Erland atau belum. Altamyra tahu ia mencintai pria itu dan akan terus mencintai pria itu
sepanjang hidupnya.
Setelah semua ini selesai, Altamyra ingin kembali ke Marshwillow. Ia akan hidup di dekat ibunya dengan
cintanya kepada Erland dan rakyat Vandella. Dari jauh ia akan terus memperhatikan mereka.
Tiba-tiba Altamyra merasa tubuhnya seperti diguncang-guncang. Ia membuka matanya.
Erland menunduk. “Engkau sudah bangun?”
Altamyra melihat ruangan sempit itu dengan kebingungan. Beberapa saat kemudian ia terpekik kaget.
“ERLAND!!”
Erland tersenyum tak bersalah.
“Engkau akan membawaku ke mana?”
“Aku akan membawamu kembali ke Istana.”
“Aku tidak ingin kembali,” kata Altamyra tegas.
“Aku tahu engkau ingin ke Marshwillow,” kata Erland dingin, “Setelah engkau menipuku, apakah aku
akan membiarkanmu pergi lagi? Kaupikir aku tidak tahu engkau sengaja bersembunyi di Lasdorf selama
beberapa bulan agar tidak seorangpun yakin engkau kembali ke Marshwillow. Setelah aku memeriksa
tempat itu, engkau akan segera ke sana dan hidup dengan tenang.”
“Aku tidak menipumu, Erland. Aku melakukan apa yang harus kulakukan.”
“Apa!?” tukas Erland ketus.
“Menjauhimu.”
“Mengapa?” suara Erland berubah menjadi lembut.
“Karena aku tahu engkau membenciku. Engkau tidak dapat melihatku tanpa kebencian walau hanya
sedetik. Engkau tidak tahan melihatku.”
Erland terus menatap Altamyra.
“Matamu saat kita bertemu menunjukkan kebencianmu padaku. Saat melihatnya, aku tahu engkau tidak
dapat memaafkanku. Engkau membenciku dari lubuk hatimu yang terdalam,” kata Altamyra dengan
sedih. “Engkau adalah burung rajawali yang selalu terbang bebas. Aku tidak ingin mengikatmu dengan
kebencianmu kepadaku. Aku tahu bila aku pergi, engkau lebih mudah melupakan aku.”
“Mengapa engkau tega meninggalkan rakyat Vandella dalam kecemasan? Apakah engkau tidak melihat
kecemasan kami?”
Sering Altamyra mendengar pertanyaan itu. Setiap hari, setiap saat Giorgio memberinya pertanyaan yang
sama. Altamyra selalu memberi jawaban yang sama,
“Aku melihatnya. Aku mengetahuinya dan aku merasakan kecemasan kalian. Tetapi, aku tidak bisa
kembali pada kalian. Tugasku membenahi semua pemerintahan ayahku telah selesai. Aku telah
menemukan orang yang tepat untuk memerintah Vandella. Aku tidak dapat melupakan kalian tetapi aku
tidak dapat berada di sisi kalian selamanya. Aku tidak mempunyai masa depan tetapi kalian mempunyai
masa depan yang panjang yang harus terus kuperjuangkan.”
“Orang yang tepat?”
“Ya, engkaulah orang yang tepat untuk memerintah Vandella. Aku telah mengujimu dan engkau telah
melewatinya.”
Erland keheranan. “Aku tidak pernah merasa diuji.”
“Engkau tidak menyadarinya. Aku terus menghinamu bukan tanpa alasan. Saat itu aku marah tetapi aku
juga sedang mengujimu. Aku senang engkau mendengarkan semua kata-kataku dan merubah dirimu.
Saat itu aku tahu engkau akan menjadi raja yang baik untuk Vandella.”
“Engkau luar biasa,” seru Erland kagum, “Engkau adalah gadis yang selalu membuatku terpesona.”
Altamyra memejamkan matanya.
“Aku akan membawamu ke Azzereath sebagai istriku dan tidak akan ada pria yang merebutmu dariku,
gadisku yang mempesona.”
Tubuh Altamyra membeku. “Apa tujuanmu kali ini?”
“Tujuan?” Erland keheranan.
“Dulu engkau memaksaku menikah denganmu karena engkau ingin menggalang kekuatan. Saat itu aku
setuju setelah kupikir pernikahanku denganmu akan membawa kedamaian bagi Vandella. Sekarang aku
bukan Ratu Vandella lagi. Engkau juga telah menjadi Raja Vandella. Aku mencintaimu melebihi apapun
di dunia ini tetapi engkau memanfaatkan aku.”
Erland menatap Altamyra lekat-lekat. Ia tidak percaya akan apa yang didengarnya.
“Engkau membenciku. Jangan menikahiku atas dasar kebencian itu,”mataAltamyraberkaca-kaca,
“Kembalikanlah aku ke Lasdorf dan biarkan aku hidup tenang.”
“Aku lebih membenci diriku sendiri setelah engkau pergi,” Erlandmencium mata yang basah itu dan
membelai rambut Altamyra dengan penuh kasih sayang, “Aku mencintaimu melebihi apa pun di dunia ini.”
“Kupikir engkau mencintai Cirra.”
“Gadis bodoh,” kata Erland lembut, “Bagaimana aku bisa mencintai wanita lain bila seluruh cintaku telah
tercurah untukmu.”
“Engkau dan Cirra dibesarkan bersama-sama di tempat ini. Sejak kecil kalian adalah teman.”
“Tetapi Cirra tidak semenarik dirimu. Tidak ada yang lebih menarik daripada engkau di dunia ini.
Engkau adalah bintang yang selalu bersinar di hatiku. Lebih cantik dari siapa pun.”
“Engkau adalah burung rajawali agungku yang gagah perkasa.”
“Aku takkan terbang tanpamu. Aku ingin engkau selalu berada di sisiku. Aku telah menemukanmu dan
aku tidak akan melepaskanmu lagi. Aku akan selalu memelukmu agar engkau tidak bisa meninggalkanku
lagi. Semeter pun aku tidak akan membiarkan.”
Tiba-tiba Altamyra tertawa geli. “Jangan terlalu yakin, Erland. Aku yakin engkau tidak akan membiarkan
aku ikut denganmu bila engkau sedang rapat.”
“Engkau benar. Aku tidak akan membiarkan engkau menyibukkan diri dengan urusan pemerintahan dan
aku akan selalu mengawasimu agar tidak meninggalkan Azzereath tanpa aku.”
“Aku akan sangat bosan.”
“Aku akan memberimupekerjaan yang akan membuatmu senang.”
“Apa itu?” tanya Altamyra tertarik.
Erland mendekatkan bibirnya ke telinga Altamyra dan membisikkan sesuatu.
Wajah Altamyra memerah.
Erland tertawa. “Aku telah berkata aku akan membawamu kembali ke Azzereath sebagai istriku. Aku
akan mengadakan pesta besar dan mengundang setiap orang agar mereka tahu bidadari ini adalah
milikku, rajawali yang gagah perkasa.”
“Engkau keterlaluan!”
“Aku akan memberimu banyak tugas yang harus kaujaga dan kaurawat tiap hari.”
“Aku pasti akan selalu memperhatikan mereka. Aku pasti akan melupakanmu,” goda Altamyra.
Erland tiba-tiba bersikap serius. “Kalau engkau lebih memperhatikan anak kita lebih daripada aku, aku
akan sangat cemburu,” katanya tajam.
Altamyra tersenyum nakal. “Aku takkan meninggalkan burung rajawaliku yang gagah perkasa. Aku akan
menjadi bintangmu yang selalu bersinar di hatimu,” katanya berjanji.
Beberapa meter di belakang kereta kuda Erland dan Altamyra, Noah berkata,
“Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka? Beberapa saat lalu mereka seperti bertengkar sekarang
mereka tertawa.”
Merasa ditatap, Ludwick berkata, “Aku tidak tahu. Selama Ratu berada di Azzereath, aku sering
bersamanya tetapi ia tidak pernah mengatakan apapun tentang Raja Erland hingga rapat itu.”
“Apapun yang terjadi di antara mereka, aku merasa mereka cocok,” sahut Danilo.
“Dari dulu mereka memang cocok. Banyak yang mengharapkan Ratu menikah dengan Raja Erland,
tetapi Ratu memberikan tahta pada Raja dan ia pergi.”
“Menurutmu, mengapa Raja memaksa membawa Ratu sebelum Ratu bangun?”
“Aku tidak punya ide tentang itu.”
“Apakah menurutmu Raja mencintai Ratu?”
“Tidak mungkin.”
“Mungkin saja, Noah. Jangan lupa Ratu pernah tinggal di Lasdorf selama dua bulan. Ratu adalah gadis
yang menarik, tak mungkin Raja tidak jatuh cinta padanya. Andai aku masih muda, aku juga akan jatuh
cinta pada Ratu.”
“Aku kagum pada Ratu. Menurutku, penduduk Lasdorf mengalami kemajuan seperti yang dikatakan
Tuan Fred, karena Ratu. Aku yakin Ratu yang mengatur semua pembangunan pondok-pondok itu.”
“Aku juga berpikir seperti itu,” Ludwick setuju, “Tidak ada yang dapat membuat perubahan besar
secepat itu selain Paduka Ratu Altamyra.”
“Semua orang pasti terkejut dengan kembalinya Ratu.”
“Pasti, Noah,” kata Ludwick dan Danilo bersamaan.
-----0-----
“Jangan berisik!” desis Erland.
Altamyra merajuk. “Aku ingin duduk sendiri. Aku tidak ingin terus dipangku.”
“Engkau tidak suka duduk di pangkuanku?” selidik Erland.
“Aku tidak ingin membuat engkau lelah.”
“Walaupun lelah, aku suka memangkumu terus. Kalau engkau tidak kupangku, aku khawatir engkau
kabur.”
“Hatiku telah bersamamu, bagaimana aku bisa pergi meninggalkanmu?”
Erland tersenyum. “Kalau engkau, aku yakin bisa, setan cilik.”
Altamyra memasang muka masam.
Erland ingin tertawa tetapi ia menahannya. Ia berencana membuat semua orang di Azzereath terkejut
dengan kemunculan Altamyra.
Setelah membawa pulang Altamyra, Erland sengaja tidak memberi kabar apapun pada orang-orang di
Istana maupun pada rakyat Vandella. Erland melarang seorangpun mengatakan Altamyra telah
ditemukan.
“Ia suka memberi kejutan. Aku ingin kemunculannya ini mengejutkan seperti menghilangnya,” kata
Erland pada setiap orang yang ikut bersamanya.
Kereta memasuki halaman Istana semakin dalam.
Seluruh penghuni Istana telah berdiri di depan pintu masuk untuk menyambut kedatangan Erland.
Erland turun kemudian mengulurkan tangan ke dalam kereta. “Kemarilah, sayang.”
Semua memandang ingin tahu. Siapakah gadis yang dibawa kembali oleh Raja mereka?
Hannah murung. Ia ingin melihat Altamyra menikah dengan Erland tetapi rupanya pria itu telah
menemukan wanita lain. Menurutnya, Erland akan menjadi pria yang baik untuk Altamyra. Erland akan
dapat membahagiakan Altamyra.
Sepasang tangan putih terulur dari dalam kereta. Hannah terbelalak melihat rambut keemasan yang
menutupi wajah gadis itu. Rambut kuning seemas dan secerah itu hanya dimiliki seorang gadis. Gadis itu
adalah…
Gadis itu memandangnya dan tersenyum manis.
“Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra!” pekik semua orang.
Altamyra tersenyum dan menjatuhkan diri di pelukan Erland.
Erland membawa Altamyra menjauhi kereta kuda.
“Kami senang sekali dapat melihat Anda, Paduka.”
“Aku bukan Ratu kalian lagi,” kata Altamyra mengingatkan.
“Bagi mereka, engkau adalah Ratu mereka dan terus akan menjadi Ratu mereka,” kata Erland dan ia
berbisik dengan suara lembut, “Bagiku, engkau adalah Ratu yang selalu bersinar di hatiku.”
Altamyra tersenyum pada pria itu. Lalu ia meninggalkan pria itu dan mendekati orang-orang itu sambil
membentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
“Mengapa engkau tidak menyambutku seperti biasanya, Hannah? Mengapa kalian tidak menyambut
kedatanganku?”
Hannah berlari memeluk Altamyra. “Anda membuat saya khawatir, Paduka.”
Altamyra melihat Erland menatapnya lekat-lekat. Matanya seperti mengingatkannya pada kesalahannya.
Altamyra memberikan senyum tak bersalah pada pria itu.
“Anda pergi ke mana saja, Paduka? Saya mencari Anda di Marshwillow tetapi Anda tidak ada di sana.
Sebenarnya Anda ke mana?”
“Aku tidak ke mana-mana, Hannah.”
“Di mana Anda menemukan Ratu, Paduka?”
“Aku menemukannya di Lasdorf. Ia sangat pintar. Bersembunyi di tempat yang tidak mungkin
kupikirkan. Lalu setelah kita telah memeriksa Marshwillow, ia akan pergi ke sana.”
“Aku tidak begitu!” bantah Altamyra, “Aku ke Lasdorf karena aku ingin memulihkan kesehatanku. Aku
yakin udara di sana dapat mempercepat kesembuhan paru-paruku.”
“Mengakulah,” desak Erland, “Engkau ke sana karena ingin bersembunyi.”
Altamyra melepaskan Hannah dan mendekati Erland. Matanya menatap tajam pria itu. “Kalau aku ingin
bersembunyi, aku pasti telah berada di sana saat ini. Aku takkan berdiam diri di Lasdorf ketika tahu
engkau akan datang,” katanya tajam.
“Engkau sudah tahu?” tanya Erland keheranan.
“Giorgio memberitahuku,” jawab Altamyra, “Ia selalu memberi kabar padaku atas apa yang terjadi di
Vandella termasuk di sini.”
“Jadi, engkau tahu kami mencemaskanmu?”Erland berkata sinis.
“Sudah kukatakan aku mengetahuinya, engkau tidak mendengarkan dengan baik.”
“Aku harus menghukummu atas itu,” Erland berjanji.
“Tidak akan bisa!” sahut Altamyra.
Erland tersenyum kejam tetapi Altamyra tidak takut melihatnya.
Hannah merasa bersalah telah menimbulkan pertengkaran di antara dua orang itu. “Maafkan saya, saya
tidak bermaksud membuat Anda bertengkar.”
Fred tertawa geli. “Kau tidak bersalah, Hannah. Mereka sering bertengkar. Ketika mereka tinggal di
Lasdorf, setiap saat mereka bertengkar. Tanyalah mereka yang tinggal di Lasdorf kalau engkau tidak
percaya.”
“Kalau begitu sebaiknya saya menjauhkan Paduka Ratu dari Paduka Raja,” kata Hannah. Hannah
menarik Altamyra menjauh. “Saya tidak ingin Paduka Ratu disakiti Paduka Raja.”
Fred tertawa semakin keras melihat wajah masam Erland.
“Apakah Anda baik-baik saja selama perjalanan pulang?”
“Jangan cemas, Hannah. Kana telah memberiku bekal obat-obatan yang banyak. Ia pandai meramu
obat. Ia juga yang merawatku selama aku tinggal di Lasdorf.”
“Anda harus menceritakan pada saya semua yang telah terjadi.”
“Tentu.”
Sepanjang hari itu, Altamyra harus menghadapi berbagai macam pertanyaan dari semua orang. Tanpa
henti dan tanpa kenal lelah, ia menceritakan apa yang dilakukannya setelah pergi dari Istana Azzereath.
Semua orang ingin mengetahui cerita Altamyra. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian.
Altamyra merasa lelah terus bercerita tetapi ia tetap melakukannya. Altamyra tahu ia telah membuat
mereka semua cemas dan sudah seharusnya ia menceritakan semuanya agar mereka tidak cemas lagi.
Terlihat kelegaan yang luar biasa di mata mereka saat mereka memandang Altamyra.
Erland merasa keberadaan Altamyra menghidupkan kembali suasana Azzereath. Erland tahu gadis
bintangnya selalu menebarkan sinarnya yang memukau dan membuat orang tertarik.
“Malam ini engkau sangat cantik, Altamyra.”
Altamyra tersenyum. “Terima kasih.”
Untuk makan malam ini, ia mengenakan gaun sutranya yang paling indah. Ujung gaunnya yang berwarna
merah muda dihiasi renda-renda putih dan modelnya sangat manis. Warnanya yang cerah membuatnya
tampak semakin segar.
Erland duduk di sisi Altamyra. “Mereka tampak sangat senang melihatmu.”
“Aku melihatnya.”
Tiba-tiba Erland menarik Altamyra ke dalam pelukannya. “Aku juga sangat senang dapat memelukmu
seperti ini.”
Altamyra tidak melawan. Ia memejamkan matanya. “Aku merasa lelah.”
“Sepanjang hari ini engkau bercerita tanpa henti,” Erland mengingatkan, “Andai aku tidak membawamu
pergi, saat ini engkau masih berada di Ruang Duduk.”
Altamyra tersenyum geli teringat wajah geram Erland ketika pria itu memasuki Ruang Duduk. Tanpa
banyak berbicara, Erland membopongnya dan membawanya ke Kamar Tidur Utama di mana telah
pelayan-pelayan telah menanti kedatangannya.
“Mengapa engkau menyuruhku tidur di Kamar Tidur Utama?” tanya Altamyra, “Kamar itu adalah kamar
Raja Vandella. Sekarang engkaulah Raja Vandella, bukan aku.”
“Hingga hari ini rakyat menganggapmu sebagai Ratu mereka.”
Altamyra mengangkat kepalanya menatap wajah Erland. “Mereka juga menghormatimu sebagai Raja
mereka.”
“Tetapi aku merasa mereka lebih mencintaimu daripada aku.”
“Jangan berbicara seperti itu, Erland,” hibur Altamyra, “Mereka mencintaimu.”
“Mereka juga mencintaimu. Tetapi cinta mereka tidak sebesar cintaku padamu,” bisik Erland, “Tidak
ada yang boleh mencintaimu melebihi cintaku padamu. Tidak boleh ada yang kaucintai melebihi cintamu
padaku.”
Erland mencium Altamyra.
“Aku memberikan seluruh cintaku padamu, Erland, rajawaliku yang gagah perkasa.”
Erland kembali mencium Altamyra. Kali ini ia mencium gadis itu dengan penuh nafsu.
Altamyra merasa tubuhnya panas. Darahnya seperti mendidih. Tubuhnya terasa ringan seperti terbang ke
tempat yang sangat tinggi. Tangan-tangan kekar yang melingkar tubuhnya, membuatnya merasa
terlindungi.
Tiba-tiba Erland menghentikan ciumannya yang membara.
Altamyra menatap Erland dengan penuh rasa heran.
Erland tersenyum. Tangannya yang satu menelusuri wajah Altamyra dan tangannya yang lain memeluk
pinggang Altamyra erat-erat. “Aku ingin terus mencium dan memelukmu tetapi aku harus bersabar hingga
engkau menjadi istriku,” katanya.
“Bukankah aku telah menjadi istrimu?”
“Di Lasdorf, kita telah diresmikan menjadi suami istri oleh Pastor. Aku ingin dunia tahu engkau adalah
istriku. Aku ingin melakukan apa yang dulu seharusnya kulakukan. Aku akan mengadakan pesta besar
dan mengundang banyak orang. Semakin banyak orang yang datang, semakin banyak yang tahu engkau
adalah milikku.”
Altamyra mengulangi janji yang pernah diucapkannya pada Erland, “Aku takkan meninggalkan burung
rajawali agungku yang gagah perkasa. Aku akan menjadi bintangmu yang selalu bersinar di hatimu.
Selamanya.”
Tamat
Dipersembahkan untuk penggemar :http://dimhad.6te.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar