Jumlah Pengunjung

Pages - Menu

Label

Senin, 13 Februari 2012

NOVEL INDONESIA _ Topeng Hitam Kelam

 TOPENG HITAM

 Ambhita Dyaningrum


 Malam beringsut perlahan. Bunyi binatang malam bersahut-sahutan di kejauhan. Penjaga portal di pintu gerbang terkantuk-kantuk dengan televisi masih menyala di sudut ruang. Wajahnya menengadah dan mulutnya yang ternganga mengeluarkan bebunyian yang mengusik kesunyian malam. Gelap menyembunyikan tiga bayang-bayang hitam yang bergerak tanpa suara menuju pusat kompleks gedung yang megah berkubah itu. Kegesitan tampak dari gerak-gerik menonaktifkan sistem keamanan dengan portable computer yang didudukkan di rerumputan kering, yang malam itu digayuti embun. Isyarat mata bersahut-sahutan dari wajah-wajah yang bertopeng hitam dan jari-jemari yang dibalut kaus tangan warna hitam pula. Dalam hitungan ketiga, bayangan-bayangan itu berbagi tugas. Lasak di malam yang tidur.


 Tiba-tiba dingin mulai terasa hangat. Gelap tiba-tiba disibakkan cahaya benderang. Penjaga portal terbangun karena merasa pipinya menghangat. Ia risau dalam dengkurnya, kemudian akhirnya terjaga. Dari kaca-kaca jendela ia melihat nyala yang terang. Ia terperanjat melihat sinar kemerah-merahan menjulang dari dinding-dinding gedung berkubah. Kantuknya terenggut tiba-tiba oleh dentuman mahadahsyat dari jantungnya. Kebakaran!



 Ia memeriksa sistem keamanan. Mati. Alarm tak berfungsi. Ia meraih gagang telepon di meja. Tak ada nada sambung. Ia kian panik. Napasnya mendengus-dengus. Layar monitor pemantau seluruh sistem gedung mati. Ia kemudian berlari sekencang-kencangnya ke arah gedung yang terbakar. Berteriak-teriak memanggil nama teman-temannya dengan lolong yang lebih buruk dari suara serigala yang terluka.



 Sementara itu, tiga bayang-bayang hitam telah bergerak mundur dengan senyum kemenangan di sudut bibir mereka masing-masing. Ketiganya saling mengacungkan ibu jari. Misi telah selesai dijalankan. Kemudian bayang-bayang itu bersicepat dengan waktu, mengendap-endap di pekat malam yang telah diracuni panas dan terang cahaya api. Menghilang seperti partikel debu di udara. Dan di suasana seperti itu, derum kendaraan sekeras apa pun tenggelam dalam kegaduhan yang lebih mencemaskan yang datang dari gedung yang terbakar.



 Stepa kembali datang ke perpustakaan tua sore itu. Entah dorongan dari mana yang membuat ia merasa tertarik dengan bangunan usang yang telah dimakan usia itu. Dinding perpustakaan mulai berlumut dan retak-retak sehingga membentuk liang-liang. Liang-liang kecil itu dihuni semut-semut yang kerap kali muncul ke permukaan beriring-iringan. Lantainya yang lembap dan terasa dingin di kaki membuat Stepa merasa senang menyentuhkan telapak kakinya disana saat asyik membaca.Ada sensasi tersendiri dengan senyap itu.



 Penjaga perpustakaan yang juga telah dimakan usia, Pak Raste namanya (untunglah namanya bukan Rasta), berambut keriting kecil-kecil dan berkacamata setebal kaca nako jendela. Ia tampaknya baik, hanya sedikit tegang pembawaannya. Barangkali ia termasuk orang yang sangat takut berbuat kesalahan. Ia berhati-hati sekali dalam bekerja, mencatat, dan memasukkan data ke komputer. Sambil melakukan pekerjaannya, ia juga tetap mengawasi gerak-gerik orang dari balik kacamatanya yang tebal. Ia mencurigai orang-orang yang masuk ke perpustakaan dengan baju tebal. Ia pikir mereka berniat mencuri buku dari perpustakaan dengan cara menyembunyikannya di balik baju. Hal itu pernah terjadi sebelumnya berulang kali, sehingga membuat Pak Raste jadi trauma. Rasa cemas membuat ia selalu memelototi setiap orang yang keluar masuk perpustakaan, kendati sebenarnya perpustakaan telah dipasangi detektor untuk mencegah pencurian. Jadi, siapa pun yang melakukan kecurangan tak akan bisa lolos dari pengawasan. Namun, meskipun ia bukan termasuk jenis orang yang ramah dan mau berkompromi, Stepa menyukai orang tua itu karena mengingatkan ia pada pria yang ia sebut Ayah, yang telah meninggal sekian tahun silam.



 Mengherankan sebetulnya, bila Pak Raste begitu paranoid dengan isi perpustakaannya, mengingat nyaris tak ada buku baru disana . Pengunjungnya pun tak terlalu banyak, kecuali orang-orang yang memang melakukan riset dan mahasiswa yang mencari data untuk tugas akhir mereka.



 Isi perpustakaan itu sama tuanya dengan gedung dan penjaganya. Ia seperti berhenti sejak sekitar sepuluh tahun yang silam. Tahun terbitan terakhir yang bisa ia temukan telah melampaui waktu itu. Buku-buku di perpustakaan Pak Raste seperti simpanan arsip yang telah kedaluwarsa dan hanya ditumpuk begitu saja, kemudian tak ada arsip baru. Berhenti begitu saja di tahun itu.



 Suatu kali Stepa merasa tertarik dengan buku-buku yang diletakkan di rak paling atas. Ia bersusah-payah menarik tangga dan mencoba menjangkau buku-buku, di rak paling atas. Debu meliputi tepi-tepi buku membuat ia beberapa kali bersin. Kebanyakan buku-buku yang diletakkan disana adalah buku-buku sejarah, antropologi, dan kedokteran yang usianya sudah sangat tua. Kertasnya telah menguning dimakan waktu. Mungkin karena sudah terlalu tua dan diperkirakan tidak lagi dicari banyak orang sehingga diletakkan di tempat yang sulit dijangkau. Stepa hanya memuaskan rasa ingin tahunya dengan melihat judul-judul buku dan sekilas isinya. Ia harus beberapa kali bersin karena debu dan bau apak yang menggelitik hidungnya. Ia kurang tertarik dengan bidang-bidang itu, sehingga kemudian kembali meletakkan buku-buku yang ditengoknya ke tempat semula. Tiba-tiba, setelah membolak-balik buku, ia didatangi oleh Pak Raste dan mendapatkan teguran darinya.



 “Hei, Anak muda. Buku apa sebenarnya yang kau cari?” ujarnya gusar. Rupanya bunyi berkeriut tangga besi yang sudah mulai karatan dan suara debum buku yang dibolak-balik dengan tergesa oleh Stepa telah mengusik telinga tuanya. Stepa nyengir mendengar teguran itu. Ia kemudian turun dari tangga.



 “Hanya melihat-lihat,” sahutnya kalem, “siapa tahu ada buku yang saya butuhkan di atassana .”



 “Dan sudah kau temukan buku itu?”



 “Ehm...,” Stepa berpikir sejenak. “Tidak. Tidak ada buku yang saya perlukan. Tidak ada yang cukup menarik juga. Hanya arsip-arsip kuno yang tampaknya sudah sangat ketinggalan zaman.”



 “Kalau begitu segera saja cari buku di tempat lain, yang mudah terjangkau, yang menarik dan yang kau butuhkan. Dan jangan bikin gaduh perpustakaan.”



 Ups. Stepa menutup mulutnya dengan tangannya. Galak benar orang tua ini, gerutunya dalam hati. Ia segera turun dari tangga. Pak Raste mengawasi dari balik kacamatanya yang tebal. Bola mata tua yang abu-abu itu seperti hendak menembus keluar lewat kacamatanya. Stepa mengangguk sambil tersenyum-senyum tatkala melewati orang itu.



 “Maaf, Pak Raste....”



 Ia kemudian berada di sudut lain, di bagian buku-buku sastra, favoritnya. Ia mengambil salah satu buku dari rak itu. Hmm..., sebuah novel kuno. Salah satu koleksi kesayangan Nenek. Stepa meraih buku yang lain. Sebuah novel juga. Kemudian ia mencari tempat di meja kosong dekat jendela.



 Ditelusurinya huruf demi huruf di hadapannya. Sesekali keningnya berkerut. Kesungguhan terpancar di wajahnya. Tarikan garis-garis wajahnya yang mengendur dan mengencang adalah cerminan gejolak batinnya. Kalau sudah begitu ia biasanya lupa waktu. Tanpa sadar hari sudah mulai gelap. Ia segera tersadar ketika tahu-tahu Pak Raste sudah mulai merapikan buku-buku yang bergeletakan di atas meja dengan rak kereta dorongnya.



 “Sudah hampir malam, Anak muda,” ujarnya dengan suara rendah. Ia sudah tidak segalak sebelumnya.



 “Ya, Pak,” Stepa mengangguk sembari menutup buku di hadapannya. Ia memandang berkeliling. Hanya tinggal ia dan Pak Raste. Stepa melirik arloji yang melilit pergelangan tangannya. Pukul tujuh malam kurang enam menit. Ia terkaget-kaget. Tidak menyangka bisa setahan itu membaca novel ratusan halaman itu. Ia menandai halaman dengan pembatas buku.



 “Mau kau pinjam novel itu?” tanya Pak Raste. “Jam pinjam sebenarnya sudah habis, dan komputernya sudah saya matikan. Tapi, kalau kau ingin meminjamnya... baiklah saya catat dulu di buku, besok baru saya masukkan datamu ke komputer.”



 “Kalai begitu terima kasih sekali, Pak. Novel ini bagus sekali. Saya sangat menyukainya.”



 “Tentu saja. Novel itu mendapatkan penghargaan tinggi di zamannya. Penulisnya memang luar biasa. Ia bertangan dingin. Hampir semua karyanya meledak di pasaran dan menjadi buku yang paling dicari orang. Terutama yang satu ini. Saya juga sangat menggemari karya-karya penulis novel ini.”



 Stepa mengangguk-angguk. Ia diam-diam keheranan mendengar penuturan Pak Raste. Orang tua galak itu ternyata juga memiliki selera sastra yang bagus. Ya, ia sudah sering mendengar nama penulis itu dalam pelajaran tentang sejarah sastra. Penulis itu berada pada jajaran atas penulis di zamannya. Karya-karyanya selalu menjadi masterpiece. Ia menatap kulit sampulnya yang berwarna merah darah. Stepa kemudian beranjak dari tempat duduknya.



 “Tolong catatkan ini dulu, Pak Raste,” katanya. “Saya pinjam dulu.”



 Pak Raste mengangguk sambil tetap meneruskan pekerjaannya.



 “Sudahlah kau pergi saja. Saya sudah hapal judul novel dan penulisnya. Lagi pula, saya sudah bosan melihatmu di sini.”



 Stepa mengangkat bahunya tinggi-tinggi.



 “Okey, thanks.”



 Sebelum pergi ia menyempatkan menepuk bahu Pak Raste dengan akrab sehingga orang tua itu menjadi kaget. Stepa segera melesat keluar sambil bersiul-siul. Di pintu keluar alarm berbunyi. Stepa berbalik dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.



 “Pak Raste telah memberikan rekomendasi!” teriaknya.



 Pak Raste tampak kesal karena ia sendiri lupa bahwa alarm itu akan berbunyi bila Stepa melangkah keluar. Sambil mengomel-ngomel ia melangkah hendak mematikan alarm. Sementara itu Stepa sudah lari tunggang-langgang.



 Saking tergesa-gesanya, Stepa menabrak seseorang di dekat pintu keluar. Sepatu ketsanya berdecit-decit di lantai saat ia mengerem larinya. Tetapi sudah terlambat. Tak ayal bahunya menerjang sesosok tubuh di depan pintu itu. Terdengar suara teriakan tertahan seorang wanita dan buku-buku yang berjatuhan.



 Dan itulah dia. Seorang wanita yang pucat pasi berdiri di hadapannya dengan mulut ternganga saking kagetnya. Wajah tirus dan tubuh kurusnya tersembunyi tidak terlalu baik di balik jaketnya yang tebal. Penampilannya tidak terlalu menarik. Hanya saja, matanya yang lebar sungguh terlihat sangat cerdas. Kekagetan luar biasa di wajah si gadis tak urung membuat Stepa menyesal bercampur geli.



 “Maaf,” ujar Stepa. Ia berjongkok memunguti buku-buku si gadis yang berjatuhan. Sekilas matanya melirik judul-judul di kulit buku. Ia menangkap judul besarnya: Anatomy, Surgery, Double Helix..., si gadis buru-buru merebut buku-bukunya dari tangan Stepa. Ia merasa tidak senang.



 Stepa mengamati wajah si gadis. Ia kemudian teringat bahwa ia pernah melihat gadis itu di suatu tempat. Ia memegang jidatnya. Di mana ya? Tolol, gadis itu memang selalu kemari di saat perpustakaan sudah hampir tutup. Stepa menepuk jidadnya. Barangkali pacar Pak Raste. Ia tersenyum sendiri.



 Tahu-tahu gadis itu melesat meninggalkannya. Ia melangkah masuk ke perpustakaan dengan langkah-langkah yang panjang.



 “Hei..., perpustakaan sudah tutup!” seru Stepa. “Si tua Raste tidak akan mau melayanimu. Besok saja kembali.”



 Si gadis tak memberikan perhatian sedikit pun. Ia terus saja melangkah masuk. Stepa menggerutu.



 “Ya, terserah kaulah...”



 Nadine mengetuk-ngetuk kaca pintu dapur dengan keras.

 “Hello..., anybody home?”



 Elisa yang sedang berdiri memunggunginya, di antara bising suara mixer, menoleh. Celemek di tubuhnya penuh bercak adonan kue.Ada tepung lekat di pipi kanannya. Nadine tersenyum geli melihatnya.



 “Hai...,” Lisa menyambutnya senang. “Sorry, saya sedang sibuk bikin kue.”



 Nadine mengelap tepung di pipi sahabatnya dengan tisu.



 “Adaapa, nih? Kok pakai acara bikin kue segala? Seperti bukan Lisa saja. Bik Inah ke mana?”



 “Belanja bahan-bahan yang saya butuhkan untuk membuat kue.”



 Lisa segera menyorongkan kursi.



 “Duduklah,” ujarnya riang. Nadine tak menghiraukannya. Ia mengamati adonan kue di atas meja. Mencolek sedikit dengan telunjuk dan mencicipinya.



 ”Nyam, nyam..., enak. Kue apa, nih?”



 “Itu kue truffle coklat. Kalau kau cukup bersabar menunggu matang, kau akan bisa merasakan kue buatanku yang lezat.”



 “Truffle? Hmm..., belum matang saja sudah enak begini.”



 Nadine hendak mencolek lagi tapi Elisa dengan sigap menjauhkan tangannya.



 “Eit, jangan. Nanti cita rasanya jadi buruk karena kotoran di jarimu. Kau makan yang lain saja yang sudah matang. Oke?”



 “Apa itu yang sudah matang? Mana itu yang sudah matang?”



 “Kerupuk di toples itu.”



 “Huh!”



 “Tunggu, ya?”



 Elisa mematikan mixer. Ia kemudian menuangkan adonan ke dalam loyang yang telah dialasi kertas roti yang diolesi mentega. Dengan gerakan pelan ia meratakan adonan itu ke dalam loyang. Adonan kue di dalam loyang itu dimasukkannya ke dalam oven. Nadine terus memperhatikan gerak-gerik Elisa yang cekatan.



 Setelah itu Elisa duduk di dekat Nadine.



 “Adaapa? Baru dari mana?” tanya Elisa.



 “Saya heran...,” desah Nadine seperti tak mendengar pertanyaan sahabatnya. “Mengapa seorang Elisa tiba-tiba menjadi sangat membumi? Menjadi wanita biasa, bercelemek, dan membuat adonan?Ada sesuatu yang salah di sini. Seharusnya akulah yang bertanya kepadamu, ‘Adaapa?’ Karena kau sangat tidak biasa menjadi seseorang yang ‘sangat biasa’.”



 Elisa tertawa.



 “Kau pasti sangat ingin tahu,kan ?”



 “Tentu saja. Atau, kau ingin membuka bisnis restoran karena sudah bosan dengan pekerjaanmu yang sekarang? Kau sedang berusaha mengumpulkan resep dan mencoba-cobanya?”



 “Motifnya tidak selalu bisnis, Sayang. Kenapa kau menduga ke arah itu?”



 “Everything deals with money. Yang saya tahu kau selalu begitu. Tidak ada yang kau kejar selain untuk mendapatkan uang. Kau selalu punya rencana di balik kepalamu bila tiba-tiba melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan. Biasanya motifmu selalu motif ekonomi. Jangan menyangkal itu karena saya tahu benar siapa kau.”



 Tawa Lisa kian keras.



 “Oh, kali ini kau salah mengambil kesimpulan, Nona manis.Ada sisi lain dalam diriku yang mungkin kau lupakan. Saya ini romantis. Saya melakukan sesuatu karena saya sangat menginginkannya. Saat ini saya tiba-tiba ingin melakukan pekerjaan yang lazim dilakukan oleh kaumku, membuat kue. Kalau saya berhasil melakukannya, maka saya sungguh layak disebut wanita yang baik. Tak serumit yang kau pikirkan. Dan, mana tahu, dengan keterampilanku memasak ini suatu waktu saya dengan bangga akan berkencan di rumah saja, having dinner dengan hidangan yang kubuat dengan tanganku sendiri. Kau tahu, pria selalu jatuh hati kepada wanita yang bisa membuat masakan enak.”



 “Jadi, kalau boleh kutebak, saat ini kau sedang mempersiapkan kencanmu? Kau sedang jatuh cinta?”



 “Ya..., boleh saja kau tebak begitu. Tapi, sebentar, saya mau bikin krim dulu untuk kueku.”



 Nadine tiba-tiba saja menjadi bosan. Ia berharap menemukan Elisa yang biasanya. Bicara tentang hal-hal spektakuler, bukan hanya sekadar kue truffle dan kencan. Elisa yang selalu membicarakan info-info terkini dan bukan hal-hal biasa seperti pekerjaan wanita di dapur.



 Nadine mendesah karena ketakmengertiannya pada sikap Elisa.



 “Jadi, cintalah yang bisa membuatmu gelap mata?” tanyanya dengan wajah suram.



 “Apa? Gelap mata?”



 “Ya, kusebut ini gelap mata. Kau belum pernah melakukan hal-hal yang tidak kau sukai untuk mendapatkan sesuatu. Kalau sekarang kau melakukannya, apa itu bukan gelap mata namanya?”



 “Jangan sinis begitu, dong. Kau mulai seperti Hasta.”



 “Siapa Hasta?”



 “Temanku. Pria yang selalu memandang dunia dengan sinis.”



 “Baik. Sekarang langsung saja saya bertanya padamu, kau sedang jatuh cinta dengan siapa rupanya?”



 “Nah, yang ini baru Nadine yang kukenal. Straight to the point. Tapi yang ini belum bisa saya jawab sekarang. Tapi yang pasti, kali ini saya benar-benar jatuh cinta.”



 “Seserius apa? Jangan-jangan kau mau menikah?”



 “Wah, tepat pada sasaran.”



 “Jadi benar kau mau menikah?”



 “Ah, kenapa sih kau selalu saja menanggapi dengan serius? Cobalah untuk sedikit lebih relaks. Ini bukan tugas dokter yang memerlukan penanganan serius. Terkadang kita juga perlu libur membicarakan hal-hal yang ‘gawat’. Santailah sedikit....”



 Nadine tersipu-sipu mendengar kata-kata Elisa. Selama ini ia memang selalu disibukkan dengan hal-hal yang serba serius. Sebagai seorang calon dokter, pekerjaan menuntut ia menjadi seorang yang serius, bahkan cenderung perfeksionis, dan gila logika. Terkadang Elisa dapat mengimbanginya sehingga mereka terlibat perdebatan seru tentang banyak hal yang serius. Di lain waktu, seperti saat itu, Elisa menjadi orang yang ingin bicara hal-hal ringan namun penuh perenungan. Latar belakang Elisa sebagai seorang yang berasal dari disiplin ilmu sosial humaniora membuat ia sangat humanis, yang ingin membicarakan hal-hal yang kontemplatif. Namun, Nadine tak pernah bisa melakukannya.



 Elisa sibuk mengaduk krim di atas kompor gas. Nadine merasa capai menunggunya memberikan jawaban yang memuaskan. Begitulah selalu Elisa yang dikenalnya selama lebih dari sepuluh tahun lamanya. Nadine belum juga terbiasa dengan kebiasaan menggantung kalimatnya. Seperti halnya Elisa biasa menggantung suatu keadaan dan menyingkir diam-diam ke wilayah aman di mana ia bisa bersembunyi untuk tak mengakhiri kengambangan itu. Karena itu jualah Elisa punya banyak teman jalan. Pacarnya cuma satu, tapi ia bisa berkencan dengan beberapa orang lain dalam waktu yang bersamaan tanpa ada kejelasan hubungan. Dan ia sengaja memilih wilayah abu-abu, yang menurutnya paling aman dari segala hukum dan teori karena mengandung praduga tak bersalah. Amanlah pula ia dari tudingan ‘berselingkuh’ atau ‘punya pacar lebih dari satu’, karena kenyataannya ia memang hanya punya satu pacar. Selebihnya hanyalah ‘teman jalan’.



 Elisa sangat menikmati hal itu. Ia beruntung dikaruniai wajah yang cantik. Ia juga pintar bergaul dan memiliki inner beauty yang kuat. Nyaris tanpa cacat. Menurut Nadine, Tuhan sedang sangat berbahagia saat menciptakan Elisa. Dengan bakatnya yang besar, Elisa kini menjadi seorang reporter di Space TV, sebuah stasiun televisi swasta. Karirnya sedang bagus-bagusnya.



 Sayang, pada akhirnya hubungan Elisa dengan pacarnya harus selesai. Keputusan Johan untuk meninggalkan Elisa merupakan pukulan yang meruntuhkan kesombongan gadis itu. Ia mengira Johan akan tetap mempertahankannya, kendati apa pun yang ia lakukan. Ia tak pernah berpikiran bahwa Johan akan meninggalkannya suatu ketika setelah capai untuk selalu memahami. Tinggallah Elisa berkubang dalam kesedihannya, dan di saat itulah semua ‘teman jalan’ menjadi tidak berarti sama sekali, karena permainan tidak lagi menarik tanpa seorang kekasih di sampingnya.



 Setelah ditinggalkan Johan, Elisa tampaknya malas berhubungan lagi dengan pria. Nadine bisa melihat bahwa sesungguhnya Elisa merasa sangat kesepian. Ia berusaha untuk membunuh kesepiannya dengan bekerja. Selain bekerja sebagai reporter, Elisa juga menyanyi di kafe di saat-saat senggangnya. Semua itu dilakukannya demi menghilangkan kesedihan.



 Setelah semua yang terjadi, dan setelah sekian lama tidak lagi berkencan, kalau tiba-tiba Elisa berdiam di rumah dan melakukan pekerjaan yang tak pernah ia sukai sebelumnya dan alasannya adalah karena cinta, maka itu berarti benar-benar telah terjadi sesuatu pada dirinya.



 Kini sepotong truffle coklat telah terhidang di hadapan Nadine. Nadine mengendus aromanya yang harum. Hidungnya kembang-kempis. Elisa tersenyum puas melihatnya.



 “Ayo dicicipi dan kemudian berkomentarlah. Berikan kritik, saran, atau apa saja karena saya membutuhkannya.”



 Nadine mengambil sendok kecil di pinggir piring. Ia menyendok lapisan atas truffle yang kenyal dan lembut kemudian disuapkan ke mulutnya. Rasa manis menyentuh lidahnya. Nadine mengunyahnya hingga tandas.



 “Enak,” ujarnya sambil menyendok lagi. Kali ini ia benar-benar lahap.



 “Ini luar biasa,” pujinya tulus. “Ini karya pertamamu, dan rasanya benar-benar menakjubkan. Bagaimana kalau kau berhenti saja jadi reporter, bukalah sebuah restoran, saya jamin kalau semua hidangannya selezat ini kau bisa menangguk uang lebih banyak dibandingkan dengan penghasilanmu kini setiap bulannya. Kau berbakat.”



 Elisa tertawa senang mendengar pujian sahabatnya. Ia menyodorkan segelas air putih dingin kepada Nadine.



 “Saya hanya ingin membuktikan dugaan orang bahwa saya hanyalah seorang wanita modern-hedonis yang tak mengenal pekerjaan-pekerjaan rumah tangga adalah salah sama sekali. Saya bisa melakukan pekerjaan ini, dan hasilnya pun tidak mengecewakan. Setidaknya ada pengakuan dari seseorang yang mencicipi masakanku. Pengakuanmu sebagai seorang yang memiliki selera makan tinggi adalah sebuah indikator bahwa hasil masakanku cukup representatif. Bukankah demikian?”



 Nadine terkekeh.



 “Mencari pengakuan rupanya, he?”



 “Seandainya dia ada di sini dan mendengar komentarmu…,”



 “Tunggu tunggu, siapa ‘dia’ itu?” tukas Nadine. Telinganya cukup tajam untuk dapat menangkap setiap kata yang diucapkan Elisa.



 Elisa mengibaskan tangannya dengan sikap meremehkan.



 “Ah, tidak cukup penting,” ujarnya. “Sebaiknya tidak usah kita bicarakan.”



 “Hm…,” Nadine menjilat-jilat bibirnya yang masih meninggalkan sisa manis coklat. “Ah, saya sampai lupa tujuanku kemari,” tiba-tiba ia menepuk jidatnya, “ini gara-gara truffle coklatmu.”



 Nadine mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna merah hati.



 “Undangan ke pesta Raia, Kamis besok.”



 “Adaapa?” Elisa tertegun menatap undangan itu.



 “Kau lupa? Raia ulang tahun Kamis besok.”



 Ekspresi kaget Elisa mengendur. Ia menghela napas.



 “Oh ya, saya hampir lupa,” desahnya.



 “Hampir lupa? Kau memang lupa,kan ?” sergah Nadine. Ia mengamati perubahan ekspresi di wajah Elisa. Apakah hubungan mereka sudah begitu renggang sehingga Elisa melupakan ulang tahun Raia, atau Elisa yang terlalu sibuk dengan urusannya sendiri? Mungkin bahkan Elisa lupa punya teman bernama Raia.



 Tatapan tajam Nadine membuat Elisa merasa bersalah.



 “Maafkan saya, saya benar-benar lupa,” ucap Elisa lirih.



 “Kau mau datang,kan ?” Nadine berusaha membuatnya tidak merasa bersalah lebih lama.



 “Kau datang?”



 “Ya, tentu saja. Kau juga datang,kan ?”



 Elisa membaca undangan itu sekilas, kemudian meletakkannya di atas meja. Wajah cantiknya terlihat resah. Nadine menangkap perubahan itu.



 “Mungkin saya tidak bisa datang.”



 “Kenapa?”



 “Saya ada tugas meliput ke luarkota .”



 Kening Nadine berkerut. Dicarinya kejujuran di mata Elisa tapi wanita sahabatnya itu menghindar.



 “Kau tidak sedang berbohong kepadaku?”



 Elisa menggeleng.



 “Saya harus pergi ke Merican, meliput Human Care, perusahaan bioteknologi yang terbakar beberapa hari yang lalu. Kau ingatkan perusahaan itu, yang pernah menggemparkan karena berhasil melakukan rekayasa genetika terhadap seekor kucing? Ingat the laughing cat?”



 Nadine mengangguk.



 “Ya, the laughing cat. Tentu saja saya ingat. Kita pernah mendiskusikannya. Dokter Karel pun pernah menceritakannya kepadaku.”



 “Dosen pujaanmu itu?” goda Elisa.



 Nadine memerah mukanya.



 “Ya, dosen pujaanku,” akunya malu-malu. “Ngomong-ngomong, apa penyebab kebakaran perusahaan itu?”



 “Belum ditemukan penyebabnya. Saya menduga ini sabotase. Banyak pihak yang tidak menyukai perusahaan ini karena dianggap melanggar hukum agama dan sangat tidak manusiawi. Mereka melakukan pekerjaan sebagai Tuhan dengan bermain-main dengan kehidupan makhluk-Nya.



 Bukan main ya, teknologi zaman ini? Sulit membayangkan gen manusia bisa dipindahkan pada seekor kucing sehingga membuatnya memiliki sebagian sifat manusia. Saya tak pernah belajar ilmu biologi atau kedokteran sehingga bagiku sangat muskil untuk dilakukan. Nyatanya memang itu yang terjadi. Lagi pula, proyek itu sangat merendahkan martabat manusia. Untuk apa mereka melakukan eksperimen-eksperimen gila seperti itu?”



 “Itulah teknologi. Teknologilah yang sekarang telah menguasai manusia, bukan lagi manusia yang menguasai teknologi. Manusia menjadi rakus mencoba-coba segala hal, apa pun bentuk dan dampaknya bagi kehidupan manusia, bagi rasa kemanusiaan. Yang terpenting adalah bagaimana mereka mendapatkan pengakuan bahwa merekalah yang terhebat di antara semuanya.”



 “Mengerikan.”



 “Kapan kau berangkat?” Nadine bertanya.



 “Besok.”



 “Hati-hatilah, banyak orang jahat disana .”



 Elisa tertawa mendengarnya.



 “Jangan khawatir. Saya tidak pergi sendirian. Liputan ini sangat penting buat karirku. Ini berita besar.”



 “Saya tahu, tapi saya ingin kau baik-baik saja. Kau tidak tahu seperti apa situasi disana . Bukan tidak mungkin keadaannya cukup berbahaya. Bukankah perusahaan itu seharusnya sudah ditutup? Banyak kasus kegagalan kloning yang mereka lakukan beberapa waktu lalu.”



 “Pimpinan perusahaan itu sedang dalam proses pemeriksaan. Beberapa anak buahnya dimintai keterangan. Tapi anehnya, satu persatu mereka meninggal. Yang lucu, kabarnya keracunan makanan, tapi aneh sekali kalau hanya orang-orang yang diperiksa itu yang keracunan, sementara karyawan yang lain tidak. Padahal mereka makan makanan yang sama.Ada isu mengatakan orang-orang itu telah menelan semacam pil yang meyebabkan kematian mereka, tapi sejauh ini para dokter belum bisa membuktikannya.”



 Hasta memiliki banyak teman wanita, tapi entah mengapa ia merasa sulit sekali untuk jatuh cinta.



 Tiba-tiba ponsel Elisa berbunyi. Beberapa saat kemudian Elisa tampak serius berbicara di ponsel. Nadine tidak terlalu memperhatikan. Ia meneguk air putih dingin di meja. Mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. Berpikir-pikir.



 Seminggu yang lalu ia berdiskusi dengan Dokter Karel tentang bioteknologi. Betapa ironis, kemajuan teknologi telah mulai menggerogoti apa yang disebut dengan ‘nilai-nilai’. Sains tak lagi dapat berjalan beriringan dengan ideologi-ideologi nilai. Sains murni hakikatnya sebagai output intelektual manusia yang tak akan bisa berkembang manakala ia harus berhadapan dengan teologi, misalnya. Sains berseberangan dengan teologi dan metafisika.



 Bioteknologi yang pada awalnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup manusia: kebutuhan akan jenis tumbuhan pangan yang unggul, memperbaiki varietas ternak, kebutuhan obat, dan lain-lain mulai bergeser. Setelah semua permasalahan satu per satu dapat diatasi, mulailah timbul egosentris manusia. Timbul keinginan-keinginan menciptakan sesuatu yang lebih hebat, lebih spektakuler. Pada perkembangan selanjutnya, manusia mulai melacurkan diri pada sains dan menjadi budaknya.



 Nilai-nilai tidak lagi memainkan bagian penting dalam menentukan apakah teknologi dapat diterapkan atau tidak dalam kehidupan manusia. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan para ilmuwan untuk menggali lebih dalam lagi, kemudian berujung pada sesuatu yang tanpa disadari atau bahkan dengan sepenuh kesadaran telah memincangi keharmonisan kehidupan manusia. Itu sudah dimulai sejak puluhan tahun silam ketika orang mulai dapat menghasilkan replika genetis dan bermunculanlah makhluk-makhluk kopian yang sama persis satu sama lain. Dimulailah suatu peradaban baru yang terbalik, di mana kasta manusia bisa lebih rendah ketimbang seekor kucing. Sebentar lagi akan muncul terminologi baru tentang seekor manusia, atau seorang kucing.



 “Aku harus bersiap-siap,” tiba-tiba Elisa menyentakkan lamunan Nadine. “Tolong sampaikan permintaan maafku pada Raia karena tidak bisa datang ke pestanya. Lain kali aku akan berkunjung ke rumahnya.”



 “Kau mau ke mana?”



 “Adaperkembangan baru. Cameraman kami sakit dan kami harus segera mencari penggantinya.”



 Elisa tak memerincinya lebih jauh karena ia segera melesat dari dapur menuju kamarnya di lantai atas. Nadine mendengar ia berteriak pada pembantunya yang baru saja datang untuk segera meneruskan pekerjaan yang ditinggalkannya di dapur. Pembantu itu, Bik Inah, menatapnya kebingungan. Nadine pun kemudian segera beranjak pergi dari tempat itu.



 Stepa berada di depan jendela apartemennya di lantai tujuh. Ia sedang menikmati hujan. Sudah lama ia merindukan hujan turun. Bumi sudah terlalu kerontang karena sudah lama sekali tak dibasahi air hujan. Barangkali ini pun hujan buatan karena menurut badan meteorologi, hujan pertama tahun ini baru akan turun sekitar tiga bulan lagi. Aroma khas mengambang di udara.



 Mestinya saat itu Stepa pergi ke perpustakaan Pak Raste untuk mengembalikan novel yang dipinjamnya. Sayang sekali novel itu tak dapat memberinya inspirasi apa pun. Sesuatu yang sangat ia butuhkan saat itu adalah inspirasi. Sesuatu yang dapat membangunkannya dari tidur panjang. Sesuatu yang membangkitkan gairah dan membuatnya menjadi hidup, sesuatu yang telah lama tak dirasakannya. Sesuatu yang lezat, yang menerbitkan air liur.



 Stepa meraih secangkir kopi di meja dan menyeruputnya. Rasa hangat membasahi tenggorokan, kemudian mengalir ke dadanya. Terasa nyaman.



 Ia merindukan kerja. Ia teringat hiruk-pikuk suasana kerja. Teriakan sutradara, hilir-mudik pergantian adegan, diskusi dengan kru, break syuting, artis yang tidak disiplin, jam syuting yang molor, proses editing yang rumit, pengisian suara. Ia akrab dengan suasana itu dulu. Ia pernah menjadi bagian dari satu proses kreatif ke proses kreatif lainnya. Berada di balik kamera dan mengemas adegan demi adegan, angle demi angle. Merekam bagian yang terpisah-pisah kemudian mengumpulkannya menjadi sebuah paket yang utuh dan bercerita. Stepa adalah seorang cameraman. Ia telah menghasilkan banyak karya. Film-film layar lebar telah dirambahnya. Kariernya cukup pesat, lebih pesat ketimbang studinya. Ia bahkan jauh lebih berpengalaman di dunia nyata, mempraktikkan ilmu yang belum tuntas dipelajarinya dalam pendidikan formal. Ia seorang yang haus, tak pernah lelah belajar dan menimba pengalaman. Ia memiliki banyak obsesi besar dalam hidupnya. Kemudaan dan idealisme telah membentuk sebuah kepribadian yang kokoh. Pengalaman hidup di usia muda telah menempa dan mengasah mata batinnya. Itu tampak dari gerak-geriknya yang selalu waspada dan penuh perhitungan.



 Sepasang matanya yang dalam menyembunyikan begitu banyak rahasia hidup. Ia melalui kehidupan tanpa sosok seorang ibu. Ia dibesarkan oleh seorang ayah dan nenek. Stepa selalu mengatakan bahwa ia tidak pernah dilahirkan dari rahim seorang wanita, tapi keluar dari sebuah batu yang terbelah. Pernyataan yang selalu menjadi bahan lelucon kawan-kawannya. Si Anak Batu, julukannya. Stepa dikatakan bersaudara dengan Epro, karena kawannya itu tak punya ayah. Kata kawan-kawan, Stepa sebenarnya dilahirkan dari orang tua yang sama. Ibu mereka adalah ibu Epro, yang hamil di luar nikah dan akhirnya pergi bekerja ke luar negeri dan tak pernah kembali, dan ayah mereka adalah ayah Stepa yang tak pernah menikahi ibu Epro hingga akhir hayatnya. Kenyataannya, mereka berdua memang tampak mirip. Hanya saja, Epro lebih keras ketimbang Stepa. Ia adalah anak batu yang sebenarnya.



 Kehidupan Stepa tidak terlalu bahagia. Ayah dan Neneknya sangat mencintainya dan mereka hidup berkecukupan, tapi ia selalu merasa kesepian dalam hidupnya karena tak punya saudara. Oleh karena itu, ketika Nenek meninggal dan beberapa tahun kemudian disusul ayahnya, Stepa merasa itu hanyalah kesepian lain yang timbun-menimbun. Kesepian jualah yang membuat ia memutuskan menjadi seorang pengelana. Ia tak pernah menetap, kecuali di saat-saat ia menginginkan. Ia menyukai hiruk-pikuk, bertemu dengan banyak orang dan mengamati mereka. Kesepian membuatnya mencari keriuhan. Ia masuk sebuah organisasi bawah tanah yang menyebut diri mereka sebagai Koloni Pembebas, berteriak-teriak tentang ideologi dan sistem, memprotes segala bentuk penindasan dengan alasan pembebasan manusia. Aktivitas yang sempat menyeretnya ke dalam petualangan dan pelarian tiada henti. Ia dan kawan-kawannya, termasuk Epro, telah menurunkan rezim penindas yang telah berkuasa selama berpuluh tahun. Sebuah sejarah negeri yang berulang. Dan mereka dielu-elukan sebagai pahlawan bangsa.



 Setelah rezim berganti, kehidupan berjalan tenang kembali. Stepa bisa bekerja dengan tenang dengan penghasilan yang cukup layak. Sayang, di dunia kerja, ia terjebak karena idealismenya. Ia didepak keluar ketika dianggap terlalu banyak bicara dalam sebuah produksi film. Akar permasalahan sebenarnya terletak pada keseriusan Stepa dalam bekerja. Ia terlalu berangan menjadikan film itu seperti apa yang ia inginkan, padahal itu sama sekali bukan wewenangnya. Dan seperti apa yang biasanya terjadi pada orang-orang idealis, ia akhirnya disingkirkan. Padahal, film itu adalah salah satu obsesi besarnya dalam hidup. Kini, apalagi setelah film itu beredar dan mendapatkan banyak pujian dalam berbagai festival, ia merasa sangat terpukul karena merasa pernah menjadi bagian dari ruh film itu, sebelum pada akhirnya dijadikan pecundang.



 Di tengah-tengah keterpurukannya, Stepa kembali ke kampus. Berusaha menemukan kembali banyak hal yang telah lama ia tinggalkan. Dinamika kehidupan kampus, diskusi di sudut-sudut gedung, eksperimen-eksperimen, kuliah di ruang terbuka. Ia menemukan napas barunya. Ia memang sangat terlambat dibandingkan dengan teman-teman seangkatannya, tetapi ia menemukan kembali kepercayaan dirinya. Orang-orang telah mengakui kehebatannya. Dosen-dosen kerap menjadikannya narasumber, teman-teman banyak bertanya kepadanya. Di tengah-tengah sekumpulan teori, ia adalah wujud praktik nyata yang sebenarnya, lengkap dengan benturan-benturan yang dialaminya. Semua benar-benar nyata. Maka Stepa sedang berusaha untuk bangun dan tidak menoleh lagi ke belakang. Terakhir kali ia sedang tertarik mempelajari karya-karya sastra lama. Ia sedang merencanakan sebuah proyek besar. Oleh karena itu, ia kini banyak berkeliaran ke perpustakaan-perpustakaan kuno untuk melakukan riset data. Termasuk ke perpustakaan wilayah tua dan dijaga juga oleh seorang tua, bernama Raste.



 Ponsel Stepa tiba-tiba berbunyi. Nomor tak dikenal masuk.



 “Halo?”



 “Selamat sore, saudara Stepa….”



 “Sore,” Stepa mengernyitkan dahi. “Siapa ini?”



 “Siapa aku tidak penting. Seorang cameraman kami sakit dan kami tak punya cameraman lain yang sedang punya waktu untuk bepergian dalam waktu beberapa hari. Bagian yang penting adalah, kami menawari Anda pekerjaan ini. Anda mau?”



 Stepa nyaris tersedak.



 “Kenapa saya?”



 “Kami sudah tahu kualitas Anda. Anda akan mendapatkan imbalan yang pantas, dan mungkin Anda bisa direkrut menjadi tim tetap kami untuk seterusnya. Bagaimana, tawaran yang menarik, bukan?”



 Stepa terdiam beberapa saat. Ia berusaha menebak orang yang sedang berbicara dengannya. Ia teringat seseorang karena pada beberapa kali ia menangkap tipikal suara yang sama.



 “Kami membutuhkan jawaban segera, saudara Stepa. Kalau Anda bersedia, kami menunggu Anda di studio Space TV sampai pukul tujuh malam ini. Kalau tidak, tawaran kami cabut kembali dan akan kami berikan pada orang lain. Tim kami akan berangkat besok.”



 “Tunggu,” potong Stepa, ”liputan seperti apa yang harus saya tangani?”



 “Meliput perusahaan bioteknologi Merican yang terbakar, Human Care.”



 Tiba-tiba saja Stepa merasa bergairah.



 “Saya akan ambil tawaran itu!” serunya. “Jadi ke mana saya harus pergi?”



 “Studio Space TV lantai tiga. Temui Hasta disana .”



 “Hasta?” ulang Stepa kaget, tapi telepon keburu ditutup dari seberang. Stepa nyaris meledak saking gembiranya. Ia melonjak-lonjak seperti anak kecil, berteriak-teriak kegirangan dan berlari-lari ke seluruh penjuru ruangan. Tertawa-tawa dari sudut ke sudut seperti orang gila. Ia tak peduli. Ia merasa kegilaan itu telah membuatnya hidup kembali.



 Namanya Hasta. Postur tubuhnya tinggi, dan meskipun tak bisa dibilang tampan, wajahnya tidaklah terlalu buruk. Ia bisa mendapatkan skor tujuh dari skala 10. Ciri khasnya adalah: selalu mengenakan topi di kepalanya. Ia berdalih melindungi wajahnya dari sengatan matahari. Ia sering kali bekerja di lapangan dan itu membuatnya merasa harus melindungi kulitnya yang sensitif terhadap sinar matahari. Kulit tembaganya tampak buruk bila terkena sengatan sinar matahari secara terus-menerus. Akan mucul bintik-bintik kemerahan di pipi dan hidungnya, dan bila sudah begitu ia harus kerepotan mengoleskan krim penetral untuk mengatasinya. Sembuhnya pun makan waktu. Oleh karena itu ia kini lebih suka memakai topi untuk melindungi wajahnya, sambil tak lupa mengoleskan sunscreen di wajahnya. Terkadang, saking bersemangatnya ia mengoleskan krim, mukanya tampak seperti dibedaki. Akibatnya, ia ditertawakan kawan-kawannya. Tapi demi kulit kesayangannya, Hasta mau melakukan apa pun. Ia tak pernah memedulikan komentar kawan-kawannya.



 “Kalian belum pernah merasakan kulit kalian direbus dalam panci sup? Seperti itulah yang selalu aku rasakan bila membiarkan wajahku terbakar sinar matahari. Lebih baik kalian mati ketawa ketimbang aku mati matang direbus matahari,” kilah Hasta selalu.



 Sejak remaja Hasta telah tumbuh dengan energi berlebih. Ia hiperaktif. Tak ada waktu berdiam buatnya. Progresivitas telah menjadi teman hidupnya sepanjang waktu. Setiap hitungan detik adalah perubahan baginya. Progres adalah sesuatu yang niscaya.



 Menjadi workaholic adalah stadium berikutnya. Hasta, si gila kerja. Dua puluh empat jam sehari baginya adalah dua puluh jam kerja dan hanya menyisakan empat jam untuk berbaring-baring memejamkan mata. Tak jarang ia kena insomnia, tapi ia tidak seperti baterai yang harus recharge setiap saat. Energinya seperti tak pernah habis. Hanya saja, ia punya totally day off yang digunakannya untuk mengumpulkan kekurangan jatah tidurnya setiap hari. Ia memanfaatkan hari itu sebaik-baiknya. Kawan-kawannya telah maklum bila hari libur Hasta tiba, maka segala akses kepadanya akan diputus. Ia tidak mengizinkan siapa pun menghubungi dan mengganggunya. Ia akan kembali siaga keesokan harinya, bersemangat seperti anak muda yang kelebihan daya.



 Jarang orang melihat Hasta sakit. Ia kuat seperti baja. Kendati tubuhnya tidak terlampau besar, Hasta tampaknya punya banyak sekali cadangan energi dalam tubuhnya.



 Ia sesekali mendoping tubuhnya dengan suplemen, dan ia tetaplah manusia normal yang sekali waktu tertidur saat kelelahan. Celakanya, sesekali itu terjadi saat ia bekerja.



 Hasta telah beberapa kali mencoba-coba berbagai macam pekerjaan. Ia memulai karier benar-benar dari nol. Ia pernah bekerja di sebuah koran kuning dengan gaji yang hanya cukup digunakan untuk makan sehari-hari dengan menu yang sederhana. Ia nyaris tak pernah bersenang-senang dengan penghasilan sekecil itu. Hampir satu tahun ia bertahan dengan keadaan itu, hingga kemudian berpindah bekerja di sebuah stasiun radio, menjadi penyiar. Gajinya sedikit lebih baik, dan ia mendapat kerja sampingan sebagai MC dengan penghasilan yang cukup membuat tabungannya sedikit demi sedikit mulai terisi. Keberuntungan mulai berpihak kepadanya semenjak ia menggeluti bidang itu. Tak lama kemudian ia ditawari bekerja di sebuah stasiun televisi baru, Space TV, di mana ia benar-benar memiliki karier yang sesungguhnya. Hasta mulai merasakan mantap bekerja di Space TV, sebagai seorang news director. Ia benar-benar menikmati pekerjaannya.



 Tak ada yang benar-benar luar biasa dalam kehidupan pribadi Hasta. Ia dilahirkan sebagai anak tunggal. Keluarganya adalah keluarga kaya raya. Ayahnya seorang pengusaha sukses, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga yang mengabdi pada suami dan sangat mencintai anaknya. Ia memiliki saudara sepupu bernama Epro, yang dibesarkan bersamanya semenjak kecil. Bersama Epro, Hasta terlibat petualangan-petualangan hebat di masa mudanya.



 Kendati besar di lingkungan yang rapi dan beradab, Hasta lebih memilih hidup leluasa dengan membebaskan dirinya dari segala keterikatan aturan keluarganya. Kecintaan ibunyalah yang menyelamatkan ia dari deraan ikat pinggang ayahnya saat penyakit pemberontaknya kambuh. Hasta kecil suka bermain ke permukiman-permukiman kumuh, bergaul dengan pengamen-pengamen yang kerap mangkal di ujung gang dekat rumahnya, atau berteman dengan gelandangan. Bersama mereka, ia merasa bisa mewujudkan fantasi-fantasinya menjadi figur seorang pahlawan. Bersama mereka, ia bisa menjadi tokoh penyelamat yang selalu dapat memberikan bantuan ketika mereka membutuhkan. Hasta sering membawakan makanan dan buah-buahan yang ia curi dari kulkas rumahnya, memberikan uang saat mereka membutuhkan, membawakan buku-buku bacaan, atau bercerita tentang tempat-tempat yang pernah ia kunjungi. Ia sangat senang melihat mata mereka berbinar-binar penuh kekaguman saat mendengarkan ceritanya tentang hal-hal menakjubkan.



 Sayang, Epro tak pernah menyukai kesenangan Hasta. Ia menemani Hasta, tetapi dengan wajah yang cemberut. Ia selalu memaksa Hasta untuk segera pulang. Mereka adalah anak-anak yang tak punya keinginan, begitu ia selalu mencerca. Orang-orang yang tak punya masa depan dan tak mau berusaha meraih mimpi-mimpi mereka. Mereka bukanlah siapa-siapa.



 Epro lebih memilih bergaul dengan orang-orang berpendidikan. Orang tua Hasta memiliki sebuah rumah di samping rumah utama yang dikontrak oleh para mahasiswa dan Epro lebih memilih bermain ke tempat itu ketimbang menemani Hasta menyusuri gang-gang becek untuk menjadi pahlawan bagi kawan-kawan miskinnya. Pada usia yang relatif masih sangat muda, 15 tahun, Epro telah menjadi pengagum Nietszche. Ia fasih bicara filsafat dan kerap kali mencuri kata-kata yang sering diucapkan oleh para mahasiswa itu. Kegilaan pemikirannya selalu membuat mata Hasta berkunang-kunang. Namun, kendati pemikiran Hasta dan Epro sangat bertolak belakang, mereka sangat rukun dan saling menghargai. Epro selalu bersikap menjadi pelindung Hasta. Usianya yang dua tahun lebih tua membuat ia memosisikan dirinya sebagai kakak Hasta, walaupun ia lahir dari adik ibu Hasta, dan seharusnya Hastalah yang menjadi kakak sepupu baginya. Ia selalu mengalah kepada Hasta, nyaris dalam segala hal.



 Kedua bersaudara itu, Hasta dan Epro, sama-sama tidak terlalu tertarik pada wanita. Hingga Hasta menginjak usia 32 tahun, ia belum juga menikah. Hasta mempunyai banyak teman wanita, tetapi ia sulit sekali jatuh cinta. Ia sering berkencan, tetapi tak pernah menjatuhkan pilihan pada salah satu teman kencannya. Ia alergi dengan komitmen. Baginya, menjalin hubungan dengan wanita berarti harus siap dengan komitmen, lengkap dengan segala risikonya. Dan dia bukan laki-laki yang mudah jatuh cinta.



 Satu-satunya wanita yang pernah membuatnya menatap beberapa jenak lebih lama, menahan napas di dada, dan mengembuskannya perlahan dengan segenap perasaan, adalah seseorang bernama Raia. Seorang wanita yang ia kenal di suatu tempat dan waktu. Seorang yang pernah menggetarkan hatinya, membuat bahasanya yang lihai menjadi kaku. Yang membuat matanya berkunang-kunang, seperti yang dilakukan pemikiran-pemikiran gila Epro terhadapnya.



 Ia hanya sekali itu jatuh cinta, di usia 20-an, saat Raia manis bermata lembut itu mengusik hari-harinya. Raia yang tidak pernah mengerti mengapa Hasta yang pandai bicara tiba-tiba menjadi bisu di hadapannya. Ia yang tak pernah cermat melihat setiap perubahan emosi Hasta setiap kali harus berhadapan dengannya. Geletar jemari Hasta saat menatap lekat matanya, lipatan dahinya saat bicara dan berusaha mencari cara mengatasi galaunya.



 Kenaifan itu muncul bila dengan Raia. Segala bahasa menjadi tak bisa diterjemahkan, bahkan dengan diam dan isyarat mata. Bersama Raia, diam pun berbicara banyak. Lebih panjang dari dialog dalam sandiwara apa pun. Lebih memayahkan, kendati menghangatkan tubuh yang menggigil.



 Hasta menyukai Raia sejak mula bertemu. Mereka satu kampus, meski berbeda tahun dan jurusan. Berada dalam satu komunitas jurnalisme kampus, Hasta jadi kerap bertemu dengan Raia. Sayangnya, waktu itu Raia sudah punya kekasih. Hasta hanya bisa mengagumi Raia dari kejauhan tanpa punya keberanian untuk mengusik. Hanya saja, ia sering kali tak bisa menyingkirkan keinginan-keinginan untuk mendapatkan Raia dari kepalanya. Maka sering dikuntitnya Raia ketika ia tak bersama dengan kekasihnya, hanya untuk mencari kesempatan menyapa dan menikmati sepasang matanya yang sebening telaga. Kalau bisa, mengajaknya bercakap tentang apa saja.



 Hasta sering berdoa agar Raia putus dengan pacarnya, tetapi karena doa itu buruk, Tuhan rupanya tak mau mendengarkannya. Raia tak kunjung putus dengan pacarnya, bahkan kemudian mereka bertunangan.



 Saat itulah Hasta mulai berontak. Hatinya berteriak-teriak. Ia tidak merelakan Raia menjadi milik siapa pun. Ia tidak ingin Raia lepas dari tangannya. Ia ingin mengatakan perasaannya kepada Raia. Ia ingin dunia tahu bahwa ia cinta Raia dan ingin memilikinya. Lalu dengan hati berapi-api, suatu hari ia memutuskan untuk menemui Raia.



 Ketika itu Raia sedang ada kuliah. Hasta menunggu di depan ruang kuliahnya. Beribu macam perasaan bergolak di dadanya. Kecemasan yang mendera sejak ia memutuskan bicara membuat ia nyaris seperti orang gila. Ia telah berulang kali menyusun kalimat di benaknya, tapi setiap kali menghafal ia selalu lupa. Ia berusaha membuat kalimat baru, tetapi selalu terasa janggal dan lucu. Hasta sudah tidak bisa lagi berpikir. Ia ingin mengatakannya tanpa kesalahan sedikit pun. Ia ingin kalimat yang sempurna. Argumen yang logis. Penyampaian yang terjaga. Namun, lagi-lagi lebur oleh kecemasan yang membelitnya.



 Kerja, kerja, dan kerja adalah cara Hasta membungkam kerinduannya pada Raia.



 Raia menemukan ia tengah menunggu dengan sikap tergugu. Sebatang rokok terselip di bibirnya, mata kemerahan yang kurang tidur, dan rambut yang acak-acakan. Ia menghalangi langkah Raia di pintu.



 “Halo,”sapa Raia,”menunggu siapa?”



 “Menunggumu,”sahut Hasta. Ia tak berani menatap.



 Kening Raia berkerut. ”Aku?” ia menunjuk dadanya.



 “Ya, kau.”



 “Adaapa?”



 “Eh….”



 Gugup menyerang kembali. Hasta membuang sisa rokoknya ke lantai, kemudian menginjaknya dengan sepatu. Raia menunggu kata-katanya, tapi beberapa saat Hasta tak bisa bicara.



 “Hasta, ada apa?”



 Hasta kemudian menemukan kata-kata.



 “Sudah makan siang?” tanyanya.



 “Belum.”



 “Aku traktir makan siang. Mau?”



 Raia tercengang. Ia menatap Hasta takjub. Bola matanya berbinar sesaat. Senyumnya muncul.



 “Tapi kenapa? Kau ulang tahun, atau baru dapat rezeki? Tulisanmu dimuat di majalah? Kok, tiba-tiba ingin mentraktirku makan siang?”



 “Hanya…,” Hasta menguatkan keberaniannya. “Ingin makan siang denganmu. Salahkah?”



 Raia masih terheran-heran.Ada kebimbangan di wajahnya.



 “Please…?” Hasta meredupkan matanya, memohon. Raia menjadi gugup. Ia berdehem untuk meredakan kegugupannya.



 “Oke,” sahutnya. “Tapi setengah jam lagi aku ada kuliah. Kita ke kantin yang dekat saja.”



 Begitulah. Setengah jam itu sangat singkat. Hasta mati akal. Tak mungkin dalam waktu sesingkat itu ia bisa leluasa berpikir, apalagi berkata-kata. Tapi ia tahu, Raia mulai bisa membaca hatinya.



 “Kau bertunangan, Raia?”



 “Ya.”



 “Dengan pacarmu itu?”



 “Tentu saja. Dengan siapa lagi? Tentu denganNara .”



 Hmm, jadi namanyaNara .



 “Kau cinta dia?”



 “Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku cinta dia. Aku tidak akan mau bertunangan dengan orang yang tidak aku cintai. Kenapa memangnya?”



 “Lalu kau akan menikah?”



 “Ya tentu saja. Dan punya anak dengannya. Ha…ha…ha....”



 Tawa Raia mengiris dada Hasta. Oh, ia benar-benar tak paham, pikirannya kecut. Betapa polosnya.



 “Kau benar-benar cinta dia? Sejak kapan kau jatuh cinta padanya?”



 “Aku lupa tepatnya sejak kapan. Tapi… ya, aku cinta dia.”



 “Sebesar apa cintamu?”



 Raia terkekeh. Benar-benar geli ia mendengar pertanyaan bodoh Hasta. Matanya berair karena tertawa. Namun, ia menghentikan tawanya saat menemukan wajah Hasta sangat serius.



 “Kau aneh,” Raia berkata sebal. “Wawancara untuk apa ini?”



 “Maaf.”



 “Tapi, kenapa kau menanyakan hal itu? Kenapa kau ingin tahu?”



 “Karena… ini….”



 “Karena apa? Bicaralah, jangan berbelit-belit. Biasanya kau pintar bicara.”



 “Tidak denganmu,” desah Hasta.



 “Kenapa bisa begitu?”



 “Kenapa bisa begitu?”



 “Ya, kenapa bisa begitu? Dan jangan kau ulangi pertanyaanku lagi.”



 Raia mulai merasa terancam. Ia merasakan sesuatu yang menegakkan bulu kuduknya. Hasta tidak sedang main-main.Ada sesuatu yang salah dengan dirinya.



 “Kau tahu jawabannya, Raia?”



 “Kalau aku tahu, aku tidak akan bertanya padamu,” Raia berkata ketus.



 “Karena aku sangat….”



 “Ya? Sangat apa?” desak Raia tak sabar.



 “Menginginkan. Menginginkanmu.”



 Raia terenyak. Ia tidak siap mendengar jawaban itu. Mulutnya ternganga, jemarinya gemetaran di atas meja, dan wajahnya pias seperti kertas. Hasta tidak tega melihatnya seperti itu.



 “Maafkan aku, Raia,” keluhnya pahit.



 Untung saja Raia cepat bisa memulihkan dirinya. Ia meminum orange juice-nya hingga tandas.



 “Aku tahu aku tidak seharusnya seperti ini. Aku telah mengacaukanmu. Ini sungguh tidak adil buatmu. Kau baru saja bertunangan dan aku berani-beraninya mengusikmu dengan pertanyaanku. Tapi, keberanian ini, sebelum hilang lagi setelah kukumpulkan sejak lama, harus kukeluarkan sekarang juga. Kau harus tahu ini. Mungkin kau hanya perlu tahu. Tak lebih dari itu, karena tak mungkin aku bisa mengharapkan yang lebih dari sekadar ‘asal kau tahu’. Dan sekarang setelah aku mengatakan ini, aku merasa lega karena telah terlepas dari impitan beban yang kutanggung selama ini. Sekali lagi maafkan aku, Raia.”



 Raia bergeming.Ada sesuatu yang berkecamuk di dadanya. Tanpa sadar ia memutar-mutar cincin di jari manisnya.



 “Aku tak paham, Hasta…,” ucap Raia datar. “Aku tak pernah bisa membacamu. Kau tampak tak peduli dengan siapa pun. Kau hanya peduli dengan bagaimana mendapatkan berita-berita spektakuler, headline news, membangun opini publik. Lebih tertarik dengan angle pengambilan gambar dengan kamera, teknologi digital, dunia cyber, editing berita, reportase yang baik, wawancara eksklusif, diskusi yang argumentatif. Kau lebih peduli dengan bagaimana mendekati orang-orang hebat dan menjadi seperti mereka. Kau aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Kau tidak peduli dengan seorang Raia. Siapa Raia buatmu?”



 “Raia bagiku adalah… puisi. Raia bagiku adalah matahari, bintang, senandung, udara. Raia bagiku adalah mimpi indah yang membuatku tak ingin bangun lagi. Kehangatan saat udara menjadi dingin menyesakkan.”



 “Kau ngawur.”



 ”Aku tahu aku ngawur karena menyukaimu sejak mula, padahal aku tahu kau tidak sendiri. Aku takut dengan perasaanku sendiri.”



 Hasta mengembuskan napas keras-keras. Setidaknya, beban itu telah berkurang. Tapi tidak demikian dengan Raia. Ia pergi meninggalkan Hasta dengan mendung menggantung di wajahnya.



 Sejak saat itu Raia selalu berusaha menjauh. Hasta bisa memahami mengapa ia bersikap begitu. Ia pun mulai belajar untuk melupakan Raia. Ia telah berjanji untuk tidak lagi mengusik Raia dan menimbulkan kebingungan baginya. Cintanya kepada Raia tak pernah hilang. Bahkan, saat ia telah lulus terlebih dahulu dan meninggalkan Raia disana , ada separuh hatinya yang tertinggal, dan keping-keping itu dia biarkan begitu saja. Di saat-saat sepi, malam-malam saat aktivitasnya berhenti, Raia selalu muncul di benaknya. Kerinduan ia bungkam dengan kerja dan kerja. Tak ada jeda, karena jeda berarti Raia. Dan ia sangat tersiksa.



 Malam itu, sepulang kerja, Hasta mendengar suara Raia kembali. Setelah sekian lama, ia tak juga lupa dengan suara itu. Raia meninggalkan pesan di mesin penjawab teleponnya.



 “Selamat malam, Hasta. Masih ingat Raia? Ini aku. Lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu? Aku dengar kau sukses. Selamat, ya. Karier boleh pesat, tapi jangan lupa, tubuhmu juga perlu istirahat. Masih workaholic, ‘kan? Kau perlu dikontrol. Carilah istri. Oke, kapan-kapan aku telepon lagi. Bye….”



 Hasta benar-benar tak menyangka. Ia memutar rekaman itu beberapa kali untuk meyakinkan dirinya bahwa suara itu benar-benar suara Raia. Setelah merasa pasti, ia segera mencari nomor telepon Raia di phonebook ponselnya, tapi tak ia temukan. Rupanya nomor itu telah terhapus darisana semenjak Hasta memutuskan untuk melupakan Raia.



 Ia kemudian mengaduk-aduk laci meja, mencari buku-buku telepon lama. Dilacaknya nama Raia dengan penuh semangat. Setelah sekian lama, tujuh tahun lebih, jantungnya mulai berdegup kencang lagi. Ia berseru gembira ketika menemukan nomor ponsel Raia. Ia kemudian menekan tombol-tombol ponselnya. Menunggu, berharap-harap cemas. Yup, diangkat!



 “Halo… siapa ini?”



 Hasta memutuskan sambungan. Ia tiba-tiba disergap resah. Suara yang mengangkat telepon itu… suara seorang pria!



 Tepat pukul tujuh malam. Stepa telah sampai di lantai tiga studio Space TV. Ia celingukan.Ada sebuah ruangan kaca besar yang terletak di sebelah kanannya. Ia segera mengayuh langkah kesana . Stepa melongokkan kepalanya ke dalam ruangan. Sepi. Hanya beberapa gelintir orang di dalam ruangan, menghadapi berkas-berkas. Salah seorang dari mereka, laki-laki berusia 50 tahunan, melihatnya.



 “Mencari siapa?” ia bertanya seraya mendekat.



 “Hasta. Saya mencari Hasta.”



 “Ah, Hasta di studio 3.Ada keperluan apa, kalau saya boleh tahu?”



 “Eh, saya Stepa. Saya kemarin dihubungi orang Space TV dan diminta menemui Hasta malam ini….”



 “Ah, ya. Stepa. Hasta sudah menceritakannya kepada saya. Vina, tolong antar Bung Stepa ini ke studio menemui Hasta.”



 Stepa menduga bapak itu adalah pimpinan. Seorang wanita berusia 30-an, gemuk, tetapi berwajah manis tersenyum dan mempersilakan Stepa mengikutinya.



 “Hasta dan kru besok pagi-pagi berangkat. Mereka sudah memberitahukan tugas Anda?” tanya Vina sembari mereka melangkah bersisian.



 “Belum, Mbak,” Stepa menggeleng. “Dia belum memberi tahu detailnya. Saya hanya ditawari menggantikan cameraman yang sakit untuk sementara.”



 “Besok pagi kru akan berangkat ke Merican untuk meliput perusahaan bioteknologi yang terbakar. Sudah dengar berita itu, bukan?”



 “Ya, saya sudah mendengarnya.”



 “Nah, kami akan melakukan liputan khusus kesana besok. Banyak hal yang menarik disana , terutama karena penyebabnya belum diketahui secara pasti, dan mengapa perusahaan itu nyaris tak pernah diketahui luas oleh masyarakat, baru terdengar ketika berita kegagalan kloning manusia yang pada akhirnya bocor itu menghebohkan masyarakat.”



 Stepa hanya mengangguk-angguk mendengarkan. Langkah cepat Vina membuat ia terseok-seok mengikuti.



 “Tunggu di sini,” Vina berbisik ketika mereka sampai di depan sebuah pintu. Ia kemudian melangkah masuk dan mendekati seorang laki-laki yang sedang mengamati jalannya syuting berita.



 Kemudian Vina membisikinya dan mereka melangkah keluar. Stepa memicingkan matanya. Ia mengenali laki-laki bertopi rimba yang berjalan bersama Vina ke arahnya. Sosok itu memutar kembali ingatan masa lalunya yang hampir buram. Ia sangat akrab dengan sosok itu.



 “Hasta! Kau rupanya…”



 Sebuah pertemuan yang mengharu-biru. Kedua sahabat lama itu berpelukan erat. Hasta dan Stepa. Keduanya larut dalam kenangan lama. Beberapa saat memori masa lalu seperti diputar ulang di benak keduanya. Masa-masa muda yang penuh gairah dan petualangan. Stepa sulit berkata-kata. Ia hanya memukul bahu Hasta dengan mata berkaca-kaca.



 “Kau…,” ia seperti mengerang. “Rupanya kau….”



 “Waktu aku mendapatkan teleponmu kemarin, aku tak sampai memikirkan bahwa Hasta itu benar-benar kau. Aku tak mengira kau masih mengingat aku. Dari mana kau mendapatkan nomorku yang baru?” Stepa ingin tahu.



 Hasta balas memukul bahunya pelan.



 “Banyak jalan menuju Roma, Bung,” Hasta tertawa. “Ini bukan Roma, jadi lebih banyak jalannya.”



 “Kau masih pintar berkata-kata, rupanya,” sindir Stepa.



 “Dan kau makin gemuk. Sudah hidup enak, he?” balas Hasta.



 “Kau lebih hitam dan jelek. Cuaca tidak bagus lagi buat kulitmu.”



 “Setidaknya aku lebih tampan darimu,” Hasta membalas tak kalah sengit. “Ingat, aku pernah menjadi model sampul majalah kampus dan kau tidak. Itu berarti wajahku dianggap lebih layak jual ketimbang kau.”



 Kedua sahabat lama itu tertawa terkekeh-kekeh.



 Aku hanya melakukan aktivitas laki-laki, tidak seperti kau yang pesolek. Seperti wanita saja. Kau masih suka pakai bedak, ‘kan?”



 Ejekan itu meluncur lagi dari mulut Stepa setelah sekian lama. Ejekan karena Hasta suka memakai krim pelindung kulit terlalu tebal sehingga mukanya tampak seperti dibedaki. Saling ejek yang acap dilakukan dulu terulang kembali.



 “Kita turun ke kafe saja, biar enak ngobrolnya,” ujar Hasta. Stepa mengangguk setuju.



 Kemudian sembari asyik berbincang mereka menuju lift, turun ke lantai satu gedung itu, menuju Kafe Étude. Kafe itu bernama Étude, karena berangkat dari konsep penyajian eksperimen-eksperimen musik baru.Ada sebuah band pengisi tetap di kafe itu. Mereka selalu menyajikan format-format musik baru. Jam session. Musik-musik eksperimental dengan beat-beat rendah hingga tinggi, dengan nuansa klasik hingga kontemporer atau techno, disajikan. Semua aliran musik mereka mainkan. Grup yang terdiri darilima personel itu sangat rajin menggubah komposisi musik. Setiap hari pengunjung kafe diberi suguhan yang berbeda. Lebih hebatnya lagi, mereka sering kali mendatangkan penyanyi atau grup band terkenal ke kafe itu. Akibatnya Kafe Étude jadi mahal karena tidak sekadar menyajikan makanan atau minuman, tetapi juga hiburan yang berkelas.



 Hasta mengajak Stepa ke sebuah sudut kafe. Hasta memesankan minuman. Seorang pelayan wanita menarik perhatian Stepa.



 “Hmm… cantik,” komentarnya singkat ketika Hasta menyikutnya karena ia tak juga melepaskan pandangnya pada gadis cantik berkaki jenjang itu.



 “Di sini banyak gadis cantik,” ujar Hasta. “Kau tidak akan kecewa bila datang kemari. Oh, ya, hari apa ini? Ah, Kamis malam, ya? Kebetulan sekali. Nanti sebentar lagi, akan muncul seorang penyanyi yang bisa membuat mulutmu sulit dikatupkan.”



 “Oh, ya?” Stepa kian tertarik.



 “Tapi, tentu saja kita harus bicara bisnis dulu….”



 “Ya, jangan sampai lupa. Itu yang paling penting,” Stepa memperbaiki posisi duduknya. “Jadi bagaimana? Pekerjaan macam apa yang kau tawarkan kepadaku, konkretnya?”



 ”Begini, sebagai awalnya, aku ingin bercerita dulu. Tanpa kau tahu, aku telah menemukan jejakmu sejak lama. Aku mengenal pimpinanmu. Aku memantau perkembanganmu. Karya-karyamu bagus, kariermu sudah beranjak. Sayang, kau belum bisa meninggalkan identitas mahasiswamu. Kau terlalu idealis. Saat ini, ketika benar-benar hidup di dunia nyata, paham idealisme itu harus kita ubah menjadi materialisme. Idealisme harus kita singkirkan demi materi yang akan kita dapatkan. Dan kau masih belum cukup berani melakukan itu. Atau barangkali, kau terlalu sombong.”



 “Aku selalu idealis, Hasta. Aku akan selalu begitu dalam hidupku.”



 “Tidak. Idealisme menjadi paradigma yang tak dapat dipertahankan ketika kita telah terjun di dunia yang sesungguhnya.Ada banyak hal yang harus kita korbankan demi hidup. Mungkin masih bisa berlaku ketika kita masih harus tak berbenturan dengan banyak kepentingan sementara kita tak punya posisi tawar yang cukup kuat. Dengan kata lain, kita tak punya otoritas. Maka yang bisa kita lakukan bukanlah menyerang, tetapi bertahan dengan menggunakan strategi lain, mencari celah-celah kecil untuk menjadi yang diperhitungkan. Karena kita tak punya posisi tawar yang kuat, maka bila tak hati-hati dalam melangkah, otoritas bisa melemparkanmu jauh-jauh dari lingkaran tempatmu berpijak.”



 “Hmm…,” Stepa mencermati mimik wajah Hasta. “Oke. Lantas setelah kau menemukan jejakku?”



 “Ketika kau diberhentikan dari pekerjaanmu, aku merasa harus melakukan sesuatu. Skill-mu terlalu berharga untuk disia-siakan. Apalagi aku tahu, mantan bosmu itu akan berusaha menyebarkan berita buruk tentang kau pada kawan-kawannya yang mungkin akan memperebutkanmu. Di sinilah posisimu kurang menguntungkan. Kau tak tercatat sebagai warga negara yang berkelakuan baik, bukan? Sejarah hidupmu sebagai seorang pemberontak, atau apa pun itu bahasa yang mereka gunakan untuk menyudutkanmu, sungguh sangat tidak menguntungkan buatmu. Kau, hampir bisa dipastikan akan kesulitan menemukan pekerjaan lagi. Padahal, dengan kemampuanmu, kau ini sebenarnya harta yang sangat berharga yang harus dimanfaatkan.”



 “Jadi itulah sebabnya kau buru-buru menghubungiku? Untuk memanfaatkan harta berharga itu?”



 “Ya, begitulah,” Hasta tersenyum. “Simbiosis mutualisme. Kau untung karena dapat pekerjaan, aku pun beruntung karena menemukan harta berharga. Saat ini kami punya agenda mendesak, liputan khusus ke Merican, dan cameraman kami tiba-tiba saja jatuh sakit. Kami membutuhkan tenaga seorang cameraman yang andal dan berpengalaman. Kau memenuhi kualifikasi ini. Jadi, aku memberikan sebuah penawaran: maukah kau bekerja sama dengan kami? Tentu saja dengan imbalan yang setimpal.”



 Stepa, tanpa berpikir panjang lagi, mengangguk.



 “Jangan terburu-buru mengambil keputusan,” Hasta tersenyum geli melihat antusiasme kawannya.



 “Yang aku butuhkan saat ini… kau tahu? Sesuatu yang membuatku hidup kembali. Kerja. Menjadi ada.”



 “Kau kehilangan eksistensi dirimu?” goda Hasta.



 “Aku kehilangan segalanya,” desah Stepa. “Itu sangat mengerikan. Kerja membuat hidup, dan aku harus kehilangan itu selama ini. Tawaran ini adalah oase di padang tandus. Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?”



 “Bersiaplah berangkat ke Merican besok pagi. Sebuah perusahaan bioteknologi terbakar. Dugaan sementara mengarah ke sabotase. Mungkin persaingan bisnis atau semacamnya. Perusahaan ini tahun lalu menjadi sangat kontroversial karena telah melakukan sepuluh kali pengklonaan terhadap manusia, dan nyaris lima puluh persen gagal. Dua embrio tidak tumbuh sempurna, satu menyebabkan ibu tumpangnya terkena choriocarcinoma, sejenis kanker pada rahim sehingga harus digugurkan, yang lain mengalami gagal jantung, dan sisanya meninggal setelah lahir. Catatan terburuk sepanjang abad artifisial ini. Direktur perusahaan ini sedang mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan. Perusahaan ini sedang dalam proses likuidasi. Sayang pemiliknya belum tertangkap. Tapi melihat prosedur penangkapannya yang berbelit, kemungkinan besar ia tidak akan tertangkap. Mungkin mendapatkan suaka di luar negeri.



 “Sebelumnya, perusahaan ini menciptakan the laughing cat. Kucing klon, yang pada proses pengklonaannya ditambahkan gen manusia. Kucing itu, menurut desas-desus, memiliki inteligensi seperti manusia, dan mengeong dengan suara yang lebih mirip suara tawa manusia. Proyek rahasia yang akhirnya terbongkar saat terjadi kericuhan beberapa waktu itu. Bayangkan, barangkali kasta kita sekarang berada satu tingkat di bawah kucing itu.”



 Stepa tercengang mendengarkan penuturan Hasta. Ia hampir-hampir tidak mempercayai berita itu jika tak mendengarnya sendiri dari mulut Hasta, orang yang berkecimpung langsung dalam berita-berita aktual. Apakah negeri ini sudah begitu majunya sehingga dapat melakukan lompatan teknologi sejauh itu? Benarkah era artifisial itu benar-benar nyata, bukan hanya isapan jempol belaka? Bukan sekadar dongeng khayal belaka?”



 Ia pernah membaca jurnal sains yang terbit beberapa puluh tahun silam di perpustakaan Pak Raste. Jurnal itu memuat sejarah ketika pertama kali kloning ditemukan. Ketika itu kata cloning merupakan kosa kata baru, ketika pengetahuan manusia terhadap rekayasa biologik penciptaan klon, terhadap organisme selain tanaman belum pernah dapat dibuktikan. Klon diambil dari kata klón, bahasa Yunani, yang berarti tunas.



 Kloning dipakai untuk menyebut jenis reproduksi aseksual yang dilakukan pada tanaman, yaitu dengan cara stek batang. Pembiakan ini bertujuan untuk mendapatkan bibit tanaman unggul di bidang agrikultura pada tebu, hortikultura pada mangga, dan florikultura pada anggrek. Tanaman yang dihasilkan dari reproduksi aseksual ini mengandung seperangkat replika genetik yang sama persis dengan induknya, termasuk pada DNA sequence, sel, atau organisme.



 Keberhasilan teknologi klon pada tanaman ini menumbuhkan pemikiran baru untuk mencobakannya pula pada hewan. Apabila dari reproduksi vegetatif tanaman bisa diambil sifat-sifat baik untuk diturunkan pada anaknya agar ia terseleksi menjadi bibit yang berkualitas unggul, maka bila ini dilakukan pada hewan pun akan berakibat sama. Maka dilakukanlah eksperimen-eksperimen untuk memecahkan kode genetika pada hewan agar teknik kloning ini dapat diterapkan. Keberhasilan memecahkan kode ini adalah pintu bagi manusia utuk menjadi ‘pencipta.’.



 Hasta dan Elisa tetap merasa bisa bekerja sama, meski mereka selalu berbeda pendapat dan hati mereka sering panas oleh pertengkaran.



 Siapa pun yang dapat memecahkan kode genetika ini, dan mampu memahami asam deoksiribosenukleat penyusun protein pembentuk kode genetika, maka di tangannyalah bermula suatu kehidupan. Setelah penemuan demi penemuan kloning, baik terhadap tumbuhan maupun hewan, mulailah klon dicobakan pada manusia.



 Dua orang peneliti bernama Jerry L. Hall dan Robert J. Stillman melakukan klon embrio manusia yang poliploid, embrio yang berasal dari sebuah sel telur yang dibuahi dua atau lebih sel sperma, dengan menggunakan zona pelucidia artifisial. Tetapi, para ahli itu menghentikan pertumbuhan embrio dan tidak menanamkannya di dalam rahim.



 Penemuan spektakuler ini mengundang banyak kontroversi karena dianggap tidak manusiawi, bahkan jahat dan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Namun demikian, tentu saja, penelitian diam-diam terus berlangsung. Keberhasilan demi keberhasilan diraih dan bukti nyata jerih payah itu telah didapatkan. Perusahaan Human Care adalah sebuah perusahaan bioteknologi yang diam-diam dibiayai oleh pemerintah dan lembaga tertentu. Ia bereksperimen menciptakan produk-produk manusia kopian. Pro-kontra kloning masih terus berkelanjutan, tetapi produk-produk Human Care makin mengalami diversifikasi. Perusahaan ini menawarkan paket-paket artifisial. Namun, klon belum ditawarkan secara terbuka. Karena menyangkut berbagai kepentingan, perusahaan yang melayani jasa reproduksi artifisial pada manusia ini pun seperti mendapatkan legitimasi, bahkan sponsorship dari pihak pemerintah.



 Tiba-tiba Stepa merasa punggung tangannya ditepuk. Ia segera tersadar kembali dari pengembaraan pikirannya. Hasta masih ada di hadapannya. Ia menunjuk ke atas panggung.



 “Itu penyanyi cantik yang aku ceritakan padamu tadi.”



 Stepa mengikuti arah telunjuk Hasta. Sesaat kemudian terdengar decaknya.



 “Aku benci mengatakan ini, tapi tampaknya aku mengenal penyanyi itu. Siapa, ya?”



 Hasta mendekatkan wajahnya.



 “Aku juga benci mengatakan ini padamu. Tapi dia itu Elisa Morena, reporter Space TV. Dia sesekali ikut menyanyi di sini. Kau pasti sering melihatnya di televisi. Dia itu female reporter of the year, Miss Knows Everything,” nada suara Hasta terdengar kurang enak di telinga Stepa.



 Stepa memperhatikan Elisa baik-baik. Wanita itu cantik. Tubuhnya yang tinggi dan langsing dibalut busana putih satin dengan pundak terbuka. Kulitnya putih bening seperti pualam. Ia menyanyikan sebuah lagu lama berirama jazz.



 “Besok pagi-pagi benar kita akan berangkat bersama,” ujar Hasta. “Kau, aku, dan penyanyi itu.”



 Tekanan pada kalimat terakhir Hasta mengherankan Stepa.



 “Kau tampaknya kurang menyukai Elisa,” kata Stepa.



 “Siapa bilang? Aku mengaguminya,” elak Hasta. Ia kemudian berlagak memperhatikan Elisa di panggung. “Hmm… ia memang cantik, tapi sayang, suaranya tidak terlalu merdu, bukan? Kurasa ia agak memaksakan diri. Barangkali ia ingin semua orang menganggap ia bisa melakukan segalannya. Tapi, sebenarnya tidak ada orang yang bisa melakukan segalanya. Mereka dikaruniai bakat masing-masing. Elisa mungkin jenius dalam reportase, tapi suaranya tidak terlalu bagus untuk menjadi seorang penyanyi.”



 “Itu sarkasme, jelas kau bukan hanya kurang menyukainya, tapi kau memang benar-benar tidak respek kepadanya,” serang Stepa. Hatinya merasa geli dengan komentar-komentar Hasta.



 “Hanya merasa iba,” Hasta membuat dalih yang lain. “Tapi kami adalah tim. Aku tidak boleh merasa tidak menyukainya. Ia bebas melakukan apa pun yang disukainya, meskipun belum tentu disukai oleh orang lain.”



 Nadine berjalan bergegas di sepanjang koridor rumah sakit. Ia mendekap diktat di dadanya rapat-rapat. Suasana rumah sakit yang lengang itu membuat bulu kuduknya berdiri. Ia sedang melewati lorong yang paling sepi dari seluruh bagian rumah sakit. Lorong di depannya itu bercabang, bila berbelok ke kiri, ia masuk ke bangsal utama, dan bila lurus, lorong itu akan menurun menuju sebuah tempat yang paling sunyi dan purba: kamar mayat.



 Nadine menepis pikiran-pikiran buruk dari kepalanya. Ia menelan ludah berkali-kali dan berusaha menyusun kekuatan. Ia mengutuki saat-saat itu. Ia mengutuki Dokter Karel yang seharian tidak muncul di kampus sehingga ia harus kerepotan mencarinya di rumah sakit, hendak menyerahkan tugas asistensi para mahasiswa kepadanya.



 Ketika Nadine menghubunginya lewat telepon, Dokter Karel menyuruhnya mengantarkan tugas para mahasiswa itu ke Rumah Sakit Faruya di atas pukul tujuh, karena saat itu Dokter Karel berada di sana, meeting dengan para dokter di rumah sakit itu.



 Nadine tiba-tiba saja berkeringat dingin. Ia berusaha untuk tidak menatap lurus ke depan. Ia berusaha melemparkan pandangnya ke pintu-pintu ruangan di sepanjang koridor, ke arah taman, dan merasa lega ketika satu dua perawat atau pembesuk melintas. Ia merasa sedikit terhibur karena bertemu dengan satu-dua orang sebelum makin dekat dengan jalan menurun itu. Ah, matanya tiba-tiba saja tertumbuk pada lorong di depannya. Ada beku yang menggigit pada wilayah yang paling terasing itu. Nadine menahan napas. Ia makin mendekat.



 Tahu-tahu Nadine merasa sendiri. Tak satu pun orang di sekitarnya, padahal justru di saat-saat seperti itu ia butuh mereka untuk menumbuhkan keberaniannya. Bila sendiri, ia tak memiliki banyak keberanian. Nyalinya ciut seketika, tatkala tak bisa lagi menghindarkan tatapan. Matanya selalu membentur pagar besi itu, lorong yang curam jalannya, sepi-gelap di ujung depan sana. Ia ingin segera berbelok ke arah kiri, tapi kakinya terlalu cepat meluncur dan tak bisa dikendalikan. Langkah Nadine limbung.



 Gawat, pikirnya kalut. Bagaimana kalau tiba-tiba kakiku tak bisa direm meluncur ke arah pagar itu dan tak bisa dibelokkan?



 Jantung Nadine berdegup-degup. Keringatnya berlelehan membasahi kening dan melembapkan telapak tangannya yang mendekap diktat. Sementara kakinya bersicepat, mulutnya komat-kamit berdoa. Tuhan, lindungi aku!



 Nadine terus berdoa. Beberapa langkah lagi ia tiba di percabangan lorong. Ia mengayuh kakinya kuat-kuat dan terus berkonsentrasi untuk segera banting setir ke arah kiri. Dan…yup! Berhasil!



 Brak!!



 Nadine terpekik kaget. Ia terpelanting ke belakang setelah menabrak sesosok tubuh. De Javu! Ia merasa seperti pernah mengalami ini sebelumnya, tapi ia tidak bisa mengingat kapan peristiwa itu terjadi.



 Seorang perawat yang masih cukup muda tersenyum geli melihatnya.



 “Ma…maaf,” Nadine berkata terbata-bata. Ia merasa malu karena yakin perawat itu tahu apa yang dipikirkannya.



 “Hati-hati kalau jalan. Pelan-pelan saja, di sini tidak ada apa-apa, kok.”



 Nadine merasa mukanya merah padam.



 “Eh, anu… saya mencari Dokter Karel,” ia buru-buru berkata, berusaha untuk menutupi rasa malunya. “Anda tahu di mana saya bisa menemukannya?”



 “Dokter Karel sedang meeting dengan dokter-dokter yang lain, di ruang rapat. Lurus saja, belokan kanan pertama, ruangan nomor tiga, ada tulisan Meeting Room di pintunya. Kelihatannya rapat mereka belum selesai.”



 “Oh, begitu. Terima kasih, ya?”



 “Anda perlu diantar tidak?” goda perawat itu. Nadine nyengir.



 “Tidak perlu, terima kasih. Sudah dekat, bukan?”



 “Ya, sudah dekat. Dan tidak sesepi di sini. Anda bakalan banyak bertemu dengan keluarga pasien yang sedang duduk-duduk di sepanjang koridor.”



 “Sekali lagi, terima kasih….” Nadine melirik label nama yang terpasang di dada perawat itu, “Rio….”



 “Sama-sama, Nona.”



 Nadine melanjutkan langkahnya. Kali ini hatinya terasa ringan. Benar saja kata Rio, setelah melewati lorong itu ia bertemu dengan banyak keluarga pasien. Nadine merasa aman.



 Ia melihat papan petunjuk di percabangan lorong selanjutnya. Meeting Room ada di sebelah kanan percabangan. Nadine mengamati ruangan satu per satu.



 Meeting Room.



 Nadine berhenti tepat di depan pintu ruangan. Apabila diamati, jarak pintu ruangan itu dengan pintu ruangan di sebelahnya cukup jauh. Ruangan rapat itu cukup besar rupanya.



 Nadine merasa kecewa karena rapat belum selesai. Ia mendekatkan telinganya ke pintu, kemudian mengintip dari lubang kaca di pintu. Masih ada beberapa orang, atau tinggal beberapa orang?



 Nadine memutuskan untuk menunggu. Ia duduk tak jauh dari ruangan. Ia duduk di pinggir koridor bersama beberapa orang yang telah terlebih dahulu datang.



 Ia melempar senyum kepada seorang pria tua yang duduk di sampingnya. Pria itu membalas dengan ramah.



 “Menunggu siapa?” ia bertanya kepada Nadine.



 “Dokter Karel,” sahut Nadine, “dosen saya. Saya mau mengumpulkan tugas.”



 “Ah, mahasiswi kedokteran rupanya?”



 Nadine mengangkat bahunya, “Ya, begitulah.”



 “Rapat para dokter itu kelihatannya akan lama.”



 “Oh, ya? Mengapa?”



 “Mereka sedang merembuk masalah-masalah lain. Banyak hal di luar tugas kemanusiaan yang mereka anggap lebih penting untuk dijalankan, ketimbang sekadar memeriksa pasien dan mendengarkan keluhan mereka. Payah para dokter itu.”



 Nadine tiba-tiba tertarik dengan lelaki itu.



 “Menurut Anda, para dokter itu sedang merembuk apa, selain kondisi para pasien di rumah sakit ini, atau yang berkaitan dengan tugas mereka sebagai dokter?”



 “Proyeklah… Proyek berduit. Apa lagi?”



 “Proyek apa?”



 “Manalah saya tahu, Nona. Tapi, yang pasti berduit. Dosen Anda, Dokter Karel itu, pasti ada di balik ini semua.”



 “Bagaimana Bapak bisa tahu? Proyek apa yang Bapak maksud?”



 “Ya, barangkali semacam Human Care, perusahaan bioteknologi di Merican yang barusan terbakar itu. Barangkali perusahaan semacam itu dengan nama baru.”



 Ngaco. Orang tua itu agak tidak beres, Nadine membatin. Enak saja dia bicara.



 “Anda tahu apa tentang Human Care?”



 Nadine mencermati pria tua itu. Ia merasa tertipu dengan pandangan matanya sendiri. Kalau mau jeli, ia menemukan bahwa ternyata pria tua itu bukan berasal dari golongan biasa. Ia seorang yang berpendidikan dan berkedudukan. Ia melihat penampilannya yang trendi dan rapi. Lipatan pada bajunya menunjukkan bahwa ia sangat rapi, teliti, intelek, dan terawat, tentu saja. Kerutan di keningnya sangat mengesankan bagi Nadine. Ia barangkali seorang pengusaha sukses atau sejenisnya,dari kaum the have.



 “Human Care?” pria tua itu terkekeh. “Ya, saya tahu. Perusahaan yang bercita-cita menggantikan Tuhan dengan menciptakan manusia beraneka rupa. Dan tidak bertanggung jawab atas hasilnya.”



 Nadine tercengang mendengarnya.



 “Bapak tampaknya tahu betul tentang sepak terjang perusahaan bioteknologi Merican itu?” pancing Nadine.



 Pria itu mengangguk-angguk.



 “Tentu saya tahu. Saya adalah salah seorang korban.”



 Tiba-tiba pintu ruangan rapat terbuka. Para dokter keluar dari ruangan itu. Wajah-wajah serius itu belum lagi mengendur. Mereka melangkah seperti robot. Suara sepatu mereka mengetuk-ngetuk lantai yang licin. Nadine mengenali beberapa orang di antaranya.



 Sampai para dokter itu meninggalkan ruangan, Nadine belum juga melihat sosok Dokter Karel. Ia jadi cemas, khawatir penantiannya ternyata sia-sia belaka.



 Pintu ruangan yang sedikit terbuka diintipnya. Sayup-sayup masih terdengar suara-suara dari dalam ruangan. Nadine merasa agak lega, tapi ia masih belum yakin Dokter Karel ada di dalam. Ia menajamkan telinganya.



 Suara-suara itu saling bersahutan, seperti orang yang sedang memperdebatkan sesuatu. Sesekali mereka merendahkan suara apabila yang lain terlalu keras bicara. Kemudian suara mereka seperti ditahan, namun akhirnya kembali meninggi. Suara-suara itu tak dapat ditangkap dengan jelas oleh telinga Nadine.



 Rasa ingin tahu dan ingin bertemu dengan Dokter Karel secepatnya membuat Nadine nekat masuk ke ruangan itu. Ia menemukan ruangan dengan meja besar di tengah-tengah kursi-kursi yang telah ditinggalkan penghuninya. Botol-botol air mineral dan kotak kudapan masih berserak di atas meja.



 Ternyata suara pertengkaran itu berasal dari ruangan kecil di dalamnya. Dan Nadine bisa mengenali, salah satu suara itu adalah suara Dokter Karel.



 Nadine ragu-ragu sesaat. Ia telah berada di dalam ruangan rapat, tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia berharap pembicaraan di ruangan kecil itu segera berakhir sehingga ia dapat segera menyerahkan tugasnya, dan kemudian lekas-lekas pulang. Ia sudah merasa sangat letih.



 Namun, tampaknya pembicaraan itu belum juga akan berakhir. Nadine mempertajam pendengarannya. Ada sekitar tiga orang di dalam ruangan itu. Dari pintu ruangan yang terbuka ia melihat salah seorang dari mereka mondar-mandir, tetapi yang pasti bukan Dokter Karel. Dokter Karel tinggi besar, sementara bayangan itu pendek dan gemuk.



 Nadine tetap tak bisa menangkap pembicaraan mereka dengan jelas. Suara-suara mereka seperti gema yang memantul dari dinding ke dinding tanpa menimbulkan makna baginya. Kemudian terdengar suara gebrakan di meja, dan orang yang nyaris berkelahi membuat Nadine terperanjat kaget. Jantungnya berdebar-debar. Ia mempunyai firasat bahwa situasi akan sangat tidak menguntungkan baginya bila ia tetap tinggal di sana. Akhirnya Nadine memutuskan untuk menunggu Dokter Karel di luar ruangan rapat. Tapi, belum lagi langkahnya sampai di pintu, ia mendengar suara teguran keras dari balik punggungnya.



 “Anda mencari siapa, Nona?”



 Nadine membalikkan tubuhnya dengan kaget. Seorang pria gemuk, pendek, berkepala botak dengan helai-helai rambut beruban, mengenakan jas dokter, berdiri beberapa meter di hadapannya. Matanya menatap tajam kepada Nadine, seolah ingin menelannya bulat-bulat. Nadine menghindari tatapannya.



 “Saya… mencari Dokter Karel,” ujarnya terbata.



 Tiba-tiba dari dalam ruangan kecil muncul dua orang. Salah satu dari mereka adalah Dokter Karel, yang telah ditunggu Nadine selama hampir dua jam. Kini ia sudah muncul.



 “Saya mau menyerahkan tugas asistensi hari ini,” Nadine berkata lagi. Dokter Karel berjalan menghampirinya. Nadine harus mendongak untuk dapat menatap wajah Dokter Karel. Ia menyerahkan map yang semenjak tadi dibawanya bersama diktat.



 “Terima kasih, Nadine.”



 Nadine menangkap sesuatu yang asing dari jawaban yang dingin itu. Dokter Karel sama sekali tidak ramah kepadanya, tidak seperti biasanya. Di hadapan para dokter itu, Nadine tiba-tiba merasa gamang. Tatapan mereka menyelidik, seolah ingin membawa ia ke sudut ruang, menarik kerah bajunya, dan menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa ia berada di tempat itu, dan apa yang telah ia curi dengar dari pembicaraan mereka. Nyali Nadine ciut seketika, rasanya persis seperti ketika harus melalui koridor kamar mayat.



 “Kalau begitu, saya permisi dulu, Dokter…,” suaranya bergetar.



 “Silakan,” Dokter Karel yang menjawab. Ia mengantarkan Nadine hingga ke pintu.



 Beberapa saat setelah Nadine keluar dari ruangan rapat, hendak pulang, Dokter Karel menyusulnya.|



 “Nadine.”



 Nadine menoleh dan berhenti.



 “Tadi, apakah kau sudah lama masuk ke ruangan rapat ketika Dokter Amar keluar dan menemukanmu?”



 “Belum, saya baru saja masuk.”



 “Kau mendengar pembicaraan kami?”



 “Tidak, Dok. Sama sekali tidak.”



 “Kau yakin?”



 “Saya tidak sempat mendengarkan apa pun.”



 Nadine kembali menangkap sesuatu yang aneh. Apa yang sangat rahasia dengan pembicaraan para dokter itu? pikirnya heran. Ingin menghancurkan dunia?



 “Nadine,” Dokter Karel menahan ketika dilihatnya Nadine akan meneruskan langkahnya.



 Kini mereka saling berhadapan. Raut muka Dokter Karel serius, tetapi keramahan yang sempat lenyap dari wajah itu semenjak tadi telah sedikit mencair. Nadine dapat melihat pesona itu kembali memancar. Kematangan usia telah membentuk karakter tersendiri dalam diri Dokter Karel.



 “Seandainya kau sempat, sedikit saja, menangkap pembicaraan kami, aku rasa kau cukup bijaksana untuk tidak pernah menganggapnya ada. Kau mengerti maksudku?”



 Nadine tercengang mendengarnya.



 “Apa maksud Dokter?” ia bertanya bingung.



 Dokter Karel berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk membuat Nadine mengerti.



 “Itu tadi, semata-mata hanyalah pertengkaran antarkawan. Kesalahpahaman yang biasa terjadi dalam sebuah hubungan persahabatan, dan tidak ada kaitannya dengan profesionalisme kerja. Wajar, bukan?”



 Nadine mulai paham. Ia mengangguk-angguk.



 “Tentu, Dokter Karel. Itu hal yang sangat biasa terjadi. Saya mengerti. Saya tidak mendengarkan pembicaraan Anda, dan tentu saja, kalau yang Anda khawatirkan adalah saya akan menceritakan hal ini kepada orang lain, saya tidak akan melakukannya.”



 Dokter Karel tersenyum lega. Ia menepuk bahu Nadine pelan.



 “Terima kasih, Nadine. Kau memang asistenku yang paling baik.”



 Muka Nadine jadi kemerah-merahan.



 “Tak jadi soal, Dokter,” ia berusaha untuk biasa-biasa saja. “Tapi, Dokter…” ia berusaha mencegah ketika Dokter Karel hendak berbalik meninggalkannya.



 “Apakah Dokter sudah mau pulang? Saya perlu kawan untuk keluar dari rumah sakit ini. Saya…, agak jeri sendirian. Apalagi harus melewati kamar mayat itu….”



 Dokter tercengang sesaat, tapi kemudian ia tertawa.



 “Kau takut, Nadine? Kau calon dokter, dan mayat itu hanyalah raga yang telah mati yang telah biasa kau pegang-pegang. Mengapa pula harus takut? Kau aneh.”



 “Saya hanya…,” Nadine jadi agak canggung mendengar komentar Dokter Karel yang sebenarnya telah ia duga sebelumnya. “Bukankah, seperti halnya bertengkar dengan kawan sendiri, merasa takut pada hal-hal gaib di luar logika ilmiah itu juga wajar, Dok?”



 “Baiklah. Kau rupanya telah membalikkan kata-kataku sendiri,” Dokter Karel mengalah. “Aku juga mau pulang. Kau boleh bersamaku keluar dari rumah sakit ini, melalui jalan yang lain. Tidak melalui kamar mayat. Oke?”



 Hasta dan Elisa tetap merasa bisa bekerja sama, meski mereka selalu berbeda pendapat dan hati mereka sering panas oleh pertengkaran.



 Ada jalan lain, ya Dok?” Nadine tiba-tiba merasa menjadi orang paling bodoh sedunia. Mengapa ia tak memikirkan kemungkinan itu?



 “Sedikit lebih jauh karena harus memutar. Tapi tak apa, akan ku tunjukkan kepadamu. Jalan itu nanti berakhir di pintu utara, di tempat parkir mobil. Aku mau mengambil berkas-berkasku dulu di kantor, baru kemudian kita keluar besama.”



 Nadine mengiyakan dengan gembira.



 Sesaat kemudian Nadine dan Dokter Karel telah melangkah bersisian. Berjalan di samping dokter itu membuat Nadine merasa tenang. Sosoknya yang gagah telah memberikan rasa aman dan Nadine merasa terlindungi. Tiba-tiba Nadine merasa sangat beruntung bisa berada dalam jarak sedekat itu dengan Dokter Karel, menjadi asisten dosen baginya. Banyak yang merasa iri terhadap Nadine karena kedekatannya dengan Dokter Karel, yang pada usia yang sebenarnya tidak cukup muda lagi, 38 tahun, telah membuat banyak wanita tergila-gila. Sayang ia bernasib malang. Istrinya meninggal setengah tahun yang lalu, dan ia kini hidup sendirian karena belum memiliki seorang anak pun. Ia baru beberapa minggu lalu memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen. Rumah besar terlalu lapang untuk seorang duda, demikian menurutnya. Ia tak bisa mengatur rumah sebesar itu tanpa sentuhan tangan wanita, dan kesepian akan makin terasa ketika kelengangan telah menyergap dari seluruh penjuru ruangan.
 Di apartemen ia merasa tenang karena tak harus terganggu dengan kenangan-kenangan lama karena kesepian tak banyak mendapatkan ruang. Bila tiba-tiba hening mulai menggelisahkannya, Dokter Karel memiliki sebuah home theatre yang suaranya memenuhi seluruh ruangan dan ia tak akan lagi merasa kesepian.
 Dokter Karel memberikan isyarat kepada Nadine untuk menunggu di luar sementara ia masuk ke kantor untuk mengambil berkas-berkasnya. Pada saat itu datang seseorang mendekati Nadine. Pria yang duduk bersamanya sewaktu menunggu Dokter Karel. Nadine mengangguk dan terseyum melihatnya.
 “Mana Dokter Karel?” pria itu bertanya.
 “Sedang mengambil beberapa file di dalam.”
 Nadine kini dapat lebih jelas mengamati pria itu. Ia tampak terpelajar dan bukan orang sembarangan. Pakaian yang melekat di tubuhnya sudah pasti bermerek mahal. Mungkin ia seorang pengusaha atau semacamnya. Namun, ada yang lebih menarik perhatian Nadine ketimbang penampilannya. Wajahnya seperti sedang dicekam gelisah.
 “Kenapa Dokter Karel lama?” tanyanya lagi setelah beberapa saat mereka menunggu.
 “Entahlah,” Nadine menggedikkan bahu. “Bapak ada perlu juga dengan Dokter Karel?”
 Pada saat itu Dokter Karel sudah keluar dari ruangannya. Ia tertegun saat melihat lelaki yang berada di samping Nadine, tetapi ia kemudian berhasil mengubah mimik mukanya. Senyum Dokter Karel mengembang. Ia menjabat tangan lelaki itu.
 “Apa kabar, Pak Norman?”
 “Akhirnya saya dapat bertemu dengan Anda, Dokter. Saya ingin bicara banyak dengan Anda. Ini mengenai anak saya. Dia…,”
 “Eh, Pak Norman,” Dokter Karel mengajak lelaki itu agak menjauh dari Nadine. “Saya saat ini belum punya waktu untuk membicarakannya. Saya ditunggu urusan lain yang juga sangat penting. Jadi mohon, jangan sekarang kita bicarakan hal ini. Kita cari waktu yang agak longgar agar bisa lebih leluasa bicara. Bagaimana?”
 “Tapi saya harus membicarakannya dengan Anda sekarang juga, Dokter. Kita telah lama menunda pertemuan kita. Andalah yang menangani kasus anak saya…”
 “Oke, oke,” Dokter Karel menenangkan lelaki itu. “Bagaimana kalau besok sore, sepulang saya mengajar? Saya ada di apartemen kira-kira pukul lima sampai pukul tujuh. Anda bisa menemui saya di apartemen.”
 Lelaki bernama Norman itu menimbang-nimbang sejenak. Ia masih kelihatan tidak puas dengan jawaban Dokter Karel dan berusaha menawar lagi. Dokter Karel buru-buru mencegahnya berbicara, ia menoleh ke arah Nadine dengan sorot mata meminta pengertian.
 “Sebentar ya, Nadine. Saya bicara sebentar dengan Bapak ini.”
 Nadine mengangguk.
 Dokter Karel mengajak Pak Norman menjauh. Mereka terlibat pembicaraan yang sangat serius. Nadine dapat melihat ekspresi wajah Pak Norman yang sangat tegang. Dokter Karel berusaha untuk menenangkannya, tetapi itu tampaknya membuat Pak Norman makin kesal. Kemudian Nadine melihat Pak Norman seperti sedang mengancam Dokter Karel. Ia menunjuk-nunjuk wajah Dokter Karel, suaranya meninggi kendati Nadine tak dapat menangkap perkataannya. Setelah itu, bergegas dengan langkah-langkahnya yang panjang meninggalkan Dokter Karel yang termangu.
 Nadine menghampiri Dokter Karel, melihat wajahnya yang muram.
 “Tampaknya ini hari yang berat buat Anda, ya Dok?” tanyanya hati-hati.
 “Begitulah, Nadine.”
 “Boleh tahu, ada apa sebenarnya? Kelihatannya semua masalah ini saling berkaitan, antara rapat tadi, pertengkaran Anda dengan rekan-rekan kerja Anda, kemudian bapak yang tadi. Betul, Dok?” pancing Nadine lebih lanjut.
 “Bagaimana kau bisa menyimpulkan semua itu saling berkaitan?”
 “Hanya menebak-nebak.”
 “Tidak benar, tidak ada kaitannya.”
 “Ada yang bisa saya bantu, Dok? Saya asisten Anda dan Anda tidak perlu merasa sungkan untuk meminta bantuan saya,” Nadine memberanikan diri menawarkan jasa.
 Dokter Karel tersenyum mendengarnya.
 “Tidak perlu, Nadine. Terima kasih. Kau sudah cukup banyak membantu. Lagi pula, saya bisa menyelesaikannya sendiri. Kau tidak perlu khawatir.”
 Nadine sedikit merasa lega ketika melihat Dokter Karel akhirnya bisa tersenyum. Ia menikmati perjalanan keluar mereka dengan hati berbunga-bunga.
 Selalu saja bertengkar.
 Stepa baru saja bergabung dengan Hasta dan Elisa beberapa jam, tapi ia sudah melihat begitu banyak pertengkaran di antara keduanya. Hal-hal kecil saja mereka ributkan, apalagi hal-hal besar seperti konsep pekerjaan. Hasta selalu memandang sebelah mata pendapat-pendapat Elisa, dan sebaliknya, Elisa selalu menyangkal apa pun yang diucapkan oleh Hasta. Keduanya sama-sama angkuh dan keras kepala. Masing-masing merasa lebih tahu dari yang lain.



 Stepa tidak habis pikir bagaimana mereka bekerja dalam suasana yang selalu panas seperti itu. Mereka selalu berteriak satu sama lain. Stepa hanya bisa terbengong-bengong ketika berusaha melerai dan tak pernah berhasil. Sopir yang membawa kendaraan mereka, Anas namanya, hanya tertawa-tawa seolah peristiwa itu merupakan hal yang sangat biasa terjadi. Sesekali ia malah menimpali dan menambah-nambahi hingga perdebatan kian meruncing. Tidak ada yang mau mengalah di antara mereka. Perdebatan baru akan berhenti saat mereka sudah merasa capai dengan disertai gerutu panjang yang masih terdengar.



 “Jangan heran,” ucap Anas sambil nyengir. “Mereka memang begitu, seperti anjing dan kucing. Entah siapa yang kucing dan siapa yang anjing. Kalau bertemu dan tidak bertengkar, pasti ada sesuatu yang salah. Mungkin keduanya sedang sakit gigi.”



 Stepa berusaha untuk memahami, tapi ia tidak bisa. Oleh karena itu, ia hanya berusaha untuk memaklumi. Keduanya memang sama-sama cerdas dan berusaha menonjolkan kecerdasan masing-masing. Terlebih lagi Elisa adalah lulusan dari luar negeri. Sudah pasti ia merasa lebih unggul ketimbang Hasta yang produk dalam negeri. Elisa punya banyak pengalaman selama berkecimpung di dunia broadcasting luar negeri. Ia merasa lebih banyak tahu ketimbang Hasta yang hanya produk lokal dan notabene adalah juniornya. Karena itulah ia merasa bahwa pendapatnya selalu harus diperhitungkan. Dan Hasta amat membenci kearoganan semacam itu.



 Elisa, menurut Hasta, adalah jenis manusia sombong yang suka menonjolkan diri. Terkadang Elisa bahkan tak menyadari bahwa ia tak benar-benar memiliki hal yang dibangga-banggakannya. Menyanyi di kafe adalah salah satunya. Elisa sebenarnya tak begitu pandai menyanyi, tetapi ia begitu percaya diri dengan suaranya. Ia meyakini bahwa entertain dapat disiasati dengan penampilan.Ada dua kemungkinan mengapa penonton tak beranjak dari tempat duduknya saat menikmati suguhan musik. Karena terpesona pada merdunya suara penyanyi, atau karena menariknya penampilan si penyanyi. Untuk kasus Elisa, sudah pasti penonton akan memilih yang kedua, karena suara Elisa memang tidaklah istimewa, kalau tidak boleh dikatakan jelek. Hasta mendongkol dengan ‘ketidaktahudirian’ itu. Sebaliknya, ia adalah seorang yang sangat down to earth dan low profile. Hanya pada Elisa ia merasa perlu meninggikan dirinya, hanya untuk menekan kesombongan wanita itu.
 Perjalanan menuju Merican memakan waktu sekitarlima jam. Kru berangkat berempat. Hasta, Elisa, Stepa, dan Anas. Baru setengah jam mobil berjalan, pertengkaran Hasta dan Elisa sudah dimulai. Awalnya sebenarnya sangat remeh, Elisa bersin terus-menerus.
 “Kau kelihatan kurang sehat,” Anas menegurnya. Elisa yang membekap hidungnya dengan sapu tangan, mengangguk mengiyakan.
 “Beberapa hari ini aku kurang enak badan,” sahutnya.
 “Kau pasti kecapekan. Di saat kondisi tubuh tidak fit, penyakit akan mudah menyerang. Suaramu saja sengau begitu, mungkin kau mau flu.”
 “Ya, nih, aku minggu ini memang kurang istirahat.”
 Basa-basi yang biasa, sebenarnya, tapi itu ditanggapi sinis oleh Hasta. Ia tertawa. Elisa yang duduk di depan, di samping Anas, menoleh ke belakang dengan wajah bertanya-tanya dan waspada. Rupanya ia mengendus sesuatu di balik tawa Hasta.
 “Suaranya parau bukan karena dia mau flu, Nas,” ujar Hasta. “Tapi karena terlalu banyak menyanyi di kafe. Maklumlah, dia kan penyanyi. Masa kau lupa?”
 “Oh, ya…,” seru Anas. “Betul juga kata Hasta. Mungkin suaramu habis karena menyanyi, bukan karena mau sakit flu.”
 Elisa cemberut.
 “Kau jangan ikut-ikutan, Nas,” katanya ketus. “Hasta hanya ingin mengejekku.”
 “Lho, kok mengejek? Aku justru kagum kepadamu. Di sela-sela agenda kerjamu yang begitu padat, kau masih menyempatkan diri menyanyi. Kafe Étude memang hebat. Mereka berani membayar mahal untuk hiburan berkelas dengan mengundang banyak penyanyi terkenal. Bahkan seorang reporter televisi pun memulai karier menyanyinya dari sana. Sayang, belum ada produser yang sempat melihat penampilanmu di kafe. Bisa-bisa kau nanti beralih profesi menjadi penyanyi dan Space TV bakalan kehilangan reporter terbaiknya.”
 Kata-kata yang cukup memukul. Hasta tidak sedang bercanda. Ia memberikan tekanan-tekanan khusus pada kalimatnya. Ia memang sedang menyindir Elisa dan Elisa cukup tanggap dengan arah kalimat Hasta.
 “Aku hanya memanfaatkan apa yang telah diberikan Tuhan kepadaku.”
 “Apa yang telah diberikan Tuhan kepadamu?”
 “Suara.”
 “Ah… suara rupanya,” Hasta tergelak.
 Elisa sangat tersinggung. Kini ia benar-benar membalikkan tubuhnya, kedua lututnya naik di atas kursi mobil. Wajah cantiknya memerah padam.
 “Apa sih maksudmu?” ia marah. “Kenapa begitu sinis pada hobi menyanyiku?”
 “Hobi yang aneh.”
 “Menyanyi? Aneh? Di mana letak keanehannya? Aku yakin hampir semua orang suka menyanyi. Hanya mungkin mereka tidak menyanyi di atas panggung sementara aku melakukannya. Lagi pula apa salahnya? Bagiku, menyalurkan hobi itu perlu. Aku ingin menjadi penyanyi, maka ketika aku punya kesempatan, aku mengambilnya. Penonton menyukaiku.”
 Hasta tak menjawab kali ini. Ia hanya tersenyum-senyum dan mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil.
 “Kau hanya iri, ‘kan? Kalau kau juga ingin jadi penyanyi, ya melamarlah di Étude. Aku jamin kau tidak akan diterima!”
 “Apakah harus melalui tes dulu untuk bisa menyanyi di Étude?” Stepa buru-buru menyela. Ia berharap pertengkaran Elisa dan Hasta bisa berhenti, tetapi rupanya kata-katanya yang kurang tepat malah memperkeruh suasana.
 “Ya, tentu saja. Tapi, Elisa kan tidak harus melalui tes,” Hasta yang menjawab. Mulut Elisa yang sudah hendak menanggapi pertanyaan Stepa, terkatup kembali.
 “Elisa punya orang dalam, Step. Ia memacari pemilik Kafe Étude.”
 “Oh…,” Stepa segera menyadari kekeliruan kalimatnya. Ia jadi merasa bersalah melihat Elisa kian murka.
 “Jangan didengarkan!” teriak Elisa. “Dia memang selalu ngaco! Hasta, bisa tidak kau barang beberapa hari saja tidak usah menggangguku?”
 “Siapa yang bermaksud mengganggu?” Hasta mengangkat bahu tinggi-tinggi dengan sikap tak peduli yang menyebalkan. “Sama sekali tidak berminat.”
 Elisa sangat jengkel. Merasa kehabisan kata-kata, ia kembali pada posisi duduknya semula dengan gerutu panjang yang masih terdengar. Sejenak kemudian ia sudah memejamkan mata, berusaha meredam kemarahannya. Keadaan pun menjadi tenang kembali.
 Hasta, Stepa, dan Anas kemudian berdiskusi tentang Human Care, perusahaan bioteknologi Merican yang menjadi tujuan perjalanan mereka. Kontroversi yang beredar di masyarakat adalah bahwa perusahaan yang selama ini tidak banyak diketahui keberadaannya itu sebenarnya adalah proyek pemerintah. Mereka mendapatkan dana dari pemerintah untuk penelitian kloning terhadap manusia. Perusahaan itu sebelumnya telah hampir ditutup karena kasus the laughing cat-nya yang menggemparkan dan kegagalan-kegagalan yang beruntun mereka lakukan. The laughing cat adalah sebuah kasus yang menghebohkan dan memancing reaksi keras banyak kalangan. Tindakan mengklonkan sel manusia ke dalam embrio kucing dianggap sebagai penghinaan terhadap martabat manusia.
 Karena kasus beruntun yang menimpa Human Care, pihak donatur menarik dukungannya. Aktivitas terpaksa diberhentikan seiring dengan diperkarakannya perusahaan ini di pengadilan. Namun, terlepas dari itu semua, perusahaan bioteknologi itu ternyata telah melangkah lebih jauh dari apa yang dapat diamati oleh masyarakat. Masuknya teknologi rekayasa genetika yang telah menggemparkan dunia sekian puluh tahun silam itu ke Indonesia adalah benar-benar suatu prestasi sekaligus juga bahaya yang cukup mengancam bagi moralitas. Namun, kerja para ilmuwan itu begitu rapi. Mereka bekerja dalam diam dan setiap langkah metodologis disimpan rapat-rapat sebelum merasa benar-benar yakin akan keberhasilan mereka.
 “Mereka sangat berhati-hati, karena suatu kegagalan akan menghancurkan karier dan nama mereka. Segalanya harus selalu diperhatikan dengan matang,” Hasta berkata.
 “Tetapi mereka memang menerima klien dan servis pembuahan artifisial, ya?” Stepa mengerutkan keningnya.
 “Ya, berangkat dari pelayanan bayi tabung yang mereka tawarkan pada masa awal mereka berdiri. Mereka punya akses ke bank sperma internasional dan klien tinggal pilih sperma siapa yang mereka inginkan. Hittler? Atau John Travolta? Tinggal sebutkan nama yang mereka inginkan di dalam daftar, bereslah semua.”
 Ternyata saat itu Elisa sudah bangun dari tidurnya dan segera melibatkan diri dalam percakapan.
 “Ya, dan kemudian kloning manusia juga telah mereka jadikan salah satu pelayanan mereka. Jika kita review saat pertama kali kloning mulai disahihkan maka makhluk-makhluk kopian itu kini telah beranjak remaja,” ujar Elisa.
 “Di mana saja makhluk-makhluk kopian itu sekarang ini?” gumam Stepa.
 “Beberapa dari mereka masih berada dalam pengawasan intensif laboratorium besar Human Care. Mereka ditempatkan di sebuah lingkungan yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai komunitas belajar. Produk kopian itu berasal dari bibit-bibit manusia unggul negeri kita. Bayangkan saja, dalam waktu sekitar lima hingga sepuluh tahun ke depan akan bermunculan tokoh-tokoh penting generasi kedua yang bakalan menguasai negeri ini, lengkap dengan karakter turunannya.”
 “Apa maksudmu karakter turunan?” sergah Hasta. “Mereka belajar dan beradaptasi dengan lingkungan. Pembentukan karakter bukanlah masalah genetika belaka. Faktor eksternal jauh lebih punya peran.”
 “Bagaimana sifat genetika yang diperoleh dari induknya?” Elisa melebarkan matanya. Ia merasa pendapatnya diremehkan. “Itu tetap akan melekat dalam dirinya. Bagaimanapun jiwa koruptor akan tetap terbawa pada turunan klonnya, sebagaimana hasil klon orang-orang pintar menyebabkan lahirnya jenius-jenius baru pula. Itulah mengapa klon ada, karena ia dapat mengkopi genetika sama persis.”
 “Nona, yang menurun adalah ciri fisik, kapasitas otak, bakat, dan sifat-sifat genetis lainnya. Behaviour bisa dibentuk oleh masyarakat. Kloning seorang koruptor bisa meniru kecerdasan induknya, tetapi apakah akan digunakan untuk menipu dan bermuslihat, itu tergantung dari bagaimana ia menyerap pelajaran tentang nilai-nilai, apakah korup itu dibenarkan atau tidak. Bagaimana menurutmu, Stepa?”
 Meskipun ragu-ragu karena melihat ekspresi Elisa yang menahan kegeraman, Stepa lebih sepakat dengan pendapat Hasta. Ia mengangguk-angguk.
 “Jangan cuma mengangguk-angguk!” bentak Elisa. “Menurutmu sendiri bagaimana?”
 “Ya… aku lebih sepakat dengan Hasta. Tampaknya lebih masuk akal.”
 Hasta tertawa penuh kemenangan dan Elisa menggerutu panjang. Anas yang melihat kejadian itu hanya tersenyum-senyum geli, tetapi tak berkomentar apa pun. Ia yang duduk paling dekat dengan Elisa, tidak ingin mengambil risiko menjadi sasaran kemarahan Elisa bila ikut-ikutan mendukung Hasta.
 Di pesta ulang tahun Raia, pesta para eksekutif muda, ada kegelisahan terpancar di raut wajah manis yang lembut itu. Nadine dapat merasakannya. Raia berkali-kali mengedarkan pandangan ke segenap penjuru ruangan, seolah-olah ingin menemukan sesuatu atau seseorang di sana. Wajahnya muram, hanya sesekali ia berusaha menutupinya dengan senyum. Ia tidak sedang berbahagia pada pesta ulang tahunnya. Tak ada seseorang yang mendampinginya. Nadine menelan ludah. Ada rasa pahit tertelan di kerongkongannya. Apakah Raia mengharapkan Nara datang?
 Sebenarnya Nadine telah menyampaikan undangan pesta itu kepada kakak laki-lakinya. Ia berusaha membujuk Nara untuk datang. Namun, Nara tak bergerak. Ia bahkan tak mengeluarkan sedikit pun suara. Nadine akhirnya, setelah lelah bicara, meletakkan undangan ulang tahun itu di karpet di samping Nara yang asyik bermain dengan komputernya. Ia tahu, Nara hanya berusaha untuk tidak peduli. Ia memahami, Nara tengah berusaha meredam gejolak di dadanya karena ia sebenarnya tidak pernah melupakan Raia. Sekeras apa pun usahanya untuk melenyapkan Raia, ia tak pernah berhasil melakukannya. Sepedih apa pun debar dada Nara, ia tetap saja menyebutkan nama Raia dalam setiap pembicaraan meski sekadar mengingat suatu hal yang berkaitan dengannya, seperti film atau permen kesukaannya. Atau hanya menyebutkannya tanpa maksud apa-apa. Namun, pandangan Nara sering kali terlihat kosong saat memorinya diputar kembali. Mungkin saat itu ia membayangkan wajah Raia dan masa-masa ketika mereka masih bersama.
 Sungguh suatu pukulan yang teramat telak manakala tiba-tiba Raia memutuskan pertunangan mereka.Ada hal-hal misterius yang mereka sembunyikan.Nara tak pernah mengakui penyebab sebenarnya, tapi cara ia menyikapi keputusan Raia menunjukkan bahwa kesalahan ada pada pihakNara . Kesalahaan yang tak dapat dimaafkan Raia.
 Tujuh tahun adalah masa yang cukup panjang untuk sebuah hubungan. Nadine tak dapat memahami mengapa kurun waktu itu bisa runtuh begitu saja oleh suatu hal gegabah yang dilakukanNara . Dan bagaimana mungkin Nadine bisa melupakan saatNara menangis mengiba-iba di hadapan Raia yang beku, memohon agar hubungan mereka dipertahankan.



 Nadine yakin ada pihak ketiga di balik berakhirnya hubungan kakaknya dengan Raia. Meskipun ia melihat dari sikap Raia bahwa Naralah yang menjadi biang peristiwa itu, di dalam hati kecilnya ia masih belum mempercayai bahwa kesalahan sepenuhnya harus ditimpakan pada kakak satu-satunya itu. Perjalanan tujuh tahun sepasang kekasih tidak akan mudah dihentikan kendati salah seorang melakukan kesalahan dan berusaha kembali, kecuali bila ia benar-benar tersesat atau seorang yang lain memang berusaha untuk meninggalkan. Nadine melihat Raia telah kepayahan bersamaNara dan ia memang ingin berhenti. Nadine tahu betapa berat pula masalah itu buat Raia. Ia pun sama terlukanya denganNara . Barangkali lebih terluka.



 Tamat




 Dipersembahkan untuk :http://dimhad.6te.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar